"Jadi, di mana Mas Elvano?" tanya Leana setelah Risa mendudukkan bokongnya. Sementara Zelina belum kembali juga ke kamar Leana. "Pak Elvano sedang menyelesaikan semua kekacauan ini, Bu. Dan saya ditugaskan untuk menjaga Bu Leana sementara waktu." "Saya tidak perlu dijaga, Mbak. Saya hanya butuh Mas Elvano dan juga si kembar!" Risa menatap Leana sendu, pasti berat sekali menjadi Leana saat ini. "Nanti malam kita langsung pulang ke rumah Bu Leana, Pak Elvano sudah menyuruh orang kepercayaannya untuk membereskan wartawan yang ada di rumah. Dan saya janji, Bu Leana akan segera bertemu Nathan dan Nala." Leana mengangguk haru, tak lupa memeluk Risa dengan ucapan terima kasih.Malam harinya, Leana yang sudah sampai di rumahnya bergegas masuk ke dalam. Tak ada yang Leana lihat wartawan satu pun. Yang ada hanya pria berbadan kekar, mengelilingi pagar beserta halaman rumahnya. Dan mereka semua menyambut Lenaa dengan sopan. "Mama!" Leana yang melihat kedua anaknya sontak saja berlari cepat d
Pagi harinya Leana dikejutkan oleh tangan kekar yang memeluk pinggangnya erat. Leana tersenyum, lalu membalikkan posisi tidurnya, untuk menghadap pria tercintanya. "Sudah bangun, Sayang?" bisik Elvano serak, dia menatap lembut ke arah perempuan cantik didekapannya. "Mas pulang jam berapa?" Alih-alih menjawab, Leana justru bertanya balik. Dia mengelus rahang kokoh itu penuh sayang, terlihat jelas raut letih sang suami. "Sekitar pukul satu dini hari, aku ke rumah Mama dulu soalnya." Elvano memejamkan mata, menikmati usapan lembut sang istri. Selalu seperti ini, apapun masalah yang dihadapi. Jika Leana ada di sisinya, maka Elvano merasa tenang dan damai. Ya, sebesar itu efek Leana Pramita dalam hidupnya."Mas terlihat lelah, istirahat saja hari ini. Jangan memforsir tenaga, aku tidak mau jika Mas jatuh sakit.""Maaf, Sayang. Untuk permintaan kamu yang satu ini, aku tidak bisa menurutinya." Elvano mengecup kening Leana, sebelum melanjutkan ucapannya, "Tapi aku janji, akan menyelesaikan
"Lea!" Tubuh Leana menegang sesaat, lalu menyapa perempuan itu. "Diandra?" Diandra tersenyum lebar, jika biasanya perempuan itu memakai riasan berlebih. Kali ini wajahnya tampak lebih alami, dan itu menambah kesan manis padanya. "Maaf kalau aku tidak kasih tahu kamu terlebih dahulu. Omong-omong apakah aku mengganggu?" Leana tersenyum canggung, dia sedikit malu karena penampilannya berbanding terbalik dengan perempuan di hadapannya. "Tidak apa-apa, ayo masuk. Nanti kita makan siang bersama. Sebentar lagi si kembar juga pasti pulang." Diandra tersenyum lebar, perempuan itu tak henti-hentinya menatap takjub interior rumah Leana. "Rumah kamu nyaman, pemilihan warnanya juga sangat bagus." Leana tersenyum simpul mendengarnya. "Ini semua Mas El yang merancang, kalau aku mana paham." Leana mempersilahkan Diandra untuk duduk pada sofa yang ada di ruang tamu. "Terima kasih," kata Diandra diiringi senyuman lebar. Yang dibalas anggukan singkat oleh sang empu. Leana bernafas lega ketika mel
"Apa pun yang Anda rencanakan, berhenti sampai di sini. Atau saya akan bongkar semuanya." Diandra menoleh, dia menatap Risa aneh. "Maksud kamu apa, ya?" Risa menatap Diandra datar, jika tidak disuruh Leana mengantar perempuan ini sampai ke depan, dia tak akan sudi. "Berhenti bersikap sok polos, dan jangan pernah ke sini lagi. Apalagi berteman dengan Bu Leana. Dengan semua kejahatan yang Anda lakukan, Anda pikir bisa lolos begitu saja?"Kini Diandra benar-benar memfokuskan atensinya pada Risa. "Saya sungguh tidak mengerti apa yang kamu katakan—satu yang harus kamu tahu. Jika saya tidak pernah melakukan kejahatan apapun!" tampik Diandra jengkel. Risa tersenyum miring, topeng perempuan ini tebal sekali. Andai dia tak mengingat peringatan dari Elvano, jika harus membongkar kedok perempuan ini secara perlahan. Risa tak membayangkan apa yang akan Elvano lakukan pada Keluarga Diandra nantinya. "Ya sudah, pergilah. Jangan harap bisa kembali lagi ke sini."Diandra meremas kedua tangannya, di
"Kamu akan tamat sebentar lagi, dan saya akan membawa Azura pergi setelah itu." "Diamlah brengsek!" Bukanya takut, pria itu justru mendekat dengan tawa yang menggema pada seluruh ruangan sempit itu. "Mel, sudah aku katakan. Kamu terlalu serakah, sudah cukup membodohiku selama ini, dan sekarang kamu mau mengambil Elvano beserta menguasai harta kekayaannya? Cih! Mimpi saja kamu, Elvano tak sebodoh itu." Wajah jelita tanpa polesan berlebih itu mendesis kesal, apa yang pria itu katakan memang benar. Tetapi tak jua menyurutkan ambisi serta obsesinya. Dia sudah memendam perasaan ini terlalu lama, sedangkan Aditya hanyalah batu loncatan untuk dia bisa menggapai semua ini. "Aku pergi, masih banyak yang harus aku lakukan. Kamu urus saja pembantu di rumah itu supaya bungkam."Aditya tertawa remeh. "Kamu menghindar, Mel?" sindir pria itu dengan nada penuh ejekan. "Diam, Aditya! Aku tak ingin berdebat!" ***Sementara itu, Elvano serta Zion sudah memarkirkan limosinnya di depan pagar rumah me
"Ini bukan jalan menuju rumah, sebenarnya kita mau ke mana?" Risa menoleh ke arah Nathan, perempuan itu menggeram melihat anak laki-laki yang begitu cerewet menurutnya. "Kita ke rumah Tante dulu, ya. Kamu tidur saja seperti Nala, pasti lelah sehabis pulang sekolah. Suruh tidur teman kamu yang satu itu juga." Azura tiba-tiba memeluk lengan Nathan erat, keringat dingin semakin membanjiri tubuhnya. "Tidak usah! Langsung antar kami pulang saja!" Risa yang sudah dongkol dengan segera memberhentikan roda empatnya, lalu mengambil sesuatu dari dashboard mobil. "Apa yang akan kamu lakukan!" seru Nathan, dia merasakan firasat yang tidak baik. Nathan merapatkan tubuh Nala serta Azura ke dalam pelukannya. Anak laki-laki itu menoleh ke sekitar, mengingat-ingat jalan yang mereka lalui. Risa menyeringai, lalu mulai mendekat. "Jangan ... jangan sakitin Nathan sama Nala, Mama! Mereka anak baik! Sakiti Azura saja! Jangan mereka!" Nathan terperangah mendengar ucapan lantang Azura, belum lagi gadis k
Risa menggeram setelah mematikan ponselnya, memang seharusnya wanita paruh baya itu dia lenyapkan dari dulu, gara-gara mulut besarnya Risa harus memutar otak agar rencananya tetap berjalan. Untung saja orang suruhannya segera memberitahunya, jadi dia dengan cepat bertindak. Alhasil di sinilah Risa sekarang. Menunggu Elvano—sang pujaan hati datang menghampiri. Ah … Risa jadi gugup sendiri, bagaimana reaksi Elvano serta Alvaro kala melihatnya nanti. Jika boleh jujur, terbesit rasa tak enak pada Alvaro. Karena pria itu sangat baik, dan membantunya keluar dari jerat kemiskinan. Tetapi semuanya segera Risa enyahkan, karena obsesi memiliki Elvano dan menguasai harta pria itu sudah menghilangkan akal sehatnya. . Risa mengalihkan atensinya pada kedua anak gadis yang sedang menangis setelah tersadar dari pingsannya. Sementara Nathan hanya menatap lurus ke depan. Dia sendiri juga heran, mengapa anak sekecil itu bisa mempunya ketenangan yang luar biasa dalam situasi seperti ini. "Sudah dua ja
Nathan melemparkan ponsel itu ke bawah tumpukan kursi yang berada di pojok ruangan. Anak laki-laki itu langsung mendekap Azura serta Nala. “Bos nyuruh kita menjaga ketiga bocah ini? Yang benar saja! Memangnya apa yang anak sekecil ini bisa lakukan selain merengek!” Pria berkepala plontos itu terbahak, diikuti oleh temannya. “Kamu saja yang jaga mereka, aku mau keluar sebentar. Toh, cuma bocah ingusan.” Pria berkepala plontos itu mendecih melihat temannya, tapi tak urung mengiyakan. Setelah temannya pergi, pria itu mendekat ke arah ketiga anak kecil yang menatapnya takut-takut. “Halo anak manis, mau bermain sama, Om?” goda pria itu dengan tawa yang menggema. Di sisi lain, Risa yang sedang menyusun rencana bersama Aditya dikejutkan oleh anak buahnya. Perempuan itu menggeram kesal karena tak suka diganggu jika sedang seperti ini. “Jika kamu menyampaikan berita yang tidak berguna, saya akan menghabisimu detik ini juga!” Pria jangkung dengan tato disekujur wajahnya itu membungkuk takut
Waktu terus berjalan, terhitung sudah dua bulan pencarian Aditya maupun Azura. Dan tidak ada tanda-tanda mereka ditemukan. Semua cara sudah Elvano serta Alvaro lakukan, tapi nihil. Bahkan keluarga besar mereka meminta untuk mengikhlaskan. Sedangkan untuk, Risa. Perempuan itu sudah dinyatakan meninggal, walau jasadnya tak kunjung ditemukan karena kondisi mobil yang sudah rusak parah serta terbakar. Elvano menghembuskan nafas lelah, dia masih mengingat wajah sendu papanya ketika melihat potret sang paman sewaktu masa sekolah. Elvano tahu, semarah-marahnya papanya, tetap saja rasa sayang sebagai saudara sangatlah kuat. Apalagi Aditya adalah adik semata wayang dari seorang Alvaro Mahendra. Akan tetapi, apa mau dikata. Mungkin ini adalah garis takdir yang harus mereka lalui. Dan mereka semua harus menerimanya dengan berlapang dada. “Harusnya malam itu aku tidak memukul, Om Aditya.”Leana menatap sendu Elvano yang sedari tadi menatap kosong ke arah depan. Jika boleh jujur, Leana juga mer
Andai waktu bisa diputar kembali, Alvaro tetap kukuh ikut bersama Elvano dan Aditya. Namun, semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa disalahkan, yang paling membuat dada Alvaro sesak adalah malam itu terakhir kalinya ia bertemu sang adik. Sebelum kejadian tragis itu terjadi. Ya, benar. Kapal tempat Azura disekap itu meledak dan terbakar hebat. Alvaro ingat betul saat Elvano menelponnya dengan nada bergetar, ketika dia sudah sampai di lokasi yang disebutkan oleh sang putra. Masyarakat terlihat berkumpul melihat kobaran api yang begitu besar di tengah lautan. Sementara Elvano terduduk dengan pandangan kosong sambil memangku Leana yang terkulai lemas di depan pintu gudang. “Apa yang terjadi, Vano?” Alvaro bertanya heran, pasalnya Elvano belum juga menyadari kehadirannya, dan mengapa pria itu tak kunjung membawa Leana ke rumah sakit?Alvaro yang tak sabaran menginstruksikan pada Tama, sang sekretaris untuk bertanya pada anak buah Elvano yang terlihat menunduk di belakang pria itu dengan
“Ck, pergi kalian semua!” Risa berseru dari ambang pintu, mengapa anak buahnya begitu bodoh? Padahal dia hanya menyuruh untuk melihat kondisi Leana yang tak diberi makan sedari kemarin, tapi lihatlah kelakuan mereka semua. Malah menggoda Leana dengan rayuan kotor. Bukan begini rencana, Risa. Tapi anak buahnya yang tak punya otak itu justru melakukan sebaliknya. “Cepat! Apa yang kalian tunggu!” Emosi juga lama-lama, padahal baru saja dia dari lantai atas untuk melihat Azura yang terus menangis, jika tak diancam mungkin gadis kecil itu akan semakin menangis histeris. “Ma-maaf, Bos. Bukankah kamu bilang jika eksekusi saja perempuan ini?” Pria berkepala plontos yang sedari tadi paling mengincar Leana seketika melayangkan protes—walau dalam hati cukup ketar-ketir akan respon, Risa.Risa menggeram kesal, lalu menampar satu-satu pria di hadapannya. “Punya otak dipakai! Cepat keluar, dan segera pindahkan Azura ke tempat yang sudah saya siapkan! Jika Aditya sudah masuk ke dalam kapal itu, lan
Aditya meremas ponselnya, pria itu terlihat meragu untuk sesaat. Memejamkan mata pelan sembari melafalkan dalam hati jika semuanya baik-baik saja. Aditya kembali melihat kontak yang tertera pada layar benda pipih berbentuk persegi panjang itu.Tangan pria itu tanpa sadar bergetar ketika menekan nomor telepon yang akan dituju. Dan pada akhirnya tersambung, masih belum ada tanda-tanda jika objek yang dituju akan mengangkatnya. Pada deringan kelima, barulah terdengar suara serak yang memenuhi gendang telinga. Aditya berdebar dengan bibir kelu, sudah lama dia tak berbicara dengan saudara satu-satunya itu. “Halo, jika tidak berbicara juga, saya tutup, sepertinya Anda salah sambung.” Aditya menggigit bibir gugup, lidahnya terasa kelu saat akan membuka suara. “Baiklah, saya matikan jika—”“Mas … Al-alva …,” potong pria itu susah payah, dia mengepalkan tangan dengan jantung bergemuruh hebat ketika tak mendapatkan respon apapun dari seberang sana. Selama beberapa saat terjadi keheningan,
“LEANA!!” Elvano terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Syukurlah, Papa sangat khawatir sama kamu.”Elvano yang belum tersadar apa yang terjadi hanya menatap bingung Alvaro serta Tama, wajah mereka terlihat begitu khawatir ketika menatap ke arahnya. Elvano meringis, memegang pelipisnya yang terasa berdenyut hebat. Setelah mengingat apa yang terjadi, dia semakin panik dan langsung melompat turun dari atas Kasur.Namun, dikarenakan kondisi tubuhnya yang masih lemah, pria itu terjatuh. Dengan kepala yang semakin berdentum hebat.“Apa yang kamu lakukan!” seru Alvaro ketika melihat tingkah sang putra. “Kamu ini baru saja siuman dari pingsan. Jangan berbuat ulah!” Alvaro membantu Elvano untuk kembali berbaring. Tidakkah Elvano tahu jika Alvaro begitu khawatir? Apalagi saat anak buah Elvano memberitahukan bahwa sang putra jatuh pingsan ketika mencari keberadaaan Leana serta Azura.Elvano terkena panic attack, yang terjadi akibat kecemasan secara berlebihan. A
Risa tersenyum keji, dia sangat menikmati wajah pucat pasi dari perempuan di hadapannya saat ini. “Jika aku menyedihkan, maka kamu jauh lebih menyedihkan,” ucapnya seraya bersiap-siap menekan dalam pisau yang ada di tangannya.Leana melonglong kesakitan ketika benda tajam itu menekan perutnya begitu dalam, dia tak pernah merasakan kesakitan yang begitu nyata seperti ini. Semua ini terlalu sakit, dan Leana tahu jika dia tak akan bisa selamat kali ini. Di tengah rasa sakit yang mulai mengambil alih kesadarannya, Leana mengingat wajah kedua putra putrinya. Semua kenangan mereka bak film yang sedang diputar, canda dan tawa Nathan serta Nala terus berputar dalam ingatannya. Apakah jika dia sudah tiada anak-anaknya akan terus bahagia? Dan jika nanti ada yang menggantikan perannya─apa perempuan itu akan memperlakukan putra putrinya sama seperti dirinya? Leana mulai terisak hebat, ternyata rasa sakit akibat tikaman Risa gak ada apa-apanya dibandingkan berpisah dengan anak-anaknya. “Akh! S
“Berhati-hatilah, Vano. Aku tidak ingin kamu lengah.”Elvano menganggukkan kepala, setelah tersadar jika Zion tak melihatnya. Pria itu berdehem sembari menjawab pelan. “Tentu.” Toh, mana mungkin Risa bisa menembus penjagaan ketatnya. “Bagaimana keadaan Zelina, apa dia sudah mulai mendingan?” Hembusan lelah menginvasi indra pendengaran Elvano. “Begitulah, Papa sama Mama menyarankan jika kami berlibur. Tapi mungkin setelah Zelina benar-benar sembuh total.” Elvano yang mendengar nada sedih itu kembali dirundung amarah, jika Risa serta Aditya tertangkap. Elvano Sendiri yang memberikan hukuman setimpal untuk mereka, sudah cukup kekacauan yang diperbuat. “Vano, sudah dulu ya. Zelina sudah bangun soalnya, sampaikan salamku pada si kembar dan Leana.” “Hm, pasti.” Elvano mematikan panggilan, lalu melangkah menuju Leana berada. Kening pria itu berkerut ketika tak menemukan seorangpun di sana, ke mana mereka semua?Elvano berjalan menuju kamar paling ujung, berpikir bahwa Leana sedang menid
Jika boleh memilih, Leana lebih baik berhadapan dengan makhluk tak kasat mata dari pada manusia gila yang nekat melakukan apa saja. Contohnya, seperti sekarang ini, raut menyala-nyala yang Risa tampakkan membuat bulu kudu Leana meremang oleh rasa takut yang tak bisa dideskripsikan. Seringai pada bibir ranum berpoles lipstik merah itu semakin menambah kesan keji dari Risa. “Long time no see, Leana. Kamu semakin cantik saja. Dan aku semakin iri melihatnya.” Leana tersentak kaget ketika Risa tiba-tiba menekan kuat lehernya. Perbedaan tinggi mereka membuat Risa diuntungkan, apalagi tubuh perempuan itu sangat unggul jika dibandingkan Leana yang mungil. “Pasti menyenangkan, bukan? Menjadi seorang nyonya di kediaman Elvano Mahendra─”“Sayang!”Perkataan Risa terhenti kala perempuan itu mendengar suara Elvano yang memanggil Leana. “Ck, sayang sekali waktu kita hanya sebentar, tapi kamu tenang saja. Kita akan mempunyai waktu luang yang sangat banyak, dan aku akan menceritakan semuanya.” R
Beberapa hari setelah kejadian itu, Leana terlihat pendiam. Perempuan itu juga selalu was-was dalam segala hal. Elvano yang notabenenya peka akan apa yang terjadi pada sang istri segera mencari tahu. Mulai dari saat di mana perubahan sikap Leana, sampai dia melacak apa yang terjadi di butik sang istri, tak ada yang aneh sebenarnya, kecuali pada sore hari ketika Leana menerima paket yang diserahkan oleh karyawannya. Ketika Elvano mengecek rekaman cctv yang ada di dalam ruangan Leana, rahang pria itu bergetar ketika melihat wajah ketakutan Leana saat membuka box putih berpita gold itu.Elvano tak tahu apa isinya, karena setelah itu Leana membuangnya ke tong sampah, lalu memanggil satpam butiknya. “Mas! Ngagetin aja!” Leana memegang dadanya—menatap kesal ke arah sang suami. "Habisnya kamu melamun terus sedari tadi, mikirin apa, hm?" Elvano mendekap tubuh mungil istrinya dari belakang, dia akan menunggu sampai Leana siap menceritakan semuanya.Leana terdiam, dia kembali melempar pandan