Pukul lima pagi saat ponsel milik S9fie berdering nyaring, membuat tidur nyenyak nya seketika terganggu.Gadis itu meraba nakas, matanya memicing masih setengah sadar. Bukan, itu bukan suara alarm miliknya. Masih terlalu pagi baginya untuk bangun. Suara berisik pagi itu berasal dari panggilan Chandra. Sudah sekitar kali ketiga pria itu terus menelponnya, ia masih belum juga menyerah meski sebelumnya Sofie selalu me reject panggilan pria itu.Sekali lagi, Sofie menolak panggilan dari Chandra. Ia memilih untuk kembali bergelung dalam selimut dan melanjutkan mimpi tertundanya.Begitu rencana awalnya, tapi rencana hanyalah rencana.Panggilan telepon memang terhenti, tapi tergantikan dengan suara kerikil yang menghantam kaca jendela kamar. Hal itu sama saja membuat Sofie tidak bisa kembali ke alam mimpinya.Gadis itu mendengkus, dengan kekesalan level dewa ia menyingkap selimut dengan kasar. Berjalan ke arah jendela dan membukanya dengan lebar.Di bawah, tampak Chandra tersenyum puas. Pr
Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban Dari Aruna. Wisnu kembali meraih bahu wanita itu, merematnya sedikit kuat hingga Aruna meringis menahan sakit."Jawab aku Aruna, Jawab!""Sakit," rintihnya.Namun seolah tuli, Wisnu tudak menghiraukan rintihan Aruna. Pria itu masih saja menatap wanita itu juga memaksanya untuk menjawab pertanyaan yang ia ajukan."Apa yang kau lakukan, brengsek!"Chandra datang dan langsung menarik baju Wisnu, mendorong pria itu hingga tersungkur. Chandra yang merasa kesal hampir saja membubuhkan sebuah bogem mentah ke arah si lelaki jika tidak dengan segera Sofie manahan aksinya."Semuanya nggak bakal selesai dengan cara kekerasan. Lebih baik sekarang kita duduk dan selesaikan semuanya dengan kepala dingin," kata gadis itu menengahi."Kamu nggak papa?" Sofie menghampiri Aruna. Wanita itu menggeleng, ia hanya terkejut juga sedikit takut dengan perubahan sikap Wisnu yang begitu agresif.Seperti yang dikatakan Sofie sebelumnya, empat orang dewasa itu berkumpul.
Suasa begitu canggung. Aruna sejak tadi terus melihat ke sekeliling, memperhatikan apa saja selain harus bertatapan dengan Wisnu yang sudah sejak tadi tersenyum ke arahnya tanpa henti.Juga genggaman tangan pria itu yang terasa kian erat tiap detiknya. Benar-benar membuat jantung Aruna seakan dipompa dua kali lebih cepat dari biasanya."Tidak perlu dilihat sampai sebegitunya, aku tidak akan kemana-mana."Memberanikan diri, Aruna berkata. Sungguh, ia masih belum terbiasa dengan perubahan sikap Wisnu sekarang.Itu lebih ekstrem dibandingan kedekatan mereka sebelumnya. Dan jujur saja, pertahanan Aruna bisa-bisa akan goyah jika hal itu terus berlanjut.Ia masih harus memiliki kesadaran dimana dan siapa dirinya di sini.Wisnu mungkin masih di masa begitu bahagia karena apa yang dinantikan nya selama ini sudah ada dalam rahimnya. Tapi Aruna juga tidak boleh lupa sedalam apa perasaan pria itu pada Diandra."Maaf, maaf. Apa aku terlalu berlebihan?"Demi Tuhan! Tidak bisakah Wisnu bertanya den
Menghela napas, Diandra memilih untuk mengikuti permainan Wisnu kali ini. Berpura-pura tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Mau makan?" tawarnya."Tidak. Aku akan mandi sekarang, lebih baik kau beristirahat saja, hari sudah malam."Tanpa bantahan, Diandra berjalan ke arah kamar. Di pertengahan anak tangga wanita itu menoleh, mengamati Wisnu yang tengah membereskan jas juga tasnya sendiri.Menyadari Diandra yang tengah memperhatikannya, Wisnu tersenyum. Tapi yang tidak pria itu tahu, perbuatannya saat itu justru kian menyakiti perasaan Diandra.Diandra sudah terbaring di atas ranjang saat suara pintu kamar mandi terbuka. Wisnu baru saja selesai membersihkan diri.Setelah menggosok rambutnya sendiri dengan handuk, pria itu turut menyusul Diandra di ranjang. Bukan, Wisnu tidak langsung tertidur. Ia justru asyik dengan ponselnya sendiri, mengabaikan Diandra yang terbaring memunggungi dirinya.Mungkin pria itu berpikir jika Diandra sudah tertidur, meski sebenarnya belum. Ia masih terj
"Siapa?" Chandra mendekat, turut melihat siapa kira-kira yang datang bertamu di pagi hari seperti sekarang."Diandra," ucap pria itu lirih.Wanita yang disebut namanya itu hanya tersenyum tipis. Ia menyerahkan satu keranjang buah pada Aruna."Boleh aku masuk?" tanya Diandra.Dengan tergagap Aruna menggeser tubuhnya ke sisi kanan agar Diandra bisa masuk ke dalam rumah.Wanita itu mengamati sekeliling, tersenyum kecil dan duduk pada sofa ruang tamu."Biar aku yang menemani Diandra dulu, kau buatlah minuman," ucap Chandra kemudian.Aruna mengangguk. Saat wanita itu hendak beranjak ke dapur, suara Diandra lebih dulu terdengar."Tidak perlu repot, duduklah di sini dan temani aku mengobrol sebentar," katanya.Aruna dan Chandra saling berpandangan selama beberapa detik. Pada akhirnya Aruna menurut, ia menyerahkan keranjang buat pada Chandra dan duduk pada sofa panjang tepat di samping Diandra yang duduk di sofa tunggal.Suasana cukup awkward saat itu. Aruna sendiri tidak tahu harus berkata
Cuaca kota Bandung saat itu cukup bersahabat. Tidak panas tapi juga tidak hujan, sejuk.Cuaca yang pas untuk sekadar berjalan-jalan di sekitar gedung sate, ataupun berkeliling mencari seblak contohnya.Tapi tidak dengan Wisnu. Pria itu baru saja selesai membersihkan diri, ia melihat suasana Kota Bandung dari jendela kamar hotel tempatnya menginap.Ia jadi kembali teringat percakapannya dengan Diandra lewat sambungan telepon pagi tadi."Wisnu, apa kamu sudah mulai ngerasa nyaman dengan Aruna?"Pertanyaan singkat yang nyatanya bisa membuat Wisnu seakan ditusuk belati tajam. Ia hanya bisa terdiam dengan tatapan mata ke segala arah.Meski Diandra tidak bisa melihatnya sekarang, entah mengapa Wisnu benar-benar merasa gugup."Wisnu," sekali lagi Diandra memanggil."Ya?""Aku hanya ingin mengatakan ini satu kali padamu, jadi tolong dengarkan baik-baik," titahnya.Wisnu berdeham saja, ia harus berhati-hati juga menata apa-apa saja kata yang akan keluar dari mulutnya. Ia tidak ingin membuat Di
"Wisnu? Kamu kenapa?" Aruna melepaskan pelukan Wisnu. Aruna? Iya, Wisnu kembali ke rumah kedua dimana Aruna juga Sofie tinggal sekarang."Kamu tidak pergi, kamu tidak akan meninggalkan ku dan membawa anak kita bukan?"Wisnu bertanya dengan raut wajah khawatir, membuat Aruna mengerutkan kening sejenak sebelum kemudian menghela napas, paham kemana arah pembicaraan Wisnu."Apa Diandra yang mengatakan padamu jika aku akan pergi membawa anak ini?"Selama beberapa detik Wisnu diam, pada akhirnya ia mengangguk, tidak ada gunanya berbohong."Kau tenang saja, aku tidak akan pergi sebelum dia lahir. Bukannya itu kesepakatan di antara kita? Aku tidak akan melanggarnya, kau tenang saja."Entah mengapa perkataan Aruna barusan membuat perasaan Wisnu lega tapi juga sakit disaat bersamaan.Ia merasa lega karena Aruna tidak akan pergi meninggalkan nya bersama anak dalam kandungannya, tapi perasaanya juga sakit saat wanita itu mengatakan alasannya tetap tinggal karena perjanjian itu.Entah, Wisnu hany
Pagi menjelang. Fajar menyingsing, menampakan cahaya lembut khas pagi hari yang menembus melewati celah gorden.Aruna mengerjap, membuka mata perlahan sambil menyesuaikan diri dengan cahaya. Baru saja ia akan menggeliat, wanita itu lebih dulu sadar dengan apa yang ada di sebelahnya.Seorang lelaki yang masih terpejam, terlena dalam alam mimpi. Wisnu masih setia berjalan-jalan, menjelajahi dunia mimpinya tanpa tahu Aruna tengah memperhatikannya dalam diam."Dia terlihat begitu tenang dan manis saat sedang tertidur," gumam Aruna lirih.Tangan wanita itu bergerak perlahan, merapikan anak rambut Wisnu yang menjuntai ke arah wajah.Merasa terusik, Wisnu sedikit bergerak dalam tidurnya. Sebelah tangan besarnya kemudian hinggap di pinggang Aruna, memeluk wanita itu seperti sebuah guling.Jarak yang teramat dekat membuat Aruna harus menahan napas. Jantungnya berpacu, berdetak dua kali lebih cepat saat ia harus berhadapan dengan Wisnu dalam jarak sedekat ini.Pelan-pelan, Aruna coba melepaskan
Pukul tiga dini hari saat Wisnu dikejutkan dengan suara rintihan pelan yang berasal dari sebelahnya. Pria itu menoleh dengan mata yang masih setengah terpejam."Kamu kenapa?" tanya pria itu dengan suara serak. "Perutku tiba-tiba saja terasa sakit," keluh Aruna sembari memegangi perut buncitnya.Omong-omong kandungan wanita itu saat ini sudah menginjak bulan ke sembilan. Dan menurut perkiraan Dokter, wanita itu akan melahirkan dua minggu dari sekarang.Pelan-pelan Wisnu coba bantu menenangkan, tangan besarnya ia gunakan untuk mengelus perlahan perut sang istri berharap dengan itu rasa sakit yang diderita bisa mereda."Perutku mulas," ucap Aruja tiba-tiba."Ayo, aku bantu ke kamar mandi."Saat Wisnu hendak membantu Aruna untuk bangun dari tidurnya, wanita itu terkejut saat mendapati kasur yang ditempatinya sebelumnya basah."Kamu mengompol?" tanya Wisnu."Air ketubannya pecah."Keduanya sempat terdiam sesaat, sebelum kemudian kepanikan melanda mereka. Wisnu dengan siap siaga memapah Ar
Dua tahu sudah semuanya berlalu. Seperti harapan yang terkabul, kehidupan Aruna dan keluarganya begitu baik semenjak hari itu.Anak-anak yang tumbuh sehat dan menggemaskan, perkembangan perusahaan yang kembali naik setelah terungkapnya rekaman percakapan rencana kriminal Celine yang tanpa sengaja bocor.Membuat para investor yang sebelumnya mencabut saham mereka dari perusahaan kembali bergabung bahkan menanam saham lebih besar dari sebelumnya.Juga soal pernikahan Aruna dan Wisnu. Keduanya memutuskan untuk membuat pesta resepsi sekaligus untuk mengumumkan pernikahan mereka pada khayalak ramai.Hal itu guna membersihkan nama Aruna dan meluruskan kesalahpahaman yang ada. Tentunya dengan menutup beberapa fakta jika sebenarnya Diandra yang meminta wanita itu untuk menjadi ibu pengganti.Seperti saat ini, Aruna yang tengah mengawasi David juga Nadine yang tengah bermain di halaman belakang tersentak saat sebuah pelukan mengejutkannya dari arah belakang.Itu adalah Wisnu. Pria itu baru saja
Wisnu yang merasa tidak tahan melihat adegan itu memilih keluar lebih dulu, membiarkan dua wanita itu saling menumpahkan perasaannya masing-masing."Tolong jaga Nadine, saat ini dirinya tidak memiliki siapapun lagi," kata mbak Riri setelah pelukan keduanya terlepas.Aruna mengangguk, wanita itu akan melakukan tugasnya dengan tulus karena jauh sebelum ia memikirkan permintaannya untuk mengadopsi Nadine, memang wanita itu sudah menyayangi Nadine selayaknya ia menyayangi David, anaknya sendiri."Pasti mbak, pasti. Aku juga sudah menganggap Nadine selayaknya anakku sendiri jauh sebelum ini.""Ya, aku percaya pada kalian. Maaf atas segala perbuatanku," kata wanita itu menunduk."Sudah, mbak. Setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan, yang harus dilakukan hanya berubah menjadi seseorang yang lebih baik di masa depan. Dan lagi, aku yakin bahwasanya Mbak Riri sebenarnya adalah orang yang baik."Belum sempat Mbak Riri menjawab perkataan Aruna, seorang sipir masuk dan berkata jika waktu merek
Wanita itu menatap ke arah Wisnu dengan sengit."Apa yang mbak lakukan? Kenapa mbak tega pada David?!" tanya Wisnu marah.Wanita itu tersenyum, Mbak Riri atau yang bernama asli Arini itu terkekeh kemudian tertawa terbahak-bahak. Ia menunjuk Wisnu dengan ibu jarinya."Karena orang sepertimu pantas mendapatkannya!" Amarah terpancar begitu jelas di wajah Mbak Riri, wanita itu seolah menyimpan dendam yang teramat besar kepada Wisnu."Apa kamu ingat dengan seorang gadis yang juga pelayan di rumah Celine? Gadis polos yang dengan bodohnya membantumu keluar dari rumah itu hanya karena beranggapan kamu adalah seorang lelaki baik-baik. APA KAMU MENGINGATNYA!!"Wisnu tersentak, ingatannya kembali terputar saat ia menjadi korban tawanan Celine saat itu.Tentu saja ia ingat, seorang gadis yang begitu baik mau membebaskannya meski taruhannya ia sendiri yang akan menjadi korban tabiat buruk Celine.Dan disaat itu ia teringat dengan janjinya pada gadis itu. Bahwa ia akan melindungi keluarganya dari
Tidak ada yang dilakukan Wisnu, ia hanya duduk diam dengan pandangan kosong ke arah depan.Kepalanya tidak bisa berpikir, ia tidak tahu apa ya g sebenarnya ada dalam hatinya sekarang. Semuanya terlalu bercampur aduk hingga ia sendiri tidak tahu apa yang jadi tujuannya saat ini.Ia tentu tidak ingin berpisah dari Aruna, mau bagaimanapun sejujurnya dirinya begitu mencintai wanita itu.Namun di sisi lain dirinya hanya takut, ia takut jika di masa depan Celine juga akan kembali melakukan hal gila lainnya, bahkan lebih.Memang, keadaan wanita itu juga tidak lebih baik daripada David. Ia mengalami pendarahan juga patah tulang yang cukup serius, namun rasa takut itu tentu masih ada dalam perasaan Wisnu saat ini.Ia hanya tidak ingin baik Aruna ataupun David akan menjadi korban lagi, sudah cukup untuk sekarang."Melamunkan apa?"Pria itu tersentak. Seorang pria paruh baya duduk di sebelahnya di depan ruang tunggu kamar VIP. Omong-omong beberapa jam yang lalu David sudah bisa dipindahkan ke r
"DAVID!!"Teriakan itu tidak terelakan, air mata turun begitu saja dari pelupuk mata si wanita. Ia meraung, melihat bagaimana buah hatinya harus menjadi korban dari perasaan egois seseorang.Wisnu yang juga ada di sana tampak tidak jauh berbeda. Pria itu sama terkejutnya, tidak menyangka dengan apa yang dilakukan Celine.Wanita itu benar-benar nekat.Melihat bagaimana histerisnya Aruna, Wisnu segera menahan wanita itu saat ia ingin mengikuti jejak Celine terjun ke bawah sana.Wisnu memeluk Aruna yang meraung keras, keduanya menangis hebat perasaan mereka hancur berkeping-keping.Tangisan Aruna belum juga reda, justru terdengar kian keras dan menyayat hati saat wanita itu melihat bagaimana tubuh mungil buah hatinya yang bersimbah darah tergeletak di atas brankar."David, sayang."Rasanya Aruna tidak mampu lagi untuk berdiri di atas kakinya, hingga tidak lama kemudian wanita itu ambruk tidak sadarkan diri.Wisnu yang juga masih menangis bersusah payah untuk membopong tubuh istrinya, mes
"Ada apa?" Aruna bertanya khawatir.Wisnu tidak langsung menjawab, pria itu justru langsung menggandeng tangan sang istri dan membawanya kembali ke lantai tempat mereka menginap.Melihat Wisnu yang tampak terburu-buru, membuat Aruna kebingungan. Namun tiap kali wanita itu bertanya, sang suami tidak menjawab apapun."Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu tampak terburu-buru?" Wisnu masih saja tidak mengatakan apapun sampai keduanya tiba di depan pintu kamar. Pria itu langsung masuk ke dalam dan membereskan barang-barang mereka dengan asal.Memasukan pakaian ke dalam koper juga beberapa barang lainnya dengan terburu."Wisnu, kamu kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi!"Tidak tahan, Aruna menyentak kegiatan sang suami yang tengah memasukan pakaian ke dalam koper. Ia memegang erat bahu sang suami dan menatap matanya dalam."Tenangkan dirimu, dan katakan apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Aruna dengan lebih tenang.Wisnu yang semula nampak begitu panik, berangsur-angsur mulai terlihat tenang. Ia
Tanpa terasa Aruna dan Wisnu telah menghabiskan waktu tiga hari di negara gingseng tersebut. Keduanya banyak menghabiskan waktu bersama dengan berjalan-jalan ke Namsan tower, sungai Han juga berburu jajanan kaki lima khas negeri yang begitu terkenal dengan budanya hiburannya tersebut.Saat itu malam pukul dua belas malam. Cuaca di kota Seoul begitu dingin karena memang waktu yang mulai memasuki musim gugur. Aruna sudah siap dengan pakaian tidurnya. Wanita itu terduduk di depan sebuah meja sembari mengoleskan skincare routine nya saat dari arah kamar mandi Wisnu muncul.Pria itu baru saja selesai membersihkan diri setelah hampir seharian keduanya berjalan-jalan juga bersenang-senang."Wangi sekali, istriku," kata Wisnu sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk.Aruna hanya terkekeh, ia kemudian meraih sebuah hairdryer dan mendekat ke arah sang suami yang terduduk di tepi ranjang.Ia mulai mengeringkan rambut hitam Wisnu dengan hati-hati juga teliti, sementara si lelaki sibuk mem
Malam hari berlalu dengan cepat. Pagi ini Aruna tengah disibukkan dengan acara memasak untuk bekal piknik David juga orang tuanya.Suasana rumah yang cukup sepi membuat tiap pergerakan Aruna terdengar cukup nyaring, juga bau masakan yang tercium hingga lantai atas.Pergerakan wanita itu terhenti saat tiba-tiba sepasang lengan kekar melingkar pada pinggang nya. Sejurus kemudian ia merasakan beban di bahu sebelah kiri.Wisnu, pria yang baru saja terbangun dari tidurnya itu bergelayut manja pada bahu sang istri, mencium dengan rakus aroma yang kian menjadi candu tiap harinya."Mandilah dulu, setelah itu antar David ke rumah Ayah dan Ibu," kata Aruna masih sembari menata makanan dalam wadah bekal.Wisnu hanya bergumam dengan suara serak, pria itu justru kian mengeratkan pelukannya juga sesekali menciumi leher sang istri yang menimbulkan sensasi geli."Hentikan, bagaimana jika dilihat David?""Tidak apa, anak itu akan senang jika memiliki seorang adik," sahut Wisnu ngawur."Lepaskan dulu,