"Kamu marah sama aku karena aku ketemu sama Alan, begitu?""Iyalah.""Itu pun aku nggak tahu kalau Alan yang mengirim pesan. Andai saja aku tahu itu Alan, pasti aku tidak akan menemuinya, Mas.""Halah, bohong.""Lebih parah mana ketimbang selingkuh?" tanyaku yang mulai tersulut emosi."Dek, aku sudah tidak selingkuh lagi. Kamu jangan pernah mengungkit tentang itu!" ucap Mas Ardi geram."Oh, sudah tidak selingkuh lagi?""Ya. Kenapa? Aku sudah berusaha buat berubah, tetapi kamu malah berusaha untuk dekat lagi sama Alan," ucapnya yang membuatku begitu muak.Kali ini Mas Ardi memarahiku panjang lebar. Aku mendengarkannya sampai berhenti berbicara. Mas Ardi memang pandai sekali menutupi kelakuannya. "Sudah bicaranya?" tanyaku ketika Mas Ardi berhenti berbicara. Dia menyalahkan aku. Mas Ardi tidak bercermin bagaimana dirinya. "Mas, kamu memarahi aku seperti itu apa tidak berkaca kamu seperti apa?" tanyaku lagi."Apa maksudmu, ha?""Leo itu siapa?""Kenapa kamu tanya tentang dia? Leo itu t
"Tolong tetaplah bersamaku apapun yang terjadi!""Ha?" Aku terkejut. Padahal, aku akan merencanakan sebuah perpisahan dengannya karena sudah mengumpulkan bukti. "Kenapa kamu bilang gitu, Mas?""Ya ... aku cuma ingin ditemani sama kamu, Dek.""Kamu ada masalah apa? Jawab jujur!""Kamu sudah tahu kebenaran soal Leo?" tanya Mas Ardi menatapku sendu."Aku tahu, Mas.""Kamu tahu siapa Leo sebenarnya?""Aku tahu.""Itu—""Nggak perlu sebut namanya, aku sudah tahu, Mas.""Kamu nggak marah?" tanyanya. Kali ini Mas Ardi yang menggenggam erat tanganku."Ya, marah, Mas.""Terus kalau marah, kenapa kamu bersikap seolah-olah nggak tahu apa-apa?""Gini, loh, Mas. Aku sudah pernah kecewa dan sakit hati sama kamu sebelumnya. Kamu berjanji akan mencintai aku, 'kan? Kamu berjanji nggak akan selingkuh lagi, 'kan? Tapi kamu mengulangi hal itu lagi. Kamu buat aku kecewa lagi. Ha
"Lily? Kamu ... kamu ...." Mas Ardi tampak begitu takut."Kebenaran tentang apa yang dikatakan Alan?""Itu hanya—""Kebenaran tentang perselingkuhannya dengan Leni. Apa kamu sudah tahu?" sahut Alan menyela ucapan Mas Ardi.Aku menatapnya datar. "Ya. Aku sudah tahu," kataku spontan. "Lalu?"Alan tampak kikuk. Mungkin ia bingung melihat ekspresiku yang biasa saja. "Ya sudah. Itulah kebenarannya. Aku pergi dulu."Alan pergi begitu saja. Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Tak mungkin jika kebenarannya hanya itu saja. Pasti ada hal lain."Mas, kebenaran apa, sih?" "Ya itu tadi, Dek. Alan pikir kalau aku tidak memberitahumu tentang ini.""Oh." Dua orang ini sama saja. Aku pura-pura percaya daripada harus berdebat. Suatu saat, aku akan mencari tahu kebenaran itu sendiri.Ah, aku lupa tidak menanyakan kabar Vina. Semoga saja dia baik-baik saja. Aku sangat ingin bertemu dengannya untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Mungkin untuk saat ini dia masih marah kepadaku. ***Tak terasa suda
Aku menunjuk sebuah kotak berwarna coklat yang terletak di samping pot bunga. Ketika papa akan memeriksa, mama mencegahnya. Mama takut kalau itu hanya sebuah jebakan."Ini sudah malam, Pa. Lebih baik nggak usah keluar, deh. Terlalu bahaya apalagi ada kotak nggak jelas begitu.""Seperti sebuah paket, ya, Ma?" Aku masih mengamati kotak itu lekat-lekat."Mana ada seorang kurir mengantar paket malam-malam? Mana pakai ketuk-ketuk pintu lagi. Itu sudah pasti orangnya melompati pagar dan sudah pasti orang nggak bener," kata mama."Ini pasti ada orang iseng," sambung papa. Benar juga. Tidak mungkin jika ada yang mengantar paket malam-malam begini. Ini sudah lewat dari jam sepuluh. "Kita kembali ke kamar saja. Besok pagi saja kita periksa!" pinta mama. "Sebentar, papa telepon petugas keamanan dulu. Biar mereka bantu memeriksa kotak itu," ujar papa."Oh, iya, ide bagus, Pa."Selang beberapa menit kemudian, du
"Iya. Dari jam delapan itu dia sudah di rumah. Habis itu dia nge-game sebentar dan tidur.""Bagus, dong," ucapku. Dalam pikiranku masih bertanya-tanya siapa pengirim surat misterius itu? Mungkin aku akan mendapatkan jawabannya dari Mas Ardi nanti."Sebetulnya, Alan ingin berbicara sesuatu dengan kalian.""Bicara apa?""Entahlah. Kita tunggu saja dia kembali."Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya Mas Ardi dan Alan kembali. Dari awal datang sampai sekarang, Mas Ardi tak ada senyumnya sama sekali apalagi setelah berbicara dengan Alan barusan."Kalian berbicara tentang apa?" tanya Vina kepada Alan. Pria berambut pirang itu hanya tersenyum dan menggeleng. Entah kenapa hatiku terasa sejuk melihat Alan tersenyum kepada Vina. Senyumnya tampak berbeda. Kami berempat sudah duduk seperti semula. Mas Ardi dan Alan masih sibuk dengan ponselnya masing-masing. Aku dan Vina hanya bertatapan dan sesekali melihat dua pria itu."Alan, apa yang ingin kamu katakan kepada mereka?" tanya Vina."Emm
"Aku membuat kesalahan, Dek.""Kesalahan apa, Mas?" tanyaku, tetapi Mas Ardi terdiam lagi.Dering ponsel Mas Ardi memecah keheningan di antara kami. Dia izin keluar kamar untuk menjawab panggilan telepon itu. Aku masih bertanya-tanya, kesalahan apakah yang telah Mas Ardi perbuat hingga posisinya sampai terancam? Tak lama kemudian, Mas Ardi kembali ke kamar dan mengambil jaket. Dia seperti terburu-buru. "Ke mana, Mas?" tanyaku ketika Mas Ardi mengambil kunci mobil."Sebentar, Dek! Aku ke luar dulu, ya?""Ke mana, Mas?""Ketemu teman aku, Dek. Katanya, teman aku ini punya solusi untuk masalahku ini.""Ya sudah, Mas. Hati-hati! Jangan ngebut dan fokus perhatikan jalanan! Jangan melamun!" nasihatku kepadanya. Aku takut Mas Ardi tidak konsentrasi pada kemudinya karena masalah yang ia alami."Iya, Dek. Kamu di rumah baik-baik, ya! Kalau kamu ngantuk dan aku belum pulang, kamu langsung tidur saja! Aku bawa kunci cadangan." "Ya, Mas."Aku rasa, masalah Mas Ardi benar-benar serius. Dia samp
Hari telah berganti. Mas Ardi tak lagi memikirkan tentang masalahnya itu. Ketika ditanya pun, Mas Ardi mengaku jika masalahnya sudah teratasi. Aku diminta untuk tidak mengungkitnya lagi karena khawatir mama dan papa akan tahu. Sebenarnya, aku masih penasaran masalah apa yang membuatnya sampai seperti itu. Namun, aku sudah berjanji untuk tidak menanyakannya lagi. Esok adalah hari ulang tahunku. Hari ini aku meminta Mas Ardi untuk menjemput ayah dan ibu. Jarak rumah kami cukup jauh. Jadi, aku meminta untuk menjemput mereka sekarang.Aku sudah berencana untuk mengadakan makan malam kecil saja. Hanya dihadiri oleh keluarga kami. Ayah, ibu, papa, mama, Mas Ardi dan aku. Kebetulan, aku dan Mas Ardi sama-sama anak tunggal. ***Setelah perjalanan jauh menjemput ayah dan ibu, aku segera membantu meletakkan barang-barang mereka di kamar tamu. Di rumah ini ada satu kamar kosong—khusus untuk tamu. Mama dan papa menyambut kedatangan orang tuaku dengan hangat. Mereka begitu senang dan terlihat sa
Malam yang ditunggu telah tiba. Sebelumnya aku sudah mengatakan kepada Mas Ardi jika aku mendapat pesan misterius. Mas Ardi mengatakan jika tidak mengenali nomor tersebut. Kami sama-sama mencurigai Alan, tetapi kami ingin membuktikannya nanti. Mas Ardi memastikan bahwa semua akan baik-baik saja. Mas Ardi menuntunku sambil menutup mataku. Rupanya, ada sebuah kejutan yang telah ia siapkan. Ketika Mas Ardi menurunkan tangannya, aku terkejut melihat pemandangan di depanku. Halaman belakang yang setiap harinya terlihat biasa saja, kini tampak luar biasa. Keluargaku mendekorasi halaman belakang menjadi sangat indah. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang untukku. Beberapa hidangan sudah tersaji di meja makan. Kami sudah berkumpul dan siap untuk menikmati makan malam, tetapi mama mencegahku. Kata mama, akan ada seseorang yang datang. Perasaanku menjadi tidak karuan. Pikiranku kembali teringat tentang pesan dari nomor misterius tersebut. "Siapa, Ma?" tanyaku."Ada. Pokoknya kamu
Beberapa bulan kemudian ....Aku dengar, Mas Ardi bekerja dengan baik selama ini. Aku dan Leni juga sering bertukar kabar. Leni tak lagi seperti dulu. Dia sudah benar-benar berubah. Kami bahkan berteman layaknya seorang sahabat. Banyak teman yang mengirim pesan di media sosialku. Mereka tidak menyangka dengan apa yang telah kulakukan.[Kamu ngapain bantuin mantan suami dan pelakor itu?][Ih, Lily. Kalau aku jadi kamu, ogah banget untuk bantu mereka. Pakai ngasih-ngasih pekerjaan segala. Biarlah mereka kelimpungan.][Aku, tuh, heran sama kamu. Bisa-bisanya kamu membiarkan mantan suamimu bekerja di perusahaan mertuamu. Nanti kalau dia punya niatan buruk gimana? Terus kalau pelakor itu menggoda Kevin bagaimana?]Begitulah rentetan pesan dari teman-teman di salah satu media sosialku. Entah dari mana mereka mengetahui itu semua. Padahal, aku tidak pernah memposting sesuatu apapun yang berhubungan dengan Leni dan Mas Ardi.[Yakin kamu berteman baik sama pelakor ini? Ih, amit-amit.]Satu pes
Ayah dan ibu mengatakan jika sesuatu yang buruk menimpa keluarga Mas Ardi. Kabar yang aku dengar, dia dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja. Hal yang lebih mengejutkan lagi, Leni sedang mengandung anak ke dua mereka. Aku turut prihatin mendengarnya. Di waktu yang bersamaan, mama meneleponku. Dia menanyakan kabarku dan bayiku. "Maaf, mama nggak bisa menjenguk kamu, Li," ujarnya dalam sambungan telepon."Iya, Ma. Nggak apa-apa, kok. Mama sehat, 'kan?" tanyaku."Mama sehat, Li. Tapi papa sedang tidak sehat.""Papa kenapa, Ma?""Papa sakit jantung, Li. Jadi, sudah dua bulan ini papa hanya di rumah saja.""Jadi, papa sudah nggak kerja, Ma?" tanyaku terkejut."Nggak, Li. Papa sudah berhenti bekerja.""Maaf, Ma. Lily nggak bisa menjenguk papa. Semoga papa lekas membaik, ya, Ma." "Iya, Li. Nggak apa-apa, terima kasih."Mendengar pernyataan mama, hatiku terasa pilu. Papa sedang sakit. Mas Ardi kehilangan pekerjaan dan istrinya pun sedang mengandung lagi. Aku hanya bisa mendoakan yang ter
***Satu tahun kemudian ....Selama satu tahun ini hidupku sangatlah bahagia bersama Kevin. Dia benar-benar orang yang tulus mencintaiku. Tak pernah sekali pun Kevin menyakitiku. Tidak ada rahasia di antara kami. Hal sekecil apapun tak pernah Kevin sembunyikan dariku. Kevin memperlakukanku seperti ratu. Selalu ada saja hal yang membuatku bahagia. Dia sangat penyayang. Aku beruntung telah menjadi istrinya. Selama menjadi istrinya, entah sudah berapa negara yang kami kunjungi. Saat ini aku sedang mengandung darah dagingnya. Jadi, dia tak lagi mengajakku menempuh perjalanan jauh. Dia sangat menjaga kondisiku dan calon buah hati kami. Kandunganku baru menginjak empat bulan. Dia memperlakukanku dengan begitu istimewa. Apa yang aku inginkan akan ia penuhi dengan segera."Sayang, ayo minum susunya!" Kevin datang sambil memberikan segelas susu ibu hamil untukku. "Makasih," ucapku. Beginilah kebiasaannya setiap hari. Dia selalu melayaniku semenjak aku mengandung. Padahal, aku bisa melakukan
Sesampainya di lokasi yang dimaksud oleh Vina, aku langsung mencari dirinya. Taman yang sepi pengunjung ini cukup gelap. Tidak ada satu orang pun di sini. Hanya ada beberapa orang di sebelah selatan. Itu pun tak banyak dan sangat jauh dari sini."Vina?" Aku berputar dan menyapu pandangan. Sepi sekali. Aku mencoba untuk menghubunginya, tetapi nomornya tidak aktif. Tentu saja aku semakin panik dan khawatir. Jangan sampai Vina kenapa-kenapa oleh Alan. Aku terus menyusuri taman yang gelap ini. Kenapa Vina harus berada di tempat yang seperti ini? Jika terjadi apa-apa dengannya, bagaimana?Taman ini biasa dipakai untuk perayaan ulang tahun, baik dewasa maupun anak-anak karena memang sangat luas. Ketika menyapu pandangan, aku rasa ada yang aneh karena lampu-lampu taman di sini mati. Entah sengaja dimatikan atau memang mati. Dari kejauhan aku melihat sebuah kain putih terbentang seperti layar proyektor beserta kursi dan meja yang tertata rapi, tetapi tidak ada orang sama sekali. Hanya ada s
Saat ini aku sedang duduk berhadapan dengan Vina. Aku menceritakan semua kepadanya, termasuk menunjukkan gelang dan kalung itu kepadanya. "Ikuti apa kata hatimu!" "Iya, tapi ....""Tapi apa? Bukankah kamu juga menyukainya?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan saja."Lily, aku tahu kamu sangat berhati-hati dalam memilih pasangan, tetapi aku yakin kalau Kevin sangat tulus mencintaimu. Selama ini dia selalu membantumu dan dia selalu ada untukmu.""Bukan maksud aku untuk memaksamu menerimanya," sambungnya sambil menghela napas. "Ya ... tapi sekarang kembali lagi ke kamunya bagaimana. Kamu meminta pendapatku, 'kan? Aku sudah ngasih pendapat. Ikuti apa kata hatimu!" lanjut Vina yang membuatku berpikir.***Sudah tiga hari Kevin tidak menghubungiku. Mungkin dia sedang sibuk dengan urusannya. Aku berdiri di depan cermin sambil menatap kalung yang aku gunakan. Ya. Setelah memikirkannya matang-matang, aku memutuskan untuk menerima Kevin menjadi kekasihku. Hatiku tak bisa menolaknya. Sejujur
"Mas Ardi berubah, Ma?" tanyaku kepada mama. Saat ini mama sudah berada di apartemenku. Dia mengatakan kalau Mas Ardi telah berubah beberapa bulan terakhir. "Iya, Li. Dia berani membentak mama. Dia berani berkata kasar sama mama.""Tapi kenapa Mas Ardi seperti itu, Ma?""Alasannya karena Leni. Mama belum bisa menerima Leni hingga saat ini. Makanya Ardi seperti itu," kata mama sambil terisak. Aku meraih tangan mama dan menatapnya. "Ma, Leni itu sekarang menantu mama. Dia sudah menjadi istrinya Mas Ardi. Dia ibu dari darah daging Mas Ardi yang merupakan cucu Mama. Sampai kapan Mama akan terus bersikap seperti ini?" tanyaku pelan. "Kamu tahu, 'kan, dari dulu mama nggak pernah suka sama Leni.""Alasan Mama tidak menyukainya karena apa? Apa karena masa lalu Leni?" tanyaku yang membuat mama mengangguk."Mama, semua orang punya masa lalu. Masa lalu Leni mungkin memang buruk, tapi dia sudah berubah, 'kan? Dia sudah tidak seperti dulu, 'kan? Laki-laki yang dicintainya hanya Mas Ardi.""Tapi
Setelah berbulan-bulan berpisah dari Mas Ardi, aku sudah merasa lebih baik bahkan sangat baik. Tidak ada lagi kesedihan yang tersimpan di hati ketika mengingatnya. Pikiranku sudah terfokus kepada masa depan. Aku adalah anak satu-satunya ayah dan ibu. Jadi, aku memanfaatkan waktuku untuk membahagiakan mereka. Selain bekerja di kantor Pak Reno, diam-diam aku mencoba untuk berbisnis. Ayah memiliki banyak pohon pisang di kebun. Aku mencoba untuk mengolahnya menjadi keripik pisang dengan berbagai rasa. Sempat gagal untuk beberapa kali, tetapi aku tidak menyerah. Berbagai resep sudah aku coba satu per satu dan akhirnya berhasil. Aku memasarkan keripik pisang itu sendiri. Tak membutuhkan waktu lama, keripik pisang buatanku sudah banjir pesanan. Ini adalah bulan ke tiga aku menjalankan bisnis tersebut untuk ayah dan ibu. Mereka memiliki beberapa orang pekerja yang membantu pengelolaan keripik pisang. Berkat memasarkan keripik pisang ini, aku bertemu dengan Kevin. Dia berasal dari luar neger
Aku melihat foto Lily yang masih tersimpan di ponsel. Kami sudah resmi bercerai. Sekarang aku adalah suami dari Leni—wanita yang mampu membuatku mabuk kepayang. Leni adalah cinta pertamaku. Aku tahu sifat Leni dan Lily tidaklah sama, tetapi aku mencintai keduanya. Semenjak menikah dengan Lily, aku kagum dengannya dan mulai mencintainya. Kami memang dijodohkan karena alasan utamanya adalah untuk membayar rasa bersalahku kepada keluarganya. Alasan kedua adalah agar mama dan papa bisa memisahkanku dari Leni. Lily sangat patuh kepada orang tuaku. Lily sangat sopan dan menyayangi papa dan mama. Tutur katanya sangat lembut. Menurutku, Lily adalah wanita tersabar yang pernah kukenal. Leni dan Lily sama cantiknya, tetapi Lily lebih muda dan segar. Walau usia Leni di atas Lily, tapi dia tak kalah menggoda. Leni mampu merawat dirinya dengan baik sehingga tampak awet muda dan sangat menggoda. Aku tahu Leni pernah melakukan kesalahan besar di masa lalu. Namun, itu tak membua
"Ardi, ibu memang memaafkanmu, tapi jujur ... ibu tidak ingin Lily kembali denganmu," timpal ibu tiba-tiba. "Ke–kenapa? Bukankah Ayah dan Ibu sudah memaafkan saya? Lily juga sudah memaafkan saya. Tolong beri saya satu kesempatan lagi untuk menjaga Lily dengan baik!" ucap Mas Ardi memohon."Kami memang sudah memaafkan kamu, tapi kamu juga harus ingat dengan benih yang sudah kamu tanam di rahim perempuan lain," ucap ayah. "Mas, kamu harus ingat dengan bayi yang dikandung oleh Leni. Dia adalah darah daging kamu. Walau aku sudah memaafkan kamu, bukan berarti aku memberimu ruang untuk kembali kepadaku. Jadi, tolong kamu nikahi Leni dan tinggalkan aku, Mas!" ucapku setegar mungkin. Mas Ardi menggeleng dan semakin erat menggenggam tanganku. Papa dan mama juga ikut membujukku, tetapi aku sudah yakin dengan keputusanku untuk berpisah. Lebih baik berpisah daripada harus dimadu. Aku tidak mau mengalami tekanan batin. Aku tak setegar wanita di luar sana ya