Rasa bersalah, semakin menghantuinya, ketika mendengar perkataan Hana. Tidak diduganya, apa yang dilakukannya, akan berakibat seperti ini. "Tangan kamu tidak apa-apa. Berhentilah berpikir buruk seperti itu." Daffin memasang pengait kecil di belakang punggung Hana.Apa yang dikatakan Daffin, tidak bisa membuat hatinya tenang. Hana semakin takut dan mencemaskan tangannya, yang saat ini sangat sakti bila digerakkannya. Bagaimana nasibnya nanti bila disuruh pergi tanpa. memiliki tangan. Hana semakin menangis seperti anak kecil yang sedang ketakutan. "Sudah jangan menangis." Bentak Daffin. Melihat Hana menangis seperti ini, membuat dirinya semakin takut dan panik. Hana berusaha untuk meredam suara tangannya. "Bila saya tidak memiliki tangan lagi. Saya tidak ingin hidup. Saya sudah tidak memiliki siapa-siapa. Selama ini, hanya dengan tangan ini saya bisa bekerja. Namun tangan saya." Hana sudah tidak bisa berkata-kata lagi Ketika membayangkan itu semua. Hanya Isak tangisnya yang lolos dari
Daffin tidak bisa menutupi rasa cemas dan gugupnya. Bagaimana bila Hana kehilangan kedua tangannya karena perbuatan yang dilakukannya. Dilihatnya Hana sekilas dan kembali fokus dengan kemudinya.Hana sangat takut ketika melihat Daffin yang mengemudi dengan kecepatan tinggi seperti ini. Pria itu tidak ada henti-hentinya membunyikan klakson mobilnya. "Tuan, tolong pelan sedikit, saya takut."Daffin baru menyadari akan bahayanya mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi seperti ini. Saat ini meskipun tidak ada kemacetan, namun kondisi jalan cukup padat. Ia menurunkan gas mobilnya dan sedikit melambat.Daffin memberhentikan mobilnya di parkiran rumah sakit. Ia kemudian turun dari dalam mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit. Mobil ditinggalkan dalam keadaan masih menyala. "Yang sakit aku, kenapa dia yang lari ke dalam dan tinggalkan aku. Apa dia gak tahu, kalau aku gak bisa buka pintu." Hana menangis. Disaat kondisi sakit seperti ini, suaminya tetap tidak peduli kepadanya. Hana men
"Istri pak Daffin mengalami Dislokasi bahu di tangan sebelah kanan dan dislokasi siku di tangan sebelah kiri. Saya sangat kasihan sekali lihat istri, pak Daffin." Dokter Irwan berkata sambil memandang hasil ronsen di tangannya."Apa itu dislokasi dok?Apa ini parah?" Tanya Daffin."Dislokasi bahu ini, adalah kondisi ketika bonggol tulang lengan bagian atas terlepas dari sendi bahu. Dalam artian tulang bagian bahu bergeser. Sedangkan bagian siku, juga mengalami hal yang sama. Jadi tidak ada yang namanya patah tulang ,namun rasa sakit yang diderita oleh pasien, sangat sakit sekali."Lalu apa penanganannya dok, apa perlu dioperasi?" tanya Daffin dengan panik."Untuk sementara ini saya tidak menyarankan di operasi." Dokter Irwan sedikit tersenyum."Lalu dok?" Daffin tidak tega melihat Hana yang terus menangis dan kesakitan seperti ini. Untuk pertama kalinya ia merasa kasihan dan merasa bersalah seperti ini, melihat kondisi Hana."Kita akan melakukan penanganan segera, untuk mencegah send
"Ini kamar rawat kamu. Bagaimana, apa kamu suka?" Daffin memandang Hana dengan tersenyum. Hana diam ketika mendengar ucapan suaminya yang begitu sangat menjengkelkan. Bila dirinya memiliki keberanian, sudah pasti Hana ingin memaki-maki pria yang saat ini berdiri di depannya. Ia ingin melupakan rasa kemarahannya. Namun Hana hanya bisa berangan dan bermimpi. Pada kenyataannya, ia sungguh tidak berani melakukan hal tersebut. Apa yang dilakukan Daffin, membuat rasa ketakutan dan trauma untuknya. "Aku tinggal sebentar, kamu duduklah di sini." Daffin memandang sofa yang ada di dalam kamar. Hana hanya diam memandang sofa yang di tunjukkan oleh suaminya. Setelah memastikan, istrinya berada di dalam kamar, Daffin kemudian pergi. Hana hanya diam memandang ke sekeliling kamarnya. Kamar ini memiliki fasilitas yang sama seperti hotel. Ia tidak menduga bahwa suaminya mengambil kamar kelas presiden suite seperti ini. Melihat kamar yang saat ini ditempatinya, membuat Hana tak tenang dan memili
Daffin diam memandang istrinya. Pria itu tidak berbicara apa-apa lagi. Diberikannya waktu untuk Hana beristirahat."Permisi pak, saya mengantarkan makanan siang pasien." Ucap petugas rumah sakit yang mengantarkan makan siang pasien di jam 11 siang."Iya letak saja." Daffin masih duduk di tepi tempat tidur yang saat ini ditiduri oleh Hana. Sejak tadi ia hanya diam memandang wajah istrinya yang pucat.Setelah petugas rumah sakit meletakkan nasi, jus, buah dan cake, wanita yang berseragam biru itu keluar.Daffin mengambil nasi goreng yang tadi di belinya. kemudian duduk di sofa dan memakan nasi gorengnya. Daffin beranjak dengan cepat dari duduknya ketika mendengar Hana menangis meminta tolong. Ia berlari ketempat tidur Hana. Daffin diam ketika dilihatnya Hana yang ternyata sedang tertidur.Air mata menetes di celah matanya. "Tolong hentikan sakit. Tolong jangan buat saya seperti ini. Tolong lepaskan saya." Hana berkata dengan menangis. dirinya begitu sangat rapuh saat ini. tidak ada
Hana terbangun setelah dirinya merasa tidur cukup lama. Selama menikah dengan Daffin ini untuk pertama kalinya, ia merasakan tidur dengan waktu yang lama seperti ini, sehingga rasa lelah di tubuhnya sedikit berkurang. Hana diam ketika merasakan bahwa ia sedang dikompres. Dipandangnya tangan kiri dan kanannya yang juga sedang dikompres. "Sudah bangun?" Mita mengusap kepalanya dengan lembut. Wanita paruh baya itu tersenyum dan mencium pipi Hana. Hana diam ketika melihat ternyata ada mama mertuanya di dalam kamarnya. "Sudah tante," jawabnya."Jangan panggil tante, panggil mama." Mita tersenyum dan mengambil handuk yang menempel di kening Hana. Ia kembali membasahkan handuk itu dengan air dingin dan meletakkan di kening Hana. "Gimana apa masih sakit?" Mita mengusap pipi Hana.Hana menggelengkan kepalanya. "Tangan Hana rasanya kebas dan seperti kesemutan," ucapnya yang masih belum bisa merasakan tangannya."Tidak apa-apa, itu karena efek dari obat bius." Mita tersenyum.Hana hanya diam
Hana berpikir sejenak. Dalam kondisi sakit seperti ini, rasanya malu harus di abaikannya. Ia begitu sangat takut dengan Daffin. Apa yang dilakukan suaminya semalam, masih terbayang jelas oleh ingatannya. "Ayo Mama antar." Mita membantu Hana untuk duduk. "Iya ma." Hana yang sudah tidak tahan ingin membuang air kecil, akhirnya menerima niat baik mertuanya. Ia berangsur duduk dengan sangat berhati-hati dan kemudian turun dari tempat tidur dengan dibantu mama mertuanya. Daffin tidak bisa membayangkan, bagaimana kemarahan mamanya bila mengetahui perbuatan yang dilakukannya terhadap istrinya.Mita berjalan dengan memegang pinggang Hana. Ia masuk ke dalam kamar mandi bersama dengan Hana. Tanpa bertanya, Mita mengangkat rok yang saat ini dipakai menantunya. Melihat bagian paha Hana, membuatnya terkejut. Goresan yang berdarah dan cukup panjang. Dengan darah yang sudah mengering. Luka gigitan yang masih tampak jejak gigi. Mita diam sejenak saat melihat ini semua. Dibukanya celana dal
Apa yang dilakukan suaminya, bukan hanya melukai tubuh, dan hatinya, namun memberikan rasa trauma untuk Hana. Ia diam memandang Daffin beberapa detik dan kemudian memandang ke arah yang berbeda. Sikap baik yang diberikan Daffin untuknya, hanya sandiwara belaka. Pria itu begitu sangat pandai berakting seperti ini, berpura-pura baik dan menyayanginya di depan depan kedua mertuanya. Hana diam sejenak dan kemudian mengganggu kan kepalanya. Apapun yang terjadi saat ini, dirinya hanya bisa bersyukur karena selama berada di dekat kedua mertuanya, suaminya mungkin tidak akan mau menyakitinya. Sandiwara apapun yang akan dilakukan suaminya, akan diikutinya. Mita bisa melihat, ketakutan yang dirasakan Hana. Dipandangnya Daffin dengan membesarkan matanya.Dilihat dengan cara seperti ini, membuat dirinya merasa tidak nyaman. Ia tahu, bahwa mamanya sangat marah terhadapnya. Sejak tadi mata mamanya memandangnya dengan melotot. Pasrah dan menerima amukan mamanya. Hanya ini jalan satu-satunya yang aka
Hana hanya diam saat kalung indah itu melingkar di lehernya. "Abang, beneran ini?" Tanyanya yang masih tidak percaya. "Iya sayang, nanti kasih Abang bonus ya." Daffin tersenyum dan mengangkat 3 jarinya.Mata Hana terbuka lebar saat melihat tiga jari suaminya. "Maksudnya 3 ronde?" Wanita cantik itu bertanya dengan wajah serius."Iya dong sayang," jawab Daffin.Hana diam dan menelan air ludahnya. Namun wanita itu tidak mampu untuk menolak, berhubungan apa yang diberikan Daffin tidak sebanding dengan apa yang dia inginkan. "Jangankan 3, 10 aja Hana layani bang," kata Hana dengan candaan.Namun berbeda dengan tanggapan yang diberikan Daffin. Pria itu ternyata mengganggap apa yang dikatakan istrinya serius. "Kalau gitu sampai pagi ya sayang." Dengan sangat genit Daffin mengedipkan matanya.Hana diam dan menelan air ludahnya. Mengapa dia berkata seperti itu sehingga Daffin salah mengartikan. "Emang sanggup?" Dengan bodohnya Hana bertanya dan terkesan menantang sang suami. "Ya jelas sanggu
Hana begitu sangat menikmati liburnya di kota Dewata Bali. Sesuai dengan apa yang di katakan Daffin, ini merupakan perjalanan bulan madu pertama mereka setelah menikah. Ia memiliki waktu berdua dengan sang suami. Sedangkan kedua anaknya diasuh nenek, kakek dan baby sitter nya. Mama mertuanya benar-benar memberikannya waktu untuk berbulan madu. Hana tersenyum malu-malu ketika melihat Daffin menatapnya. "Kalau ada si kembar pasti lebih asik," ucapnya untuk menghilangkan rasa canggung. Meskipun sekarang mereka sudah memiliki dua bayi kembar, namun tetap saja Hana merasa canggung jika Daffin menatapnya tanpa berkedip."I love you," jawab Daffin dengan menyelisikan jari telunjuk dan jempolnya.Hana tertawa ketika melihat tingkah suaminya. "Lain yang dibilangin lain yang dijawab," ucapnya yang tersenyum malu."Emangnya tadi bilangin apa?" tanya Daffin yang mengulum senyumnya."Andaikan ada si kembar disini, pasti asik." Hana kembali mengulang ucapannya."Mana boleh si kembar datang kesini.
Udara yang tadi terasa dingin kini sudah berangsur menghangat dan matahari sudah mulai mengeluarkan panas paginya yang menyehatkan.Hana masih sangat nyaman dengan duduk di tepi pantai bersama bersama dengan Daffin. Dengan sangat manja menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Sayang, Abang mau ke kamar, ambil si kembar. Kalau nunggu bangun, takutnya nanti terlalu siang dan keburu panas." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya."He... He.... Tahu aja kalau Hana lagi malas berdiri," ucapnya dengan tersenyum. Sejak tadi ia begitu malas untuk beranjak dari duduknya. Duduk di tepi pantai, melihat air omba yang saling berkejaran, membuat hatinya tenang. Dalam waktu sebentar saja permasalahan yang selama ini menghimpit dadanya berangsur-angsur terlupakan."Mami si kembar malasnya level tinggi." Daffin tersenyum dan beranjak dari duduknya. Panas pagi seperti ini sangat dibutuhkan oleh kedua anaknya, karena itu mereka sudah berniat untuk menjemur si kembar setiap pagi, selama berad
Udara pagi terasa sangat segar ketika masuk ke lubang hidung dan mengisi paru-parunya. Hana berulang kali menarik napas yang panjang dan menghembuskan secara berlahan-lahan. Pagi ini dia menikmati segarnya udara pagi di tepi pantai. Matahari yang mulai terbit, menambah indahnya suasana pagi ini.Daffin menggenggam tangan istrinya. Pria berwajah tampan itu tersenyum ketika melihat rona bahagia yang terpancar di wajah ibu dua anak tersebut. "Nanti kalau si kembar sudah bangun pasti dia senang ya lihat pantai." Hana tersenyum. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kiandra dan juga Keyzia saat melihat keindahan pantai seperti sekarang. "Pasti minta masuk ke dalam air." Daffin tertawa. Baru saja membayangkan saja sudah membuat ia gemas sendiri. Si kembar sudah sangat pintar bermain. Apalagi jika diajak bermain air. Biasanya bayi kembar itu tidak akan mau keluar dari dalam air dan mami mereka akan kesulitan ketika membujuk kedua bayi kembarnya agar mau berhenti berendam. Daffin bis
Berliana mendongakkan kepalanya ke atas dan memandang langit yang sudah semakin gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan kembali turun. Angin yang berhembus kencang, membuatnya sedikit takut. "Mama, tenanglah di sini. Mau seperti apapun mama, aku akan tetap selalu menyayangi mama. Mama, aku pamit pulang, Aku juga akan pergi meninggalkan Indonesia, dalam waktu 3 bulan ini. Jadi mungkin aku tidak datang ke sini untuk melihat mama. Tapi aku janji, aku akan langsung ke sini, setelah aku kembali dari Korea. Aku akan menuruti semua yang mama katakan. Aku juga sudah mendapatkan identitas baru. Aku sudah tidak menjadi Berliana lagi." Diusapnya air mata yang mengalir deras. Semua kisah hidupnya, semua cerita indah tentang kebersamaannya dengan sang mama, akan disimpan di dalam memori ingatannya. Berliana sudah mendapatkan kabar dari pria yang membantunya membuat identitas baru. Pria itu mengabarkan bahwa identitas barunya sudah selesai. Itu artinya, ia sudah bisa pergi meninggalkan Indonesia.
"Selamat tidur anak ganteng mami." Hana tersenyum dan mencium pipi bulat Keandra kiri dan kanan. Ia juga mencium bibir kecil bayi laki-laki tersebut.Selamat tidur sayang mami yang cantik jelita." Hana tersenyum dan mencium pipi kiri dan kanan, bayi cantiknya. Di mata ibu dua anak itu, anak-anaknya makhluk yang paling sempurna. Keandra yang terlihat begitu tampan dan Keyzia yang tampak begitu sangat cantik. "Kenapa ya, kalau cium adek nggak pernah ada puasnya. Mami ngerasa selalu aja kurang." Hana tersenyum sambil menatap wajah cantik putrinya. Meskipun kedua anaknya sudah tidur, namun Hana tetap saja berbicara, seakan kedua bayi itu mendengar apa yang dikatakannya. Ia kembali mencium kening dan juga puncak kepala bayi yang berambut tebal tersebut. "Abang Kean, jangan nakal ya sama adek. Jangan digigit kuping, jangan disedot hidung dan juga pipi adek ya." Hana tersenyum memandang Keandra. Sebenarnya ia ingin memisahkan tempat tidur kedua bayi itu, namun jika tidur ditempat tidur ter
Bian tersenyum penuh kepuasan ketika melihat hasil persidangan Susi. "Manusia iblis," ejeknya. Selama beberapa minggu ini pria itu selalu mengikuti perkembangan kasus Susi. Dan hari ini dia begitu sangat bahagia karena mendengar keputusan hakim. Wanita itu membayar perbuatannya dengan nyawanya sendiri. Diambilnya telpon genggam yang terletak di atas meja. Ia langsung menghubungi nomor ponsel yang tersimpan di kontak telepon. Nomor ponsel yang selalu akan disimpannya. Suara panggilan telepon yang dilakukannya baru di angkat di panggil yang sudah ketiga kalinya. Biasanya Bian akan marah jika panggilan telepon yang dilaksanakannya diabaikan begitu saja. Namun saat ini, ia tidak marah, mungkin karena suasana hatinya yang sangat senang. "Halo." Suara serak yang menjawab telpon darinya, menandakan si penjawab telpon sedang menangis. "Pantas saja kamu bisa seperti ini Berliana, ternyata kamu keturunan iblis, betul nggak sih." Senyum penuh kemenangan terukir di wajah tampannya.Berliana
"Hana mau dengar semuanya ma." Hana memandang punggung Susi yang membelakanginya.Saya juga pernah merencanakan agar para preman melakukan perbuatan asusila kepada Hana. Setelah mereka puas dengan tubuhnya saya meminta agar menghabisi nyawanya. Karena apa Saya ingin terkesan seperti korban kejahatan preman yang mabuk. Namun nyatanya Hana tidak pulang ke rumah karena dia menginap di rumah teman sekolahnya. Dan hal itu sudah saya lakukan berulang kali. Namun selalu saja gagal dan pada akhirnya saya membatalkan rencana tersebut.Hana memegang dada yang terasa begitu sangat sakit dan sesak. Tidak terbayang olehnya ternyata wanita yang dinikahi ayahnya memang benar-benar iblis."Saya bahkan tidak pernah menyesal karena menghilangkan nyawa suami saya yang kebetulan bodoh itu. Karena jujur, saya tidak pernah mencintainya. Saya menikah dengan dia, hanya untuk mendapatkan harta dan uangnya. Dan semua itu karena dia yang terlalu bodoh dan terlalu berharap lebih kepada saya. Karena nyatanya, say
"Mama Berliana berlari dan memeluk Susi dengan erat. Air mata kesedihan tidak bisa di tutupinya. Susi tersenyum dan mengusap punggung putrinya. Senyum yang ditunjukkan sebagai bukti bahwa dirinya baik-baik saja. "Mama baik-baik aja nak.""Mama aku sungguh tidak sanggup." Berliana berkata di tengah isak tangisnya. Menyaksikan persidangan sang mama, sungguh membuat tubuhnya lemas dan tidak sanggup untuk menerima kenyataan pahit atas hukuman yang akan diterima oleh wanita yang sudah melahirkannya. Namun yang lebih membuat hatinya terasa sakit dan juga perih, ketika tidak bisa membela mamanya sama sekali. Ribuan kata makian untuk menghakimi perbuatan Susi. Mereka terlalu pandai untuk menilai dan menghakimi kesalahan yang orang lain lakukan. Ingin rasanya Berliana marah dan menangkis semua perkataan orang-orang itu. Namun apa yang dikatakan mereka benar. Semua fakta tidak bisa di pungkiri. Pada akhirnya dia berusaha untuk tuli dan tidak mendengarkan. Meskipun kenyataannya, apa yang dikat