“Keluar sekarang, waktumu sudah habis.”“Ha?” Damay mengerjap linglung. Mengangkat wajah untuk menatap Banyu yang berdiri di celah pintu. Sejenak, Damay tidak bisa berpikir jernih, karena banyak hal yang bertumpuk dalam satu waktu di kepala.“Hei!”“Oh … iya.” Damay beranjak pelan, dan terus melangkah dalam diam melewati Banyu untuk keluar ruangan.“Hei!” Banyu kembali memanggil, dan kali ini suaranya sedikit lebih keras. “Pintu keluar bukan di sana!”Damay berhenti melangkah. Terdiam sejenak, lalu berbalik dan menatap lurus pada lorong di depannya. Setelah menghela kecil, Damay kembali melangkah tanpa menoleh pada Banyu.“Hei!” Gadis ini benar-benar membuat Banyu geram. “Tasmu!”Damay kembali menghentikan langkah, lalu terantuk lelah. Hari belum beranjak siang, tapi suasana hatinya sudah berkecamuk penuh kesah. Separuh jiwanya pun sudah tenggelam dalam resah.Damay akhirnya berbalik, dan hendak bertanya keberadaan tasnya. Namun, Banyu tiba-tiba sudah berada di hadapan dan menghempas
Damay segera keluar dari mobil, untuk menyusul Banyu yang lebih dulu meninggalkannya tanpa kata. Berlari kecil di pekarangan sebuah rumah yang cukup luas, untuk menyamakan langkahnya dengan pria itu. Dari sudut halaman, tepatnya dari pintu garasi yang sedikit terbuka, muncul seorang pria paruh baya yang berlari menghampiri mereka berdua. “Mas Banyu, kenapa nggak bilang dulu kalau mau ke sini,” ujar pria itu tergopoh menyamakan langkah dengan Banyu. “Hm.” Banyu menoleh sekilas pada pria yang sudah berjalan di sampingnya. “Bawakan tasnya.” “Tas?” pria yang memakai kaos oblong dan celana pendek selutut itu, langsung memandang Damay yang terlihat bingung. “Biar saya yang bawa tasnya, Non.” “Nggak papa, biar saya yang bawa,” tolak Damay berhenti sejenak untuk berbicara dengan pria paruh baya tersebut. Damay menduga, pria tersebut merupakan salah satu asisten rumah tangga di rumah megah tersebut. “Ringan, kok.” Damay mengangguk sekilas, lalu kembali menyusul Banyu yang sudah berada di
Lelah terus menggedor pintu yang tidak kunjung terbuka, Damay akhirnya menyerah. Terlebih lagi, derasnya hujan di luar sana pasti semakin meredam teriakan Damay dari dalam ruang. Lagi pula, Damay yakin sekali Banyu sudah tidak lagi berada di rumah tersebut. Pria itu pasti sudah berangkat bekerja, dan entah kapan akan kembali. Damay merasa bodoh karena telah meninggalkan tasnya kepada Umar. Banyu benar-benar sudah merencanakan semuanya dengan sempurna, hingga Damay masuk ke dalam jebakannya. Damay baru bisa keluar besok pagi, dan itu pun langsung pergi menuju bandara untuk kembali ke Kalimantan. Lantas, bagaimana dengan beberapa masalah yang belum selesai? Damay belum bicara lagi dengan Adam. Ia juga masih belum bisa membuktikan kalau Selly ternyata sudah bisa berjalan, dan selama ini hanya duduk di kursi roda untuk mencari simpati. Selain itu, Damay juga tidak bisa kembali ke Kalimantan begitu saja. Ada kontrak kerja yang masih harus Damay selesaikan dengan Jurnal. Jika ia pergi be
Banyu membanting pintu mobil, lalu melangkah lebar dengan tergesa memasuki rumah. Langit sudah menggelap sempurna, ketika Umar menelepon dan meminta Banyu untuk datang segera ke rumahnya.“Umar!” teriak Banyu setelah membuka pintu rumah lalu masuk ke dalam dengan terburu. Sesampai di ruang tengah, Banyu melihat Umar berlari untuk menemuinya.“Maaf, Pak.”“Kenapa baru nelpon!” Banyu terus berjalan menuju ruang kerjanya. “Harusnya kamu lapor dari siang tadi.”Banyu masuk ke ruang kerja, dan mendapati Damay tertidur dengan wajah pucat. Tubuhnya sudah berbalut selimut tebal, tapi jelas jika gadis itu tampak kedinginan.“Tadi siang nggak papa, Pak,” terang Umar takut-takut. Beberapa waktu lalu, Umar mendapati Damay tergeletak lemas di sofabed saat mengantarkan makan malam. Yang semakin membuat Umar cemas, gadis itu masih memakai pakaian basah yang terkena hujan siang tadi. Ditambah, makan siang yang sudah dibelikan Umar sama sekali tidak disentuh oleh Damay.Lantas, kepanikan itu semakin m
Damay mengguman nyeri. Mengangkat satu tangan untuk memijat kepala. Membuka pelan kedua mata, dan menatap lampu hias gantung yang berbeda dengan ruangan yang ditempati sebelumnya. Langit-langitnya pun berwarna putih bersih, dan tidak gelap seperti sebelumnya.Di mana dirinya berada saat ini? Dan, apa yang terjadi sebenarnya?Kembali memejamkan mata, Damay mencoba mengingat beberapa hal ke belakang. Namun, tidak banyak yang tersangkut di kepala. Damay hanya mengingat, dirinya kembali ke dalam ruang kerja Banyu untuk melepaskan Umar dari toilet, lalu berbaring di sofabed karena lelah.Setelahnya … di sinilah tubuh Damay terdampar dengan rasa pusing yang hampir tidak bisa terbendung. Ah, Damay baru ingat kalau ia belum makan siang, dan ini sudah … Entah sudah pukul berapa saat ini?Damay bangkit perlahan, lalu kembali memijat kepalanya dengan dua tangan. Menatap lurus pada dinding di hadapan, dan melihat jarum jam yang menunjukkan hampir pukul 12. Damay yakin, bahwa saat ini sudah hampi
“Gimana, Mar?”Umar yang berada di ujung tangga lantai satu, kemudian menoleh ke atas. Melihat Banyu menuruni anak tangga dan sudah terlihat sangat rapi dengan kemeja, serta celana bahan berwarna hitam seperti biasa.Umar yang baru keluar dari kamar yang ditempati Damay menggeleng, lalu memberi saran, “bawa ke dokter aja, Pak. Non Damay nggak mau makan sama minum obat. Mukanya juga sudah pucat gitu.”Banyu menarik napas panjang saat sudah berada di depan Umar. Menatap sebentar pada pintu kamar yang memang dibiarkan terbuka. “Suhu badannya?”Umar melebarkan senyum, tapi terlihat datar. “Saya mana berani megang, Pak.” Umar harap, Banyu bisa mengerti dengan maksud ucapannya. Bukan tidak berani, tapi Umar segan karena melihat sikap Banyu yang terkesan berlebihan pada gadis itu.Tanpa memberi tanggapan, Banyu melewati Umar dan langsung pergi menuju kamar yang ditempati Damay. Gadis itu terlihat meringkuk dengan balutan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Damay hanya menyisakan kepala,
“Ini minyak kayu putihnya, Mas.” Umar menyerahkan minyak kayu putih pada Banyu, kemudian meletakkan teh hangat yang baru ia buat di atas nakas. Sebenarnya, Umar ingin memberi saran agar Damay dibawa saja ke klinik terdekat, tapi, mengingat ucapan Banyu tadi malam, ia pun mengurungkan niat seketika.Banyu mengangguk dan menerima botol minyak kayu putih yang masih tersegel. Sembari membukanya, Banyu kembali memberi perintah pada Umar. “Buka kamar tamu di depan ruang kerja saya. Kalau dia sadar, nanti kami pindah ke sana.”“Baik, Mas.” Umar mengangguk paham, lalu keluar dari kamar dan menutup pintu.Setelah memastikan pintu tertutup rapat, Banyu menghela kasar seraya menyodorkan ujung botol yang terbuka pada hidung Damay. Berharap gadis itu sadar, ketika menghidu aroma eucalyptus yang diberinya.Hampir satu menit tidak ada pergerakan, Banyu pun mencoba cara lain. Banyu menuang cairan di dalam botol tersebut, pada jari telunjuk dan tengah yang disatukan, lalu mengusapnya di pelipis gadis
“Lang!” Tatapan Bumi lalu mengarah ke balik punggung Gilang. Tidak ada seorang pun berdiri di sana. Hari sudah menjelang siang, dan Gilang saja datang seorang diri. “Damay nggak sama, lo?” lanjut Bumi mempertanyakan gadis itu sembari keluar dari lift lobi. “Oh!” Wajah Gilang tampak terpaksa melukis senyumnya. Ia juga hanya berdiri terpaku dan tidak jadi memasuki lift. “Gue berangkat siang, Bang. Lagi di atas mungkin.” “Nggak ada!” Bumi mengusap wajah khawatir, mengingat Banyulah yang membawa Damay kemarin pagi. “Gue nggak bisa nelpon dia dari kemaren. Gue sudah cek sama anak EO, Damay juga nggak balik kantor sampai sore.” Tidak ingin memperpanjang keluhan, serta rasa khawatirnya di depan Gilang, Bumi segera meninggalkan pria itu sambil merogoh ponsel di saku seragamnya. Ia mencari nomor Banyu, dan segera menghubungi pria itu. Melihat sikap aneh Bumi, Gilang bergegas menyusul pria itu. Gilang juga mengambil ponsel dari tas ransel yang ia letakkan di depan dada, lalu membuka chat da
Halu Mba beb ... Kita langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Bukan Istri Sah. Plus, yang sudah ngasih usulan nama anaknya pak Banyu yaa. Amee la : 1.000 koin GN + pulsa 200rb ArPi Kim : 750 koin GN + pulsa 150 rb Zee Sandi : 500 koin GN + pulsa 100 rb Tralala : 350 koin GN + pulsa 50 rb Tyarini : 250 koin Gn + pulsa 25 rb RiztyrieM : 150 koin Gn + pulsa 20 rb Sila klaim via DM ke igeh saia yaa, @kanietha_ dan jangan lupa untuk follow lebih duluuh yaa. Atas semua atensinya untuk pak Banyu juga Damay, saia ucapkan terima kasih banyak-banyak. Kiss so muuch ....PS : Saia tunggu sampe tangga 28 Sept '22 pukul 12.00 siang hari yakk.Kalau masih belum setor, saia anggap HANGUS.🙏🙏🙏
“Haloo, cucu Eyang …” Airin langsung mengambil alih bayi tampan yang semakin menggemaskan dari gendongan Damay. Mengangkatnya setinggi kepala, lalu memberi ciuman gemas pada kedua pipi gembilnya. Bayi mungil yang sudah berusia tiga bulan itu, hanya bisa tertawa geli dengan ulah wanita yang sudah menganggapnya sebagai cucu sendiri. “Kamu titip sini aja sama Eyang, ya!” seru Airin berbicara pada bayi yang tersenyum melihatnya. “Biar daddy sama mami aja yang ke Kalimantan, sekalian bulan madu.” Seno menggeleng melihat tingkah istrinya, yang memang sangat merindukan seorang cucu. Tidak hanya Airin sebenarnya, tapi Seno juga berharap hal yang sama. Namun, apa mau dikata jika Bumi dan Tari masih belum kunjung diberi keturunan hingga saat ini. Keduanya sudah mengikuti program hamil dan menjalankan semua perintah dari dokter, tapi, sampai saat ini masih belum berhasil. Sejenak, Seno sempat berpikir. Bagaimana bila Damay dahulu kala benar-benar menjadi menantunya. Akan tetapi, Seno dengan s
Malam yang penuh ketegangan itu, akhirnya bisa dilewati Damay dan Banyu dengan rasa lega. Hanya berdua tanpa keluarga, dan benar-benar buta akan semua hal. Mereka hanya mengandalkan petunjuk dan perintah dokter, serta para perawat yang bertugas untuk mengecek kondisi Damay.Setelah ini, Banyu hanya akan memfokuskan diri dengan keluarga kecilnya. Baru kali ini Banyu benar-benar menghadapi semua ketegangan seorang diri. Tanpa support dari keluarga, yang dahulu kala pernah ia bela mati-matian. Hampir seluruh hidup Banyu, sudah ia curahkan pada Selly, maupun Tari. Namun, tidak satu pun dari keduanya datang, atau paling tidak, menghubungi Banyu melalui panggilan telepon.Hanya ada Adam, yang sesekali mengirimkan pesan untuk bertanya mengenai proses kelahiran cucunya. Sementara yang lain, seolah tenggelam bak ditelan bumi.Justru, orang lainlah yang kini terasa seperti keluarga bagi Banyu. Ada Airin, yang langsung menelepon pagi itu, ketika Damay mengabarkan bahwa sang bayi laki-lakinya sud
“Tarik napas.” Damay mengikuti instruksi Banyu, ketika kontraksinya mulai kembali datang. Sejak pria itu kembali dari kantor, yang dilakukan Damay hanyalah menempel pada sang suami. Saat kontraksi itu datang, yang diinginkan Damay hanya berada di dalam pelukan Banyu, dan menginginkan sang suami untuk mengusap punggung, maupun perutnya dengan perlahan. “Masih kuat?” tanya Banyu kembali memastikan kondisi istrinya. Banyu memang tidak bisa merasakan rasa sakit yang mulai kerap menghampiri sang istri. Namun, jika dilihat dari wajah pias disertai bulir keringat yang membasahi wajah Damay, Banyu yakin bahwa rasa sakit itu benar-benar luar biasa. Itu baru kontraksi, bagaimana jika waktu kelahiran itu akhirnya tiba? “Kuat.” Damay berujar lirih untuk menyemangati dirinya sendiri. Sudah hampir seharian ini Damay merasakan sakit yang tidak ada duanya. Sekujur tubuhnya, dari kepala hingga kaki sungguh merasakan semua nyeri tanpa terkecuali. “Tapi sakiiit.” “Sabar sebentar.” Banyu masih memeluk
“Sebentar lagi aku tinggal, sebelum makan siang aku balik.” Jelang subuh, Damay mulai mengeluh sakit perut. Baik Airin maupun dokter yang menangani Damay, sudah berpesan agar jangan terlalu panik dalam menghadapi kontraksi jelang hari perkiraan lahir. Apalagi, jika rentang waktu kontraksi tersebut belumlah terlalu rapat, Namun, tidak dengan Banyu. Ketika ia mendengar keluhan yang berbeda dari sang istri, Banyulah yang merasa panik lebih dulu. Semua tas persiapan untuk pergi ke rumah sakit, langsung Banyu letakkan sendiri di bagasi mobil tanpa menyuruh siapa pun. Banyu ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri, jika semua persiapan sudah lengkap dan tidak ada yang kurang sama sekali. Tidak cukup sampai di situ. Begitu pagi menjelang, Banyu segera meminta Damay bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Karena ada meeting yang tidak bisa ditinggal Banyu pagi harinya, maka ia merasa lebih aman jika meninggalkan Damay di rumah sakit. “Tapi kalau ada apa-apa, cepat kabari aku,” tambah Ban
“Nggak usah beli boks bayi, taruh aja di kasur, beres. Nggak ribet angkat-angkat.” Banyu masih berdiri di samping boks bayi, yang menarik perhatiannya. Namun, Damay sudah meninggalkannya karena tidak setuju membeli tempat tidur khusus untuk bayi mereka. Bukankah lebih aman jika bayi mungil mereka nantinya diletakkan di boks bayi, daripada di atas tempat tidur? Banyu yang masih ingin membeli tempat tidur untuk bayinya, bergegas menyusul Damay yang tengah berbicara dengan salah satu pramuniaga toko. Banyu menunggu sejenak, sampai Damay menyelesaikan obrolannya sembari menyerahkan daftar catatan perlengkapan bayi yang akan dibeli kali ini. “Bukannya lebih enak dan aman pake boks bayi?” ujar Banyu setelah pramuniaga toko pergi, untuk mencari dan mempersiapkan barang-barang pesanan Damay. “Tetanggaku yang pernah lahiran, nggak ada yang pernah beli boks bayi, aman-aman aja.” Mata Damay menyasar pada kursi tunggu yang berada di sebelah pintu bagian dalam. Kemudian, ia kembali meninggalkan
“Pak Banyuu.” Damay menempel pada bingkai pintu ruang kerja Banyu. Menguap sebentar, kemudian kembali melanjutkan ucapannya. “Kerjanya masih lama? Aku sudah ngantuk.” Banyu mengalihkan wajah dari laptop. “Tidur aja duluan.” Bagaimana Damay bisa tidur jika tidak ada Banyu di sampingnya. Jika siang hari, Damay memang sudah terbiasa tidur tanpa Banyu, karena suaminya itu memang harus bekerja. Namun, ketika malam menjelang seperti ini, Damay tidak bisa memejamkan mata kecuali ada Banyu di sampingnya. Hal ini sudah terjadi sejak awal-awal kehamilan Damay, dan ini pertama kalinya Banyu belum masuk ke kamar mereka, padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. “Aku nggak bisa tidur,” keluh Damay kemudian berjalan masuk menghampiri Banyu. Damay mendudukkan dirinya di atas paha Banyu, lalu bersandar pada tubuh sang suami. “Nggak ada yang meluk.” Banyu terkekeh pelan, lalu merengkuh tubuh Damay dengan kedua tangannya. Semakin hari, istrinya itu semakin posesif, manja, dan tida
“Ini pertama, dan terakhir kalinya kita pergi nonton.” Belum ada lima menit mereka berdua duduk berdampingan di dalam bioskop, Damay sudah menguap hingga berulang kali. Saat penerangan di dalam ruang mulai dimatikan, detik itu juga Damay langsung menutup mata dan merajut mimpinya dengan lelap. Menyisakan Banyu, yang pada akhirnya harus menonton film romantis pilihan sang istri, yang sangat membosankan seorang diri. Damay tergelak tanpa melepas tangannya yang bergelayut rapat pada lengan Banyu. “Ngajaknya, sih, pas jam aku tidur siang. Jadinya ngantuk, kan? Apalagi habis makan banyak di rumah bu Airin, tambah lengket mataku jadinya.” Banyu berdecak, tapi tersenyum kemudian saat melihat wajah Damay yang tampak ceria. Lebih baik seperti ini, daripada harus melihat sang istri menangis seperti pagi tadi. “Ini mau makan lagi? Pulang? Atau … ke mana?” “Cari tempat duduk, ngabisin pop corn, terus kita pulang.” Banyu tidak salah jika masih saja menganggap sang istri terlalu naif. Sebenar
Banyu membuka pintu kamar dengan perlahan. Menghela sejenak, saat melihat Damay sudah berbaring miring dengan memakai selimut yang dipakainya dengan asal. Tubuh Damay masih terlihat berguncang kecil, karena sesenggukan dengan sisa tangis yang belum kunjung hilang.Setelah mendengar semua isi perasaan Damay, Banyu akhirnya menyadari di mana letak kesalahannya. Tari dan keluarganya memang penting bagi Banyu, tapi mereka semua bukanlah hal yang utama setelah ia memiliki istri. Harusnya, Banyu bisa menempatkan diri ketika berada di situasi seperti sekarang.Damay benar tentang Tari. Harusnya, Banyu tidak perlu lagi memikirkan Tari karena sang adik sudah memiliki keluarga sendiri. Tari sudah dewasa dan bahagia bersama Bumi. Jadi, Banyu tidak perlu terlalu mengkhawatirkan bagaimana perasaan Tari saat ini.Banyu naik ke atas tempat tidur dan langsung membaringkan tubuh di samping Damay. Memeluk istrinya dari belakang, kemudian mengusap perut buncit itu dengan perlahan.“Mau ke tempat bu Airi