Duduk sendiri di depan ruang televisi tanpa melakukan apa-apa, membuat matanya mengantuk. Dipandangnya jam yang menempel di dinding yang ternyata sudah jam 10 malam. Pantas perut aku sudah pedih, ah ternyata sudah jam 10. Apa aku makan saja ya." Hana berkata dengan memegang perutnya. "Tapi kalau nanti dia pulang, apa dia marah karena aku sudah makan duluan?" Pusing Hana memikirkan hal ini. "Tapi perut aku sudah pedih sekali, tidak apa aku makan duluan saja. Bila dia pulang, aku akan makan lagi," batinnya. Ia beranjak dari sofa dan berjalan menuju ke ruang makan. Hana memasukkan nasi, sayur asem dan sambal terasi ke dalam piringnya. Menu yang sudah disiapkan ini, begitu sangat menggugah seleranya. "Jangan dipandangi Hana, ayo dimakan." Hana berkata ketika dirinya sudah tidak sabar untuk menyantap hidangan makan malamnya sendiri. Dengan segera, disantapnya menu tersebut."Bila setiap hari makan-makanan enak seperti ini, pasti bisa buat aku gemuk," Hana mengunyah nasi di dalam mulutnya
Setelah melakukan penyatuan yang cukup lama, akhirnya Daffin mencapai pelepasannya. Pria itu berbaring di sebelah isterinya dengan keringat yang membasahi tubuh. Hana terkulai lemas dan tak berdaya. Ia berusaha mengatur napasnya yang sedang naik turun. "Apa ada yang bisa dimakan?" Daffin bertanya setelah memberikan Jeda waktu untuk istrinya beristirahat. Kini ia membutuhkan asupan tenaga setelah melakukan kerja kerasnya di malam hari. Hana tersenyum ketika mendengar pertanyaan suaminya. "Saya tadi sudah masak untuk tuan." Hana menundukkan kepalanya. Ia malu memandang wajah yang saat ini menatapnya."Bagus, aku mau makan." Daffin beranjak dari atas tempat tidur.Hana menganggukkan kepalanya. Meskipun merasa sangat lelah dengan tubuh terasa remuk dan kaki yang teramat pegel. Namun ia tetap mengurus makan Suaminya. "Saya akan memberikan diri dulu, ke kamar mandi.""Tidak usah, nanti saja." Daffin mengambil tisu dan memberikan
Hana terbangun, di lihatnya jam yang ternyata sudah jam 8 pagi. Apa yang dilakukan suaminya, sungguh membuat tenaganya habis terkuras dan lemas. Hingga terlambat bangun seperti ini. Dipandangnya wajah Daffin yang saat ini tertidur lelap. Entah apa yang dirasakannya saat ini. Meskipun wajah suaminya tampan, namun tidak membuat dirinya merasa senang. Apa yang dilakukan Daffin, membuat pesona ketampanannya sudah tidak terlihat lagi. "Mungkin memang sudah seperti ini bila menjadi pengganti. Diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Sapi jantan aja, mungkin nggak tega melakukan hubungan dengan sapi betina tanpa jeda. Tapi dia beda, tenaganya mungkin lebih kuat daripada sapi. Sepertinya ini orang, keturunan kuda liar. Yang memiliki tenaga kuat dan tidak ada capek-capeknya," batinnya."Ya ampun, kenapa aku harus lihat dia seperti ini." Hana merasa menjadi orang bodoh saat ini. "Sarapan." Hana teringat bahwa dirinya terlambat bangun dan belum membuat sarapan. Ia turun dari atas tempat t
Jantungnya seakan mau lepas dari tempatnya, ketika membalikkan tubuh. pria bertubuh tinggi dan tegap itu sudah berdiri pas di hadapannya. "Tuan kenapa anda mengejutkanku?" Hana mengusap dadanya. "Aku tidak mengejutkanmu, apa kau menganggap aku salah?" Daffin berkata dengan wajah tanpa dosa. Pria itu tersenyum tipis ketika melihat wajah istrinya yang memucat.Hana hanya diam tanpa berani membantah apa yang dikatakan suaminya. "Anda tidak salah tuan, saya yang salah. Jantung saya ini mungkin sangat tidak baik, sehingga terlalu mudah terkejut." Ia tersenyum, menutupi rasa kesalannya."Bagus bila kau menyadarinya." Daffin menatap istrinya."Saya sangat menyadarinya tuan." Walau bagaimanapun saat ini, dirinyalah yang harus mengalah dengan pria setengah gila yang menjadi suaminya. Daffin diam menatap wajah istrinya. Ia mendekatkan wajahnya dengan wajah Hana. Hana sangat gugup, ketika melihat Daffin yang mendekatkan wajahnya seperti ini. Ia memejamkan matanya ketika pria itu akan me
Hana diam memandang suaminya. "Apa gak malu, gak pakai baju gitu." Hana, malu sendiri ketika melihat suaminya yang berjalan tanpa sehelai benangpun. Dipegangnya dadanya yang sampai saat ini masih berdegup dengan cepat. Setelah selesai mandi, dipakainya pakaian yang diambil dari dalam lemari. Pakaian yang dipilihnya, begitu sangat sempurna melekat di tubuhnya yang mungil. Hana tahu bahwa baju ini, memang ukurannya, bukan ukuran tubuh milik kakak tirinya. Yang mana tubuh kakak tirinya tinggi langsing, tidak sama seperti tubuhnya yang tergolong mungil."Apa kamu sudah selesai memasang bajumu?" tanya Daffin yang berdiri di belakang Hana."Sudah tuan," jawab Hana dengan tersenyum."Sekarang pasangkan pakaianku." perintah Daffin."Ya ampun kenapa nasib aku seperti ini, sudah dapat suami setengah gila, sekarang dapat bayi tua." Hana mengomel dalam hati sambil memandang suaminya."Aku tidak punya waktu menunggu kamu menatap wajah tampan ku," ucap Daffin."Ya tuan, maafkan saya. Wajah anda
Hana duduk di sofa ruang tamu dan menunggu suaminya pulang dari kantor. Dua cangkir kopi dan goreng pisang sudah tersaji di atas meja. Sore ini kondisi cuaca terasa cukup sejuk setelah hujan turun di sore hari. Secangkir kopi dan goreng pisang yang masih dalam kondisi panas, sangat cocok menemani sore. Agar rasanya semakin enak, diberinya toping coklat, keju dan susu kental manis di atasnya. Hana dengan cepat beranjak dari duduknya, ketika mendengar suara mobil suaminya. Ia keluar dari dalam rumah dan berdiri di depan teras, untuk menjemput tuan suami. "Tuan, aku senang anda sudah pulang." Hana mengambil tangan suaminya dan mencium punggung tangan nan lebar tersebut.Daffin memandang istrinya yang sudah terlihat segar, selepas mandi. Rambutnya yang hitam dan panjang, masih terasa basah ketika dipegangnya. Hana mengambil tas dari tangan Daffin. Dengan sangat malu-malu, ia menunjuk keningnya. Mereka sudah melakukan hubungan suami-istri, rasanya tidak apa, bila meminta kecupan di k
Chapter 15Setelah libur beberapa hari, Hana berencana untuk kembali ke kampus. Ia ingin segera menyelesaikan skripsinya dan melakukan bimbingan dengan dosennya. Kata demi kata sudah disusunnya. Namun tetap saja, keberaniannya tidak ada. Dipandangnya Daffin secara diam-diam."Bagaimana ini, aku takut, tapi butuh. Ya sudah dicoba saja," tekadnya. Belum berbicara saja, jantungnya sudah berdegup dengan cepat. Kakinya mulai gemetar."Tuan apa saya boleh meminjam uang?" Hana bertanya ketika Daffin sudah menghabiskan sarapannya. Daffin memandang Hana dengan sedikit mengerutkan keningnya."Maaf tuan, Anda boleh memotong gaji saya bulan depan." Setelah menimbang-nimbang, pada akhirnya, ia memberanikan diri untuk meminjam uang, mengingat, tuntutan kebutuhan skripsinya."Berapa yang kamu butuhkan?" tanya Daffin.Dengan ragu-ragu, Hana mengangkat dua jarinya."Dua juta?" tanya Daffin."Tidak tuan Rp. 200.000 saja, soalnya saya butuh uang untuk print out makalah saya, agar bisa bimbingan den
Hana bersiap-siap untuk ke kampus. Dipilihnya long dress tanpa lengan berwarna merah, dikombinasikan dengan cardigan berwarna hitam yang memiliki lengan seperempat. Melihat lebel harga dari baju yang akan dikenakannya, membuat bulu kuduknya merinding.Diambilnya buku catatan yang sudah disiapkannya untuk mencatat hutangnya. Buku ini juga akan dipakainya untuk menulis menu yang di sukai dan tidak disukai suaminya. Apa saja hal yang di sukai dan tidak disukai Daffin. Meskipun semuanya terkesan ribet, namun bagi Hana, ini merupakan hal yang penting, agar tidak melakukan kesalahan karena."Ini baju dikasih gratis atau hutang sih? Malu gak ya, kalau aku tanyakan tentang baju ini." Hana memandang lebel harga cardigan dan long dress tersebut. "Bila sempat dia mengatakan ini hutang, entah bagaimana cara aku membayarnya." Hana mengusap wajahnya dan memandang long dress yang sudah di letaknya di atas tempat tidur. "Ini baju sangat bagus sekali, kainnya lembut dan dingin. Ya harganya juga se
Hana hanya diam saat kalung indah itu melingkar di lehernya. "Abang, beneran ini?" Tanyanya yang masih tidak percaya. "Iya sayang, nanti kasih Abang bonus ya." Daffin tersenyum dan mengangkat 3 jarinya.Mata Hana terbuka lebar saat melihat tiga jari suaminya. "Maksudnya 3 ronde?" Wanita cantik itu bertanya dengan wajah serius."Iya dong sayang," jawab Daffin.Hana diam dan menelan air ludahnya. Namun wanita itu tidak mampu untuk menolak, berhubungan apa yang diberikan Daffin tidak sebanding dengan apa yang dia inginkan. "Jangankan 3, 10 aja Hana layani bang," kata Hana dengan candaan.Namun berbeda dengan tanggapan yang diberikan Daffin. Pria itu ternyata mengganggap apa yang dikatakan istrinya serius. "Kalau gitu sampai pagi ya sayang." Dengan sangat genit Daffin mengedipkan matanya.Hana diam dan menelan air ludahnya. Mengapa dia berkata seperti itu sehingga Daffin salah mengartikan. "Emang sanggup?" Dengan bodohnya Hana bertanya dan terkesan menantang sang suami. "Ya jelas sanggu
Hana begitu sangat menikmati liburnya di kota Dewata Bali. Sesuai dengan apa yang di katakan Daffin, ini merupakan perjalanan bulan madu pertama mereka setelah menikah. Ia memiliki waktu berdua dengan sang suami. Sedangkan kedua anaknya diasuh nenek, kakek dan baby sitter nya. Mama mertuanya benar-benar memberikannya waktu untuk berbulan madu. Hana tersenyum malu-malu ketika melihat Daffin menatapnya. "Kalau ada si kembar pasti lebih asik," ucapnya untuk menghilangkan rasa canggung. Meskipun sekarang mereka sudah memiliki dua bayi kembar, namun tetap saja Hana merasa canggung jika Daffin menatapnya tanpa berkedip."I love you," jawab Daffin dengan menyelisikan jari telunjuk dan jempolnya.Hana tertawa ketika melihat tingkah suaminya. "Lain yang dibilangin lain yang dijawab," ucapnya yang tersenyum malu."Emangnya tadi bilangin apa?" tanya Daffin yang mengulum senyumnya."Andaikan ada si kembar disini, pasti asik." Hana kembali mengulang ucapannya."Mana boleh si kembar datang kesini.
Udara yang tadi terasa dingin kini sudah berangsur menghangat dan matahari sudah mulai mengeluarkan panas paginya yang menyehatkan.Hana masih sangat nyaman dengan duduk di tepi pantai bersama bersama dengan Daffin. Dengan sangat manja menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Sayang, Abang mau ke kamar, ambil si kembar. Kalau nunggu bangun, takutnya nanti terlalu siang dan keburu panas." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya."He... He.... Tahu aja kalau Hana lagi malas berdiri," ucapnya dengan tersenyum. Sejak tadi ia begitu malas untuk beranjak dari duduknya. Duduk di tepi pantai, melihat air omba yang saling berkejaran, membuat hatinya tenang. Dalam waktu sebentar saja permasalahan yang selama ini menghimpit dadanya berangsur-angsur terlupakan."Mami si kembar malasnya level tinggi." Daffin tersenyum dan beranjak dari duduknya. Panas pagi seperti ini sangat dibutuhkan oleh kedua anaknya, karena itu mereka sudah berniat untuk menjemur si kembar setiap pagi, selama berad
Udara pagi terasa sangat segar ketika masuk ke lubang hidung dan mengisi paru-parunya. Hana berulang kali menarik napas yang panjang dan menghembuskan secara berlahan-lahan. Pagi ini dia menikmati segarnya udara pagi di tepi pantai. Matahari yang mulai terbit, menambah indahnya suasana pagi ini.Daffin menggenggam tangan istrinya. Pria berwajah tampan itu tersenyum ketika melihat rona bahagia yang terpancar di wajah ibu dua anak tersebut. "Nanti kalau si kembar sudah bangun pasti dia senang ya lihat pantai." Hana tersenyum. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kiandra dan juga Keyzia saat melihat keindahan pantai seperti sekarang. "Pasti minta masuk ke dalam air." Daffin tertawa. Baru saja membayangkan saja sudah membuat ia gemas sendiri. Si kembar sudah sangat pintar bermain. Apalagi jika diajak bermain air. Biasanya bayi kembar itu tidak akan mau keluar dari dalam air dan mami mereka akan kesulitan ketika membujuk kedua bayi kembarnya agar mau berhenti berendam. Daffin bis
Berliana mendongakkan kepalanya ke atas dan memandang langit yang sudah semakin gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan kembali turun. Angin yang berhembus kencang, membuatnya sedikit takut. "Mama, tenanglah di sini. Mau seperti apapun mama, aku akan tetap selalu menyayangi mama. Mama, aku pamit pulang, Aku juga akan pergi meninggalkan Indonesia, dalam waktu 3 bulan ini. Jadi mungkin aku tidak datang ke sini untuk melihat mama. Tapi aku janji, aku akan langsung ke sini, setelah aku kembali dari Korea. Aku akan menuruti semua yang mama katakan. Aku juga sudah mendapatkan identitas baru. Aku sudah tidak menjadi Berliana lagi." Diusapnya air mata yang mengalir deras. Semua kisah hidupnya, semua cerita indah tentang kebersamaannya dengan sang mama, akan disimpan di dalam memori ingatannya. Berliana sudah mendapatkan kabar dari pria yang membantunya membuat identitas baru. Pria itu mengabarkan bahwa identitas barunya sudah selesai. Itu artinya, ia sudah bisa pergi meninggalkan Indonesia.
"Selamat tidur anak ganteng mami." Hana tersenyum dan mencium pipi bulat Keandra kiri dan kanan. Ia juga mencium bibir kecil bayi laki-laki tersebut.Selamat tidur sayang mami yang cantik jelita." Hana tersenyum dan mencium pipi kiri dan kanan, bayi cantiknya. Di mata ibu dua anak itu, anak-anaknya makhluk yang paling sempurna. Keandra yang terlihat begitu tampan dan Keyzia yang tampak begitu sangat cantik. "Kenapa ya, kalau cium adek nggak pernah ada puasnya. Mami ngerasa selalu aja kurang." Hana tersenyum sambil menatap wajah cantik putrinya. Meskipun kedua anaknya sudah tidur, namun Hana tetap saja berbicara, seakan kedua bayi itu mendengar apa yang dikatakannya. Ia kembali mencium kening dan juga puncak kepala bayi yang berambut tebal tersebut. "Abang Kean, jangan nakal ya sama adek. Jangan digigit kuping, jangan disedot hidung dan juga pipi adek ya." Hana tersenyum memandang Keandra. Sebenarnya ia ingin memisahkan tempat tidur kedua bayi itu, namun jika tidur ditempat tidur ter
Bian tersenyum penuh kepuasan ketika melihat hasil persidangan Susi. "Manusia iblis," ejeknya. Selama beberapa minggu ini pria itu selalu mengikuti perkembangan kasus Susi. Dan hari ini dia begitu sangat bahagia karena mendengar keputusan hakim. Wanita itu membayar perbuatannya dengan nyawanya sendiri. Diambilnya telpon genggam yang terletak di atas meja. Ia langsung menghubungi nomor ponsel yang tersimpan di kontak telepon. Nomor ponsel yang selalu akan disimpannya. Suara panggilan telepon yang dilakukannya baru di angkat di panggil yang sudah ketiga kalinya. Biasanya Bian akan marah jika panggilan telepon yang dilaksanakannya diabaikan begitu saja. Namun saat ini, ia tidak marah, mungkin karena suasana hatinya yang sangat senang. "Halo." Suara serak yang menjawab telpon darinya, menandakan si penjawab telpon sedang menangis. "Pantas saja kamu bisa seperti ini Berliana, ternyata kamu keturunan iblis, betul nggak sih." Senyum penuh kemenangan terukir di wajah tampannya.Berliana
"Hana mau dengar semuanya ma." Hana memandang punggung Susi yang membelakanginya.Saya juga pernah merencanakan agar para preman melakukan perbuatan asusila kepada Hana. Setelah mereka puas dengan tubuhnya saya meminta agar menghabisi nyawanya. Karena apa Saya ingin terkesan seperti korban kejahatan preman yang mabuk. Namun nyatanya Hana tidak pulang ke rumah karena dia menginap di rumah teman sekolahnya. Dan hal itu sudah saya lakukan berulang kali. Namun selalu saja gagal dan pada akhirnya saya membatalkan rencana tersebut.Hana memegang dada yang terasa begitu sangat sakit dan sesak. Tidak terbayang olehnya ternyata wanita yang dinikahi ayahnya memang benar-benar iblis."Saya bahkan tidak pernah menyesal karena menghilangkan nyawa suami saya yang kebetulan bodoh itu. Karena jujur, saya tidak pernah mencintainya. Saya menikah dengan dia, hanya untuk mendapatkan harta dan uangnya. Dan semua itu karena dia yang terlalu bodoh dan terlalu berharap lebih kepada saya. Karena nyatanya, say
"Mama Berliana berlari dan memeluk Susi dengan erat. Air mata kesedihan tidak bisa di tutupinya. Susi tersenyum dan mengusap punggung putrinya. Senyum yang ditunjukkan sebagai bukti bahwa dirinya baik-baik saja. "Mama baik-baik aja nak.""Mama aku sungguh tidak sanggup." Berliana berkata di tengah isak tangisnya. Menyaksikan persidangan sang mama, sungguh membuat tubuhnya lemas dan tidak sanggup untuk menerima kenyataan pahit atas hukuman yang akan diterima oleh wanita yang sudah melahirkannya. Namun yang lebih membuat hatinya terasa sakit dan juga perih, ketika tidak bisa membela mamanya sama sekali. Ribuan kata makian untuk menghakimi perbuatan Susi. Mereka terlalu pandai untuk menilai dan menghakimi kesalahan yang orang lain lakukan. Ingin rasanya Berliana marah dan menangkis semua perkataan orang-orang itu. Namun apa yang dikatakan mereka benar. Semua fakta tidak bisa di pungkiri. Pada akhirnya dia berusaha untuk tuli dan tidak mendengarkan. Meskipun kenyataannya, apa yang dikat