“Bapak …?” Bik Yuni dan Suster Lina bergumam bersamaan. Wajah keduanya terlihat tegang. Hanya Rinay yang bersikap biasa saja. Suster Lina yang sudah melepas Deo, membuat Rinay lebih leluasa mengatur posisi bayi itu di dalam dekapannya. Mulut mungil bayi malang itu mulai menyedot kepala dot, pelan dia menghisap isinya. Begitu tenang dan perlahan. Sesekali dia seperti tersedak. Aldo melangkah masuk. “Bik, tolong carikan pasfhoto Nyonya! Mungkin saat bersih-bersih, Bibik pernah menemukannya! Saya butuh sekarang!” perintah Aldo kepada Bik Yuni. “Sepertinya saya pernah lihat di laci lemari hias Nyonya. Sebentar saya ambilkan!” Bik Yuni langsung bergerak menuju kamar utama. “Dan kamu, kenapa belum berangkat juga? Penggantimu sudah datang, kenapa masih menunda?” Aldo mengalihkan tatapannya kepada Suster Lina. “Eem, saya … saya merasa berat meninggalkan Den Deo, Pak. Saya khawatir dia tidak bisa mengurus Den Deo! Saya merasa tidak tenang.” Suster Lina berkata dengan nada penuh tekana
Aldo dilnda kebingungan. Selama ini, dia begitu percaya kepada sang perawat. Keselamatan putranya dia serahkan sepenuhnya ke tangan babysitter itu. Bahkan, di antara semua pekerjanya, hanya Lina yang mendapat tempat istimewa. Kepada yang lain dia tak pernah bersikap ramah, apalagi bersikap royal. Namun, kepada sang perawat, dia selalu bersikap ramah. Bahkan sangat royal. Apapun permintaan Lina, selalu dia turuti, karena baginya, nyawa Deo ada di tangan gadis itu. Setiap hari dia berkunjung ke kamar putranya, menyapa Lina dengan begitu ramah untuk menanyakan kondisi kesehatan Deo. Menayakan bagaimana perkembangan kesehatan anaknya, dan menanyakan apa saja yang dibutuhkan Lina agar betah menunggui putranya di kamar itu. Aldo begitu percaya dengan semua keterangan Lina, tanpa pernah mengecek sendiri. Bahkan luka radang di punggung putranya baru kali ini dia tahu. Dan menurut Lina itu terjadi barusan saja, karena Rinay memaksa mengeluarkan dari box-nya. Sedangkan menurut Rinay, luka i
“Maaf, Pak Aldo, saya sarankan dengan sangat agar bayi Bapak, kita rawat di rumah sakit. Saya akan buatkan surat rujukannya,” tukas Dokter Fredy mengagetkan semua yang ada di ruangan itu. “Apa? Anak saya …. Harus dirawat di rumah sakit? Separah itukah?” sergah Aldo dengan kedua mata membulat. Wajah tampan itu terlihat tegang. “Maaf, saya bahkan bisa saja menuntut Bapak karena lalai. Maaf, Pak Aldo, saya agak kasar,” sesal sang Dokter lagi. “Astaga! Jadi selama ini anak saya ….” geram Aldo menoleh kepada babysitternya. Perempuan itu mengkerut di tempatnya, wajahnya menunduk dengan jemari saling memilin. “Kau bilang anakku makin sehat, kau bilang perkembangan dan pertumbuhan anakku makin ada kemajuan, kau bilang anakku tak perlu diperiksakan kepada Dokter, kau bilang …. Kau bilang kau bisa aku andalkan! Kau bilang kau sangat ahli dan berpengalman mengurus seorang bayi yatim yang ditinggal mati oleh ibunya, kau bilaaaaang ….!” Tangan kekar Aldo melayang di udara, seperempat detik
Heri melajukan mobil majikannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Mereka harus segera tiba di rumah sakit yang telah dirujuk oleh Dr. Ferdy. Dia duduk sendirian di kabin depan mobil mewah itu. Sedangkan sang Bos dengan Rinay duduk di bangku dua. Rinay sangat kikuk saat berada di samping sang majikan. Apalagi sang Bos tak henti menatap ke arahnya. Tentu saja hendak menatap putra kesayangan yang saat ini berada di dalam dekapannya. Posisi kepala dan wajah sang putra tepat berada dan menempel di dadanya. Ya, di dada miliknya yang sedang montok-montoknya karena dia saat ini sedang hamil muda. Apalagi dia hanya menggunakan kaos putih yang agak ketat. Bukan karena sengaja memakai pakaian seperti itu, tetapi karena hanya itu yang paling layak yang dia punya saat ini. Bukan karena mesum, tak ada niat Aldo sedikitpun untuk sengaja menikmati pemandangan di sampingnya. Bahkan hingga detik ini, dia belum pernah menatap langsung wajah babysitter barunya itu. Dia hanya fokus memindai waj
Dengan berat hati Rinay mengikuti sang perawat menuju pintu ruangan. Begitu sampai di luar, pintu langsung ditutup, dan sang perawat kembali masuk ke dalam. Rinay termangu di depan pintu, mencoba mencari celah untuk bisa mengintip ke dalam ruangan. Aldo yang duduk di sebuah bangku panjang tak jauh dari pintu ruangan itu, hanya menatapnya sekilas. Tak ada niat di hatinya untuk memanggil Rinay, agar ikut duduk di bangku itu, di dekatnya. Pikiran masih sangat kacau. “Nay,” panggil seseorang mengagetkan wanita itu. “Eh, Mas Heri, kaget saya.” Rinay menepuk nepuk dengan pelan dadanya, seolah hendak menenangkan pacu jantungnya yang tiba-tiba lebih cepat karena kaget. “Kamu mudah kaget juga rupanya, ya! Maaf,” tutur Hery merasa bersalah. “Yuk, ikut aku!” ajaknya kemudian. “Ke mana?” Rinay menautkan kedua alis lebatnya. “Diperintahkan Pak Aldo untuk membeli beberapa setel pakaian untukmu, karena kamu dia minta menunggui Den Deo di rumah sakit ini!” “Be beli baju?” sergah Rinay
“Gimana sekarang keadaan anak kamu, Mas?” Tatiana bertanya penuh perhatian. “Sedang ditangani Dokter,” jawab Aldo lirih. “Mas Aldo nangis, ya? Suara Mas terdengar sengau. Aku turut prihatin ya, Mas!” “Terima kasih, tapi, dari mana kamu tahu kalau anakku gawat?” “Tante Reni nelpon aku, Mas. Dia sedang otw ke rumah sakit katanya. Tante terdengar panik banget.” “Ya, aku memang nelpon Mama. Syukurlah kalau dia sudah otw ke sini. Kalau enggak, aku enggak akan tenang ninggalin Deo hanya sama pembantu di rumah sakit ini.” “Pembantu? Bukannya kamu udah pecat Lina?” “Darimana kamu tahu, dia pasti ngdu ke kamu, ya?” “I-iya, e, enggak ngadu, sih, cuma ….” Suara Tatiana terdengar gugup. “Kamu, sih, aku minta kamu carikan babysitter yang bertanggung jawab danprofesional, kan? Tapi, yang kamu kirim malah perempuan psikopat itu. Jujur, aku kecewa sama kamu!” “Maaf, aku enggak tahu kalau dia bisa se ceroboh itu. Tapi, dia juga enggak sengaja, kan, Mas! Dia kira kondisi Deo enggak separah
“Tenang, Pak Aldo. Kami pasti akan mengusahakan yang terbaik buat putra Bapak. Tapi, maaf, kami harus berterus terang. Kondisi kesehatan putra Bapak sangat memprihatinkan. Putra Bapak mengalami komplikasi. Radang di punggungnya hanya luka luar, tapi yang di dalam jauh lebih parah.” “Anak saya kenapa, Dok! Cepat katakan! Jangan bertele-tele!” Aldo bangkit, menatap tajam Dr. Fredy. “Setelah kamu lakukan pemeriksaan intensif, kami mendiagnosa anak Bapak mengalami giji buruk, ada cairan sedikit di paru-paru, menyumbat saluran nafas, ada penyempitan di ….” “Cukup! Tidak usah Dokter sebutkan semua penyakit yang menggerogoti tubuh anakku! Aku perintahkan kalian selamatkan anakku! Berapapun biayanya aku tak peduli! Selamatkan anakku, Dokter! Selamatkan dia!” Aldo terduduk lemas kembali di kursinya. Kedua tangan meremas kasar rambut gondrong di kepalanya. Mata elang itu kembali basah. “Tentu, itu tugas kami, Pak Aldo. Bapak tenang, ya! Kami hanya ingin meminta persetujuan Bapak, kami a
“Kasihan Non Tatiana, punya suami enggak beres, gitu. Enggak tega rasanya saya.” Betapa Rinay ingin membantah kalimat empati Heri. Ingin dia jelaskan kalau Tatiana sebenarnya adalah wanita tak punya hati. Dia bahkan memaksa Bik Lastri, mertua laki-laki ini untuk membuat ramuan penggugur kandungan untuk Rinay. Tatiana adalah perempuan monster yang tak punya hati. Namun, Rinay tak bisa mengatakan itu semua sekarang. Rina, istri Heri, telah berpesan agar kehamilannya di rahasiakan dulu dari semua orang karena khawatir Rinay tak akan diterima bekerja di rumah Aldo kalau ketahuan sedang mengandung. “Non Tatiana itu wanita baik, Nay. Mungkin suaminya yang licik telah mempermainkn kalian berdua. Nyonya Reni juga sangat baik. Kamu tidak usah meragukan mereka. Ayo, balik ke sana! Siapa tahu Pak Aldo membutuhkanmu sekarang!” tukas Heri kemudian. “Bukan masalah baik atau tidaknya, Mas. Aku cuma khawatir, kalau Tatiana tau aku bekerja di sini, dia akan ngadu sama Mas Bagas, lalu melakukan
*****“Rindi … Rin … Rindi ….” Rinay memanggil. Bocah dua tahun itu tak ada di kamarnya. Harusnya dia tidur siang di jam seperti ini. Di kamar anak-anak hanya ada Deo sedang tertidur pulas.“Ning, Rindi mana?” teriak Rinay sambil berjalan menuju dapur.“Enggak ada di kamarnya, ya, Bu? Palingan main di halaman depan, seperti biasa,” jawab Ningrung sambil mencuci piring di samping meja kompor.“Loh, kan ini jam tidur siang anak-anak, Ning? Kenapa dibiarin main?”“Non Rindi selalu terbangun di jam seperti ini, Bu! Dia udah kenyang tidur siang, kok!”“Terus, dia main sendiri di halaman depan, begitu? Enggak ada yang mengawasi?”“Biasanya juga enggak lama, Bu. Bentar lagi juga balik. Dia marah kalau saya ikutin. Katanya dia mau main sendiri. Lagian di depan kan ada penjaga dan satpam.”“Lain kali, tolong jangan biarkan anak anak main sendiri! Meskipun ada penjaga di depan!”“Baik, Bu! Saya akan susul Non Rindi!”“Enggak usah, biar saya susulin sendiri!”***“Ooom …. Oooom …!” Seorang
*****“Bapak … saya … saya tidak percaya ini?” lirih Rinay kembali menundukkan wajah basahnya.Aldo kembali meraih dagu wanita itu, membawanya tengadah, lalu mengikis jarak di antara mereka. Embusan napas keduanya saling menerpa wajah masing masing. Betapa Rinay ingin menunduk, namun tak bisa lagi karena Aldo menahannya.Tak ada yang bisa dia lakukan selain memejamkan mata, saat wajah Aldo kian mendekat, hingga tak ada lagi jarak. Sebuah kecupan lembut mendarat di keningnya. Sentuhan paling lembut yang pernah dia terima. Bahkan Bagas tak pernah seperti ini caranya. Sentuhan sang manta suami selama ini teramat brutal, selalu membabi buta mengacak acak setiap senti kulit wajahnya.“Aku mencintaimu, Rinay! Tolong terima aku dan anakku! Kumohon,” pinta Aldo berbisik lembut di dekat telinganya.Tak ada penolakan, tak ada gelengan kepala. Namun, Rinay juga tak sanggup meski sekedar untuk mengangguk. Aldo telah menyatukan mulut dan bibir mereka.Wanita yang tengah hamil tiga belas mingg
*****Aldo pulang lebih awal sore ini. Keputusan Hendrawan yang akan memecat Bagas dan memaksa pria itu menceraikan Tatiana sangat mengganggu pikirannya. Bagas pasti akan marah dan bis saja melampiaskannya kepada Rinay. Tatiana juga sama. Dengan status jandanya dia pasti akan datang mengacau kehidupan Aldo selanjutnya. Semua itu akan berdampak pada Rinay. Wanita itulah yang akan menjadi sasaran mereka selanjutnya.“Rinay di mana?” tanyanya begitu memasuki rumah, Bik Yuni yang menyambutnya.“Di kamar Den Deo, Pak,” jawab Bik Yuni seraya meraih tas kerja sang majikan.“Ya, saya akan langsung menemuinya!” Aldo menuju tangga. Itu membuat Bik Yuni gelisah.“Maaf, Pak. Saya duluan, ya!” pamit seraya berjalan cepat menapaki anak tangga. Sikapnya yang gelisah dan buru-buru sempat membuat Aldo curiga, namun dia urung menegurnya. Dengan langkah tenang dia mengikuti Bik Yuni. Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar putranya.“Nay …! Bangun! Bapak Datang! Nay …! Nanti Bapak marah, kalau nge
“Anda … pasti berbohong!” Hendrawan menatap Aldo dengan tajam.“Saya tidak bohong, sebenarnya saya tak ingin mengatakan hal ini kepada Om. Saya berharap Om akan mengetahui sendiri nanti, tapi tidak dari mulut saya. Nyatanya Om membuat saya emosi. Maaf, Om harus mendengar informai tak enak ini,” tutur Aldo dengan nada rendah. Betapa dia khawatir sekarang, dia takut Hendrawan kenapa-napa.“Jadi, perempuan kampung itu ada di kota ini? Peremupan licik, murahan, tak tau malu! Buat apa dia mengejar Bagas ke sini? Baik, aku akan mengembalikannya ke kampung sana dengan caraku! Tapi, kenapa Bagas dan Tatiana merahasiakan ini dariku?” Hendrawan yang awalnya emosi, berubah sayu. Dengan tatapan menerawang dia lalu mendesah berat.“Om mengenal Rinay?” tanya Aldo kebingungan.“Bagaimana dia bisa hamil, bukankah Bagas sudah menalak dia begitu proyek irigasi itu selesai waktu itu? Lalu, Bagas meninggalkannya di kampung sana. Bagas juga berjanji tak akan pernah tidur dengan perempuan itu. Tapi, ke
“Masuk, Om!” sapa Aldo langsung bangkit dan keluar dari mejanya. Pria itu berjalan menyongsong Hendrawan.“Apa kabar, Om?” tanya Aldo lalu mengulurkan tangan hendak menyalam pria yang sebaya dengan papanya itu. Namun, tangannya mengambang di udara. Hendrawan tak mau menerima uluran tangannya.“Nih, Lihat!” Hendrawan melemparkan dua lembar kertas foto di lantai, tepat di kaki Aldo.“Ini hasil perbuatan Anda, bukan? Anda puas?” bentaknya menunjuk wajah Aldo.“I-ini, ini apa, Om?” Aldo terkejut. Pelan dia berjongkok, lalu meraih kedua foto itu. Gambar sebuah mobil yang sudah remuk terlihat di foto itu. Sesaat Aldo berfikir dn mencoba mengingat, dia seperti mengenal mobil itu. Tetapi lupa, di mana dan mobil siapa.“Oh, ini … mobil Pak Bagas. Ya, saya ingat sekarang, ini mobil Pak Bagas,” ucap Aldo kemudian. Kini dia paham, apa maksud kedatangan Hendrawan. Pasti untuk menuntut dirinya, karena anak buah Aldo yang telah menghancurkan mobil itu.“Apa maksud Anda melakukan ini, Pak
“Lepaskan saya, Pak?” kata Rinay setelah semua penyerang bar-bar itu diusir paksa oleh anggota Aldo.“Oh, iya, maaf! Kamu baik-baik saja?” Aldo spontan melepas pelukannya.“Hem, terima kasih. Untung Bapak datang, dari tadi saya mengetuk pintu kamar, tapi Bapak tidak bukakan,” lirih Rinay mengusap pergelangan tanganya yang memar karena bekas cekalan paman Maya tadi.“Aku tidak mendengar, bukan tidak mau membukakan. Aku terbangun justru karena mendengar tangis Deo. Astaga, itu artinya Deo yang menyelamatkanmu, Rinay!” Aldo bagai tersadar.“Begitukah? Bapak terbangun karena mendnegar tangisnya, itu artinya ikatan batin di antar kalian begitu kuat, Pak.”“Sepertinya dia sengaja membangunkanku, karena pengasuh yang sangat dia sayangi dalam bahaya.”“Oh.”“Hem. Kamu mungkin tidak sadar, ikatan batin justru terjalin antara kau dan Deo. Bukan dengan Maya.” Aldo menatap Rinay dengan lekat.Rinay menunduk. “Maaf, saya pamit ke kamar Den Deo. Permisi, Pak!” pamitnya merasa jengah.“Ya, Bik Yuni
“Permisi, Pak, maaf, Bapak udah bangun kah?” ulang Rinay mengetuk pintu dengan lebih keras. Dadanya berdebaran, menanti reaksi dari sang majikan. Dia juga mencoba menajamkan pendengaran, berharap ada gerakan dari dalam yang mendekat ke arah pintu kamar.“Hem, sepertinya Pak Aldo masih lelap banget, Nay! Bagaimana ini, ya, tamu dari kampung itu sudah tak sabar.“ Bik Yuni makin gelisah.“Lalu, aku harus bagaimana, Bik? Kalau aku turun, aku takut mereka mengeroyok aku. Kalau aku enggak hamil, aku enggak takut. Tapi, kalau hamil begini, aku takut mereka menyakiti perutku.” Rinay tak kalah.“Eh, ini orangnya, Paman! Ini yang sudah merusak rumah tanggaku, Seret dia keluar dari rumah ini, Paman!”Rinay dan Bik Yuni terperanjat kaget. Maya tiba-tiba sudah berdiri di ujung tangga. Tiga orang pria dewasa mendampinginya. Mereka menatap Rinay penuh kebencian dan amarah yang berkobar.“Seret PELAKOR itu Paman! Campakkan saja ke bawah tangga itu!” perintah Maya menunjuk Rinay.Ketiga pria i
“Kamu …!” Aldo berdiri kaku melihat Maya di kamar utama. Netranya membulat sempurna. Sedikitpun tak percaya dengan pemandangan di depan matanya. Tangannya meraba di kening, memijit dengan kencang. Sakit karena kantuk belum hilaang dengan sempurna. Sakit karena hasrat sempat melanda, namun tak tuntas pelampiasannya.“Mas, masuklah! Kenapa mematung di situ? Deo sudah tak bersuara, kan? Dia sudah tenang. Kita lanjutkan permainan, ya? Msih tanggung yang tadi,” sambut Maya seraya mengukir senyum di bibirnya. Perempuan yang belum tak berbusana itu, masih menunggunya.“Kau …!” Aldo tercekat. Dia telan saliva dengan susah payah. Sedikitpun dia tak percaya apa yang Maya perbuat.“Sayang, masuk … sini!” kata Maya datang mendekat. Tubuh polosnya melangkah anggun di depan Aldo. Tubuh yang dulu sangat dikagumi oleh pria itu. Yang dia impi dan rindui setiap detik. Ciptakan dahaga namun tak pernah ada puas-puasnya. Bahkan teramat sering dia sengaja pulang dari kantor hanya untuk mengobati daha
“Nay, kenapa kamu turun? Udah selesai makannya?” Bik Yuni terkejut saat Rinay berjlan lemas ke arah dapur. Bik Yuni tengah membersihkan bekas memask bubur untuk Rinay tadi. Sementara Ningrum sudah masuk ke kamarnya.“Anu, Bik! Saya belum selesai makan sebenarnya. Baru juga beberapa sendok. Tapi, Bu Maya mengusir saya lagi.” Rinay menghenyakkan bokong di kursi kecil di dekat meja kompor.“Bu Maya? Dia naik lagi ke lantai atas?” Bik Yuni mengernyitkan dahinya dengan kencang.Bik Yuni tak habis pikir, kenapa sang Nyonya sebegitu bencinya kepada Rinay. Rinay salah apa, coba? Cemburu? Bukankah harusnya dia lebih cemburu kepada Ningrum? Jelas-jelas Ningrum masih gadis. Kenapa dia malah cemburu kepada Rinay?“Iya, Bik. Saya diusir. Saya tidak boleh tidur di kamar Den Deo. Bagaimana ini, ya? Bagaimana kalau tiba-tiba Den deo terbangun dan nyariin saya? Den Deo bisa mengamuk lagi. Pak Aldo bisa marah. Saya khawatir sekali, Bik.” Rinay meremas jari jemarinya sendiri. Mata cantik yang biasa b