Selamat membaca Kakak... Trimakasih untuk Kakak Badax Raja Tega dan Kakak Kiki Sulandari ya untuk vote nya... Yang lain jangan lupa kasih bintang dan komen di novel ini dong untuk semangat author update.
Raya tersentak, mengerjapkan matanya. Dia seperti bermimpi mendengar orang berteriak memenaggilnya. Rasa kantuk masih menguasai pelupuk mata itu setelah melalui hari ini yang cukup melelahkan. “Hoam,” dia menguap lebar, menggelengkan kepalanya berulang, mencoba menyadarkan diri. Duduk bersandar pada headboard tempat tidur. “Nona muda!” Panggilan nyaring itu muncul dari balik pintu kamarnya, disusul dengan suara ketukan. “Nona muda!” Saat dirinya kembali dipanggil, Raya memaksakan menyeret tubuhnya, membuka pintu. Melihat Pak Sam berdiri disana. “Maaf sudah mengganggu tidur anda selarut ini, Nona.” Pak Sam menundukkan kepalanya. “Ada apa Pak Sam?” Raya masih setengah sadar, bicara dalam kebingungan sambil menguap berulang-ulang. “Tuan muda sudah pulang. Lima menit lagi akan sampai,” ucap Pak Sam. “Hah? Lalu?” Lalu kenapa kalau dia pulang? Raya berpikir sejenak. “Astaga!” Dia terperanjat. Apa aku harus menyambutnya pulang seperti dalam daftar aturan? Memangnya sudah berlaku
05:30, Raya sudah bangun seperti saat dirinya masih tinggal di rumah kelaurga Lazuardi. Di dapur hanya ada para pelayan yang sibuk mempersiapkan makanan. Di setiap sudut rumah besar ini, dia juga melihat pelayan sedang beberes rumah. Sepertinya penghuni rumah ini bnayak juga, gumamnya sambil melangkah memasuki dapur. “Selamat pagi, Nona Muda,” sapa Pak Sam. “Selamat pagi Pak Sam.” Raya tersenyum, “Apa yang bisa saya bantu di dapur, Pak Sam?” Pak Sam terkejut mendengar pertanyaan Raya, bgaiamana bisa seorang nona muda mau membantu urusan dapur, sedangkan sudah banyak pelayan yang menangani itu semua. “Memang apa yang mau Nona lakukan di dapur, kita sudah punya koki profesional untuk melakukan itu semua, Nona.” “Begitukah?” “Iya, Nona. Sebaiknya anda kembali ke kamar. Saya akan mengantarkan teh hangat kalau anda mau, sembari menunggu waktu sarapan.” “Tidak perlu repot. Baiklah kalau begitu Pak Sam, akju kembali ke kamar saja.” Raya berbalik melangkahkan kakinya. Ketika tidak
“Raya, mana dasinya?”Inilah yang harus dilakukan Raya sekarang, mempersiapkan segala keperluan Andro ke kantor.Raya menyerahkan sehelai dasi pada Andro.“Warnanya tidak matching,” keluh Andro.“Tapi ini sama dengan warna kemejanya, hitam.”“Dasinya tidak akan terlihat.”Raya kembali ke lemari pakaian, mengambil dasi lain.“Pasangkan!” Andro menunjuk lehernya.Raya enggan memulai, karena dia tidak biasa memasang dasi di leher orang lain. Dia biasa memasang dasi di lehernya sendiri saat masih bersekolah dulu.“Cepat lakukan!”Dengan ragu, Raya melingkarkan dasi di leher Andro, karena Andro duduk di kursi roda, Raya jadi tak perlu susah payah untuk meraih lehernya. Bayangkan kalau laki-laki ini bisa berdiri dengan tingginya yang mencapai 187 sentimeter, sedangkan Raya hanya setinggi 165 senti meter. “Brgini?” Tanya Raya.“Terbalik.”“Seperti ini?”Andro tak melepaskan tatapan matanya dari wajah Raya, dia tidak terlalu cantik. Tapi entah mengapa dia sangat menarik untuk dilihat.“Oke, g
“Oma, aku tidak bisa memakai baju ini.” “Kenapa?” Raya terlihat ragu menjawab, apalagi saat Oma menatapnya tajam. Tapi Oma lama-lama merasa tidak tega dan mengusap punggungnya. “Kau itu cantik, ayo pakai saja, dan ikut Oma ke ruang senam.” Baju yang diberikan Oma sangat kurang bahan, baju senam itu berbentuk g-string dengan celana pendek. “Ria, cepat!” “Iya, Oma.” Di ruangan penuh kaca itu, terlihat Oma sedang menyisir rambut pendeknya yang putih dengan jari. Oma masih terlihat sehat dan bugar meski tidak muda lagi. “Setelah senam, kita berenang. Oke?” “Raya harus memasak untuk Andro, Oma.” “Hah? Kenapa, kan ada koki?” “Andro minta dimasakkan, lalu makan siangnya diantar ke kantor.” Oma mencebik, “ada-ada saja kelakuan suami jaman sekarang.” *** Raya sudah selesai memasak menu makan siangnya. Ia mendekati Jeta. “Jeta, bisa tolong panggilkan aku taksi?” “Untuk apa, Nona?” “Aku mau mengantar makan siang suamiku, Jeta.” “Aduh,” Jeta memukul keningnya sendiri. “Saya bisa di
Tanpa diduga, Raya tertidur di ruangan Andro, tepatnya di kamar yang ada disana. Membuat Andro menatapnya dalam diam. Sambil duduk di kursi rodanya, Andro bicara pada dirinya sendiri. “Kamu ini gadis baik yang manis dan cantik, kenapa orang tua mu tega melakukannya?” Andro memegang berkas milik Raya yang baru tadi pagi di serahkan sekretaris Hans padanya, “apa yang akan kamu lakukan jika kamu tahu orang tuamu masih hidup dan mereka membiarkanmu tinggal bersama seorang nenek yang membencimu? Membuat opini seolah mereka sudah mati.” Kembali menatap Raya, entah mengapa Andro merasa ada magnet kuat di sekitar Raya yang membuatnya tak bisa sedikitpun memalingkan pandangannya. Sampai dering ponsel menyadarkan dirinya, Andro keluar dari ruangan itu. “Ada apa, Prabu?” “Aku memesan tempat di kafe biasa, ada yang ingin kubicarakan denganmu malam ini, Kak.” Andro terdiam sejenak. “Ya, aku akan datang.” “Oke, aku akan menunggumu disana, Kak.” “Ya.” “Apa Kak Raya masih di ruanganmu?” “M
Di salah satu kafe yang terletak di pusat bisnis Ibu kota, Andro menatap orang-orang yang sibuk mengobrol satu sama lain dengan partnernya kecuali Prabu yang duduk termenung sendiri di salah satu sudut ruang terbuka. Andro menekan tombol jalan pada kursi rodanya untuk mendekat. “Rokok Kak?” Prabu menawarinya rokok. Dengan tenang, Andro menggelengkan kepalanya. “Katakan, apa yang mau kau bicarakan?” Begitulah Andro, dia tidak suka berbasa-basi. “Wei… kau selalu seperti ini, Kak. Tidak pesan makan atau minum dulu? Kita nikmati quality time berdua ini. Aku sangat merindukanmu.” Andro tersenyum kecut, “cih!” Mengibaskan tangannya ke udara. “Ada seseorang yang menungguku pulang di rumah. Kita langsung saja.” “Oh, jadi begitu, semenjak ada Kakak ipar aku sudah tersingkirkan?” Prabu terkekeh. “Cepat katakan atau aku pergi sekarang?” Tawa Prabu seketika terhenti mendengar ancaman Andro. Ia berdehem dan membenarkan posisi duduknya. “Kehidupan Nara semakin terekspose media Kak. Entah
Sebelum matahari terbit, Raya sudah bangun. Namun, dia tidak bisa bergerak karena Andro memeluknya seperti guling. Itu membuat Raya risih sekaligus malu dan setelah dipikir-pikir, Raya baru sadar kalau ini aneh. Raya menatap kaki Andro di perutnya. Kakinya lumpuh tapi bisa sampai ke perutku? Ah… mungkin saja bagian lutut kebawah yang tidak bisa digerakkan. Raya membuyarkan sendiri prasangka dalam pikirannya. Perlahan, akhirnya Raya bisa melepaskan diri dari pelukan Andro. Merubah posisi Andro menjadi terlentang. Raya segera menyiapkan air mandi untuk Andro, lalu ia menunggu Andro bangun. Tapi sampai pukul setengah delapan, Andro belum juga bangun. Bahkan alarm ponsel milik Andro sudah berdering beberapa kali. Akhirnya Raya memberanikan diri untuk membangunkannya. “Suamiku, ini sudah siang.” Andro menutup telinganya dengan bantal. “Suamiku, ini sudah siang. Kamu harus bangun. Tidak ke kantor memangnya?” “Ambilkan ponsel ku!!” “Apa?” “Bawa kemari ponselku, Raya!” Raya mengem
“Ssh… Su–amiku…” Ini gila, Raya seperti merasakan sensasi yang membuat bagian bawah tubuhnya lumpuh seketika. Apa ini? Saat tangan suaminya menelusup ke bawah, dia benar-benar tak berdaya lagi. Tubuh yang awalnya seolah menolak tiap sentuhan Andro, kini meronta seolah meminta. Tangan Andro hanya bergerak lembut pada inti miliknya. Namun mampu membuatnya terbang ke awan. “Andro! Ria!” Seketika teriakan Oma membuayarkan gairah mereka. “Ini bukan waktunya produksi kue mochi. Cepat keluar! Time is out, time is out!” Andro membuang napas kasar mendengar teriakan Oma, sementara Raya tergolek lemas di dada Andro. “Kita lanjutkan nanti!” Ucap Andro yang tak begitu dihiraukan Raya. *** Dalam perjalanan menuju gereja, Andro tertawa mengingat kejadian pagi ini. Sementara Hans di sebelahnya menatapnya penuh tanya. Akhir-akhir ini tuan muda sepertinya sering sekali tertawa, gumam Hans dalam hati. Hans mengeluarkan ponselnya saat mendengar tanda nada pesan masuk. “Ada apa?” Andro penasa