"Kalian sangat menjijikan! Terlebih, Anda!" umpatnya kasar, sambil memutar tubuh menatap ke arah Arya. Lelaki bertubuh tegap, dan berparas tampan tersebut menggerakkan giginya kuat. Tatapan ke duanya tampak begitu mengintimidasi. Namun, akhirnya Dika memilih untuk memutuskan pandangan terlebih dahulu kemudian berjalan meraih ponsel yang berada di atas nakas. "Tidak ada satu orang pun yang boleh keluar dari paviliun ini!" tegas Arya, ketika Dika hendak pergi dari kamar itu. Jantung Risa tiba-tiba berdebar lebih kencang mendengar suara bariton Arya. Dan ketika ia mencuri pandang ke arah kekasihnya itu, wajahnya pun merona. "Dia semakin gagah dan tampan jika sedang marah seperti ini," batin Risa, sambil terus menatap ke arah Arya dengan penuh kekaguman. Sadar tengah diperhatikan diam-diam, Arya pun menoleh. Dia berdeham guna mengusir perasaan canggung karena terus diperhatikan Risa. "Risa!"Risa terperanjat, hampir saja ia salah menyebut Arya dengan nama kesayangan. Beruntung logik
"Sebenarnya, apa yang terjadi terhadap, Ilma?" tanya Nazwa dengan raut wajah sendu. Risa masih bergeming, ia menatap tanpa berkedip ke arah Ilma. "Aku pun bingung harus memulai cerita dari mana." Risa menatap Nazwa, dan kini air matanya berlinang, selang beberapa isakan itu pun menjelma menjadi tangisan. "Aku kira, Mas Dika hanya mencintaiku. Tapi, rupanya dia berperilaku buruk terhadap wanita lain." Risa mulai bercerita, dan isakannya terdengar sangat menyakitkan bagi siapa saja yang mendengar. "Lalu, sekarang aku harus bagaimana, Nazwa? Pertama kali jatuh cinta, tapi aku langsung menerima kenyataan menyakitkan ini."Nazwa terdiam, ia menatap lekat wajah sendu sang sahabat. Ia merentangkan kedua tangan sebagai isyarat agar Risa mendekat ke arahnya. Tangisan Risa pun meledak dalam dekapannya. "Apa aku memang tidak ditakdirkan untuk, bahagia?""Hei, omong kosong apa yang kamu ucapkan?" Nazwa mengurai dekapannya, hatinya begitu tercabik melihat sahabat yang selalu ada bersama dir
"Sekarang menyerahlah, pergi dan jangan pernah usik hidupku." Risa merengkuh tubuh Dika kemudian berbisik sambil mengelus lembut kepala lelaki tersebut. Tubuh lelaki itu bergetar, ke dua tangannya mengepal kuat, amarah yang belum padam pun semakin tersulut dengan ucapan Risa. "Akan kubuktikan semua kebusukan kalian!" Ancam Dika sembari mendorong tubuh Risa kasar hingga tubuh wanita itu terjatuh setelah sebelumnya membentur sebuah meja yang terdapat vas bunga. Prang! vas bunga itu pun terjatuh lalu menimpa kepala Risa. Darah segar pun mengalir bersamaan dengan hilangnya kesadaran Risa. Nazwa histeris, ia berteriak, memaki, bahkan berusaha untuk bangkit dari kursi rodanya demi menolong Risa. Beruntung, Arya sigap menahan tubuh Nazwa agar tak terjatuh. Dika bergeming menatap pemandangan di depan matanya, saat Arya dengan sigap memeluk dan menenangkan Nazwa di situ hatinya kembali bekeping-keping. "Selamatkan, Risa. Aku mohon selamatkan sahabatku!" pekik Nazwa sambil terus memohon k
Sekelebat bayangan Risa yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit kembali mengobarkan amarah Arya kepada Dika. Dia mengayunkan pukulan tepat di wajah tampan Dika, dan saat itu juga Dika tersungkur karena tak siap menerima serangan tiba-tiba. Darah mengucur dari sudut bibir Dika, "Seharusnya saya yang menghajarmu!" ujar Dika sambil menyeka darah lalu kembali bangkit berhadapan dengan Arya. "Kamu telah menyebabkan, Risa terluka!" Arya mencengkram kuat kerah kemeja Dika, tapi tak ada balasan darinya. Lelaki tampan itu hanya terbahak melihat tingkah Arya yang terlihat konyol di matanya. "Kamu terlihat sangat konyol, Tuan Arya!" Dika tersenyum sinis. "Berhenti tersenyum bajingan!" Bugh! Satu pukulan kembali Arya layangkan ke wajah Dika. Namun, bukannya membalas dia justru pasrah menerima setiap pukulan demi pukulan yang dilayangkan Arya. Napas Arya mulai tersenggal, dan dia pun menghentikan pukulannya terhadap Dika. Dia terduduk sambil sesekali mengatur napas. "Jika terjadi
Waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam. Arya masih saja terjaga, bayangan wajah Risa yang tengah terluka terus menari-nari dalam benaknya. Sore tadi, selepas kepergiannya dari rumah Dika dia hendak langsung ke rumah sakit. Namun, saat berada dalam perjalanan, perawat yang selalu menemani Nazwa menghubunginya. Wanita itu berkata jika Nazwa mulai cemas dan beberapa kali meracau tak karuan, mendengar hal itu Arya berputar arah dan memilih untuk kembali ke rumah. "Apa kamu baik-baik saja?" batin Arya cemas. Hatinya begitu menggebu untuk segera menghampiri Risa dan menemani wanita tersayangnya itu, tapi apalah daya dia pun tak mungkin meninggalkan Nazwa dalam keadaan yang seperti saat ini. ***"Sayang, hari ini aku ingin menemui, Risa. Apakah kamu mau menemaniku?" tanya Nazwa antusias saat ke-duanya tengah menikmati hidangan sarapan. Arya hampir tersedak mendengar pertanyaan Nazwa. Buru-buru dia meraih segelas air lalu meminumnya hingga tandas. "Apa kamu serius?"Nazwa mengang
Langkahnya gontai meninggalkan rumah sakit, meskipun tubuhnya masih lemas tapi Risa memaksa untuk segera meninggalkan rumah sakit. Sepanjang malam ia terus termenung, hatinya hancur tak terrsisa saat mengetahui kenyataan jika Arya bahkan tak menghubungi dirinya walau hanya sekadar pesan singkat. Ponsel berdering. Risa hanya menatapnya sekilas tanpa niatan untuk menjawab panggilan itu. "Aku benci kamu, Mas," batin Risa sedih. ***Sebelum tengah hari, Risa tiba di rumah yang memang sengaja Arya belikan untuknya. Tak ingin membuang-buang waktu, Risa bergegas untuk mengemas baju dan segala keperluan pribadi. Namun, belum sempat Risa membereskan semuanya, pintu kamar terbuka dengan kasar. Tubuh jangkung itu terpaku dengan pandangan tajam menatap Risa. "Jika ingin pergi setidaknya beritahu aku!" tegas Arya sambil berjalan mendekati Risa. Risa masih terdiam, bahkan ia menunduk saat Arya terus menatapnya intens. "Risa, kita sudah berhasil menyingkirkan, Dika. Jadi kamu tak perlu lagi
Malam ini, bulan tampak malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Langit terlihat lebih kelam dari biasanya, hanya ada beberapa bintang saja yang masih setia berkelip menghiasi malam. "Sepi sekali malam ini," gumam Risa sambil menengadah menatap langit. Sendiri, dan terbelenggu sepi. Hanya itulah kata yang pas menggambarkan kondisi Risa saat ini. Jiwanya haus akan kasih sayang dan cinta yang tak pernah ia rasakan sekalipun dari ke dua orang tuanya. Risa masih termenung di beranda kamarnya, sesekali ia menatap potret dirinya bersama Arya. Seulas senyum terbit di wajah cantiknya itu. "Aku tak pernah bosan untuk terus berharap agar kamu selalu jadi lelakiku satu-satunya," gumam Risa penuh harap. Ponsel berdering. Risa hampir menjatuhkan ponsel itu dari genggamannya, beruntung ia masih bisa menguasai ponsel itu agar tak jatuh. "Nazwa?" Setelah berdeham beberapa kali, Risa langsung menerima panggilan suara itu. "Halo, Nazwa?" sapa Risa dengan suara serak. "Apa kamu baik-baik saja, Ri
"Ini bukan omong kosong, ini adalah peringatan terakhir.""Berhenti atau mati!"Ucapan Dika terus saja terngiang-ngiang dalam benaknya bagaikan kaset yang diputar secara berulang-ulang. Beberapa kali Risa mengembuskan napas kasar, berusaha untuk mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menderanya. Sisa jam kerjanya pun dihabiskan Risa dengan sekadar membuka lembaran demi lembaran di hadapannya, dan tak satu pun ia kerjakan. "Hei, apa kamu baik-baik saja? Aku lihat dari tadi kamu hanya melamun." Tegur salah satu rekan kerjanya. "Ah, hmmm aku baik-baik saja, hanya sedikit pusing."Risa tidak berbohong dengan kondisinya yang tiba-tiba pusing, ancaman dari Dika benar-benar menjadi beban tersendiri untuknya. Jarum jam masih menunjukkan pukul tiga. Namun, Risa memilih untuk segera meninggalkan perusahaan. Hati serta pikirannya sedang tidak baik-baik saja, beruntung izin didapatkan dengan mudah. Rupanya atasan Risa masih berpikir jika luka di kepalanya masih belum sembuh total. Langkahnya gon
Angin yang berembus lembut disertai matahari senja yang menyelinap dari celah pepohonan seakan mengantarkan kepergian Arya. Dari balkon kamar, Risa terus menatap mobil jeep yang membawa Arya menjauh, semakin menjauh hingga hilang dari pandangan. Suasana sepi mulai menyelimuti, hanya suara angin yang bergesekan dengan dedaunan menjadi nyanyian alam yang menemani kesendirian Risa. Ia tampak menghela napas dalam sambil mendudukan diri di sebuah kursi kayu. "Setidaknya, di sini aku bisa bernapas lega. Tidak ada lagi Tuan tua menyebalkan itu!" gerutu Risa. Rupanya, Risa masih merasa kesal dengan Bramantyo. Mungkin lebih tepatnya dendam dengan perlakuan menyebalkan lelaki itu terhadap dirinya. "Lihat saja, aku akan membuatmu malu, Bramantyo!" pekik Risa mencurahkan segala kekesalan di dalam hatinya tanpa khawatir ada seorang pun yang mendengarnya. Matahari semakin beranjak ke barat, angin pun berembus lebih kencang. Risa memeluk tubuhnya sendiri karena dingin yang seketika menyergapnya
Tempat yang terasa asing bagi Risa. Tidak ada lagi keramaian, mall, salon, restoran dan tempat-tempat yang biasa Risa datangi jika tengah dilanda rasa bosan. Kini hanya pepohonan menjulang yang menjadi teman setianya. "Ini ponsel baru, meskipun jauh dari keramaian aku dapat menjamin kamu masih bisa berselancar di dunia maya. Tapi ingat, gunakan akun palsu," ungkap Arya saat dia hendak kembali ke kota dan menyerahkan ponsel baru untuk sang kekasih. "Lalu, kapan kamu akan berkunjung kembali? Aku takut lama-lama diam seorang diri di sini." Risa menatap sekeliling lalu bergidik ngeri. "Aku takut setan, Mas," sambungnya sembari memeluk tubuh Arya. Melihat kekasih hatinya seperti itu, Arya terbahak. Risa seperti anak kecil dan dia begitu gemas terhadapnya. "Kok malah ketawa sih?" Ia mencebik dengan tangan yang dilipat di depan dada. Bibir tipis yang mengerucut dengan pipi sedikit menggembung membuat Arya tak tahan untuk tidak mencubit pipi sehalus sutra tersebut. "Aw, Sayang ih. Saki
"Kepalaku pusing sekali," lirih Risa ketika, ia mulai tersadar. Tubuhnya lemas dengan kepala yang terasa pusing sekali. Beberapa kali ia pun mengerjap saat cahaya langsung menerpa wajahnya. "Apa kamu baik-baik, saja?"Beberapa saat ia tertegun, berusaha mengingat suara yang terasa sangat familiar untuknya. "Maafkan aku," ungkapnya lagi sambil mengecup kening Risa lembut. "Mas, Arya?"Arya tersenyum, senyuman laksana sinar matahari pagi yang sangat menenangkan. "Kamu jahat, Mas!" pekiknya, sembari memukul dada bidang Arya. Dalam sekali gerakan, Arya menarik tubuh lemas Risa ke dalam dekapannya. Tangisan Risa semakin menjadi dan tersedu-sedu. "Aku janji tidak akan menyakitimu lagi."***Risa yang belum mampu berjalan, dibopong Arya ke kamar mandi. Dengan sangat telaten, dia melepaskan satu persatu kain yang menempel pada tubuh perempuan itu. Risa tersipu mendapatkan perlakuan seperti itu dari Arya. "Apa wajahku sangat menarik? Sehingga kamu terus menatapku, tanpa berkedip?" Ri
"Setelah ini apa aku harus tetap menunggu?" tanya Risa dengan suara parau. Arya membeku, dengan pikiran yang entah berjelajah ke mana. Hati lelaki itu bimbang, disaat seperti itu jelas dia harus mementingkan Nazwa agar hidupnya selamat. "Bagaimana jika satu bulan kamu bertahan menjadi seorang pelayan?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya, dan selang beberapa detik Arya menyesal telah bertanya seperti itu. Gerimis di dalam hati Risa kini menjelma laksana badai. Hatinya luluh lantak mendengar ucapan Arya yang terasa begitu menyakitkan. "Aku tahu kamu pasti akan seperti ini!" ungkap Risa, sambil menghentakkan kaki lalu pergi meninggalkan Arya yang tengah diselimuti perasaan menyesal. Langkah Risa lunglai, energi yang biasanya meluap-luap dalam dirinya kini lenyap begitu saja. Harapan yang sempat ia tanam, tercerabut hanya karena satu ungkapan dari mulut Arya. "Baiklah, sudah saatnya aku menyerah," lirih Risa, sambil terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Meng
"Tuan, Nona Nazwa pingsan!" pekik Mae. Bramantyo bergeming untuk sesaat, dia berbalik lalu berlari menghampiri sang putri. Dia memeluknya erat seraya terus menyebut nama Nazwa. "Siapkan mobil!" teriak Arya. Dalam hitungan detik semua orang dibuat panik dengan kondisi Nazwa yang tiba-tiba kehilangan kesadaran. Begitupun Risa, meskipun tak ada lagi rasa persahabatan di dalam hatinya, tetap saja ia bersikap seolah-olah dirinya yang paling peduli. "Ini semua salahku. Maafkan aku, Nazwa," lirih Risa sambil berlari mengikuti Arya yang membopong tubuh Nazwa. Air mata Risa terus berlinang, air mata palsu yang hanya ingin mendapatkan simpati dari seorang Bramantyo. "Kamu tidak perlu ikut!" Hadang Bramantyo saat Risa hendak masuk ke mobil. "Saat, Nazwa sadar dia pasti akan mencari, Risa. Ayah, aku mohon biarkan dia ikut," sahut Arya dengan posisi kepala menyembul keluar pintu mobil. Bramantyo bergeming, dia seakan menimbang apa yang diucapkan oleh menantunya itu. "Ayah! Nazwa harus seg
"Bukankah sudah saya katakan jika mulai pagi ini kamu harus segera pindah ke kamar pelayan?"Risa menunduk, kedua tangannya saling meremas. "Lalu kenapa jam sepuluh kamu masih berada di sini?!" sambungnya tegas. Suara Bramantyo menggelegar bagaikan gemuruh di tengah-tengah badai. "Maaf, Tuan. Semalam saya tidak bisa tidur," balas Risa dengan suara lirih. Bramantyo berjalan mendekati tumpukan baju yang belum sempat Risa kemas semua. Dahinya lelaki itu berkerut melihat barang-barang mewah yang dimiliki Risa. "Apa kamu seorang simpanan?" tanya Bramantyo tiba-tiba. Risa bagaikan terpaku tepat ke dasar bumi. Petir seakan menyambar dirinya mendengar pertanyaan dari Bramantyo. "Ma-maksud, Tuan apa?""Dari mana kamu mampu membeli baju-baju mewah ini?" Bramantyo meraih satu baju, lalu melemparkan tepat pada wajah Risa. "Setahuku satu helai baju ini setara dengan upahmu bekerja sebagai asisten di kantor. Lalu, bagaimana kamu bisa membeli barang ini?"Tidak ada jawaban yang terlontar dari
Mendung yang bergelayut di wajah Risa berubah menjadi hujan yang tak sanggup lagi ia tahan. Membayangkan dirinya menjadi seorang pelayan sungguh membuatnya terluka. "Maaf, maafkan aku," ucap Arya, mencoba menenangkan hati sang kekasih sambil mendekap nya erat. "Sekarang kamu istirahat, ya, Sayang," sambung Arya sembari melepaskan dekapannya. Namun, Risa menolak. Ia menahan gerakan Arya untuk terus mendekap tubuhnya. "Aku mohon jangan pergi, dan biarkan aku merasakan kenyamanan ini," ungkap Risa dengan suara parau. "Baiklah, jika itu memang keinginanmu."Arya kembali mendekap tubuh Risa dengan penuh cinta dan kehangatan, "Bersabarlah ini hanya untuk sementara."***"Baiklah aku harus segera berkemas," gumam Risa sesaat setelah ia mengembuskan napas berat. Ia menatap sekeliling, kamar mewah dengan nuansa interior eropa itu pasti akan ia rindukan. Kasur kualitas terbaik dengan sprei sutra pilihan, aroma terapi mewah, dan segala hal kemewahan yang berada di kamar itu benar-benar aka
Gelap dan dingin. Itulah kesan pertama yang Arya rasakan saat dirinya menyelinap ke dalam kamar Risa. Dika melangkah perlahan dan harus hati-hati jika tak ingin terjatuh oleh barang yang sangat berserakan di sekitar kamar Risa. "Risa, apa kamu baik-baik saja?" tanya Arya, sesaat setelah dia menyalakan lampu di ruangan itu dan mendapati sosok Risa tengah terduduk lemah di pojokan kamar. Risa menegakkan kepala, sorot mata yang biasa penuh bahagia itu, kini berubah dengan sorot mata putus asa. "Aku tidak ingin jadi pelayan di rumah ini!" lirih Risa, dengan air mata yang terus berderai. Arya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Risa. Dia pun menggenggam tangan kekasihnya itu erat. "Maafkan aku," ungkap Arya dipenuhi rasa bersalah. "Aku tidak ingin menjadi seorang pelayan, bagaimana mungkin seorang, Risa menjadi pelayan!" pekik Riaa histeris. Sedikitpun Risa tak pernah berfikir jika Bramantyo akan berbuat seperti itu. Namun, hari itu ucapan dari Bramantyo sungguh menjatuhkan harga d
"Risa bisa terus tinggal di sini, tapi dia bukanlah seorang Nyonya. Pecat semua pelayan pribadinya, lalu pindahkan dia ke kamar pelayan biasa!" Perkataan Bramantyo masih terngiang-ngiang dalam benaknya, bagaikan musik yang terus diputar ulang. Beberapa kali Risa menutup kedua telinganya sambil menutup mata. Dengan begitu Risa berharap suara menyebalkan itu cepat hilang. Namun, justru wajah Bramantyo yang semakin jelas tampak dalam ingatannya. "Arghh! Dasar bajingan!" pekik Risa. Ia mulai murka, semua barang yang tertata rapi di meja hancur ia banting. Sprei, selimut, semuanya berserakan. Kamar yang semula rapi, kini layaknya sebuah kapal pecah yang tak beraturan. Puas melampiaskan amarah, Risa mulai terisak. Di sudut kamar ia terduduk sambil memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan kepala di antara dua lutunya itu. "Aku tidak ingin menjadi seorang pelayan biasa," gumam Risa disela isakan tangisnya. Semua hal indah yang selalu Risa bayangkan hancur dalam beberapa menit saja. Ia t