“Serius lo nggak papa?”Sekali lagi, Gilang bertanya pada Damay tentang kondisi gadis itu. Sedari Gilang menjemput Damay di kos, gadis itu lebih terlihat diam dan murung. Entah apa yang terjadi, karena Damay seolah enggan berbagi masalahnya pada Gilang. Meski sudah didesak bagaimanapun, Damay hanya mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.“Kalau nggak enak badan, kita bisa ke dokter bentar. Atau, lo mau pulang juga nggak papa,” tambah Gilang khawatir.Damay melepas sabuk pengaman dengan memberi senyum kecil pada Gilang. Bagi Damay, pria yang selalu saja mengantar jemputnya itu terlalu baik. Perhatian, dan selalu membuat Damay nyaman di mana pun mereka berada. Selain itu, Gilang juga termasuk pria yang sopan dan tidak pernah bersikap kurang ajar kepada Damay. Namun, karena ucapan Bumi mengenai
“Keluar dari Jurnal, dan menjauh dari Bumi.”Damay kembali menjaga jarak, tapi masih di sofa yang sama setelah mendengar permintaan Banyu. Damay bisa menjauh dari Bumi dan sudah melakukan hal tersebut. Namun, ia tidak bisa sekonyong-konyong keluar dari Jurnal. Ada kontrak kerja yang harus Damay tepati selama beberapa bulan ke depan.“Sebentar, Bapak bilang mau bicara dengan ibu Kyla, tapi kenapa pak Adam bilang kalau ibu Kyla sudah nggak ada?” Ada hal yang harus Damay perjelas terlebih dahulu. Damay tidak tahu, siapa yang berbohong dengannya. Apakah Banyu, atau Adam?“Terserah.” Banyu sudah memegang sebuah kartu kemenangan di sini, karena itu ia bisa bertindak sesuka hati. “Kamu bisa percaya dengan pak Adam, dan lupakan Kyla.”“Bapak itu cuma penampilannya aja yang kelihatan berpendidikan, tapi, mulut Bapak harus dikasih makan bangku sekolah lebih lama.”“Kamu—”“Ibu Kyla Mulia!” potong Damay menyebut nama lengkap sang ibu dengan tetap bersikap santai. Ia tidak ingin terpancing dan ha
Damay mengeratkan gengaman tangannya pada ponsel. Melihat sebuah nomor asing masuk, dan tertera sebuah video di dalamnya. Hanya satu video, dan Damay yakin putaran adegan yang kini tengah Damay unduh adalah kiriman dari Banyu.Setelah semua data sudah terunduh sempurna, tangan Damay justru bergetar ketika hendak menyentuh layar ponselnya. Bagaimana bila Banyu benar, dan Kyla ternyata masih hidup seperti ucapan pria itu.Damay sampai tidak bisa berpikir. Ia menelan ludah, kemudian beranjak menuju toilet kantor. Masuk ke dalamnya, lalu duduk pada kloset yang berada di sana. Damay menarik napas panjang untuk menenangkan diri sejenak, lalu kembali menyalakan ponselnya ketika siap.Banyu benar! Kyla masih hidup!Meskipun wajah itu sudah terlihat berbeda dan tidak sekencang dulu, tapi kecantikan sang ibu masih saja terpancar dengan jelas. Namun, satu hal yang membuat jemari Damay bergetar, diikuti dengan detak jantung yang melonjak hebat.Sang ibu, saat ini memakai … baju tahanan.Apa ini?
“Maaf Mbak, apa makan siangnya sudah bisa disajikan sekarang?” Pertanyaan dari seorang pelayan resto langsung menyela lamunan Damay. Ia tahu kalau Adam sudah pergi dan meninggalkannya dalam kegamangan, tapi, Damay sama sekali tidak memesan makanan apapun untuk di makan. Sedari tadi, Damay masih duduk termenung di tempat yang sama, untuk memikirkan rencana selanjutnya. “Makan siang?” Damaya bertanya bingung. “Saya nggak pesan apa-apa, Mbak.” “Tapi—” “Bawa masuk makan siangnya,” ujar seorang pria yang baru melewati pintu dan langsung duduk di kursi yang sempat ditempati oleh Adam. Pria itu menatap tajam pada Damay, tanpa keramahan sama sekali. “Baik, Pak. Permisi.” “Jadi, bagaimana? Sudah tahu siapa yang bohong di sini?” Banyu melirik sekilas pada pelayan yang berjalan keluar dari ruang VIP mereka. Damay enggan menjawab. Ia lebih suka mendiamkan Banyu, agar pria pongah itu tidak merasa bahwa dirinya penting bagi Damay. Biarkan saja Banyu mengoceh sendiri, dan nantinya akan salah t
Damay mengulas senyum kecil pada seorang pria yang berdiri dan bersandar pada pintu mobil. Setelah menutup kembali pagar kosnya, Damay segera menghampiri pria yang langsung menegakkan tubuhnya. Dari wajah pria itu saja, Damay bisa melihat gurat lelah yang amat sangat. Harusnya, pria itu langsung pulang ke rumahnya, bukan datang ke kos Damay seperti sekarang.“Ngapain malam-malam ke sini?” tanya Damay sedikit canggung dan menjaga jarak. “Kak Gilang harusnya pulang, istirahat.”“Hidungmu kenapa merah?” Bukannya menjawab, Gilang justru mempertanyakan hal lain. Karena mobilnya terparkir tepat di bawah lampu jalan, maka ia bisa melihat wajah Damay dengan jelas.“Oh.” Tangan Damay reflek menyentuh hidungnya sebentar. “Pilek, kehujanan dikit siang tadi.”Gara-gara Banyu, Damay harus menunggu hujan reda dengan berdiri di luar gedung restoran. Karena Damay tidak memesan makanan sama sekali, maka dirinya merasa sungkan jika harus menunggu di dalam tempat makan tersebut. “Kehujanan?” Gilang men
Meskipun ada perasaan canggung, tapi Damay berusaha menepis dan berusaha bersikap profesional dengan Gilang. Lagi-lagi, pagi ini pria itu menjemputnya setelah seharian Damay beristirahat dan tidak masuk bekerja.“Kita langsung ke Balai Kota,” ucap Gilang seraya membukakan pintu mobil untuk Damay. “Bang Ade sudah OTW ke sana juga.”“Kok, saya yang ikut ke sana.” Damay berhenti sebentar di celah pintu. “Harusnya, kan—”“Doni lagi ngurus acara yang lain,” putus Gilang menyentuh punggung Damay, dan mendorongnya perlahan agar segera masuk ke dalam mobil. “Lo yang nemenin gue seharian di luar hari ini.”Gilang menutup pintu setelah Damay duduk di dalamnya. Mengitari mobil dengan berlari, karena memburu waktu dengan kemacetan pagi.“Oia, nanti kita juga datang ke beberapa pihak sponsor,” lanjut Gilang setelah masuk, lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. “Jadi, tolong hubungi Agni untuk data sponsor yang gue minta kemarin.”Damay mengangguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk meng
Setelah mematikan mesin mobil, Gilang kemudian menjatuhkan sisi wajahnya di atas setir. Menatap Damay yang baru melepas sabuk pengaman.“May—”“Temenan aja.” Damay sudah tahu apa yang akan diungkapkan oleh Gilang. “Enakan temenan. Nggak bakalan putus-putus.”“Siapa bilang nggak bakal putus,” sanggah Gilang. “Teman itu bisa jadi musuh.”“Saya nggak mau jadi musuhnya Kak Gilang, jadi nggak usah musuhan, kayak anak kecil aja.” Damay tertawa kecil lalu keluar dari mobil lebih dulu. Sejak Gilang memintanya untuk menjadi kekasih pria itu, Damay selalu memberi jawaban yang sama. Lebih baik mereka berteman, dan tidak melewati batasan tersebut.“Damay.” Gilang segera menyusul gadis itu, dan menyamakan langkah mereka menuju gedung Jurnal. “Teman tapi mesra.”Damay kembali tertawa pelan atas usul Gilang. “Nggak enak, entar baper nggak ada status. Kan, sedih. Jadi makan ati.”“Jalani dulu, May.”Damay berhenti tepat di tengah pelataran gedung. “Kak Gilang itu baik. Tapi, setelah kontrak sama Jurn
“Cerai?”Damay mengangguk menjawab ucapan Isma. Wanita itu dan suaminya, sudah sampai di hotel sejak petang tadi, dan Damay pun tidak ingin membuang waktu untuk bertemu dengan Isma untuk melepas rindu. Tidak hanya itu, Damay pun harus mengatakan semua hal yang terjadi antara dirinya dan Bumi setelah mereka tiba di Jakarta kepada Isma.Namun, malam ini Damay hanya bertemu dengan Isma seorang di kamarnya, karena Angga pun juga tengah menemui teman-teman lamanya di rooftop hotel.“Tapi, belum pernah nyampur, kan?” tambah Isma ingin memastikan kejelasan status Damay saat ini. Saking penasarannya, Isma sampai berdiri dari tempatnya, lalu mengangkat kursi besi di balkon untuk di letakkan di depan Damay. Isma lantas duduk bersila, untuk mendengar penuturan gadis itu“Ohh …” Damay langsung tertawa geli, menanggapi pertanyaan wanita yang sudah menjadi tetangganya sejak kecil. “Nggaklah, Kak. Mana mau cowok macam dia tu, mau sama cewek macam aku ni.”“Eh, kenapa pina kek itu? Kam, tuh bungas Di
Halu Mba beb ... Kita langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Bukan Istri Sah. Plus, yang sudah ngasih usulan nama anaknya pak Banyu yaa. Amee la : 1.000 koin GN + pulsa 200rb ArPi Kim : 750 koin GN + pulsa 150 rb Zee Sandi : 500 koin GN + pulsa 100 rb Tralala : 350 koin GN + pulsa 50 rb Tyarini : 250 koin Gn + pulsa 25 rb RiztyrieM : 150 koin Gn + pulsa 20 rb Sila klaim via DM ke igeh saia yaa, @kanietha_ dan jangan lupa untuk follow lebih duluuh yaa. Atas semua atensinya untuk pak Banyu juga Damay, saia ucapkan terima kasih banyak-banyak. Kiss so muuch ....PS : Saia tunggu sampe tangga 28 Sept '22 pukul 12.00 siang hari yakk.Kalau masih belum setor, saia anggap HANGUS.🙏🙏🙏
“Haloo, cucu Eyang …” Airin langsung mengambil alih bayi tampan yang semakin menggemaskan dari gendongan Damay. Mengangkatnya setinggi kepala, lalu memberi ciuman gemas pada kedua pipi gembilnya. Bayi mungil yang sudah berusia tiga bulan itu, hanya bisa tertawa geli dengan ulah wanita yang sudah menganggapnya sebagai cucu sendiri. “Kamu titip sini aja sama Eyang, ya!” seru Airin berbicara pada bayi yang tersenyum melihatnya. “Biar daddy sama mami aja yang ke Kalimantan, sekalian bulan madu.” Seno menggeleng melihat tingkah istrinya, yang memang sangat merindukan seorang cucu. Tidak hanya Airin sebenarnya, tapi Seno juga berharap hal yang sama. Namun, apa mau dikata jika Bumi dan Tari masih belum kunjung diberi keturunan hingga saat ini. Keduanya sudah mengikuti program hamil dan menjalankan semua perintah dari dokter, tapi, sampai saat ini masih belum berhasil. Sejenak, Seno sempat berpikir. Bagaimana bila Damay dahulu kala benar-benar menjadi menantunya. Akan tetapi, Seno dengan s
Malam yang penuh ketegangan itu, akhirnya bisa dilewati Damay dan Banyu dengan rasa lega. Hanya berdua tanpa keluarga, dan benar-benar buta akan semua hal. Mereka hanya mengandalkan petunjuk dan perintah dokter, serta para perawat yang bertugas untuk mengecek kondisi Damay.Setelah ini, Banyu hanya akan memfokuskan diri dengan keluarga kecilnya. Baru kali ini Banyu benar-benar menghadapi semua ketegangan seorang diri. Tanpa support dari keluarga, yang dahulu kala pernah ia bela mati-matian. Hampir seluruh hidup Banyu, sudah ia curahkan pada Selly, maupun Tari. Namun, tidak satu pun dari keduanya datang, atau paling tidak, menghubungi Banyu melalui panggilan telepon.Hanya ada Adam, yang sesekali mengirimkan pesan untuk bertanya mengenai proses kelahiran cucunya. Sementara yang lain, seolah tenggelam bak ditelan bumi.Justru, orang lainlah yang kini terasa seperti keluarga bagi Banyu. Ada Airin, yang langsung menelepon pagi itu, ketika Damay mengabarkan bahwa sang bayi laki-lakinya sud
“Tarik napas.” Damay mengikuti instruksi Banyu, ketika kontraksinya mulai kembali datang. Sejak pria itu kembali dari kantor, yang dilakukan Damay hanyalah menempel pada sang suami. Saat kontraksi itu datang, yang diinginkan Damay hanya berada di dalam pelukan Banyu, dan menginginkan sang suami untuk mengusap punggung, maupun perutnya dengan perlahan. “Masih kuat?” tanya Banyu kembali memastikan kondisi istrinya. Banyu memang tidak bisa merasakan rasa sakit yang mulai kerap menghampiri sang istri. Namun, jika dilihat dari wajah pias disertai bulir keringat yang membasahi wajah Damay, Banyu yakin bahwa rasa sakit itu benar-benar luar biasa. Itu baru kontraksi, bagaimana jika waktu kelahiran itu akhirnya tiba? “Kuat.” Damay berujar lirih untuk menyemangati dirinya sendiri. Sudah hampir seharian ini Damay merasakan sakit yang tidak ada duanya. Sekujur tubuhnya, dari kepala hingga kaki sungguh merasakan semua nyeri tanpa terkecuali. “Tapi sakiiit.” “Sabar sebentar.” Banyu masih memeluk
“Sebentar lagi aku tinggal, sebelum makan siang aku balik.” Jelang subuh, Damay mulai mengeluh sakit perut. Baik Airin maupun dokter yang menangani Damay, sudah berpesan agar jangan terlalu panik dalam menghadapi kontraksi jelang hari perkiraan lahir. Apalagi, jika rentang waktu kontraksi tersebut belumlah terlalu rapat, Namun, tidak dengan Banyu. Ketika ia mendengar keluhan yang berbeda dari sang istri, Banyulah yang merasa panik lebih dulu. Semua tas persiapan untuk pergi ke rumah sakit, langsung Banyu letakkan sendiri di bagasi mobil tanpa menyuruh siapa pun. Banyu ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri, jika semua persiapan sudah lengkap dan tidak ada yang kurang sama sekali. Tidak cukup sampai di situ. Begitu pagi menjelang, Banyu segera meminta Damay bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Karena ada meeting yang tidak bisa ditinggal Banyu pagi harinya, maka ia merasa lebih aman jika meninggalkan Damay di rumah sakit. “Tapi kalau ada apa-apa, cepat kabari aku,” tambah Ban
“Nggak usah beli boks bayi, taruh aja di kasur, beres. Nggak ribet angkat-angkat.” Banyu masih berdiri di samping boks bayi, yang menarik perhatiannya. Namun, Damay sudah meninggalkannya karena tidak setuju membeli tempat tidur khusus untuk bayi mereka. Bukankah lebih aman jika bayi mungil mereka nantinya diletakkan di boks bayi, daripada di atas tempat tidur? Banyu yang masih ingin membeli tempat tidur untuk bayinya, bergegas menyusul Damay yang tengah berbicara dengan salah satu pramuniaga toko. Banyu menunggu sejenak, sampai Damay menyelesaikan obrolannya sembari menyerahkan daftar catatan perlengkapan bayi yang akan dibeli kali ini. “Bukannya lebih enak dan aman pake boks bayi?” ujar Banyu setelah pramuniaga toko pergi, untuk mencari dan mempersiapkan barang-barang pesanan Damay. “Tetanggaku yang pernah lahiran, nggak ada yang pernah beli boks bayi, aman-aman aja.” Mata Damay menyasar pada kursi tunggu yang berada di sebelah pintu bagian dalam. Kemudian, ia kembali meninggalkan
“Pak Banyuu.” Damay menempel pada bingkai pintu ruang kerja Banyu. Menguap sebentar, kemudian kembali melanjutkan ucapannya. “Kerjanya masih lama? Aku sudah ngantuk.” Banyu mengalihkan wajah dari laptop. “Tidur aja duluan.” Bagaimana Damay bisa tidur jika tidak ada Banyu di sampingnya. Jika siang hari, Damay memang sudah terbiasa tidur tanpa Banyu, karena suaminya itu memang harus bekerja. Namun, ketika malam menjelang seperti ini, Damay tidak bisa memejamkan mata kecuali ada Banyu di sampingnya. Hal ini sudah terjadi sejak awal-awal kehamilan Damay, dan ini pertama kalinya Banyu belum masuk ke kamar mereka, padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. “Aku nggak bisa tidur,” keluh Damay kemudian berjalan masuk menghampiri Banyu. Damay mendudukkan dirinya di atas paha Banyu, lalu bersandar pada tubuh sang suami. “Nggak ada yang meluk.” Banyu terkekeh pelan, lalu merengkuh tubuh Damay dengan kedua tangannya. Semakin hari, istrinya itu semakin posesif, manja, dan tida
“Ini pertama, dan terakhir kalinya kita pergi nonton.” Belum ada lima menit mereka berdua duduk berdampingan di dalam bioskop, Damay sudah menguap hingga berulang kali. Saat penerangan di dalam ruang mulai dimatikan, detik itu juga Damay langsung menutup mata dan merajut mimpinya dengan lelap. Menyisakan Banyu, yang pada akhirnya harus menonton film romantis pilihan sang istri, yang sangat membosankan seorang diri. Damay tergelak tanpa melepas tangannya yang bergelayut rapat pada lengan Banyu. “Ngajaknya, sih, pas jam aku tidur siang. Jadinya ngantuk, kan? Apalagi habis makan banyak di rumah bu Airin, tambah lengket mataku jadinya.” Banyu berdecak, tapi tersenyum kemudian saat melihat wajah Damay yang tampak ceria. Lebih baik seperti ini, daripada harus melihat sang istri menangis seperti pagi tadi. “Ini mau makan lagi? Pulang? Atau … ke mana?” “Cari tempat duduk, ngabisin pop corn, terus kita pulang.” Banyu tidak salah jika masih saja menganggap sang istri terlalu naif. Sebenar
Banyu membuka pintu kamar dengan perlahan. Menghela sejenak, saat melihat Damay sudah berbaring miring dengan memakai selimut yang dipakainya dengan asal. Tubuh Damay masih terlihat berguncang kecil, karena sesenggukan dengan sisa tangis yang belum kunjung hilang.Setelah mendengar semua isi perasaan Damay, Banyu akhirnya menyadari di mana letak kesalahannya. Tari dan keluarganya memang penting bagi Banyu, tapi mereka semua bukanlah hal yang utama setelah ia memiliki istri. Harusnya, Banyu bisa menempatkan diri ketika berada di situasi seperti sekarang.Damay benar tentang Tari. Harusnya, Banyu tidak perlu lagi memikirkan Tari karena sang adik sudah memiliki keluarga sendiri. Tari sudah dewasa dan bahagia bersama Bumi. Jadi, Banyu tidak perlu terlalu mengkhawatirkan bagaimana perasaan Tari saat ini.Banyu naik ke atas tempat tidur dan langsung membaringkan tubuh di samping Damay. Memeluk istrinya dari belakang, kemudian mengusap perut buncit itu dengan perlahan.“Mau ke tempat bu Airi