Hana kemudian menghubungi no ponsel suaminya, melalui panggilan Vidio call. Dengan sangat cepat sambungan Vidio call yang dilakukannya diangkat oleh Daffin. Hana diam ketika melihat wajah tampan suaminya yang saat ini memenuhi layar ponselnya. Daffin terlihat sangat gagah dengan posisi duduk yang tegap. Entah apa yang harus di ucapnya saat ini. Mau marah, sudah pasti. Ingin sekali ia menolak apa yang diberikan suaminya, namun Hana tidak berani melakukan itu. Pada akhirnya, ia frustasi sendiri.Hana memandang dasi yang di pakai suaminya. Dasi yang terpasang di leher Daffin, terlihat sangat tidak rapi. Ia tidak mengerti, mengapa pria itu tidak membenarkan sendiri dasinya. Hingga sampai saat ini, tidak ada satu katapun yang terucal dari bibirnya, ia hanya diam, menatap wajah pria yang begitu sangat menyebalkan, menurutnya. Daffin diam ketika menatap wajah istrinya yang saat ini menatapnya. "Apakah kamu merindukan aku istriku, sehingga kamu hanya ingin menatapku saja ."Daffin berkata d
Hana memutuskan sambungan Vidio call bersama dengan suaminya. Dipandangnya Nia yang berdiri di belakangnya. "Apa kamu sudah dengar?Apa aku harus mengulang kembali ucapan suami ku saat di telpon?" Tanyanya dengan kesal."Tidak usah nyonya, saya sudah mendengarnya, silahkan nyonya." Pengawalan Nia memberi isyarat tangannya, agar Hana jalan lebih dulu.Tanpa berkata lagi, Hana berjalan lebih dulu meninggalkan Nia. Entah apa kata teman-temannya nanti bila melihatnya memiliki pengawal pribadi seperti ini. Memikirkan ini, membuat Hana pusing sendiri. Hana berjalan menuju ke biro. Langkah kakinya terhenti ketika mendengar suara yang memanggilnya. Ia membalikkan tubuhnya dan tersenyum memandang sahabatnya. "Aku tadi ragu dan takut untuk memanggil. Aku Kirani salah orang." Nara berkata dengan hebohnya.Hana hanya diam, ketika mendengar ucapan sahabatnya."Kamu benar-benar sudah berbeda sekarang. Ini baju aku yakin harganya sangat mahal, cantik sekali. Wow bahannya juga sangat bagus." Nara
Hana sudah tidak berkata-kata lagi, ia fokus membuka celana kain yang dipakai suaminya. Setelah selesai membuka pakaian Daffin, Ia diam dan berdiri didepan suaminya."Apa seperti ini yang kau mau. Aku tidak suka mengulang kembali apa yang sudah aku perintahkan kepada mu. Apa kau mendengar apa yang kukatakan." Dafin mengeraskan suaranya. Hingga Hana terkejut."Hana diam dengan wajah yang memucat ketika Daffin membentaknya dengan keras. Ia hanya diam dan pasrah, ketika Daffin menarik baju piyama yang dipakai, hingga kancing baju piyama itu rontok seketika."Seperti ini yang kau inginkan?" Daffin menatap Hana.Hana menggelengkan kepalanya. Ia hanya diam ketika Daffin menarik bajunya dengan kasar dan melemparkannya ke lantai. "Aku tidak suka bila kamu tidak menuruti apa yang ku perintahkan dengan cepat." "Maafkan saya tuan." Hana menundukkan wajahnya.Daffin hanya diam ketika istrinya meminta maaf kepadanya. Ia memandang wajah istrinya yang sudah memuncak. Dengan cepat, ia melepaskan p
"Selama 45 menit tidak boleh berpakaian." Daffin mengingatkan."Iya tuan." Hana tersenyum.Daffin hanya diam dan kemudian pergi meninggalkan kamarnya.Hana memandang pakaiannya yang berserakan di lantai. Dikutipnya baju itu satu persatu. Dilihatnya kancing baju yang sudah tidak ada tersisa. Hana mencari buah bajunya yang berserakan dilantai. Ia kemudian mengutipnya dan mengumpulkannya. Setelah mengumpulkan semua kancing bajunya, Hana berjalan menuju lemari tas. Diambilnya tas yang tadi dipakainya untuk ke kampus dan mengeluarkan jarum jahit serta benang di dalam tasnya. "Untung aja tadi aku minta mbak Nia, untuk membelikan jarum dan juga benang. Aku sudah sangat memahami seperti apa tingkahnya. Dia tidak pernah berpikir untuk merusak pakaian. Sekarang aku bisa menjahit pakaian-pakaian yang sudah di rusaknya itu. Tidak mungkin aku membuangnya, sedangkan baju-baju itu harganya sangat mahal dan aku terlilit hutang." Hana berkata sendiri sambil memandang bajunya. Hana memasukkan benang
Hana tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya. "Iya tuan, saya sudah memperbaikinya."Pakai apa?" Daffin penasaran."Pakai jarum jahit dan benang tuan.""Di mana kamu mendapatkannya?" "Tadi saya meminta bantuan sama pengawal Nia, untuk membelikannya di jalan, ketika akan pulang ke rumah. Maafkan saya tuan, bila saya lupa memberi tahu anda." Wajah Hana memucat. Ia tidak menduga Bahwa Daffin akan bertanya hingga sedetail ini.Sorot mata yang penuh kemarahan, membuat bulu kuduknya berdiri. Pada akhirnya, ia menundukkan kepalanya."Baju di lemari sangat banyak. Bila aku merusak baju mu, 10 bahkan 50 pasang sekalipun, masih banyak lagi baju di dalam lemari. Kau tinggal membuang baju yang sudah aku rusak. Apa kau mengerti?" Daffin menyelipkan jarinya di dagu Hana.Hana diam tanpa bisa menjawab. "Bila baju mu di dalam lemari habis, aku akan membelikan baju yang baru, apa kamu paham?"Dadanya sesak ketika mendengar ucapan Daffin. Ingin sekali mulutnya menjawab pertanyaan dari suaminya,
"Siapkan makanan untukku." Daffin berkata, ketika memakai celananyaMata Hana terbuka lebar saat mendengar perintah suaminya. Ia sangat tidak mengerti dengan sikap pria gila yang saat ini ada di depannya. "Apakah kau tidak mendengar." Daffin mengeraskan suaranya sehingga membuat Hana terkejut. Baru semalam sikap suaminya baik sebaik-baiknya namun kini sikap suaminya sudah kembali menyeramkan hingga membuat dirinya ketakutan."Saya dengar tuan, apakah saya boleh membersihkan diri dan memakai baju, sebentar saja." Hana berkata dengan penuh permohonan. Air matanya terus mengalir tanpa bisa dibendungnya."Tidak, aku ingin kau menyiapkan makanan untuk ku sekarang!" Hana diam, meskipun pria itu sudah menjadi suaminya, namun dirinya begitu sangat malu ketika berpenampilan seperti ini di depan pria tidak berhati tersebut.Hana menatap Daffin, seperti seorang kucing yang sedang meminta belas kasihan. Meskipun ia sadar bawa pria itu, tidak akan memberikan toleran sedikitpun. Ia, hanya bisa
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Daffin kembali ke kamar. Ia masuk ke dalam kamar dan melihat Hana yang sudah tertidur. Di tatapnya wajah istrinya. Entah mengapa, hari ini emosinya sangat cepat naik. Apalagi ketika melihat istrinya seperti ini. Daffin masuk ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya serta gosok Gigi. Ia kemudian keluar dari kamar mandi setelah mengeringkan wajahnya dengan handuk.Dinaikinya tempat tidur dan berbaring di sebelah istrinya. Tubuhnya terasa lelah dan ingin beristirahat. Belum lama matanya terpejam, ia kembali membuka matanya, ketika mendengar suara tangis wanita yang berbaring di sebelahnya. "Tolong lepaskan tuan, tangan saya sakit sekali." Daffin memandang Hana dengan kening berkerut. Dilihatnya Hana yang ternyata sedang tidur. Air mata menetes di celah mata istrinya. Tangisnya semakin meredam dan kembali tidur. Setelah melihat Hana yang sudah dan tidak lagi bermimpi, Daffin kembali tidur."Papa, Hana rindu papa." Hana berbicara dengan menangis
Rasa bersalah, semakin menghantuinya, ketika mendengar perkataan Hana. Tidak diduganya, apa yang dilakukannya, akan berakibat seperti ini. "Tangan kamu tidak apa-apa. Berhentilah berpikir buruk seperti itu." Daffin memasang pengait kecil di belakang punggung Hana.Apa yang dikatakan Daffin, tidak bisa membuat hatinya tenang. Hana semakin takut dan mencemaskan tangannya, yang saat ini sangat sakti bila digerakkannya. Bagaimana nasibnya nanti bila disuruh pergi tanpa. memiliki tangan. Hana semakin menangis seperti anak kecil yang sedang ketakutan. "Sudah jangan menangis." Bentak Daffin. Melihat Hana menangis seperti ini, membuat dirinya semakin takut dan panik. Hana berusaha untuk meredam suara tangannya. "Bila saya tidak memiliki tangan lagi. Saya tidak ingin hidup. Saya sudah tidak memiliki siapa-siapa. Selama ini, hanya dengan tangan ini saya bisa bekerja. Namun tangan saya." Hana sudah tidak bisa berkata-kata lagi Ketika membayangkan itu semua. Hanya Isak tangisnya yang lolos dari
Hana hanya diam saat kalung indah itu melingkar di lehernya. "Abang, beneran ini?" Tanyanya yang masih tidak percaya. "Iya sayang, nanti kasih Abang bonus ya." Daffin tersenyum dan mengangkat 3 jarinya.Mata Hana terbuka lebar saat melihat tiga jari suaminya. "Maksudnya 3 ronde?" Wanita cantik itu bertanya dengan wajah serius."Iya dong sayang," jawab Daffin.Hana diam dan menelan air ludahnya. Namun wanita itu tidak mampu untuk menolak, berhubungan apa yang diberikan Daffin tidak sebanding dengan apa yang dia inginkan. "Jangankan 3, 10 aja Hana layani bang," kata Hana dengan candaan.Namun berbeda dengan tanggapan yang diberikan Daffin. Pria itu ternyata mengganggap apa yang dikatakan istrinya serius. "Kalau gitu sampai pagi ya sayang." Dengan sangat genit Daffin mengedipkan matanya.Hana diam dan menelan air ludahnya. Mengapa dia berkata seperti itu sehingga Daffin salah mengartikan. "Emang sanggup?" Dengan bodohnya Hana bertanya dan terkesan menantang sang suami. "Ya jelas sanggu
Hana begitu sangat menikmati liburnya di kota Dewata Bali. Sesuai dengan apa yang di katakan Daffin, ini merupakan perjalanan bulan madu pertama mereka setelah menikah. Ia memiliki waktu berdua dengan sang suami. Sedangkan kedua anaknya diasuh nenek, kakek dan baby sitter nya. Mama mertuanya benar-benar memberikannya waktu untuk berbulan madu. Hana tersenyum malu-malu ketika melihat Daffin menatapnya. "Kalau ada si kembar pasti lebih asik," ucapnya untuk menghilangkan rasa canggung. Meskipun sekarang mereka sudah memiliki dua bayi kembar, namun tetap saja Hana merasa canggung jika Daffin menatapnya tanpa berkedip."I love you," jawab Daffin dengan menyelisikan jari telunjuk dan jempolnya.Hana tertawa ketika melihat tingkah suaminya. "Lain yang dibilangin lain yang dijawab," ucapnya yang tersenyum malu."Emangnya tadi bilangin apa?" tanya Daffin yang mengulum senyumnya."Andaikan ada si kembar disini, pasti asik." Hana kembali mengulang ucapannya."Mana boleh si kembar datang kesini.
Udara yang tadi terasa dingin kini sudah berangsur menghangat dan matahari sudah mulai mengeluarkan panas paginya yang menyehatkan.Hana masih sangat nyaman dengan duduk di tepi pantai bersama bersama dengan Daffin. Dengan sangat manja menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Sayang, Abang mau ke kamar, ambil si kembar. Kalau nunggu bangun, takutnya nanti terlalu siang dan keburu panas." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya."He... He.... Tahu aja kalau Hana lagi malas berdiri," ucapnya dengan tersenyum. Sejak tadi ia begitu malas untuk beranjak dari duduknya. Duduk di tepi pantai, melihat air omba yang saling berkejaran, membuat hatinya tenang. Dalam waktu sebentar saja permasalahan yang selama ini menghimpit dadanya berangsur-angsur terlupakan."Mami si kembar malasnya level tinggi." Daffin tersenyum dan beranjak dari duduknya. Panas pagi seperti ini sangat dibutuhkan oleh kedua anaknya, karena itu mereka sudah berniat untuk menjemur si kembar setiap pagi, selama berad
Udara pagi terasa sangat segar ketika masuk ke lubang hidung dan mengisi paru-parunya. Hana berulang kali menarik napas yang panjang dan menghembuskan secara berlahan-lahan. Pagi ini dia menikmati segarnya udara pagi di tepi pantai. Matahari yang mulai terbit, menambah indahnya suasana pagi ini.Daffin menggenggam tangan istrinya. Pria berwajah tampan itu tersenyum ketika melihat rona bahagia yang terpancar di wajah ibu dua anak tersebut. "Nanti kalau si kembar sudah bangun pasti dia senang ya lihat pantai." Hana tersenyum. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kiandra dan juga Keyzia saat melihat keindahan pantai seperti sekarang. "Pasti minta masuk ke dalam air." Daffin tertawa. Baru saja membayangkan saja sudah membuat ia gemas sendiri. Si kembar sudah sangat pintar bermain. Apalagi jika diajak bermain air. Biasanya bayi kembar itu tidak akan mau keluar dari dalam air dan mami mereka akan kesulitan ketika membujuk kedua bayi kembarnya agar mau berhenti berendam. Daffin bis
Berliana mendongakkan kepalanya ke atas dan memandang langit yang sudah semakin gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan kembali turun. Angin yang berhembus kencang, membuatnya sedikit takut. "Mama, tenanglah di sini. Mau seperti apapun mama, aku akan tetap selalu menyayangi mama. Mama, aku pamit pulang, Aku juga akan pergi meninggalkan Indonesia, dalam waktu 3 bulan ini. Jadi mungkin aku tidak datang ke sini untuk melihat mama. Tapi aku janji, aku akan langsung ke sini, setelah aku kembali dari Korea. Aku akan menuruti semua yang mama katakan. Aku juga sudah mendapatkan identitas baru. Aku sudah tidak menjadi Berliana lagi." Diusapnya air mata yang mengalir deras. Semua kisah hidupnya, semua cerita indah tentang kebersamaannya dengan sang mama, akan disimpan di dalam memori ingatannya. Berliana sudah mendapatkan kabar dari pria yang membantunya membuat identitas baru. Pria itu mengabarkan bahwa identitas barunya sudah selesai. Itu artinya, ia sudah bisa pergi meninggalkan Indonesia.
"Selamat tidur anak ganteng mami." Hana tersenyum dan mencium pipi bulat Keandra kiri dan kanan. Ia juga mencium bibir kecil bayi laki-laki tersebut.Selamat tidur sayang mami yang cantik jelita." Hana tersenyum dan mencium pipi kiri dan kanan, bayi cantiknya. Di mata ibu dua anak itu, anak-anaknya makhluk yang paling sempurna. Keandra yang terlihat begitu tampan dan Keyzia yang tampak begitu sangat cantik. "Kenapa ya, kalau cium adek nggak pernah ada puasnya. Mami ngerasa selalu aja kurang." Hana tersenyum sambil menatap wajah cantik putrinya. Meskipun kedua anaknya sudah tidur, namun Hana tetap saja berbicara, seakan kedua bayi itu mendengar apa yang dikatakannya. Ia kembali mencium kening dan juga puncak kepala bayi yang berambut tebal tersebut. "Abang Kean, jangan nakal ya sama adek. Jangan digigit kuping, jangan disedot hidung dan juga pipi adek ya." Hana tersenyum memandang Keandra. Sebenarnya ia ingin memisahkan tempat tidur kedua bayi itu, namun jika tidur ditempat tidur ter
Bian tersenyum penuh kepuasan ketika melihat hasil persidangan Susi. "Manusia iblis," ejeknya. Selama beberapa minggu ini pria itu selalu mengikuti perkembangan kasus Susi. Dan hari ini dia begitu sangat bahagia karena mendengar keputusan hakim. Wanita itu membayar perbuatannya dengan nyawanya sendiri. Diambilnya telpon genggam yang terletak di atas meja. Ia langsung menghubungi nomor ponsel yang tersimpan di kontak telepon. Nomor ponsel yang selalu akan disimpannya. Suara panggilan telepon yang dilakukannya baru di angkat di panggil yang sudah ketiga kalinya. Biasanya Bian akan marah jika panggilan telepon yang dilaksanakannya diabaikan begitu saja. Namun saat ini, ia tidak marah, mungkin karena suasana hatinya yang sangat senang. "Halo." Suara serak yang menjawab telpon darinya, menandakan si penjawab telpon sedang menangis. "Pantas saja kamu bisa seperti ini Berliana, ternyata kamu keturunan iblis, betul nggak sih." Senyum penuh kemenangan terukir di wajah tampannya.Berliana
"Hana mau dengar semuanya ma." Hana memandang punggung Susi yang membelakanginya.Saya juga pernah merencanakan agar para preman melakukan perbuatan asusila kepada Hana. Setelah mereka puas dengan tubuhnya saya meminta agar menghabisi nyawanya. Karena apa Saya ingin terkesan seperti korban kejahatan preman yang mabuk. Namun nyatanya Hana tidak pulang ke rumah karena dia menginap di rumah teman sekolahnya. Dan hal itu sudah saya lakukan berulang kali. Namun selalu saja gagal dan pada akhirnya saya membatalkan rencana tersebut.Hana memegang dada yang terasa begitu sangat sakit dan sesak. Tidak terbayang olehnya ternyata wanita yang dinikahi ayahnya memang benar-benar iblis."Saya bahkan tidak pernah menyesal karena menghilangkan nyawa suami saya yang kebetulan bodoh itu. Karena jujur, saya tidak pernah mencintainya. Saya menikah dengan dia, hanya untuk mendapatkan harta dan uangnya. Dan semua itu karena dia yang terlalu bodoh dan terlalu berharap lebih kepada saya. Karena nyatanya, say
"Mama Berliana berlari dan memeluk Susi dengan erat. Air mata kesedihan tidak bisa di tutupinya. Susi tersenyum dan mengusap punggung putrinya. Senyum yang ditunjukkan sebagai bukti bahwa dirinya baik-baik saja. "Mama baik-baik aja nak.""Mama aku sungguh tidak sanggup." Berliana berkata di tengah isak tangisnya. Menyaksikan persidangan sang mama, sungguh membuat tubuhnya lemas dan tidak sanggup untuk menerima kenyataan pahit atas hukuman yang akan diterima oleh wanita yang sudah melahirkannya. Namun yang lebih membuat hatinya terasa sakit dan juga perih, ketika tidak bisa membela mamanya sama sekali. Ribuan kata makian untuk menghakimi perbuatan Susi. Mereka terlalu pandai untuk menilai dan menghakimi kesalahan yang orang lain lakukan. Ingin rasanya Berliana marah dan menangkis semua perkataan orang-orang itu. Namun apa yang dikatakan mereka benar. Semua fakta tidak bisa di pungkiri. Pada akhirnya dia berusaha untuk tuli dan tidak mendengarkan. Meskipun kenyataannya, apa yang dikat