Begitu langkah Banyu sudah berada di luar lift lantai lobi, maniknya langsung berlari untuk mencari seorang gadis yang masuk ke dalam lift di sebelahnya. Karena hanya selisih beberapa menit, Banyu yakin jika gadis itu belum jauh dari area lobi hotel. Belum lagi, Banyu masih ingat kalau Bumi menyuruh gadis itu pulang menggunakan taksi.Tidak melihat gadis itu berada di sekitar lobi, Banyu mempercepat langkahnya menuju pelataran hotel. Benar saja, sosok yang dicarinya berdiri sembari bersedekap menatap langit. Melihat hujan yang jatuh semakin deras.Tanpa ingin berlama-lama, Banyu segera menghampiri gadis itu. “Kamu pulang nunggu Bumi, atau nunggu taksi?”Damay berjengit kaget. Langsung menjaga jarak, ketika mendengar suara berat itu ada di sebelahnya. Kedua tangannya pun reflek memegang dada karena jantungnya seolah hendak melompat dari rongga.“Kalau saya jantungan terus mati gimana!” Di antara keterkejutannya, Damay seketika itu langsung menyemprot Banyu dengan keras.“Ya bagus! Saya
Damay pernah satu mobil bersama Bumi. Mereka bisa bicara baik-baik, hingga berdebat dan membuat kekesalan Damay memuncak. Damay juga sudah seringkali berada satu mobil dengan Gilang, dan suasana yang ada bisa sangat-sangat menyenangkan, bahkan penuh tawa.Namun, ketika Damay berada satu mobil bersama Banyu, yang ada hanyalah sebuah keheningan di sepanjang perjalanan. Tidak ada musik, dan hanya deheman singkat sesekali yang keluar dari mulut Banyu. Bahkan ketika mobil pria itu berhenti di depan pagar kos yang ditempati Damay, Banyu tidak melontarkan satu patah kata pun.Akan tetapi, jika dipikirkan lagi, justru hal tersebut lebih baik bagi keduanya. Damay tidak perlu sampai membuang-buang energi, hanya untuk meladeni sikap Banyu yang sangat egois itu. “May!”Sebuah remasan pada bahu kanan Damay, seketika membuyarkan lamunannya tentang banyak hal yang terjadi tadi malam. Damay segera menggeleng kecil lalu menoleh ke arah kanan. “Ya?”“Gue manggil dari tadi.”“Oh, maaf, Kak.” Damay bar
“Ulfa?”Damay menghentikan suapannya setelah menyebut nama sepupunya. Satu-satunya anak perempuan sang paman, yang usianya terpaut satu tahun lebih tua dari Damay. Ternyata, ada andil Ulfa atas kejadian yang menimpa Damay di Sangatta kala itu, hingga ia sampai menikah dengan Bumi. Namun, Damay bingung mengapa Ulfa sampai melakukan hal tersebut kepada Damay.Isma mengangguk membenarkan. Semua hal yang baru saja dituturkan oleh Isma pun, didukung oleh Angga yang duduk di sebelah wanita itu. Pria itu terus saja makan, dan hanya mendengarkan sang istri bercerita tentang semua hal yang terjadi ketika Damay meninggalkan Kalimantan.“Jadi, Ulfa becerita wan (dengan) Galuh, nahh, si Galuh ini becerita lagi wan mamakku,” lanjut Isma di sela kunyahannya. “Sampailah jua ditelingaku. Terus, May …”“Terus … apa?” Damay masih belum kembali menyuapkan makanan ke mulutnya. Hati dan pikirannya sudah terlanjur tidak nyaman, setelah mendengar penuturan Isma tentang Ulfa.“Sertifikat rumahmu, ada sama ma
Bumi berhenti sejenak ketika satu kakinya sudah naik pada tangga pelataran kantor. Melihat Damay turun dari ojek on-line, lalu melepas helm dan menyerahkannya pada sang ojek. Setelah melakukan pembayaran, gadis itu pun memberi senyum formal dan anggukan kecil pada Bumi sembari berjalan ke arahnya.“Sendiri.” Bumi mengeluarkan pernyataan bukan pertanyaan. Ia yakin, bahwa ini pertama kalinya Damay pergi ke kantor tanpa adanya Gilang. Jadi, wajar rasanya jika Bumi mencurigai sesuatu telah terjadi di antara keduanya.“Dari kemaren-kemaren, saya di Jakarta juga sendiri.” Damay berjalan cepat, agar tidak beriringan dengan Bumi. Ia sudah bertekad untuk tidak berada di sekitar Bumi jika berada di kantor. Apapun yang terjadi, Damay tidak boleh terlihat dekat dengan pria beristri tersebut.“Lo tahu maksud gue, May.” Bumi berjalan santai, dan tetap bisa menyamakan langkahnya dengan Damay. “Gilang, sudah bosan sama lo.”Damay tiba-tiba berhenti lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya. Ia mana mau pe
Setelah menunggu di sebuah lorong selama 15 menit, akhirnya Damay melihat Banyu kembali menghampirinya. Entah dari mana pria itu datang, Damay juga tidak ingin bertanya lebih banyak lagi. Suasana hati Damay sedang berselimut kabut, sehingga sudah tidak tertarik dengan hal apapun.“Waktumu setengah jam,” ujar Banyu sudah melepas jas yang dipakainya. Kini pria itu hanya memakai kemeja hitam, dengan lengan baju yang digulung sebatas siku. “Ikut saya.”Rasanya, Damay ingin protes karena hanya diberi waktu 30 menit. Namun, hal tersebut ia urungkan dan Damay pun hanya mengangguk sambil berdiri. Mengikuti Banyu yang kembali berjalan menyusuri lorong, lalu berhenti di depan sebuah pintu.“Ambil tasnya, dan periksa dari ujung rambut sampai kaki,” titah Banyu pada seorang wanita berseragam yang berdiri di samping pintu.Damay hanya diam dan menurut, ketika harus menyerahkan tas dan merelakan tubuhnya diperiksa oleh wanita yang menurutnya adalah salah satu sipir di lembaga pemasyarakatan tersebu
“Keluar sekarang, waktumu sudah habis.”“Ha?” Damay mengerjap linglung. Mengangkat wajah untuk menatap Banyu yang berdiri di celah pintu. Sejenak, Damay tidak bisa berpikir jernih, karena banyak hal yang bertumpuk dalam satu waktu di kepala.“Hei!”“Oh … iya.” Damay beranjak pelan, dan terus melangkah dalam diam melewati Banyu untuk keluar ruangan.“Hei!” Banyu kembali memanggil, dan kali ini suaranya sedikit lebih keras. “Pintu keluar bukan di sana!”Damay berhenti melangkah. Terdiam sejenak, lalu berbalik dan menatap lurus pada lorong di depannya. Setelah menghela kecil, Damay kembali melangkah tanpa menoleh pada Banyu.“Hei!” Gadis ini benar-benar membuat Banyu geram. “Tasmu!”Damay kembali menghentikan langkah, lalu terantuk lelah. Hari belum beranjak siang, tapi suasana hatinya sudah berkecamuk penuh kesah. Separuh jiwanya pun sudah tenggelam dalam resah.Damay akhirnya berbalik, dan hendak bertanya keberadaan tasnya. Namun, Banyu tiba-tiba sudah berada di hadapan dan menghempas
Damay segera keluar dari mobil, untuk menyusul Banyu yang lebih dulu meninggalkannya tanpa kata. Berlari kecil di pekarangan sebuah rumah yang cukup luas, untuk menyamakan langkahnya dengan pria itu. Dari sudut halaman, tepatnya dari pintu garasi yang sedikit terbuka, muncul seorang pria paruh baya yang berlari menghampiri mereka berdua. “Mas Banyu, kenapa nggak bilang dulu kalau mau ke sini,” ujar pria itu tergopoh menyamakan langkah dengan Banyu. “Hm.” Banyu menoleh sekilas pada pria yang sudah berjalan di sampingnya. “Bawakan tasnya.” “Tas?” pria yang memakai kaos oblong dan celana pendek selutut itu, langsung memandang Damay yang terlihat bingung. “Biar saya yang bawa tasnya, Non.” “Nggak papa, biar saya yang bawa,” tolak Damay berhenti sejenak untuk berbicara dengan pria paruh baya tersebut. Damay menduga, pria tersebut merupakan salah satu asisten rumah tangga di rumah megah tersebut. “Ringan, kok.” Damay mengangguk sekilas, lalu kembali menyusul Banyu yang sudah berada di
Lelah terus menggedor pintu yang tidak kunjung terbuka, Damay akhirnya menyerah. Terlebih lagi, derasnya hujan di luar sana pasti semakin meredam teriakan Damay dari dalam ruang. Lagi pula, Damay yakin sekali Banyu sudah tidak lagi berada di rumah tersebut. Pria itu pasti sudah berangkat bekerja, dan entah kapan akan kembali. Damay merasa bodoh karena telah meninggalkan tasnya kepada Umar. Banyu benar-benar sudah merencanakan semuanya dengan sempurna, hingga Damay masuk ke dalam jebakannya. Damay baru bisa keluar besok pagi, dan itu pun langsung pergi menuju bandara untuk kembali ke Kalimantan. Lantas, bagaimana dengan beberapa masalah yang belum selesai? Damay belum bicara lagi dengan Adam. Ia juga masih belum bisa membuktikan kalau Selly ternyata sudah bisa berjalan, dan selama ini hanya duduk di kursi roda untuk mencari simpati. Selain itu, Damay juga tidak bisa kembali ke Kalimantan begitu saja. Ada kontrak kerja yang masih harus Damay selesaikan dengan Jurnal. Jika ia pergi be
Halu Mba beb ... Kita langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Bukan Istri Sah. Plus, yang sudah ngasih usulan nama anaknya pak Banyu yaa. Amee la : 1.000 koin GN + pulsa 200rb ArPi Kim : 750 koin GN + pulsa 150 rb Zee Sandi : 500 koin GN + pulsa 100 rb Tralala : 350 koin GN + pulsa 50 rb Tyarini : 250 koin Gn + pulsa 25 rb RiztyrieM : 150 koin Gn + pulsa 20 rb Sila klaim via DM ke igeh saia yaa, @kanietha_ dan jangan lupa untuk follow lebih duluuh yaa. Atas semua atensinya untuk pak Banyu juga Damay, saia ucapkan terima kasih banyak-banyak. Kiss so muuch ....PS : Saia tunggu sampe tangga 28 Sept '22 pukul 12.00 siang hari yakk.Kalau masih belum setor, saia anggap HANGUS.🙏🙏🙏
“Haloo, cucu Eyang …” Airin langsung mengambil alih bayi tampan yang semakin menggemaskan dari gendongan Damay. Mengangkatnya setinggi kepala, lalu memberi ciuman gemas pada kedua pipi gembilnya. Bayi mungil yang sudah berusia tiga bulan itu, hanya bisa tertawa geli dengan ulah wanita yang sudah menganggapnya sebagai cucu sendiri. “Kamu titip sini aja sama Eyang, ya!” seru Airin berbicara pada bayi yang tersenyum melihatnya. “Biar daddy sama mami aja yang ke Kalimantan, sekalian bulan madu.” Seno menggeleng melihat tingkah istrinya, yang memang sangat merindukan seorang cucu. Tidak hanya Airin sebenarnya, tapi Seno juga berharap hal yang sama. Namun, apa mau dikata jika Bumi dan Tari masih belum kunjung diberi keturunan hingga saat ini. Keduanya sudah mengikuti program hamil dan menjalankan semua perintah dari dokter, tapi, sampai saat ini masih belum berhasil. Sejenak, Seno sempat berpikir. Bagaimana bila Damay dahulu kala benar-benar menjadi menantunya. Akan tetapi, Seno dengan s
Malam yang penuh ketegangan itu, akhirnya bisa dilewati Damay dan Banyu dengan rasa lega. Hanya berdua tanpa keluarga, dan benar-benar buta akan semua hal. Mereka hanya mengandalkan petunjuk dan perintah dokter, serta para perawat yang bertugas untuk mengecek kondisi Damay.Setelah ini, Banyu hanya akan memfokuskan diri dengan keluarga kecilnya. Baru kali ini Banyu benar-benar menghadapi semua ketegangan seorang diri. Tanpa support dari keluarga, yang dahulu kala pernah ia bela mati-matian. Hampir seluruh hidup Banyu, sudah ia curahkan pada Selly, maupun Tari. Namun, tidak satu pun dari keduanya datang, atau paling tidak, menghubungi Banyu melalui panggilan telepon.Hanya ada Adam, yang sesekali mengirimkan pesan untuk bertanya mengenai proses kelahiran cucunya. Sementara yang lain, seolah tenggelam bak ditelan bumi.Justru, orang lainlah yang kini terasa seperti keluarga bagi Banyu. Ada Airin, yang langsung menelepon pagi itu, ketika Damay mengabarkan bahwa sang bayi laki-lakinya sud
“Tarik napas.” Damay mengikuti instruksi Banyu, ketika kontraksinya mulai kembali datang. Sejak pria itu kembali dari kantor, yang dilakukan Damay hanyalah menempel pada sang suami. Saat kontraksi itu datang, yang diinginkan Damay hanya berada di dalam pelukan Banyu, dan menginginkan sang suami untuk mengusap punggung, maupun perutnya dengan perlahan. “Masih kuat?” tanya Banyu kembali memastikan kondisi istrinya. Banyu memang tidak bisa merasakan rasa sakit yang mulai kerap menghampiri sang istri. Namun, jika dilihat dari wajah pias disertai bulir keringat yang membasahi wajah Damay, Banyu yakin bahwa rasa sakit itu benar-benar luar biasa. Itu baru kontraksi, bagaimana jika waktu kelahiran itu akhirnya tiba? “Kuat.” Damay berujar lirih untuk menyemangati dirinya sendiri. Sudah hampir seharian ini Damay merasakan sakit yang tidak ada duanya. Sekujur tubuhnya, dari kepala hingga kaki sungguh merasakan semua nyeri tanpa terkecuali. “Tapi sakiiit.” “Sabar sebentar.” Banyu masih memeluk
“Sebentar lagi aku tinggal, sebelum makan siang aku balik.” Jelang subuh, Damay mulai mengeluh sakit perut. Baik Airin maupun dokter yang menangani Damay, sudah berpesan agar jangan terlalu panik dalam menghadapi kontraksi jelang hari perkiraan lahir. Apalagi, jika rentang waktu kontraksi tersebut belumlah terlalu rapat, Namun, tidak dengan Banyu. Ketika ia mendengar keluhan yang berbeda dari sang istri, Banyulah yang merasa panik lebih dulu. Semua tas persiapan untuk pergi ke rumah sakit, langsung Banyu letakkan sendiri di bagasi mobil tanpa menyuruh siapa pun. Banyu ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri, jika semua persiapan sudah lengkap dan tidak ada yang kurang sama sekali. Tidak cukup sampai di situ. Begitu pagi menjelang, Banyu segera meminta Damay bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Karena ada meeting yang tidak bisa ditinggal Banyu pagi harinya, maka ia merasa lebih aman jika meninggalkan Damay di rumah sakit. “Tapi kalau ada apa-apa, cepat kabari aku,” tambah Ban
“Nggak usah beli boks bayi, taruh aja di kasur, beres. Nggak ribet angkat-angkat.” Banyu masih berdiri di samping boks bayi, yang menarik perhatiannya. Namun, Damay sudah meninggalkannya karena tidak setuju membeli tempat tidur khusus untuk bayi mereka. Bukankah lebih aman jika bayi mungil mereka nantinya diletakkan di boks bayi, daripada di atas tempat tidur? Banyu yang masih ingin membeli tempat tidur untuk bayinya, bergegas menyusul Damay yang tengah berbicara dengan salah satu pramuniaga toko. Banyu menunggu sejenak, sampai Damay menyelesaikan obrolannya sembari menyerahkan daftar catatan perlengkapan bayi yang akan dibeli kali ini. “Bukannya lebih enak dan aman pake boks bayi?” ujar Banyu setelah pramuniaga toko pergi, untuk mencari dan mempersiapkan barang-barang pesanan Damay. “Tetanggaku yang pernah lahiran, nggak ada yang pernah beli boks bayi, aman-aman aja.” Mata Damay menyasar pada kursi tunggu yang berada di sebelah pintu bagian dalam. Kemudian, ia kembali meninggalkan
“Pak Banyuu.” Damay menempel pada bingkai pintu ruang kerja Banyu. Menguap sebentar, kemudian kembali melanjutkan ucapannya. “Kerjanya masih lama? Aku sudah ngantuk.” Banyu mengalihkan wajah dari laptop. “Tidur aja duluan.” Bagaimana Damay bisa tidur jika tidak ada Banyu di sampingnya. Jika siang hari, Damay memang sudah terbiasa tidur tanpa Banyu, karena suaminya itu memang harus bekerja. Namun, ketika malam menjelang seperti ini, Damay tidak bisa memejamkan mata kecuali ada Banyu di sampingnya. Hal ini sudah terjadi sejak awal-awal kehamilan Damay, dan ini pertama kalinya Banyu belum masuk ke kamar mereka, padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. “Aku nggak bisa tidur,” keluh Damay kemudian berjalan masuk menghampiri Banyu. Damay mendudukkan dirinya di atas paha Banyu, lalu bersandar pada tubuh sang suami. “Nggak ada yang meluk.” Banyu terkekeh pelan, lalu merengkuh tubuh Damay dengan kedua tangannya. Semakin hari, istrinya itu semakin posesif, manja, dan tida
“Ini pertama, dan terakhir kalinya kita pergi nonton.” Belum ada lima menit mereka berdua duduk berdampingan di dalam bioskop, Damay sudah menguap hingga berulang kali. Saat penerangan di dalam ruang mulai dimatikan, detik itu juga Damay langsung menutup mata dan merajut mimpinya dengan lelap. Menyisakan Banyu, yang pada akhirnya harus menonton film romantis pilihan sang istri, yang sangat membosankan seorang diri. Damay tergelak tanpa melepas tangannya yang bergelayut rapat pada lengan Banyu. “Ngajaknya, sih, pas jam aku tidur siang. Jadinya ngantuk, kan? Apalagi habis makan banyak di rumah bu Airin, tambah lengket mataku jadinya.” Banyu berdecak, tapi tersenyum kemudian saat melihat wajah Damay yang tampak ceria. Lebih baik seperti ini, daripada harus melihat sang istri menangis seperti pagi tadi. “Ini mau makan lagi? Pulang? Atau … ke mana?” “Cari tempat duduk, ngabisin pop corn, terus kita pulang.” Banyu tidak salah jika masih saja menganggap sang istri terlalu naif. Sebenar
Banyu membuka pintu kamar dengan perlahan. Menghela sejenak, saat melihat Damay sudah berbaring miring dengan memakai selimut yang dipakainya dengan asal. Tubuh Damay masih terlihat berguncang kecil, karena sesenggukan dengan sisa tangis yang belum kunjung hilang.Setelah mendengar semua isi perasaan Damay, Banyu akhirnya menyadari di mana letak kesalahannya. Tari dan keluarganya memang penting bagi Banyu, tapi mereka semua bukanlah hal yang utama setelah ia memiliki istri. Harusnya, Banyu bisa menempatkan diri ketika berada di situasi seperti sekarang.Damay benar tentang Tari. Harusnya, Banyu tidak perlu lagi memikirkan Tari karena sang adik sudah memiliki keluarga sendiri. Tari sudah dewasa dan bahagia bersama Bumi. Jadi, Banyu tidak perlu terlalu mengkhawatirkan bagaimana perasaan Tari saat ini.Banyu naik ke atas tempat tidur dan langsung membaringkan tubuh di samping Damay. Memeluk istrinya dari belakang, kemudian mengusap perut buncit itu dengan perlahan.“Mau ke tempat bu Airi