Sambil meremas tas selempang miliknya, Alana menaikan pandangannya menatap Andra yang saat ini wajah tampannya hanya tersorot oleh sinar bulan.
“Aku akan pulang. Sekali lagi terimakasih telah menyelamatkanku,” kata Alana dan ia hendak pergi dari hadapan Andra.
Namun baru saja Alana melangkahkan kaki kanannya, tangan Andra yang keras sudah menahannya.
“Tunggu! Tadi aku melihat dua bungkus nasi goreng yang sudah tergeletak di tanah. Itu pasti punyamu, ‘kan?” tanya Andra yang membuat Alana kembali menoleh padanya. Lantas Alana menganggukan kepala.
“Iya. Aku memang menjatuhkannya saat kedua orang tadi menyeretku dengan paksa.”
“Kalau begitu ayo.. ikut denganku sekarang!” ajak Andra yang melangkahkan kakinya sambil menarik tangan Alana yang wajahnya berkerut bingung.
“Ikut ke mana?” tanya Alana bingung.
“Ke warungnya Mang Karim. Kita pesan lagi dua bu
Rehan pun ikut penasaran sepertinya. Sebab bocah kecil itu mengangkat wajahnya dari piring nasi goreng, lantas menatap Alana yang masih tergugu di tempat duduknya.“Iya. Mama habis makan dengan siapa?” tanya Rehan.“Kenapa diam, Alana? Ibu sedang bertanya sama kamu!” kali ini suara Winarti terdengar lebih tegas. Dan Alana sepertinya memang harus mengatakan yang sebenarnya. Karena ia sudah banyak berbohong pada Winarti.“Dengan bossku, Bu,” jawaban Alana membuat bola mata Winarti melebar. Kenapa? Sebab Winarti tahu betul siapa boss yang Alana maksud.Atasan Alana hanya Andra. Jadi tadi Alana habis makan malam dengan Andra di warung nasi goreng?“Kami tidak sengaja bertemu. Jadi kami makan bersama di sana.” Alana cepat mengatakan itu agar ibunya tak berpikir yang macam-macam.Ya. Karena Alana memang tak sengaja bertemu dengan Andra tadi. Bahkan, dengan ketidaksengajaan itu, Andra samp
Dan benar saja. Suara ketukan pintu langsung terdengar dari luar. Disusul suara Arwen yang berseru memanggil-manggil nama Sherly.“Sherly! Sayang. Boleh Papa masuk?” tanya Arwen dari luar sana.Sherly merapatkan selimutnya dan segera memasang wajah lesu. “Masuk aja, Pa. Pintunya tidak dikunci kok.” suara Sherly kini terdengar parau. Dan tak menunggu lama, pintu kamar Sherly terbuka, kemudian wajah tua Arwen muncul setelahnya. “Sherly. Ada seseorang yang datang untuk menjengukmu,” kata Arwen memberitahu.“Siapa Pa?” Sherly bersandiwara. Padahal ia sudah tahu jika yang datang adalah Andra.“Andra. Ayo masuk.” Andra mengangguk saat Arwen mempersilakannya untuk masuk ke dalam kamar Sherly. “Andra? Mau apa dia ke sini, Pa?” tanya Sherly pura-pura memasang wajah terkejut. Ia juga menjalankan sandiwaranya dengan marah pada Andra.“Andra datang untuk menjenguk kamu. Lihat, dia juga bawakan buah untuk kamu sayang. Sekarang kalian ngobrol saja berdua ya. Sherly! Sambut Andra dengan baik. Pa
Alana sedang duduk makan siang di pantry kantor. Hanya ada Yanti di sana yang sedang istirahat. Yanti baru saja selesai mengantarkan kopi ke ruangan manager. “Makanmu sedikit sekali, Alana. Kamu diet ya?” tanya Yanti melirik pada piring Alana. Kemudian ikut duduk dan ia sendiri membawa secangkir teh untuknya. “Tidak. Aku tidak sedang diet. Hanya saja aku sedang tidak berselera untuk makan.” Alana menggeleng pelan.“Kemarin-kemarin makanmu juga sedikit begini. Aku pikir kamu sengaja ingin menguruskan badan. Padahal badanmu sudah kurus, Alana.” Benar apa yang dikatakan oleh Yanti. Akhir-akhir ini Alana memang selalu makan dengan porsi yang sedikit. Entah mengapa selera makannya hilang. Apalagi tubuhnya sering merasa lemas dan tak jarang kepalanya pun akan merasa pusing.Seperti saat ini, Alana memijit pelan keningnya saat rasa pening mulai menyiksanya.“Kamu kenap
Dituntunnya Rehan untuk duduk di pinggir tempat tidur. Alana menyibak rambut bocah kecil itu dengan lembut.“Mama memang habis menangis. Tapi Mama menangis karena kepala Mama sedikit pusing. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Rehan. Mama baik-baik saja kok. Kamu lihat sendiri ‘kan, Mama sudah tidak menangis lagi sekarang,” kata Alana mencoba melemparkan senyum manisnya pada Rehan.Akan tetapi raut wajah Rehan masih saja terlihat mengerut. Bocah kecil itu merasa ada yang aneh dengan Alana.“Jadi Mama hanya pusing?” tanya Rehan.“Iya, sayang. Mama hanya pusing,” jawab Alana berdusta.“Jadi itu alasannya kenapa hari ini Mama pulangnya cepat? Boss Mama menyuruh Mama istirahat ya?” tanya Rehan lagi.Alana mengangguk mengiyakan.“Iya. Katanya Mama harus banyak istirahat biar cepat sembuh.”“Mau kepalanya Rehan pijitin, Ma? Biar pusingnya hilang
“Ini hasil labnya,” kata Dokter Fery sambil menyodorkan sebuah map pada Andra.Kini Andra telah duduk di depan Dokter Fery. Benar apa yang diduga oleh Sherly, kalau Andra pasti masih belum percaya tentang penyakitnya jika belum melihat bukti dengan mata kepalanya sendiri.“Jadi benar, kalau Sherly memang mengidap kanker darah?” tanya Andra mengangkat kepalanya dari hasil lab itu, dan matanya menatap lurus pada bola mata Dokter Fery yang langsung mengangguk.“Iya. Memang benar. Sherly menderita kanker darah. Dan sekarang sudah stadium akhir. Sisa hidupnya mungkin tidak akan lama lagi. Sejatinya umur manusia memang hanya ditentukan oleh Tuhan. Tetapi aku hanya menyampaikan dalam sisi medisnya,” jelas Dokter Fery.Andra kini kembali menatap pada hasil lab yang masih ia pegang. Giginya mengeletuk dan Andra memaki dalam hati.‘Jadi sakitnya Sherly itu bukanlah sandiwara. Wanita itu benar-benar mender
Sepulang kerja, Alana mendengar suara seseorang dari kamar Rehan.Suara itu tak asing di telinga Alana.“Danu!” pekik Alana saat tangannya membuka pintu kamar Rehan. Dan di sana sudah ada Danu yang sedang duduk di atas ranjang bersama dengan Rehan. Tampak sebuah buku di depan mereka.“Hai, Alana. Kamu sudah pulang ternyata,” sapa Danu sambil tersenyum menatap Alana.“Ma! Apa Rehan bilang, Ayah Danu akan datang ngunjungin kita lagi, ‘kan? Sekarang Rehan dan Ayah sedang belajar menggambar. Lihat deh, Ma! Hasil gambar Ayah bagus.” Rehan mengacungkan buku gambarnya pada Alana. Menunjukan hasil karya Danu yang terpampang di sana.Danu tersenyum malu. Sementara Alana mengangguk sambil melemparkan senyumnya pada Rehan.“Bagus.” Alana melangkah lebih dekat menghampiri kedua orang yang masih duduk di atas ranjang itu. “Kapan kamu sampai, Danu?” tanya Alana sembari men
Andra berdecak pelan sambil menyentak tangannya ke meja. Ia baru saja mendapat kabar bahwa Alana cuti hari ini. Wanita itu tidak bisa masuk kantor lantaran sedang sakit.Dan hal itu tak ayal membuat pikiran Andra menjadi gusar."Alana masih sakit? Apa jangan-jangan kemarin itu dia bukan hanya masuk angin biasa. Apa saat ini sakitnya parah, sampai dia tidak bisa masuk kerja?" gumam Andra bertanya-tanya. Raut wajahnya tampak cemas.Secara tak sadar, saat ini Andra begitu mengkhawatirkan Alana."Hah, sekarang aku jadi tidak fokus. Kenapa pikiranku mendadak kacau? Hanya karena Alana sakit, aku jadi ikut uring-uringan! Seharusnya aku tak perlu berlebihan seperti ini?" Andra mengacak rambutnya. Lalu ia berusaha fokus untuk menatap pada layar monitor yang telah terpampang di hadapannya.Andra berusaha mengusir segala kemelut yang merundung pikirannya. Sebisa mungkin Andra mengenyahkan Alana dari benaknya. Saat ini yang perlu ia lakukan
Andra berdecak dengan kesal. Buku-buku jemarinya saling mengepal dengan kuat. Andra tidak pernah menduga jika Danu akan membayarkan uang denda itu. Sial!“Kenapa kamu mendadak diam, Pak Andra yang terhormat? Apa kamu sudah mati kutu begitu mendengar ucapan telak dariku?” Danu mengejek Andra dengan senyumnya yang terlihat menyebalkan.Andai saja Andra tak ingat martabatnya sebagai boss perusahaan besar, pasti saat ini Andra sudah bangkit dan melayangkan tinjuan di wajah Danu itu.“Kenapa kamu harus repot-repot membayar denda untuk Alana? Siapa kamu sebenarnya?” tanya Andra setelah beberapa saat terdiam.Rasa penasaran masih mengusik dalam hatinya. Sedekat itukah hubungan antara Danu dengan Alana? Hingga lelaki itu mau mengeluarkan uang yang terbilang banyak demi Alana.“Aku? Kamu bertanya siapa aku? Aku adalah lelaki yang ingin Alana bahagia. Dan aku adalah lelaki yang akan memastikan tidak ada satu
Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B
Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah
“Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan
Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe
Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k
“Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R
Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j
Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it