“Ya, istri Anda hamil, Pak Aldo.” Doter David mengulang informasinya.“Ha-hamil?” sergah Aldo tercekat. Sontak pria berusia tiga puluh dua tahun itu menoleh ke arah bankar. Rinay masih terbaring lemah di sana.“Em, selamat, ya? Tapi, maaf, kenapa Bapak terlihat kaget?” Dokter David memindai lekat wajah Aldo.“Dia … dia …. Oh, namanya Rinay, dia pengasuh anak saya. Bukan istri saya,” kata Aldo masih menatap Rinay di bankar.“Maaf, saya kira istri Pak Aldo. Karena terakhir saya dengan kabar kalau Bu Maya sudah meninggal. Saya turud berduka cita, Pak Aldo.”“Terima kasih, Dok. Tapi, Maya sudah kembali. Dia tidak meninggal dalam kecelakaan itu.”“Loh, begitukah? Lalu?”“Dia selamat. Seseorang menyelamatkannya dari maut.”“Syukurlah kalau begitu.”“Tapi kami akan berpisah. Karena dia akan menikah dengan pria yang menyelematkannya itu.”“Oh, semoga Pak Aldo tabah dan ihklas.”“Saya sudah ihklas. Sekarang yang menjadi pikiran saya justru wanita itu.” Aldo menunjuk Rinay dengan dagunya. Set
“Kenapa? Apa kata Bik Yuni? Pasti Maya yang memaksanya menelpon kamu, kan?” tuduh Aldo langsung curiga.“Bukan sepertinya, Pak. Kata Bik Yuni Den Aldo nangis gak berenti berenti.” Rinay yang masih begitu lemah terlihat tegang.“Deo? Deo menangis saja?” sergah Aldo ikut tegang.“Ba-baik, Bik! Aku segera pulang. Tolong tenangkan dulu Den Deonya, ya!” kata Rinay menutup telepon. Itu mengejutkan Aldo.“Ada tiga perempuan di rumah, tapi tak ada yang bisa menenangkan Deo?” sesalnya memukul kasur bankar.“Saya mau pulang! Tolong panggilkan perawat untuk melepas jarum infus ini! Tolong panggilkan, Pak!” kata Rinay memohon.“Apa? Kamu tidak dengar tadi aku biilang apa? Habiskan dulu satu botol infus ini, baru kau boleh pulang!” Suara Aldo meninggi. Kekesalannya kepada orang yang menjaga Deo di rumah, tak sadar dia limpahkan kepada Rinay.“Saya sudah kuat, Pak! Den Aldo bru saja keluar dari rumah sakit. Saya enggak mau di kenapa-napa! Tolong panggilin perawat, atau aku tairk paksa aja jarum inf
“Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa kamu sampai pingsan tadi, Sayang?” Bagas tak perduli dengan keberadaan Aldo, dia langsung saja menerobos masuk dan mendekati bangkar.“Berhenti memanggilku ‘Sayang’! Kita bukan siapa-siapa! Jangan ganggu aku lagi!” Rinay berkata dengan tegas. Aldo masih berdiri kaku di dekat pintu. Tangannya merogoh intercom di saku celana.“Di mana kalian? Kenapa bajingan ini bisa masuk ke ruangan Rinay?!” bentaknya emosi lalu segera mengembalikan benda itu lagi ke dalam saku. Dia tatap tajam Bagas yang sedang berusaha meraih tangan Rinay.“Nay, jangan begini! Kamu itu masih istri aku! Berapa kali lagi harus aku katakan, Nay!” Bagas meraih telapak tangan Rinay. Segera wanita itu menepisnya. Namun, Bagas tetap memaksa. Gerakan Rinay yang terbatas membuat Bagas berhasil meraih dan menggenggam tangannya dengan erat.“Lepaskan, Mas! Jangan sentuh aku!” bentak Rinay menolak. Namun, Bagas dengan kencang mencengkramnya.“Hey! Lepaskan! Berapa kali lagi kubilang janga
“Apa maksudmu Rinay masih hamil?” tanya Aldo heran. Pria itu mengernyitkan keningnya dengan kencang.“Rinay! Jawab dengan jujur, aku mau mendengar dari mulutu! Bagaimana bisa kau masih hamil, Nay?!” Bagas mengguncang bahu Rinay diiringi tatapan tajam.“Sakit, Mas!” sergah Rinay meringis.“Jadi kau sebenranya sudah tahu kalau dia hamil? Dan kau bertanya kenapa dia masih hamil? Maksudmu apa?” Aldo melepas cengkraman tangan Bagas di bahu Rinya.“Pak Aldo, saya masih menghormati Anda sebagai mitra bisnis perusahaan mertua saya yang paling kompeten. Tolong jangan pancing saya bersikap kurang ajar! Ini urusan saya dengan istri saya, tolong jangan ikut campur!,” bentak Bagas.“Rinya, bicaralah! Apa maksud kalimat laki-laki tengik ini?” Aldo tak menghiraukan perkatan Bagas.“Bukan urusan kamu, bangsat!” Bagas mendorong bahu Aldo. Keributan kembali terjadi. Kedua laki-laki itu saling pukul, saling tendang. Mereka bergumul di lantai ruangan.Dua orang perawat yang mendengar dari meja jaga d
“Hati-hati jalannya! Aku tak mungkin menuntunmu, kau harus bisa jalan sendiri!” kata Aldo begitu mereka tiba di rumah.“Baik, Pak,” sahut Rinay pelan. Pelan dia turunkan kaki kirinya, berpegangan [ada daun pintu mobil, dia turunkan lagi kaki kanannya. “Auuw!” ringisnya bersender ke dinding mobil. Jemarinya memijit kening.“Kau kenapa? Aku sudah bilang hati-hati, bukan?” sergah Aldo spontan. Tangannya terjulur hendak memegangi bahu Rinay.“Tidak usah, Pak! Saya bisa jalan sendiri! Saya hanya pusing sedikit!” tolak Rinay cepat.“Hem, bagus! Aku akan panggilkan Ningrum untuk membantumu masuk! Tunggu di sini!” titah Aldo menarik tangannya kembali. Pria itu buru-buru berjalan masuk. Namun, belum juga sampai di ruamg tamu, sudah terdengar suara tangis Deo yang mengoar.Setengah berlari pria itu menapaki anak tangga menuju ke lantai dua. Dia lalu bergegas menuju kamar putranya.“Deo!” panggilnya menyerbu masuk ke dalam kamar.“Kamu sudah pulang, Mas?” Maya menyambutnya dengan wajah pani
“Apa yang Ibu lakukan, aaauw … perut saya sakit, Bu!” rintih Rinay terpaksa mengikuti langkah kaki Maya. Sang istri majikan menyeretnya dengan paksa menuju gerbang.“Kau perempuan kampung! Beraninya kau mencuri perhatian suamiku! Beraninya kau membuat putraku terikat padamu! Apa yang sudah kau lakukan untuk mempengaruhi otak mereka, hah? Pelet dari kampungmu, iya? Atau guna-guna warisan bapakmu? Aku tahu, perempuan kampung sepertimu andalannya pasti itu! Kau mau jadi isrti orang kaya di kota, iyakan? Enggak bisa! Pergi kau dri rumahku sekarang juga!” makian, hinaan, dan tuduhan Maya meluncur dengan begitu derasnya.“Sakit perut saya, Bu! Tolong lepasin …!” Rinay memohon sembari memegangi perut.“Gak usah akting! Mas Aldo memnag bisa kau tipu dengan drama murahn kamu itu! Tapi aku tidak! Aku tau bukan pertumu yang sakit, wowokmu itu yang gatal minta disedot oleh suamiku, kan? Jangan harap! Pergi kau dari rumahku!” pungkas Maya semakin kencang menyeret tubuh Rinay.“Maaf, Bu Maya! To
“Jangan menangis! Air matamu jauh lebih berharga dari pada laki-laki tak bertanggung jawab itu!” kata Aldo seraya menyeka butiran bening yang menggelincir di pipi mulus nan lembut milik Rinay. Wajah bersih tanpa polesan bedak itu terlihat sangat cantik di matanya.“Maaf, Pak!” lirih Rinay gugup. Dia geser wajahnya dari sentuhan tangan Aldo. Dia tepis halus sentuhan sang majikan di pipinya. Sontak Aldo tersadar. pria itu langsung menegakkan tubuh.“Kenapa kamu masih menangisi pria bangsat itu? Tidak bisakah kau melupakannya?” tanyanya sedikit ketus. Kelembutan yang dia tunjukkan barusan hilang seketika.“Saya-saya, bahkan tak ingat dia sama sekali, Pak,” jawab Rinay masih gugup.“Lalu, kenapa kau masih menangis?” ketus Aldo dengan wajah ketat. Betapa dia merasa malu karena sempat terbawa perasaan. Pria itu sangat menyesal telah begitu lancang menyentuh pipi sang pengasuh. Harga dirinya serasa terkoyak kala Rinay menepis halus sentuhannya.“Kau tak ingat suamimu?”“Tidak, dan maaf
“Sudah, ini sudah tanak. Ning, taruh buburnya di mangkuk, lalu antar ke kamar Den Deo! Suruh si Rinay makan yang banyak! Biar cepat kuat. Aku akan mengantar susu kepada Bapak!” titah Bi Yuni kepada Ningrum. “Baik, Bik!” jawab ART yunior itu patuh. Bik Yuni kembali ke meja makan. Meletakkan segelas susu panas dia atas nampan kecil, lalu mengantarkannya ke kamar utama di lantai atas. Maya memperhatikan semua gerak geriknya dari ruang tengah. Wanita itu tengah berpura-pura menonton saluran televisi di sana. “Ibu, mau saya buatkan minum juga?” tanya Bik Yuni saat melintasinya. Wanita empat puluh tahun itu masih tetap hormat kepada sang Nyonya Majikan. “Enggak usah, Bik. Nanti kalau aku mau, aku bisa buat sendiri,” sahut Maya, tatapannya tetap fokus ke layar tv. “Baik, Bu. Saya naik dulu.” “Hem.” Maya berdebar. Semakin jauh langkah Bik Yuni, dadanya makin kuat berdebar. Dia harus menyiapkan diri sekarang. Sesaat lagi, rencananya akan dia jalankan. * “Ini susunya, PaK,” ucap Bik