“Apa guru di sekolahnya tidak pernah bertemu orang tuanya?” Leana menggeleng, dia merebahkan kepalanya di pangkuan Elvano. “Tidak, Mas. Info mereka orang tua Azura tidak pernah datang ke sekolah, Azura biasanya diantar sama asisten rumah tangganya.” Leana menatap ke arah Elvano. “Mas, aku boleh ‘kan berkunjung ke rumah Azura. Hanya ingin memastikan saja, karena mau bagaimanapun Azura sudah tinggal di rumah ini."Elvano mengusap pipi kemerahan sang istri penuh kelembutan. “Jangan, aku takut terjadi apa-apa sama kamu. Lebih baik kita datang ke sana sama-sama, dan jangan pernah coba-coba untuk datang sendiri.” Leana menghembuskan nafas berat, mau bagaimana lagi, sudah untung Elvano setuju dengan usulnya. “Baiklah, jadi kapan kita ke rumahnya?”“Minggu depan ya, Sayang?”Kening Leana berkerut. “Apakah tidak kelamaan, Mas? Terus Azura boleh tinggal di sini kan? Untuk sementara waktu?”“Karena aku akan meninjau proyek yang ada di luar kota selama seminggu, dan untuk Azura, dia boleh tingga
Leana menggeleng, ia menelan ludah susah payah diiringi buliran keringat yang mulai membasahi pelipisnya."O-om … Aditya …." Aditya tersenyum lebar, kini wajah tampan itu terlihat menyeramkan di mata Leana. "Kenapa? Bukankah kita akan membahas mengenai Azura?" Leana tergugu, dia menoleh ke sembarang arah agar tak menatap wajah pria di hadapannya. "Lea," ucap Aditya serak. Pria itu mempersempit jaraknya, membuat Leana dilanda ketakutan."Om … Om tolong, jangan mendekat. Kita ... kita bisa membicarakannya baik-baik." Aditya terkekeh garing, dia sangat menikmati wajah ketakutan dari perempuan manis di hadapannya. "Leana, apa kamu menikmati menjadi Nyonya Mahendra?" Aditya mengusap surai halus Leana. "Pasti sangat menyenangkan, bukan? Gadis yang awalnya mempunyai kehidupan biasa sekarang menjadi Nyonya besar."Leana memejamkan mata erat, hembusan nafas Aditya bisa dia rasakan. "Mas Elvano, aku takut!" rintihnya dalam hati."Mengapa tidak menjawab, hm? Apa kamu mau saya buat membuka mul
"Lea? Mama pikir kamu lagi di butik." Sania menyapa Leana ketika melihat eksisitensi perempuan itu. Leana tersenyum, lalu menaruh sling bagnya di atas sofa."Tidak, Ma. Sudah jam dua siang, aku juga ke sini sekalian mau bawa si kembar pulang sama Azura." Sania mengangguk mengerti, perempuan itu melangkah menuju kamar yang ditempati oleh ketiga bocah itu. "Mereka masih tidur siang, bawa nanti sore saja, ya?" Leana tersenyum tipis, dia melangkah mendekat dan mengambil duduk di pinggir kasur. Lucu sekali, Nala berada di tengah-tengah antara Nathan dan Azura. "Ya sudah, aku bawa mereka nanti sore saja, Ma. Kasihan juga kalau dibangunkan." Terjadi keheningan untuk sesaat, Leana menoleh ke arah mama mertuanya. Wanita itu sedang menatap lurus ke arah Azura. "Mama …""Maaf, Mama melamun." Sania tersenyum simpul. Leana yang mengerti arti dari raut Sania ikut menerbitkan senyum."Mama mau bertanya apa?"Sania melihat ke arah Leana dengan raut kaget yang kentara. "Kamu bisa membaca pikiran, Ma
"Mas?" Leana tersentak kala Elvano sudah mengambil duduk di sampingnya. Pria Itu terdiam dengan tatapan dalam menyorot padanya. "Mas pulang hampir jam sebelas malam, memangnya ada pekerjaan mendadak, ya?" tanya Leana, pasalnya Elvano mengatakan akan pulang sore, nyatanya lebih dari itu. "Sayang, ada yang kamu sembunyikan dari aku?" Tubuh Leana menegang, perempuan itu berdehem guna menetralisir rasa gugupnya."Tidak ada, memangnya kenapa, Mas?" Elvano tak menjawab, justru dia memberikan amplop pada Leana. Leana yang sedang dilanda kebingungan membuka amplop itu ragu-ragu, setelahnya perempuan itu menegang, diliputi rasa bersalah." Mas … aku—""Kamu bisa menjelaskan apa maksudnya ini?" Elvano bertanya pelan dan lembut, tapi tidak dengan ekspresinya yang menampakkan raut kekecewaan mendalam."Aku …." Leana menunduk, perempuan itu mulai menjelaskan mengapa dia bisa bertemu dengan Aditya. Leana juga mengatakan siapa ayah Azura sebenarnya. "Tapi sungguh, Mas. Aku tidak tau kenapa ada fotok
"Risa, apa menurutmu ada penghianat lagi selain Aditya? Mengingat jika berita itu mencuat kala Aditya sudah menghilang?" Risa menatap Alvaro sejenak, perempuan itu terlihat berpikir sebelum mengutarakan pendapatnya. "Sudah pasti, tidak mungkin Pak Aditya melakukan ini sendiri, sepetinya ada orang inti di dalam prusahaan ini yang bekerja sama dengan beliau." Semua yang ada di ruangan itu terdiam, sementara Elvano sejak tadi hanya memejamkan mata dengan pikiran melanglang buana. "Diandra," celetukan Elvano mengundang atensi yang ada di ruangan itu. "Deandra putrinya Rayan, bukan?" Elvano membuka mata secara perlahan, netra hazel itu menyorot Alvaro begitu dalam. "Ya, cek kembali cctv yang Papa kasih ke aku waktu itu. Lalu compare dengan cctv di ruanganku yang aku kirim ke Papa. Maka Papa bisa menebak keganjilan yang terjadi." Alvaro mengkode sekretarisnya, dengan cepat pria paruh baya itu mengikuti intruksi sang atasan. Saat ini mereka hanya ber empat di ruangan Alvaro, pertemuan de
"Jadi, di mana Mas Elvano?" tanya Leana setelah Risa mendudukkan bokongnya. Sementara Zelina belum kembali juga ke kamar Leana. "Pak Elvano sedang menyelesaikan semua kekacauan ini, Bu. Dan saya ditugaskan untuk menjaga Bu Leana sementara waktu." "Saya tidak perlu dijaga, Mbak. Saya hanya butuh Mas Elvano dan juga si kembar!" Risa menatap Leana sendu, pasti berat sekali menjadi Leana saat ini. "Nanti malam kita langsung pulang ke rumah Bu Leana, Pak Elvano sudah menyuruh orang kepercayaannya untuk membereskan wartawan yang ada di rumah. Dan saya janji, Bu Leana akan segera bertemu Nathan dan Nala." Leana mengangguk haru, tak lupa memeluk Risa dengan ucapan terima kasih.Malam harinya, Leana yang sudah sampai di rumahnya bergegas masuk ke dalam. Tak ada yang Leana lihat wartawan satu pun. Yang ada hanya pria berbadan kekar, mengelilingi pagar beserta halaman rumahnya. Dan mereka semua menyambut Lenaa dengan sopan. "Mama!" Leana yang melihat kedua anaknya sontak saja berlari cepat d
Pagi harinya Leana dikejutkan oleh tangan kekar yang memeluk pinggangnya erat. Leana tersenyum, lalu membalikkan posisi tidurnya, untuk menghadap pria tercintanya. "Sudah bangun, Sayang?" bisik Elvano serak, dia menatap lembut ke arah perempuan cantik didekapannya. "Mas pulang jam berapa?" Alih-alih menjawab, Leana justru bertanya balik. Dia mengelus rahang kokoh itu penuh sayang, terlihat jelas raut letih sang suami. "Sekitar pukul satu dini hari, aku ke rumah Mama dulu soalnya." Elvano memejamkan mata, menikmati usapan lembut sang istri. Selalu seperti ini, apapun masalah yang dihadapi. Jika Leana ada di sisinya, maka Elvano merasa tenang dan damai. Ya, sebesar itu efek Leana Pramita dalam hidupnya."Mas terlihat lelah, istirahat saja hari ini. Jangan memforsir tenaga, aku tidak mau jika Mas jatuh sakit.""Maaf, Sayang. Untuk permintaan kamu yang satu ini, aku tidak bisa menurutinya." Elvano mengecup kening Leana, sebelum melanjutkan ucapannya, "Tapi aku janji, akan menyelesaikan
"Lea!" Tubuh Leana menegang sesaat, lalu menyapa perempuan itu. "Diandra?" Diandra tersenyum lebar, jika biasanya perempuan itu memakai riasan berlebih. Kali ini wajahnya tampak lebih alami, dan itu menambah kesan manis padanya. "Maaf kalau aku tidak kasih tahu kamu terlebih dahulu. Omong-omong apakah aku mengganggu?" Leana tersenyum canggung, dia sedikit malu karena penampilannya berbanding terbalik dengan perempuan di hadapannya. "Tidak apa-apa, ayo masuk. Nanti kita makan siang bersama. Sebentar lagi si kembar juga pasti pulang." Diandra tersenyum lebar, perempuan itu tak henti-hentinya menatap takjub interior rumah Leana. "Rumah kamu nyaman, pemilihan warnanya juga sangat bagus." Leana tersenyum simpul mendengarnya. "Ini semua Mas El yang merancang, kalau aku mana paham." Leana mempersilahkan Diandra untuk duduk pada sofa yang ada di ruang tamu. "Terima kasih," kata Diandra diiringi senyuman lebar. Yang dibalas anggukan singkat oleh sang empu. Leana bernafas lega ketika mel
Waktu terus berjalan, terhitung sudah dua bulan pencarian Aditya maupun Azura. Dan tidak ada tanda-tanda mereka ditemukan. Semua cara sudah Elvano serta Alvaro lakukan, tapi nihil. Bahkan keluarga besar mereka meminta untuk mengikhlaskan. Sedangkan untuk, Risa. Perempuan itu sudah dinyatakan meninggal, walau jasadnya tak kunjung ditemukan karena kondisi mobil yang sudah rusak parah serta terbakar. Elvano menghembuskan nafas lelah, dia masih mengingat wajah sendu papanya ketika melihat potret sang paman sewaktu masa sekolah. Elvano tahu, semarah-marahnya papanya, tetap saja rasa sayang sebagai saudara sangatlah kuat. Apalagi Aditya adalah adik semata wayang dari seorang Alvaro Mahendra. Akan tetapi, apa mau dikata. Mungkin ini adalah garis takdir yang harus mereka lalui. Dan mereka semua harus menerimanya dengan berlapang dada. “Harusnya malam itu aku tidak memukul, Om Aditya.”Leana menatap sendu Elvano yang sedari tadi menatap kosong ke arah depan. Jika boleh jujur, Leana juga mer
Andai waktu bisa diputar kembali, Alvaro tetap kukuh ikut bersama Elvano dan Aditya. Namun, semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa disalahkan, yang paling membuat dada Alvaro sesak adalah malam itu terakhir kalinya ia bertemu sang adik. Sebelum kejadian tragis itu terjadi. Ya, benar. Kapal tempat Azura disekap itu meledak dan terbakar hebat. Alvaro ingat betul saat Elvano menelponnya dengan nada bergetar, ketika dia sudah sampai di lokasi yang disebutkan oleh sang putra. Masyarakat terlihat berkumpul melihat kobaran api yang begitu besar di tengah lautan. Sementara Elvano terduduk dengan pandangan kosong sambil memangku Leana yang terkulai lemas di depan pintu gudang. “Apa yang terjadi, Vano?” Alvaro bertanya heran, pasalnya Elvano belum juga menyadari kehadirannya, dan mengapa pria itu tak kunjung membawa Leana ke rumah sakit?Alvaro yang tak sabaran menginstruksikan pada Tama, sang sekretaris untuk bertanya pada anak buah Elvano yang terlihat menunduk di belakang pria itu dengan
“Ck, pergi kalian semua!” Risa berseru dari ambang pintu, mengapa anak buahnya begitu bodoh? Padahal dia hanya menyuruh untuk melihat kondisi Leana yang tak diberi makan sedari kemarin, tapi lihatlah kelakuan mereka semua. Malah menggoda Leana dengan rayuan kotor. Bukan begini rencana, Risa. Tapi anak buahnya yang tak punya otak itu justru melakukan sebaliknya. “Cepat! Apa yang kalian tunggu!” Emosi juga lama-lama, padahal baru saja dia dari lantai atas untuk melihat Azura yang terus menangis, jika tak diancam mungkin gadis kecil itu akan semakin menangis histeris. “Ma-maaf, Bos. Bukankah kamu bilang jika eksekusi saja perempuan ini?” Pria berkepala plontos yang sedari tadi paling mengincar Leana seketika melayangkan protes—walau dalam hati cukup ketar-ketir akan respon, Risa.Risa menggeram kesal, lalu menampar satu-satu pria di hadapannya. “Punya otak dipakai! Cepat keluar, dan segera pindahkan Azura ke tempat yang sudah saya siapkan! Jika Aditya sudah masuk ke dalam kapal itu, lan
Aditya meremas ponselnya, pria itu terlihat meragu untuk sesaat. Memejamkan mata pelan sembari melafalkan dalam hati jika semuanya baik-baik saja. Aditya kembali melihat kontak yang tertera pada layar benda pipih berbentuk persegi panjang itu.Tangan pria itu tanpa sadar bergetar ketika menekan nomor telepon yang akan dituju. Dan pada akhirnya tersambung, masih belum ada tanda-tanda jika objek yang dituju akan mengangkatnya. Pada deringan kelima, barulah terdengar suara serak yang memenuhi gendang telinga. Aditya berdebar dengan bibir kelu, sudah lama dia tak berbicara dengan saudara satu-satunya itu. “Halo, jika tidak berbicara juga, saya tutup, sepertinya Anda salah sambung.” Aditya menggigit bibir gugup, lidahnya terasa kelu saat akan membuka suara. “Baiklah, saya matikan jika—”“Mas … Al-alva …,” potong pria itu susah payah, dia mengepalkan tangan dengan jantung bergemuruh hebat ketika tak mendapatkan respon apapun dari seberang sana. Selama beberapa saat terjadi keheningan,
“LEANA!!” Elvano terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Syukurlah, Papa sangat khawatir sama kamu.”Elvano yang belum tersadar apa yang terjadi hanya menatap bingung Alvaro serta Tama, wajah mereka terlihat begitu khawatir ketika menatap ke arahnya. Elvano meringis, memegang pelipisnya yang terasa berdenyut hebat. Setelah mengingat apa yang terjadi, dia semakin panik dan langsung melompat turun dari atas Kasur.Namun, dikarenakan kondisi tubuhnya yang masih lemah, pria itu terjatuh. Dengan kepala yang semakin berdentum hebat.“Apa yang kamu lakukan!” seru Alvaro ketika melihat tingkah sang putra. “Kamu ini baru saja siuman dari pingsan. Jangan berbuat ulah!” Alvaro membantu Elvano untuk kembali berbaring. Tidakkah Elvano tahu jika Alvaro begitu khawatir? Apalagi saat anak buah Elvano memberitahukan bahwa sang putra jatuh pingsan ketika mencari keberadaaan Leana serta Azura.Elvano terkena panic attack, yang terjadi akibat kecemasan secara berlebihan. A
Risa tersenyum keji, dia sangat menikmati wajah pucat pasi dari perempuan di hadapannya saat ini. “Jika aku menyedihkan, maka kamu jauh lebih menyedihkan,” ucapnya seraya bersiap-siap menekan dalam pisau yang ada di tangannya.Leana melonglong kesakitan ketika benda tajam itu menekan perutnya begitu dalam, dia tak pernah merasakan kesakitan yang begitu nyata seperti ini. Semua ini terlalu sakit, dan Leana tahu jika dia tak akan bisa selamat kali ini. Di tengah rasa sakit yang mulai mengambil alih kesadarannya, Leana mengingat wajah kedua putra putrinya. Semua kenangan mereka bak film yang sedang diputar, canda dan tawa Nathan serta Nala terus berputar dalam ingatannya. Apakah jika dia sudah tiada anak-anaknya akan terus bahagia? Dan jika nanti ada yang menggantikan perannya─apa perempuan itu akan memperlakukan putra putrinya sama seperti dirinya? Leana mulai terisak hebat, ternyata rasa sakit akibat tikaman Risa gak ada apa-apanya dibandingkan berpisah dengan anak-anaknya. “Akh! S
“Berhati-hatilah, Vano. Aku tidak ingin kamu lengah.”Elvano menganggukkan kepala, setelah tersadar jika Zion tak melihatnya. Pria itu berdehem sembari menjawab pelan. “Tentu.” Toh, mana mungkin Risa bisa menembus penjagaan ketatnya. “Bagaimana keadaan Zelina, apa dia sudah mulai mendingan?” Hembusan lelah menginvasi indra pendengaran Elvano. “Begitulah, Papa sama Mama menyarankan jika kami berlibur. Tapi mungkin setelah Zelina benar-benar sembuh total.” Elvano yang mendengar nada sedih itu kembali dirundung amarah, jika Risa serta Aditya tertangkap. Elvano Sendiri yang memberikan hukuman setimpal untuk mereka, sudah cukup kekacauan yang diperbuat. “Vano, sudah dulu ya. Zelina sudah bangun soalnya, sampaikan salamku pada si kembar dan Leana.” “Hm, pasti.” Elvano mematikan panggilan, lalu melangkah menuju Leana berada. Kening pria itu berkerut ketika tak menemukan seorangpun di sana, ke mana mereka semua?Elvano berjalan menuju kamar paling ujung, berpikir bahwa Leana sedang menid
Jika boleh memilih, Leana lebih baik berhadapan dengan makhluk tak kasat mata dari pada manusia gila yang nekat melakukan apa saja. Contohnya, seperti sekarang ini, raut menyala-nyala yang Risa tampakkan membuat bulu kudu Leana meremang oleh rasa takut yang tak bisa dideskripsikan. Seringai pada bibir ranum berpoles lipstik merah itu semakin menambah kesan keji dari Risa. “Long time no see, Leana. Kamu semakin cantik saja. Dan aku semakin iri melihatnya.” Leana tersentak kaget ketika Risa tiba-tiba menekan kuat lehernya. Perbedaan tinggi mereka membuat Risa diuntungkan, apalagi tubuh perempuan itu sangat unggul jika dibandingkan Leana yang mungil. “Pasti menyenangkan, bukan? Menjadi seorang nyonya di kediaman Elvano Mahendra─”“Sayang!”Perkataan Risa terhenti kala perempuan itu mendengar suara Elvano yang memanggil Leana. “Ck, sayang sekali waktu kita hanya sebentar, tapi kamu tenang saja. Kita akan mempunyai waktu luang yang sangat banyak, dan aku akan menceritakan semuanya.” R
Beberapa hari setelah kejadian itu, Leana terlihat pendiam. Perempuan itu juga selalu was-was dalam segala hal. Elvano yang notabenenya peka akan apa yang terjadi pada sang istri segera mencari tahu. Mulai dari saat di mana perubahan sikap Leana, sampai dia melacak apa yang terjadi di butik sang istri, tak ada yang aneh sebenarnya, kecuali pada sore hari ketika Leana menerima paket yang diserahkan oleh karyawannya. Ketika Elvano mengecek rekaman cctv yang ada di dalam ruangan Leana, rahang pria itu bergetar ketika melihat wajah ketakutan Leana saat membuka box putih berpita gold itu.Elvano tak tahu apa isinya, karena setelah itu Leana membuangnya ke tong sampah, lalu memanggil satpam butiknya. “Mas! Ngagetin aja!” Leana memegang dadanya—menatap kesal ke arah sang suami. "Habisnya kamu melamun terus sedari tadi, mikirin apa, hm?" Elvano mendekap tubuh mungil istrinya dari belakang, dia akan menunggu sampai Leana siap menceritakan semuanya.Leana terdiam, dia kembali melempar pandan