Beberapa perabot rumah tangga nampak tergeletak sembarangan di depan pelataran sebuah rumah.
Sepasang suami istri tengah berlutut sambil memohon dan menangis pada seorang pria paruh baya yang diketahui sebagai seorang rentenir yang akan menyita rumah mereka sebagai pembayaran hutang beserta bunga.“Ku mohon, Tuan. Jangan ambil rumah kami, hanya ini harta kami satu-satunya,” ucap sang istri dengan dua tangannya yang terkatup di depan dada memohon.Sang rentenir hanya mendecih, ia menghisap sebatang rokok yang sejak tadi ada di mulutnya sebelum kemudian menghembuskan asapnya dengan perlahan.“Jika kau tidak ingin aku menyita rumahmu, maka lunasi dulu hutangmu. Dasar sialan,” maki sang rentenir dengan nada sinis.Sang kepala keluarga maju, ia memegang kaki sang rentenir dan kembali memohon dengan masih berlinang air mata.“Kami akan melunasinya secepatnya, kami janji. Tapi tolong berikan kami waktu,” ujarnya memohon.Kekehan kecil terdengar dari sela bibir si pria paruh baya. Wajahnya yang mulai berkerut nampak memicingkan mata saat netra nya tidak sengaja bersitatap dengan dua anak gadis sang kepala keluarga yang berdiri tidak jauh dari mereka.“Aku bisa saja memberikan kalian waktu,” ucapnya terjeda.Sekali lagi ia menarik dalam-dalam sebatang rokok sebelum kemudian menghembuskan asap dan merunduk. Mengatakan sesuatu kepada sang kepala keluarga dengan seringai yang masih nampak jelas di wajah tuanya.Setelah mendengar apa yang dibisikkan oleh sang rentenir, sang kepala keluarga membelalakkan matanya lebar. Ia menoleh ke arah dua putrinya yang tengah ketakutan dengan wajah yang sulit untuk dijelaskan.“Kau bisa mempertimbangkannya sekarang. Semua pilihan ada ditanganmu,” ucap sang rentenir.Sang kepala keluarga menunduk, ia mengabaikan sang istri yang sejak tadi memanggilnya untuk bertanya apa yang sudah dikatakan oleh sang rentenir.“Apa tidak ada cara lain, Tuan? Saya berjanji akan melunasinya dengan segera. Anda bisa meminta jaminan apa saja selain putri kami,” ucap sang kepala keluarga lagi-lagi memohon.Raut terkejut jelas terlihat di wajah semua anggota keluarga. Terlebih dua puteri mereka yang masih saja nampak ketakutan.“Semua pilihan dan keputusan ada di tanganmu. Aku akan memberimu waktu 3 hari, kau bisa melunasi hutangmu atau menjadikan salah satu Puteri mu sebagai jaminan,” kata sang rentenir final.Pria paruh baya itu kemudian meninggalkan rumah tersebut bersama beberapa anak buahnya setelah sebelumnya memberikan senyum nakal yang sebenarnya nampak begitu menjijikan.***Suasana ruang tamu saat itu begitu hening. Empat orang yang ada di sana hanya saling terdiam dengan pemikiran mereka masing-masing.“Apa yang akan kita lakukan?” tanya sang istri dengan wajah bingung juga khawatir.Tidak ada jawaban yang terdengar, sampai kemudian sebuah kursi tertarik diiringi dengan teriakan yang cukup keras dari salah satu puteri mereka.“Aku tidak mau menjadi jaminan. Aku tidak mau menjadi jaminan untuk kakek tua itu!” seru seorang gadis dengan tubuh ramping.Sementara seorang gadis lainnya hanya diam, ia yang semula melihat ke arah saudara perempuannya kemudian menunduk dan berujar.“Aku juga tidak mau!” ucapnya pelan namun penuh penekanan.Sang kepala keluarga terdengar menghela napas. Ia mengusap wajahnya sendiri juga memijat keningnya yang terasa berdenyut bukan main.“Kami juga tidak mau menjadikan kalian sebagai jaminan. Tapi apa yang bisa kami lakukan untuk melunasi hutang pada Tuan Hendra?!” ujar sang kepala keluarga dengan nada frustasi.“Tapi kita tidak bisa menjadikan Kinan ataupun Marsha sebagai jaminan. Tuan Hendra pasti akan menjadikan mereka sebagai istri muda!”“Aku juga tahu, tapi apa kita punya solusi lain? Kau punya uang untuk melunasi hutang pada Tuan Hendra?”Belum sempat ada yang menjawab pertanyaan sang kepala keluarga, lebih dulu terdengar suara pintu terbuka.Semua perhatian teralih pada seorang gadis yang baru saja datang dengan tas ransel yang tersampir di pundaknya.Gadis dengan rambut hitam gelap itu terdiam mematung saat seluruh anggota keluarganya melihat ke arahnya dengan wajah yang cukup sulit ditebak.“Bagaimana jika kita jadikan Aruna sebagai jaminan Tuan Hendra?” celetuk tiba-tiba dari sang Ibu membuat Aruna mengernyitkan alisnya bingung.Apa yang sebenarnya dimaksud? Jaminan? Untuk apa?“Ibu benar. Kita bisa menjadikan Aruna sebagai jaminan untuk Tuan Hendra, dan dengan begitu kita juga punya waktu untuk membayar hutang. Atau bahkan hutang kita juga bisa dianggap lunas,” sahut Kinan dengan wajah antusias.“Kalian benar. Aruna, maafkan kami,” ucap sang kepala keluarga kemudian.Aruna yang masih belum mengerti dengan apa yang sebenarnya tengah dibicarakan oleh keluarganya kemudian menyahut.“Jaminan apa? Kenapa aku?” tanya nya dengan suara lirih.“Kau akan menjadi jaminan untuk Tuan Hendra. Dengan begitu kita memiliki waktu untuk membayar hutang atau malah bisa jadi hutang keluarga kita akan dianggap lunas,” terang sang kepala keluarga.Aruna yang mendengar hal tersebut hanya bisa terdiam. Otaknya masih tidak bisa mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh sang Ayah.“Kalian, menjual ku?” tanyanya dengan suara lirih.“Tidak. Kau hanya akan menjadi jaminan supaya kami memiliki waktu untuk melunasi hutang, hanya itu,” sahut sang saudara perempuan dengan entengnya.“Bukankah selama ini aku sudah memberikan uang untuk mencicil hutang? Apa itu masih belum bisa untuk membayar hutang-hutang kita?” tanya Aruna dengan suara parau.Jujur saja ia sakit hati. Selama ini ia sudah bekerja keras dengan bekerja paruh waktu bahkan hingga larut malam untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan juga hutang mereka.Bahkan tidak jarang ia juga harus pulang pagi buta guna mendapatkan uang tambahan meski ia tidak pernah merasakan hasil kerja kerasnya sendiri.Iya. Aruna tidak pernah merasakan pundi-pundi uang yang sudah ia hasilkan dari bekerja siang dan malam.Semua uang yang selama ini ia hasilkan selalu diambil secara keseluruhan oleh sang Ibu dengan berdalih untuk mencicil hutang keluarga mereka pada Tuan Hendra.“Apa kau pikir hasil pekerjaanmu yang tidak seberapa itu bisa melunasi semua hutang? Tidak! Kau harusnya berterima kasih karena aku sudah mau mengatur uangmu yang tidak seberapa itu,” ucap sang ibu dengan nada meremehkan.Aruna memejamkan matanya sejenak, rasanya sakit, sangat sakit.“Itu akan cukup jika saja Ibu benar-benar membayar hutang dan tidak menggunakan semua uang itu untuk memanjakan Kak Kinan!” ujar Aruna dengan tangan yang terkepal di samping tubuh.Memang, selama ini hasil kerja keras yang dikatakan sang Ibu untuk membayar hutang justru wanita itu gunakan untuk memanjakan sang anak tengah. Kinan Wulandari.Hampir setiap Aruna memberikan –terpaksa- uang hasil kerja kerasnya, maka malam harinya sang ibu juga sang kakak perempuannya akan berbelanja banyak makanan siap santap tanpa merasa bersalah.Nyonya Rini meradang. Dengan cepat wanita itu berjalan ke arah sang puteri bungsu dan menatapnya nyalang sebelum kemudian wanita itu melayangkan sebuah tamparan keras di pipi kanan Aruna hingga membuat sudut bibir gadis itu mengeluarkan darah.Aruna tersenyum miring dengan satu tangannya yang ia gunakan untuk memgangi pipi sebelah kanan.Rasa perih juga panas yang menjalar di pipinya saat ini tidaklah sebanding dengan rasa sakit hati yang dirasakannya saat ini. Meski sudah sejak dulu ia mendapat perlakuan kurang menyenangkan juga dibedakan oleh orang tuanya, namun kali ini semuanya terasa jauh lebih jelas.Untuk pertama kalinya, selain kekerasan secara lisan ia juga mendapatkan kekerasan secara fisik. “Dasar anak tidak tahu diri. Harusnya kau merasa beruntung aku mau merawat mu hingga kini, kau harusnya berterima kasih dan menganggap apa yang ku katakan tadi sebagai bentuk balas budi!” seru Nyonya Rini dengan marah.Aruna hanya diam dengan kepala tertunduk dalam. Ia tidak memiliki tenaga bahkan hanya intuk sekadar membalas apa yang sudah dikatakan sang Ibu.Gadis itu mendongakkan kepalanya pelan. Mata sayu nya menatap ke arah tiga orang lainnya yang juga tengah melihat ke arahnya dengan ekspresi yang berbeda-beda.Sang Ay
Lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Chandra itu tersenyum. Ia menghampiri Tuan Hendra yang nampak tidak suka dengan kehadirannya.“Ku dengar keluarga Tuan Wijayamemiliki sejumlah hutang kepada Anda,” ucapnya dengan nada lirih.Tuan Hendra berdecih. Pria tua itu terlihat jelas meremehkan pria muda di hadapannya ini.“Lalu apa urusannya denganmu? Anak muda jaman sekarang memang tidak memiliki sopan santun, suka sekali ikut campur urusan orang lain,” sahutnya dengan nada remeh."Aku ingin melunasinya.”Semua orang yang ada di sana terkejut mendengar penuturan Chandra. Sedangkan pria itu sendiri hanya berekspresi biasa dengan senyum cerah yang masih belum hilang dari wajahnya.“Apa kau yakin?” itu bukan Tuan Hendra yang bertanya, melainkan Nyonya Rini.Wanita baya itu mendekat ke arah Chandra dan bertanya dengan ekspresi terkejut yang nampak begitu jelas.Tidak ada kata apapun yang terucap dari bibir Chandra saat itu, hanya sebuah anggukan ringan yang mewakili jawaban yang diberikanny
Aruna tersentak kemudian kembali menoleh ke arah Chandra yang masih tetap diam di posisinya.Pria itu menghela napas kasar kemudian mendekat ke arah Aruna dan menepuk bahu gadis itu pelan sebelum kemudian berkata sesuatu.“Seperti yang kau katakan sebelumnya, tidak ada yang gratis di dunia ini,” ucapnya dengan senyum tipis yang saat ini terlihat begitu menjengkelkan di mata Aruna.“Apa kau sengaja melakukannya?” pertanyaan yang meluncur bebas dari mulut Aruna membuat Chandra terdiam sebentar. Gadis itu melanjutkan kemudian.“Kau sengaja melunasi hutang keluargaku dengan nominal yang jauh lebih besar agar kau bisa menggunakannya untuk menjebakku. Sebenarnya apa yang kau rencanakan!” teriakan Aruna membuat Chandra tersentak.Pria itu kemudian berpikir sejenak sebelum kemudian menanyakan sesuatu pada si gadis.“Jadi hutang keluargamu tidak sejumlah tujuh puluh juta?” Pertanyaan bodoh yang membuat Aruna mengerang frustasi. Ingin rasanya ia mematahkan leher pria di hadapannya saat ini yan
Aruna menoleh ke arah Chandra, melihat pria muda itu dengan tatapan bertanya.“Tidak usah berbicara omong kosong,” ucapnya dengan suara lirih.“Aku serius dengan perkataan ku. Kau bisa menempati apartemen ku yang ada di Surabaya dan memulai hidup baru mu di sana. Jauh dari keluarga mu,” sahut Chandra tenang.Pria itu kemudian mengeluarkan selembar kartu nama miliknya dan memberikannya kepada Aruna sebelum kemudian ia bangkit dan melangkah pergi lebih dulu.Meninggalkan Aruna yang masih saja terdiam dengan wajah kebingungan.Gadis itu beranjak kembali ke rumah dengan beragam pertanyaan yang muncul di benaknya. Ia bertanya-tanya soal mengapa Chandra seolah memaksanya untuk menikah dengan Wisnu terlepas dari uang yang sudah ia gunakan untuk membayar hutang keluarganya.Perkataan terakhir Chandra membuat pertanyaan Aruna kian bertambah besar.Apa yang sebenarnya Chandra maksud. Ia terdengar peduli, atau hanya kasihan. Tapi, untuk apa?Langkah Aruna sempat terhenti saat Ibu dan saudari ka
Setelah mendengar perkataan Chandra, di sinilah mereka pada akhirnya.Sebuah hotel mewah yang terletak di tengah kota Jakarta. Aruna masih saja diam berdiri di depan pintu utama gedung, gadis itu bahkan tertinggal dari Chandra yang sudah masuk ke dalam sana."Untuk malam ini kita akan…," perkataan Chandra tertahan saat ia menyadari Aruna tidak ada di belakangnya.Ia menoleh dan mendapati gadis itu tertinggal. Kemudian pria itu menghela napas dan menghampirinya."Apa yang kau pikirkan?" tanya Chandra membuat Aruna tersentak.Ia menggeleng kecil, berusaha menghindari tatapan mata Chandra yang menatapnya dengan penuh selidik."Ayo."Aruna tersentak, ia menatap ke arah tangannya yang saat ini tengah digandeng oleh Chandra. Membuatnya mau tidak mau mengikuti pria itu.Tidak ada yang dilakukan Aruna di depan meja resepsionis, ia hanya diam menunggu Chandra selesai memesan kamar untuk mereka."Hanya tersisa satu kamar. Sebaiknya aku mencari hotel lain saja," ucap Chandra menghampiri Aruna.
Pukul sepuluh saat Aruna dan Chandra keluar dari hotel tempat mereka menginap. Di parkiran sudah terparkir sebuah mobil SUV hitam yang menunggu mereka berdua."Terima kasih," ucap Aruna gugup saat Chandra membukakan pintu mobil bagian penumpang untuknya.Ia masih belum terbiasa mendapatkan perlakuan demikian oleh orang lain, terlebih ia dan Chandra hanyalah dua orang asing yang bertemu belum lama."Pak, saya mendapat pesan dari Tuan Wisnu untuk menyampaikan berkas ini pada Pak Chandra dan Nona Aruna."Sang supir menyerahkan dua map ke arah Chandra yang duduk di kursi belakang bersama Aruna. Pria itu mengernyit, ia menerima berkas tersebut yang rupanya berisi perjanjian kontrak antara Wisnu dan Aruna."Memangnya Wisnu kemana?" tanya Chandra penasaran."Kurang tahu, Pak. Saya hanya menyampaikan pesan saja," sahut Sang supir yang diangguki oleh Chandra."Kalau begitu, antarkan kami ke cafe dekat kantor saja, pak," pinta Chandra dengan sopan.Tidak lama kemudian mobil yang ditumpangi mer
Dehaman Chandra jadi suara pertama yang terdengar setelah beberapa saat. Baik Wisnu maupun Aruna sama-sama saking mengalihkan pandangan dengan raut berbeda.Aruna, gadis itu menghela napas gugup juga terbatuk kecil. Sementara Wisnu, pria itu tampak santai seolah tidak terjadi sesuatu."Nah, karena kalian sudah benar-benar bertemu. Dan kau, Aruna. Kau juga sudah melihat soal surat kontrak perjanjian, jadi sekarang bisa kita lanjutkan ke tahap selanjutnya?"Aruna terdiam mendengar perkataan Chandra. Entah untuk yang keberapa kali, perasaan ragu itu hinggap di hatinya. Meski ia tahu apa yang ia lakukan saat ini takkan dipedulikan oleh orang tua juga keluarganya, namun perasaan ragu itu terus membuatnya resah.Pertanyaan sama yang terus muncul di kepalanya seolah seperti kaset rusak yang begitu sulit untuk diperbaiki.Apa yang ia lakukan saat ini sudah benar? Apa tindakannya bukanlah sebuah kesalahan? "Aruna?Ia terkejut saat tangan Chandra melambai di depan wajahnya. Gadis itu tergagap
“Apa kau akan terus melanjutkan rencana gilamu, itu?” Wisnu bertanya dingin.Ekspresi pria itu datar dengan pandangan lurus ke arah sang istri.“Kenapa? Kau masih ingin terus memaksa ku untuk hamil dan melahirkan seorang anak? Bukannya dulu kau selalu mengatakan tidak apa jika kita tidak memiliki anak, kau bilang hidup bersama ku sudah lebih dari cukup,” balas Diandra santai.Dulu, lebih tepatnya sewaktu Wisnu melamar Diandra.Wanita itu pernah menyinggung soal keturunan, ia pernah mengatakan pada Wisnu jika mungkin saja mereka tidak akan memiliki anak setelah menikah nantinya, dan Wisnu menjawab jika ia tidak merasa keberatan dengan hal itu.Pria itu mengtakan jika ia tidak terlalu memikirkan soal keturunan, ia akan mengikuti pilihan Diandra jika memang dirinya tidak ingin atau mungkin saat itu Wisnu berpikir belum, ingin memiliki seorang anak.Namun keadaan berbalik setelah keduanya menikah selama beberapa waktu. Keluarga terus mendesak agar mereka lekas memiliki anak, dan dari sana
Pukul tiga dini hari saat Wisnu dikejutkan dengan suara rintihan pelan yang berasal dari sebelahnya. Pria itu menoleh dengan mata yang masih setengah terpejam."Kamu kenapa?" tanya pria itu dengan suara serak. "Perutku tiba-tiba saja terasa sakit," keluh Aruna sembari memegangi perut buncitnya.Omong-omong kandungan wanita itu saat ini sudah menginjak bulan ke sembilan. Dan menurut perkiraan Dokter, wanita itu akan melahirkan dua minggu dari sekarang.Pelan-pelan Wisnu coba bantu menenangkan, tangan besarnya ia gunakan untuk mengelus perlahan perut sang istri berharap dengan itu rasa sakit yang diderita bisa mereda."Perutku mulas," ucap Aruja tiba-tiba."Ayo, aku bantu ke kamar mandi."Saat Wisnu hendak membantu Aruna untuk bangun dari tidurnya, wanita itu terkejut saat mendapati kasur yang ditempatinya sebelumnya basah."Kamu mengompol?" tanya Wisnu."Air ketubannya pecah."Keduanya sempat terdiam sesaat, sebelum kemudian kepanikan melanda mereka. Wisnu dengan siap siaga memapah Ar
Dua tahu sudah semuanya berlalu. Seperti harapan yang terkabul, kehidupan Aruna dan keluarganya begitu baik semenjak hari itu.Anak-anak yang tumbuh sehat dan menggemaskan, perkembangan perusahaan yang kembali naik setelah terungkapnya rekaman percakapan rencana kriminal Celine yang tanpa sengaja bocor.Membuat para investor yang sebelumnya mencabut saham mereka dari perusahaan kembali bergabung bahkan menanam saham lebih besar dari sebelumnya.Juga soal pernikahan Aruna dan Wisnu. Keduanya memutuskan untuk membuat pesta resepsi sekaligus untuk mengumumkan pernikahan mereka pada khayalak ramai.Hal itu guna membersihkan nama Aruna dan meluruskan kesalahpahaman yang ada. Tentunya dengan menutup beberapa fakta jika sebenarnya Diandra yang meminta wanita itu untuk menjadi ibu pengganti.Seperti saat ini, Aruna yang tengah mengawasi David juga Nadine yang tengah bermain di halaman belakang tersentak saat sebuah pelukan mengejutkannya dari arah belakang.Itu adalah Wisnu. Pria itu baru saja
Wisnu yang merasa tidak tahan melihat adegan itu memilih keluar lebih dulu, membiarkan dua wanita itu saling menumpahkan perasaannya masing-masing."Tolong jaga Nadine, saat ini dirinya tidak memiliki siapapun lagi," kata mbak Riri setelah pelukan keduanya terlepas.Aruna mengangguk, wanita itu akan melakukan tugasnya dengan tulus karena jauh sebelum ia memikirkan permintaannya untuk mengadopsi Nadine, memang wanita itu sudah menyayangi Nadine selayaknya ia menyayangi David, anaknya sendiri."Pasti mbak, pasti. Aku juga sudah menganggap Nadine selayaknya anakku sendiri jauh sebelum ini.""Ya, aku percaya pada kalian. Maaf atas segala perbuatanku," kata wanita itu menunduk."Sudah, mbak. Setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan, yang harus dilakukan hanya berubah menjadi seseorang yang lebih baik di masa depan. Dan lagi, aku yakin bahwasanya Mbak Riri sebenarnya adalah orang yang baik."Belum sempat Mbak Riri menjawab perkataan Aruna, seorang sipir masuk dan berkata jika waktu merek
Wanita itu menatap ke arah Wisnu dengan sengit."Apa yang mbak lakukan? Kenapa mbak tega pada David?!" tanya Wisnu marah.Wanita itu tersenyum, Mbak Riri atau yang bernama asli Arini itu terkekeh kemudian tertawa terbahak-bahak. Ia menunjuk Wisnu dengan ibu jarinya."Karena orang sepertimu pantas mendapatkannya!" Amarah terpancar begitu jelas di wajah Mbak Riri, wanita itu seolah menyimpan dendam yang teramat besar kepada Wisnu."Apa kamu ingat dengan seorang gadis yang juga pelayan di rumah Celine? Gadis polos yang dengan bodohnya membantumu keluar dari rumah itu hanya karena beranggapan kamu adalah seorang lelaki baik-baik. APA KAMU MENGINGATNYA!!"Wisnu tersentak, ingatannya kembali terputar saat ia menjadi korban tawanan Celine saat itu.Tentu saja ia ingat, seorang gadis yang begitu baik mau membebaskannya meski taruhannya ia sendiri yang akan menjadi korban tabiat buruk Celine.Dan disaat itu ia teringat dengan janjinya pada gadis itu. Bahwa ia akan melindungi keluarganya dari
Tidak ada yang dilakukan Wisnu, ia hanya duduk diam dengan pandangan kosong ke arah depan.Kepalanya tidak bisa berpikir, ia tidak tahu apa ya g sebenarnya ada dalam hatinya sekarang. Semuanya terlalu bercampur aduk hingga ia sendiri tidak tahu apa yang jadi tujuannya saat ini.Ia tentu tidak ingin berpisah dari Aruna, mau bagaimanapun sejujurnya dirinya begitu mencintai wanita itu.Namun di sisi lain dirinya hanya takut, ia takut jika di masa depan Celine juga akan kembali melakukan hal gila lainnya, bahkan lebih.Memang, keadaan wanita itu juga tidak lebih baik daripada David. Ia mengalami pendarahan juga patah tulang yang cukup serius, namun rasa takut itu tentu masih ada dalam perasaan Wisnu saat ini.Ia hanya tidak ingin baik Aruna ataupun David akan menjadi korban lagi, sudah cukup untuk sekarang."Melamunkan apa?"Pria itu tersentak. Seorang pria paruh baya duduk di sebelahnya di depan ruang tunggu kamar VIP. Omong-omong beberapa jam yang lalu David sudah bisa dipindahkan ke r
"DAVID!!"Teriakan itu tidak terelakan, air mata turun begitu saja dari pelupuk mata si wanita. Ia meraung, melihat bagaimana buah hatinya harus menjadi korban dari perasaan egois seseorang.Wisnu yang juga ada di sana tampak tidak jauh berbeda. Pria itu sama terkejutnya, tidak menyangka dengan apa yang dilakukan Celine.Wanita itu benar-benar nekat.Melihat bagaimana histerisnya Aruna, Wisnu segera menahan wanita itu saat ia ingin mengikuti jejak Celine terjun ke bawah sana.Wisnu memeluk Aruna yang meraung keras, keduanya menangis hebat perasaan mereka hancur berkeping-keping.Tangisan Aruna belum juga reda, justru terdengar kian keras dan menyayat hati saat wanita itu melihat bagaimana tubuh mungil buah hatinya yang bersimbah darah tergeletak di atas brankar."David, sayang."Rasanya Aruna tidak mampu lagi untuk berdiri di atas kakinya, hingga tidak lama kemudian wanita itu ambruk tidak sadarkan diri.Wisnu yang juga masih menangis bersusah payah untuk membopong tubuh istrinya, mes
"Ada apa?" Aruna bertanya khawatir.Wisnu tidak langsung menjawab, pria itu justru langsung menggandeng tangan sang istri dan membawanya kembali ke lantai tempat mereka menginap.Melihat Wisnu yang tampak terburu-buru, membuat Aruna kebingungan. Namun tiap kali wanita itu bertanya, sang suami tidak menjawab apapun."Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu tampak terburu-buru?" Wisnu masih saja tidak mengatakan apapun sampai keduanya tiba di depan pintu kamar. Pria itu langsung masuk ke dalam dan membereskan barang-barang mereka dengan asal.Memasukan pakaian ke dalam koper juga beberapa barang lainnya dengan terburu."Wisnu, kamu kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi!"Tidak tahan, Aruna menyentak kegiatan sang suami yang tengah memasukan pakaian ke dalam koper. Ia memegang erat bahu sang suami dan menatap matanya dalam."Tenangkan dirimu, dan katakan apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Aruna dengan lebih tenang.Wisnu yang semula nampak begitu panik, berangsur-angsur mulai terlihat tenang. Ia
Tanpa terasa Aruna dan Wisnu telah menghabiskan waktu tiga hari di negara gingseng tersebut. Keduanya banyak menghabiskan waktu bersama dengan berjalan-jalan ke Namsan tower, sungai Han juga berburu jajanan kaki lima khas negeri yang begitu terkenal dengan budanya hiburannya tersebut.Saat itu malam pukul dua belas malam. Cuaca di kota Seoul begitu dingin karena memang waktu yang mulai memasuki musim gugur. Aruna sudah siap dengan pakaian tidurnya. Wanita itu terduduk di depan sebuah meja sembari mengoleskan skincare routine nya saat dari arah kamar mandi Wisnu muncul.Pria itu baru saja selesai membersihkan diri setelah hampir seharian keduanya berjalan-jalan juga bersenang-senang."Wangi sekali, istriku," kata Wisnu sembari mengusap rambut basahnya dengan handuk.Aruna hanya terkekeh, ia kemudian meraih sebuah hairdryer dan mendekat ke arah sang suami yang terduduk di tepi ranjang.Ia mulai mengeringkan rambut hitam Wisnu dengan hati-hati juga teliti, sementara si lelaki sibuk mem
Malam hari berlalu dengan cepat. Pagi ini Aruna tengah disibukkan dengan acara memasak untuk bekal piknik David juga orang tuanya.Suasana rumah yang cukup sepi membuat tiap pergerakan Aruna terdengar cukup nyaring, juga bau masakan yang tercium hingga lantai atas.Pergerakan wanita itu terhenti saat tiba-tiba sepasang lengan kekar melingkar pada pinggang nya. Sejurus kemudian ia merasakan beban di bahu sebelah kiri.Wisnu, pria yang baru saja terbangun dari tidurnya itu bergelayut manja pada bahu sang istri, mencium dengan rakus aroma yang kian menjadi candu tiap harinya."Mandilah dulu, setelah itu antar David ke rumah Ayah dan Ibu," kata Aruna masih sembari menata makanan dalam wadah bekal.Wisnu hanya bergumam dengan suara serak, pria itu justru kian mengeratkan pelukannya juga sesekali menciumi leher sang istri yang menimbulkan sensasi geli."Hentikan, bagaimana jika dilihat David?""Tidak apa, anak itu akan senang jika memiliki seorang adik," sahut Wisnu ngawur."Lepaskan dulu,