Hatiku semakin tidak tenang. Sayang sekali, aku tidak tahu kata sandi akun media sosial Mas Ardi. Baru saja menikah, aku sudah dibayangi kehancuran oleh orang ke tiga. Selama aku mengenalnya dulu, dia begitu baik dan lembut. Tidak ada hal yang membuatku curiga. Semuanya baik-baik saja. Siapa sangka jika akhirnya akan begini.
"Li?"
"Iya, Ma?" Segera kubuka pintu kamar dan menunjukkan sikap yang biasa saja ke mama.
"Ayo, makan dulu!"
"Mama dan papa duluan saja! Lily belum lapar, Ma."
"Kamu sakit?"
"Nggak, Ma. Lily sehat, kok."
"Kok, pucat?"
"Lily nggak apa-apa, Ma. Serius."
"Kalau sakit bilang, Li! Kamu telepon Ardi cepet biar dia bisa ngantar kamu ke dokter!"
"Nggak, Ma. Cuma sedikit kelelahan saja tadi habis mindahin barang-barang yang di atas lemari itu," kataku beralasan.
"Bener?"
"Bener, Ma."
Untung saja mama percaya begitu saja. Namun, tak lama kemudian mama datang dengan membawa sepiring makanan untukku.
"Ma, Mama tidak perlu melakukan ini."
"Kenapa? Kamu anak mama. Ayo, dimakan!"
"Ma?" Aku memanggilnya ketika hendak keluar dari kamarku.
"Kenapa, Li? Ada lagi yang dibutuhin?"
"Makasih, Ma!" ucapku sambil tersenyum. Mama mengangguk dan mengusap lembut kepalaku.
Aku menutup pintu kamar rapat-rapat. Tangisku pecah. Mertuaku memang sudah sangat baik kepadaku, tetapi suamiku tidak sebaik yang kukira. Dia tega menodai ikatan suci yang belum ada satu bulan ini.
***
Sudah pukul dua belas malam tengah malam, tetapi Mas Ardi tak kunjung pulang. Aku sudah mengirimkan pesan, tetapi tidak terkirim. Entah karena baterai ponselnya habis atau sengaja mematikan ponsel.
Terdengar suara deru mobilnya, tetapi aku tidak menyambutnya seperti biasa. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya jika aku pura-pura tidur. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Mas Ardi memanggilku, tetapi aku tetap menutup mata.
Dia menanggalkan pakaiannya kemudian menuju ke kamar mandi. Aku segera mengambil ponsel Mas Ardi yang ada di meja. Kubuka aplikasi berlogo warna hijau tersebut.
Leni. Pesan dari perempuan tersebut ada berada di paling atas. Tanganku bergetar ketika membuka pesan-pesan dari Leni. Entah sudah berapa banyak emoji hati yang diselipkan dalam setiap pesannya. Aku segera menyimpan nomor Leni dalam ponselku.
Aku kembali meletakkan ponsel suamiku karena sudah tak kuasa melanjutkan membaca percakapan mesra itu. Harumnya bunga pernikahan seakan masih tercium di hidungku, tetapi aku sudah menerima kenyataan pahit.
Tak lama kemudian, suamiku keluar dari kamar mandi. Dia segera berganti pakaian dan tidur di sampingku. Tak ada kecupan mau pun pelukan. Pantas saja jika suamiku bersikap biasa saja dan tak meminta jatah malam pertamanya. Ternyata dia sudah melabuhkan dirinya kepada wanita lain.
Sudah satu jam aku memejamkan mata, tetapi aku tidak dapat tidur. Bayang-bayang kehancuran rumah tangga sudah menghantui. Bagaimana aku mengatakan hal ini kepada ayah dan ibu? Bagaimana jika mama dan papa tahu?
Entah harus bertahan atau menyerah. Bertahan terlalu sakit, tetapi menyerah juga akan sulit. Kedua orang tua kami sangat bangga dengan pernikahan kami. Rasanya tidak tega jika melihat kedua orang tua kami kecewa ketika mengetahui fakta ini.
***
"Mas, mau ke mana?" tanyaku kepada Mas Ardi yang sudah rapi.
"Aku ada urusan, Dek."
"Bukannya sekarang hari libur?"
"Urusan di luar pekerjaan, Dek."
"Aku ikut, ya?"
Mas Ardi menatapku sejenak. Aku hanya ingin tahu saja bagaimana reaksinya.
"Ja–jangan, Dek!"
"Kenapa, Mas?"
"Aku sama teman-teman cowok, loh, Dek. Nggak ada ceweknya."
"Terus kenapa, Mas?"
"Ya, jangan, dong! Nanti kalau kamu digoda sama mereka, gimana?"
"Nggak akan, Mas."
Mas Ardi memegang kedua bahuku. Dia menggiringku untuk duduk. "Dek, aku ini ada urusan. Kamu di rumah saja, Dek! Kamu mau apa? Nanti biar aku bawakan!"
"Aku ingin kamu meluangkan waktu untukku sebentar saja! Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu, Mas."
"Kalau gitu, kapan-kapan saja aku akan membawamu ke tempat yang kamu suka. Kita akan berbagi cerita apa pun di sana. Sekarang aku mau pergi dulu. Baik-baik di rumah!"
Mas Ardi pergi begitu saja. Aku bahkan belum menanyakan perihal tanda kecupan, aroma parfum, dan pesan dari Leni. Saat kutinggal memasak tadi, Mas Ardi masih tertidur pulas. Ketika aku kembali ke kamar, dia sudah rapi saja.
Pernikahan ini sangat hambar. Kenyataan yang kualami sekarang, jauh berbeda dengan ekspektasiku. Tak ada panggilan kesayangan, tak ada sentuhan, tak ada kecupan, dan tak ada candaan. Hambar. Semuanya seperti tidak berasa.
Aku berjalan menghampiri mama dan papa yang sudah menunggu di meja makan. Sebisa mungkin aku memasang wajah yang biasa saja.
"Ardi mau ke mana tadi? Kok, buru-buru banget?" tanya papa.
"Katanya, sih, ada urusan, Pa."
"Urusan apa?"
"Katanya di luar pekerjaan, Pa. Sama teman-teman lelakinya."
"Oh."
"Ardi itu seharusnya lebih banyak luangin waktu buat kamu!" Mama berujar sambil mengambil secentong nasi untuk papa.
"Belakangan ini, Ardi seperti sibuk sekali. Dia selalu pulang malam juga, Pa," lanjut mama.
"Nanti Papa ngomong sama Ardi biar mereka bisa berbulan madu! Masa', pengantin baru sibuk ngurusin kerjaan mulu?" kata mama lagi.
Aku tertegun mendengar perbincangan mama dan papa. Mereka begitu manis dengan hubungan kami. Sayangnya, mereka tidak tahu kenyataan di balik semua ini. Jangankan berbulan madu, menyentuhku saja tidak pernah.
***
Malam pun tiba, tetapi suamiku tak kunjung pulang. Aku teringat akan nomor telepon Leni yang sudah kusimpan di ponsel. Di dalam ponsel, aku memiliki dua nomor telepon yang aktif. Aku menghubungi nomor Leni dengan nomor yang tidak diketahui oleh Mas Ardi.
"Halo?" sapa seorang wanita di seberang sana. Namun, aku masih terdiam.
"Halo? Halo? Siapa, ya?"
"Siapa, Sayang?" Suara seorang lelaki mengejutkanku. Beberapa detik kemudian, panggilan itu terputus.
Aku sangat mengenal suara tersebut. Itu adalah suara Mas Ardi. Aku tidak salah lagi. Entah apa yang kurang dariku sampai Mas Ardi lupa kalau aku adalah istrinya. Sampai hati Mas Ardi menodai pernikahan yang baru sebelas hari ini.
Aku berdiri di depan cermin dan menatap wajahku. "Apakah aku kurang cantik? Apakah aku kurang seksi?"
Dari foto profil Leni, dia terlihat sangat cantik dan seksi. Pantas saja jika suamiku lebih tertarik dengannya. Aku berpikir akan mempertahankan rumah tanggaku ini. Mulai sekarang aku akan mengubah penampilanku. Walau aku sudah menerima pahitnya kehidupan di awal, tapi aku akan membuatnya manis di akhir.
Sama seperti kemarin, aku pura-pura tidur ketika suamiku tiba. Setelah membersihkan diri, biasanya Mas Ardi akan langsung tidur di sampingku. Namun, kali ini aku bisa memastikan kalau Mas Ardi akan terkejut setelah menarik selimut yang aku gunakan.
Aku merasakan Mas Ardi perlahan naik ke ranjang. Tangannya mulai meraba lenganku, tetapi ia lepaskan lagi. Lama menunggu, dia tak lagi menyentuhku. Mungkinkah ada yang salah denganku? Suamiku tampak bergerak. Aku menunggunya cukup lama. Ketika aku membaringkan tubuhku ke arahnya, ternyata dia membelakangiku."Apakah aku kurang seksi mengenakan pakaian yang seperti ini?" tanyaku dalam hati. Aku mengenakan baju yang dibelikannya sebelum menikah dulu. Ini adalah baju malam yang sangat tipis dan terawang. Tidak mungkin jika suamiku tidak nafsu jika melihatku.Cukup lama aku menunggunya yang terus membelakangiku hingga akhirnya aku tertidur.***Di pagi hari, ketika aku hendak bangun, Mas Ardi menarik tanganku. Namun, matanya masih terpejam. "Leni ...."Leni? Dia memanggilku dengan sebutan Leni. Suamiku sedang mengigau atau bagaimana? Leni adalah nama perempuan itu. "Mas!""Mas!"Mas Ardi membuka mata dan seperti orang kebingungan. "Ini sudah pagi, Dek?""Sudah.""Perasaan aku baru tidur
Mas Ardi benar-benar membuatku ingin marah. Aku segera mengamankan benda-benda tersebut ketika ia sudah selesai menelepon. Aku menjadi ragu untuk bertahan dan berjuang. "Mas?" panggilku ketika ia memasuki mobil."Kenapa, Dek?""Pulang saja, yuk!" "Loh, kenapa?" Mas Ardi menatapku bingung. "Sebenarnya kamu cinta atau nggak sama aku?" tanyaku yang sudah tak mampu menahan semuanya. Melihat alat pengaman itu, bayanganku tentang Mas Ardi dan Leni di ranjang—menari-nari dalam pikiranku. "Ci–cinta, dong, Dek. Kenapa kamu tanya gitu?""Buktinya?""Buktinya kita sudah menikah, 'kan? Aku hanya menikahi wanita yang aku cintai.""Bohong!" bentakku. "Kamu ini kenapa, sih, Dek? Kok, jadi marah-marah?""Wanita inisial L itu siapa? Kamu selalu memasang foto dengan tulisan A&L di mana-mana.""Ya, kamu, dong. Ardi dan Lily.""Yakin Ardi dan Lily?" tanyaku sembari menatapnya tajam. "Yakinlah, Dek."Aku mendekatkan wajahku ke Mas Ardi. "Ardi dan Lily atau Ardi dan Leni?" tanyaku dengan menekankan s
"Mama tahu siapa Leni? Mama kenal sama dia?" tanyaku menatap mama dengan rasa penasaran yang membuncah."Mama ... mama kenal sama Leni.""Siapa dia, Ma? Kenapa Mama bisa kenal sama dia?" "Sebelum Ardi mengenalmu, dia sudah berpacaran dengan Leni. Mereka berpacaran sejak SMA. Awalnya, mama pikir kalau Leni adalah perempuan baik-baik, tapi dugaan mama salah. Waktu itu papanya Ardi nggak sengaja memergoki Leni jalan sama teman papanya Ardi.""Jalan berdua?""Iya, dekat sekali. Papanya Ardi ngira kalau mereka adalah bapak dan anak karena sangat dekat. Waktu papanya Ardi mendekati, mereka sudah pergi.""Terus?""Keesokan harinya, si papanya Ardi menyapa temannya itu dan bertanya 'kenapa buru-buru pergi? Dipanggil sampai tidak menoleh?'. Si teman papanya itu bilang kalau Leni yang meminta buru-buru pergi. Papanya Ardi tanya lagi apakah Leni itu putrinya, ternyata si temannya papa bilang kalau Leni hanya sugar baby-nya.""Apa?" Aku tercengang mendengar cerita mama."Jadi, temannya papa itu
"Tante? Apa kabar?" sapa wanita tersebut."Ini ...." Dia memperhatikanku dengan saksama.Mama menarik tangan wanita itu dan membawanya ke luar salon. Aku mengikuti di belakang mereka. Satu tamparan mendarat di pipi wanita itu. Aku terkejut, tetapi aku baru menyadari sesuatu. Dia seperti ... Leni."Dasar wanita murahan! Tidak tahu diri!" Lagi. Mama menampar wanita itu."Ma, sudah, Ma!" Aku berusaha untuk menenangkan mama. "Awas kalau kamu berani mendekati Ardi lagi! Ardi sudah menikah. Jadi, jangan pernah kamu mengusik rumah tangga mereka!" kata mama kepada wanita itu. Aku semakin yakin kalau dia adalah Leni. Dia pergi meninggalkan kami sambil terus memegangi pipinya."Ma, apa itu tadi Leni?" tanyaku memastikan."Ya, Li. Itu Leni."Mama begitu emosi melihat perempuan itu. Nafasnya tersengal-sengal. Taksi online yang kami pesan sudah tiba. Aku segera mengajak mama masuk ke mobil. Aku berusaha menenangkan mama walau hatiku sendiri tiba-tiba mendidih. Wanita bertubuh mungil itu memang
"Ma-maksudku tadi ....""Sudahlah, Mas! Nggak perlu kita lanjutkan lagi!" Aku beranjak dari kasur tanpa mempedulikannya lagi."Dek?" Mas Ardi menarik tanganku, tetapi aku sekuat tenaga menariknya kembali.Segera kuganti baju malamku dengan baju tidur biasa. Aku sudah tidak mau lagi melanjutkan aktivitas tersebut. Di saat berduaan pun, dia menyebut nama Leni dan mengakui cintanya. Siapa yang tidak sakit hati jika mendengarnya?"Dek, aku minta maaf!""Dek, tolong dengarkan aku dulu!""Dengar apa?""Aku tidak bermaksud menyakiti kamu. Aku nggak ada niat untuk menyebut namanya.""Sudah, ya, Mas! Sudah jelas semuanya. Aku sudah berusaha memaafkanmu dan bersikap sebaik mungkin, tapi masih saja Leni yang ada di pikiranmu.""Tidak bisakah kamu melupakan dia sedetik saja? Berdua bersamaku pun kamu masih bisa menyebut namanya, Mas," kataku lagi. Aku mengambil bantal dan selimut."Kamu mau ke mana?""Aku tidur di ruang tengah saja.""Jangan, Dek! Kita tidur bersama di sini.""Aku tidak mau tidur
Jadi, Mas Ardi sudah tahu soal pertemuan itu. Pantas saja waktu itu Mas Ardi bersikap agak aneh dan begitu dingin ke mama. Ternyata, selingkuhannya sudah mengadu."Ayo kita pergi, Dek! Jangan dengarkan wanita ini!""Mas! Kamu nggak bisa ninggalin aku begini, dong!"Mas Ardi menarik tanganku dan mengajak masuk ke mobilnya. Tingkah Leni seperti anak-anak. Dia terus mengikuti sampai memukul-mukul kaca mobil. "Nggak ada malu sama sekali," batinku. Baru kali ini aku melihat wanita yang seperti Leni."Katanya mau makan di kafe pelangi, Mas? Jalan kaki saja bisa, 'kan?" tanyaku."Nggak jadi di sana. Leni pasti akan ngikut. Aku risih dan nggak enak dilihatin teman-teman. Dari tadi Leni terus mengikutiku. Kita makan di tempat lain saja nggak apa-apa, 'kan?""Ya, nggak apa-apa, sih. Terserah.""Kamu masih marah soal semalam? Aku minta maaf! Aku benar-benar nggak sengaja dan nggak ada niat untuk berkata begitu. Kamu tahu sendiri, 'kan, bagaimana sikapku ke Leni barusan?""Ya, Mas.""Iya apa, De
"Mas Ardi?" "Hai, Anda temannya Lily, bukan? Senang bertemu dengan Anda!" kata Mas Ardi."Ya. Maaf, waktu itu kami tidak bisa datang ke acara pernikahan kalian," kata Alan sambil sesekali melihatku."Ya, tidak masalah," ucap Mas Ardi kemudian merangkul bahuku. Entah apa yang membuat Mas Ardi tiba-tiba bersikap begini."Lily, kamu semakin cantik! Pasti hidupmu bahagia terus, ya?" kata Vina. "Wah, terima kasih. Apa pun akan saya lakukan demi membuat Lily bahagia," sahut Mas Ardi. Aku meliriknya dengan sedikit bingung."Kamu juga makin cantik, Vina. Pasti hidupmu juga bahagia bersama Alan," ujarku."Pasti, dong, Sayang. Mereka pasti bahagia. Lihatlah! Aura kebahagiaan terpancar di wajah mereka," timpal suamiku. "Bukan begitu, Tuan Alan?" tanya suamiku sambil menatap Alan."Tentu saja. Kami sangat bahagia," jawab Alan sambil merangkul istrinya. "Iya, 'kan, Sayang?" tanya Alan kepada Vina. Wanita berambut pendek itu mengangguk dan tersenyum bahagia.Aku merasa aneh dengan obrolan ini. Mu
"Siapa, Dek?""Em ... Vina, Mas.""Ngapain lagi?""Nggak ada apa-apa, sih. Cuma nanya aku sudah tidur apa belum.""Coba lihat!"Aku menyerahkan ponselku dengan perasaan yang aku tak tahu. Mas Ardi mengernyitkan dahi saat membacanya. Aku mengigit bibir bawah melihat reaksi Mas Ardi."Tuh, 'kan?""Kenapa, Mas? Kasihan, loh, si Vina.""Ini si Alan nggak bisa mencintai Vina pasti karena dia masih mencintai kamu," tutur Mas Ardi kemudian mematikan ponselku."Eh, Mas, kenapa dimatikan ponselnya?""Pasti ini si Alan masih cinta sama kamu.""Vina belum menceritakan lebih jauh. Kalau kamu matikan ponsel, kasihan dia, dong. Nanti dikiranya aku nggak mau mendengarkan keluh kesahnya."Mas Ardi tak menjawabku. Dia meletakkan ponselku di meja kemudian kembali menarik tanganku. ***Hari sudah berganti, Mas Ardi berangkat kerja seperti biasanya. Aku sibuk belajar dandan untuk diriku sendiri, tetapi dengan bantuan mama. Kami dikejutkan dengan suara bel rumah yang berbunyi."Siapa, ya, Li? Apa ada pak
Beberapa bulan kemudian ....Aku dengar, Mas Ardi bekerja dengan baik selama ini. Aku dan Leni juga sering bertukar kabar. Leni tak lagi seperti dulu. Dia sudah benar-benar berubah. Kami bahkan berteman layaknya seorang sahabat. Banyak teman yang mengirim pesan di media sosialku. Mereka tidak menyangka dengan apa yang telah kulakukan.[Kamu ngapain bantuin mantan suami dan pelakor itu?][Ih, Lily. Kalau aku jadi kamu, ogah banget untuk bantu mereka. Pakai ngasih-ngasih pekerjaan segala. Biarlah mereka kelimpungan.][Aku, tuh, heran sama kamu. Bisa-bisanya kamu membiarkan mantan suamimu bekerja di perusahaan mertuamu. Nanti kalau dia punya niatan buruk gimana? Terus kalau pelakor itu menggoda Kevin bagaimana?]Begitulah rentetan pesan dari teman-teman di salah satu media sosialku. Entah dari mana mereka mengetahui itu semua. Padahal, aku tidak pernah memposting sesuatu apapun yang berhubungan dengan Leni dan Mas Ardi.[Yakin kamu berteman baik sama pelakor ini? Ih, amit-amit.]Satu pes
Ayah dan ibu mengatakan jika sesuatu yang buruk menimpa keluarga Mas Ardi. Kabar yang aku dengar, dia dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja. Hal yang lebih mengejutkan lagi, Leni sedang mengandung anak ke dua mereka. Aku turut prihatin mendengarnya. Di waktu yang bersamaan, mama meneleponku. Dia menanyakan kabarku dan bayiku. "Maaf, mama nggak bisa menjenguk kamu, Li," ujarnya dalam sambungan telepon."Iya, Ma. Nggak apa-apa, kok. Mama sehat, 'kan?" tanyaku."Mama sehat, Li. Tapi papa sedang tidak sehat.""Papa kenapa, Ma?""Papa sakit jantung, Li. Jadi, sudah dua bulan ini papa hanya di rumah saja.""Jadi, papa sudah nggak kerja, Ma?" tanyaku terkejut."Nggak, Li. Papa sudah berhenti bekerja.""Maaf, Ma. Lily nggak bisa menjenguk papa. Semoga papa lekas membaik, ya, Ma." "Iya, Li. Nggak apa-apa, terima kasih."Mendengar pernyataan mama, hatiku terasa pilu. Papa sedang sakit. Mas Ardi kehilangan pekerjaan dan istrinya pun sedang mengandung lagi. Aku hanya bisa mendoakan yang ter
***Satu tahun kemudian ....Selama satu tahun ini hidupku sangatlah bahagia bersama Kevin. Dia benar-benar orang yang tulus mencintaiku. Tak pernah sekali pun Kevin menyakitiku. Tidak ada rahasia di antara kami. Hal sekecil apapun tak pernah Kevin sembunyikan dariku. Kevin memperlakukanku seperti ratu. Selalu ada saja hal yang membuatku bahagia. Dia sangat penyayang. Aku beruntung telah menjadi istrinya. Selama menjadi istrinya, entah sudah berapa negara yang kami kunjungi. Saat ini aku sedang mengandung darah dagingnya. Jadi, dia tak lagi mengajakku menempuh perjalanan jauh. Dia sangat menjaga kondisiku dan calon buah hati kami. Kandunganku baru menginjak empat bulan. Dia memperlakukanku dengan begitu istimewa. Apa yang aku inginkan akan ia penuhi dengan segera."Sayang, ayo minum susunya!" Kevin datang sambil memberikan segelas susu ibu hamil untukku. "Makasih," ucapku. Beginilah kebiasaannya setiap hari. Dia selalu melayaniku semenjak aku mengandung. Padahal, aku bisa melakukan
Sesampainya di lokasi yang dimaksud oleh Vina, aku langsung mencari dirinya. Taman yang sepi pengunjung ini cukup gelap. Tidak ada satu orang pun di sini. Hanya ada beberapa orang di sebelah selatan. Itu pun tak banyak dan sangat jauh dari sini."Vina?" Aku berputar dan menyapu pandangan. Sepi sekali. Aku mencoba untuk menghubunginya, tetapi nomornya tidak aktif. Tentu saja aku semakin panik dan khawatir. Jangan sampai Vina kenapa-kenapa oleh Alan. Aku terus menyusuri taman yang gelap ini. Kenapa Vina harus berada di tempat yang seperti ini? Jika terjadi apa-apa dengannya, bagaimana?Taman ini biasa dipakai untuk perayaan ulang tahun, baik dewasa maupun anak-anak karena memang sangat luas. Ketika menyapu pandangan, aku rasa ada yang aneh karena lampu-lampu taman di sini mati. Entah sengaja dimatikan atau memang mati. Dari kejauhan aku melihat sebuah kain putih terbentang seperti layar proyektor beserta kursi dan meja yang tertata rapi, tetapi tidak ada orang sama sekali. Hanya ada s
Saat ini aku sedang duduk berhadapan dengan Vina. Aku menceritakan semua kepadanya, termasuk menunjukkan gelang dan kalung itu kepadanya. "Ikuti apa kata hatimu!" "Iya, tapi ....""Tapi apa? Bukankah kamu juga menyukainya?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan saja."Lily, aku tahu kamu sangat berhati-hati dalam memilih pasangan, tetapi aku yakin kalau Kevin sangat tulus mencintaimu. Selama ini dia selalu membantumu dan dia selalu ada untukmu.""Bukan maksud aku untuk memaksamu menerimanya," sambungnya sambil menghela napas. "Ya ... tapi sekarang kembali lagi ke kamunya bagaimana. Kamu meminta pendapatku, 'kan? Aku sudah ngasih pendapat. Ikuti apa kata hatimu!" lanjut Vina yang membuatku berpikir.***Sudah tiga hari Kevin tidak menghubungiku. Mungkin dia sedang sibuk dengan urusannya. Aku berdiri di depan cermin sambil menatap kalung yang aku gunakan. Ya. Setelah memikirkannya matang-matang, aku memutuskan untuk menerima Kevin menjadi kekasihku. Hatiku tak bisa menolaknya. Sejujur
"Mas Ardi berubah, Ma?" tanyaku kepada mama. Saat ini mama sudah berada di apartemenku. Dia mengatakan kalau Mas Ardi telah berubah beberapa bulan terakhir. "Iya, Li. Dia berani membentak mama. Dia berani berkata kasar sama mama.""Tapi kenapa Mas Ardi seperti itu, Ma?""Alasannya karena Leni. Mama belum bisa menerima Leni hingga saat ini. Makanya Ardi seperti itu," kata mama sambil terisak. Aku meraih tangan mama dan menatapnya. "Ma, Leni itu sekarang menantu mama. Dia sudah menjadi istrinya Mas Ardi. Dia ibu dari darah daging Mas Ardi yang merupakan cucu Mama. Sampai kapan Mama akan terus bersikap seperti ini?" tanyaku pelan. "Kamu tahu, 'kan, dari dulu mama nggak pernah suka sama Leni.""Alasan Mama tidak menyukainya karena apa? Apa karena masa lalu Leni?" tanyaku yang membuat mama mengangguk."Mama, semua orang punya masa lalu. Masa lalu Leni mungkin memang buruk, tapi dia sudah berubah, 'kan? Dia sudah tidak seperti dulu, 'kan? Laki-laki yang dicintainya hanya Mas Ardi.""Tapi
Setelah berbulan-bulan berpisah dari Mas Ardi, aku sudah merasa lebih baik bahkan sangat baik. Tidak ada lagi kesedihan yang tersimpan di hati ketika mengingatnya. Pikiranku sudah terfokus kepada masa depan. Aku adalah anak satu-satunya ayah dan ibu. Jadi, aku memanfaatkan waktuku untuk membahagiakan mereka. Selain bekerja di kantor Pak Reno, diam-diam aku mencoba untuk berbisnis. Ayah memiliki banyak pohon pisang di kebun. Aku mencoba untuk mengolahnya menjadi keripik pisang dengan berbagai rasa. Sempat gagal untuk beberapa kali, tetapi aku tidak menyerah. Berbagai resep sudah aku coba satu per satu dan akhirnya berhasil. Aku memasarkan keripik pisang itu sendiri. Tak membutuhkan waktu lama, keripik pisang buatanku sudah banjir pesanan. Ini adalah bulan ke tiga aku menjalankan bisnis tersebut untuk ayah dan ibu. Mereka memiliki beberapa orang pekerja yang membantu pengelolaan keripik pisang. Berkat memasarkan keripik pisang ini, aku bertemu dengan Kevin. Dia berasal dari luar neger
Aku melihat foto Lily yang masih tersimpan di ponsel. Kami sudah resmi bercerai. Sekarang aku adalah suami dari Leni—wanita yang mampu membuatku mabuk kepayang. Leni adalah cinta pertamaku. Aku tahu sifat Leni dan Lily tidaklah sama, tetapi aku mencintai keduanya. Semenjak menikah dengan Lily, aku kagum dengannya dan mulai mencintainya. Kami memang dijodohkan karena alasan utamanya adalah untuk membayar rasa bersalahku kepada keluarganya. Alasan kedua adalah agar mama dan papa bisa memisahkanku dari Leni. Lily sangat patuh kepada orang tuaku. Lily sangat sopan dan menyayangi papa dan mama. Tutur katanya sangat lembut. Menurutku, Lily adalah wanita tersabar yang pernah kukenal. Leni dan Lily sama cantiknya, tetapi Lily lebih muda dan segar. Walau usia Leni di atas Lily, tapi dia tak kalah menggoda. Leni mampu merawat dirinya dengan baik sehingga tampak awet muda dan sangat menggoda. Aku tahu Leni pernah melakukan kesalahan besar di masa lalu. Namun, itu tak membua
"Ardi, ibu memang memaafkanmu, tapi jujur ... ibu tidak ingin Lily kembali denganmu," timpal ibu tiba-tiba. "Ke–kenapa? Bukankah Ayah dan Ibu sudah memaafkan saya? Lily juga sudah memaafkan saya. Tolong beri saya satu kesempatan lagi untuk menjaga Lily dengan baik!" ucap Mas Ardi memohon."Kami memang sudah memaafkan kamu, tapi kamu juga harus ingat dengan benih yang sudah kamu tanam di rahim perempuan lain," ucap ayah. "Mas, kamu harus ingat dengan bayi yang dikandung oleh Leni. Dia adalah darah daging kamu. Walau aku sudah memaafkan kamu, bukan berarti aku memberimu ruang untuk kembali kepadaku. Jadi, tolong kamu nikahi Leni dan tinggalkan aku, Mas!" ucapku setegar mungkin. Mas Ardi menggeleng dan semakin erat menggenggam tanganku. Papa dan mama juga ikut membujukku, tetapi aku sudah yakin dengan keputusanku untuk berpisah. Lebih baik berpisah daripada harus dimadu. Aku tidak mau mengalami tekanan batin. Aku tak setegar wanita di luar sana ya