Aku melihat mata Niami mengerling, ia juga tampak menelan salivanya lalu menjatuhkan sendok dan garpu yang tengah ia pegang lantas mereguk segelas air hingga tersisa setengahnya saja.
Melihat itu aku memilih menunduk menatap makanan yang ada di depanku lamat-lamat, aku merasa tidak enak hati sebab calon ibu mertua sudah memujiku di depan Niami. Aku tidak tahu seberapa besar kesalahan Niami di mata Mas Nata dan ibunya hingga mereka berdua bersikukuh ingin segera aku menggantikan posisi Niami di rumah ini."Ibu nyindir aku?" tanya Niami kemudian. Ia menatap tak suka pada calon ibu mertuaku."Memang kenyataannya seperti itu 'kan?" ketus calon Ibu mertua.Dreett.Niami bangkit dari kursinya, lalu pergi ke luar dengan wajah yang sudah merah padam."Mamaaa!" teriak Adira, si bungsu lantas berlari mengejar Niami."Sudah di sini saja, kalau Adira ikut Mama nanti Papa dan Omamu ngamuk-ngamuk," kata Niami."Tapi Adira mau ikut sama Mama, bawa Adira pergi, Adira mohon, Ma," rengeknya di bawah kaki Niami."Maaf sayang, Adira tunggu di sini saja ya sama Oma dan Papa, Mama juga 'kan sibuk nanti tidak ada yang jagain Adira di rumah," tandasnya lalu memaksa pergi dengan langkah tergesa.Adira kembali ke kursi makan dengan wajah kecewa dan mata yang sudah mengembun.Dua bulan sudah Mas Nata dan Niami resmi bercerai, tapi mengapa Niami masih bisa keluar masuk ke rumah ini dengan mudah? maksudku bukannya setelah bercerai, biasanya mantan suami dan istri memilih pergi saling menjauh untuk melupakan kenangan di antara mereka dan memulai hidup yang baru? Apalagi katanya perceraian antara Mas Nata dan Niami kali ini sudah jatuh talak ketiga. Apa mungkin Niami masih belum menerima perpisahannya dengan Mas Nata? Astagfirullah, aku jadi banyak menerka begini.Segera kutepis semua pemikiran burukku soal Niami, walau bagaimanapun dia adalah ibu dari anak-anak yang hak asuhnya jatuh pada Mas Nata, mungkin sebab itulah Niami masih bisa keluar masuk rumah ini dengan mudah."Ibu tidak sabar kalian segera menikah, biar kalau Elia sudah ada di rumah ini, si Niami itu tidak akan sering-sering datang dengan alasan menengok Ibu dan anak-anak, karena tanggung jawab anak-anak akan berpindah ke tangan Elia setelah kalian menikah," ucap calon Ibu mertua, setelah Niami pergi.Aku tersenyum seadanya, aku pikir saat aku datang kesini orang yang akan banyak mengintrogasiku adalah calon ibu mertuaku tapi ternyata aku salah. Calon ibu mertuaku justru sangat baik bahkan beliau menerimaku tanpa banyak bertanya."Kasihan cucu-cucuku, mereka pasti merindukan sosok seorang ibu, kamu bisa 'kan Nak jadi ibu tiri yang baik buat mereka? Maksud Ibu, kamu bisa 'kan memperlakukan mereka layaknya anakmu sendiri?" imbuh beliau lagi, ucapannya diakhiri pertanyaan serius untukku.Aku tersenyum menatap calon ibu mertua, lalu bergantian menatap anak-anak di sampingnya."Kalian mau 'kan sayang menerima Tante Elia sebagai ibu tiri kalian?" Beliau bertanya lagi, kali ini pada anak-anak.Dan brakkk.Mendadak Alvin menjatuhkan sendok dan garpu yang tengah dipegangnya, anak itu lalu berdiri. "Alvin tidak mau ibu tiri!" semburnya kemudian.Aku terhenyak bebas sampai nasi yang sedang kumakan sulit untuk kutelan."Alvin!" Mas Nata berteriak sambil melebarkan matanya.Entah mengapa Mas Nata ini mudah sekali tersulut emosinya, padahal aku memaklumi sekali apa yang dilakukan Alvin padaku."Duduk! Atau nanti kamu Papa hukum!" teriaknya lagi.Alvin berlari menaiki anak tangga dengan raut kecewa dan marah, alih-alih ia mendengarkan Mas Nata.Sementara Mas Nata makin tersulut emosi, ia buru-buru bangkit dari kursi makan, tapi cepat kutarik kembali tangannya."Sudah Mas, biarkan, maklumi saja, anak-anak baru melihatku sekali, Alvin mungkin masih syok saat tahu akan ada ibu tiri di rumahnya," ucapku, sebisanya kutahan Mas Nata agar pria itu duduk kembali di tempatnya."Sikap seperti ini yang Ibu mau, Nak. Di rumah ini rasanya sudah tak ada lagi kedamaian, selalu saja ada pertengkaran dari mulai yang terkecil hingga yang amat besar, Ibu harap kamu bisa menghidupkan kembali rumah ini dengan penuh cinta dan kedamaian," timpal calon Ibu mertua.Aku melirik ke atah beliau, mampukah aku? Aku bahkan belum punya pengalaman apapun, sekarang aku harus menerima amanah yang kuterima langsung dari calon ibu mertuaku.Aku menatap Adira masih menelan nasinya dengan lesu, anak itu mungkin ingin ikut berlari bersama Kakaknya hanya saja ia lebih takut dengan teriakan Mas Nata tadi."Dira mau ke kamar juga?" tanyaku lembut. Anak itu mengangguk."Ya sudah pergilah," titahku padanya.Adira tak langsung pergi, ia menatap ke arah Mas Nata sebentar, sudah dapat aku pahami anak itu rupanya memang ketakutan dengan sikap papanya."Ayo, pergi sama, Tante." Aku bangkit dan mengajaknya pergi ke atas, untunglah Adira masih kecil jadi dia masih terlalu polos memahami untuk apa sebenarnya aku ada di sini."Dira kamarnya yang mana?" tanyaku padanya."Sama Oma, di sana." Adira meluruskan jari telunjuknya, ia menunjuk ke arah kamar yang terletak di ujung balkon, aku segera mengantarnya kesana."Dira sejak kapan tidur sama, Oma?""Dari dulu," jawabnya polos.Tidur sama Omanya sejak dulu, kenapa tidak sama Ayyara saja? Atau sama mama papanya? Atau mungkin memang benar apa yang dikatakan calon ibu mertuaku, anak-anak ini benar-benar kehilangan kasih sayang orang tuanya sejak dulu, sebab keduanya sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing."Sana, jangan coba-coba pengaruhi Adikku!"Wussshh bugghh gedebussh.Alvin yang datang dari belakang tiba-tiba berteriak sambil mendorongku kencang hingga tersungkur ke lantai."Ada apa, Al?" tanyaku tak paham."Pergi sana, jangan ganggu Adikku!" semburnya lagi dengan wajah yang merah padam. Tampaknya anak itu benar-benar marah padaku.Aku sungguh tak memahami apa yang Alvin maksudkan, tapi karena dorongannya itu sekarang tanganku terasa sangat sakit, mungkin tanganku ini terkilir saat menahan tubuhku tadi."Ayo Dira, ikut ke kamar Kakak aja." Alvin menarik tangan adiknya pergi.Sementara aku masih meringis kesakitan di lantai sambil mencoba memijit sedikit peresendian tangan kananku."Ya Allah apa begini rasanya jadi seorang ibu tiri?" isakku dalam hati.Tak lama dari itu, calon ibu mertua naik ke atas dan melihatku tengah kesakitan di sana."Ya ampun El, ada apa ini?" tanyanya sambil membawaku pergi ke kamar beliau."Ini sepertinya keseleo, El. Ibu panggilkan tukang urut saja ya.""Besok saja, Bu. Ini sudah malam takut tukang urutnya juga sedang istirahat," tolakku cepat.Tok tok tok. Tak lama kulihat Mas Nata datang membawa segelas air."Bu, airnya." Sambil menaruh air itu di atas nakas, melihatku tengah meringis kesakitan Mas Nata bertanya apa yang telah terjadi."Anakmu ini loh Ta, Elia didorong sampai pergelangan tangannya keseleo begini," jawab beliau seraya sibuk mengoleskan minyak urut di tanganku.Mas Nata lalu mengamati baik-baik pergelangan tanganku."Tunggu, Nata akan kasih anak itu pelajaran," tandasnya seraya pergi keluar kamar.Aku terkejut. Ibu mertua cepat teriak."Nata, jangan apa-apakan anak-anakmu!""Bu, bagaimana kalau Elia lihat Mas Nata dulu?" Aku meminta izin.Calon ibu mertua mengangguk. Sedikit ragu, namun kupaksakan kaki melangkah ke sana.Aku hanya berani berjalan sampai di bibir pintu, dari sana aku sudah dapat mendengar dan melihat sendiri Mas Nata sedang memarahi bahkan nyaris sedang memaki-maki anak lelakinya itu habis-habisan. Aku menarik napas berat, entah mengapa Mas Nata harus melakukan hal itu? Padahal semuanya bisa dibicarakan baik-baik. Apakah ini perangai calon suamiku yang sebenarnya? Hatiku jadi makin ciut dan takut, pasalnya aku tidak pernah membayangkan akan punya seorang suami dengan watak yang keras seperti itu.Aku mengusap dadaku, segumpal daging di dalamnya tengah berdetak hebat tak beraturan. "Avin!!"Aku terperanjat mendengar Mas Nata berteriak sambil melayangkan tangan kanannya ke atas, sejurus dengan itu kakiku refleks berlari ke arahnya dan menahan tangan itu agar tidak mendarat di pipi Alvin."Apa-apaan ini, Mas? Tidak perlu seperti ini pada a
Ayyara menyipitkankan matanya saat mendengarku bertanya, tatapannya tidak berubah sejak tadi sore aku datang ke rumah ini. Masih menampakan kebencian dan ketidaksukaan padaku."Bukan urusanmu," decitnya. Gadis itu lantas menaiki anak tangga dan pergi ke kamarnya. Astagfirullah, aku mengelus dada, mencoba terus sabar memahaminya. "Non Yara memang sering pulang pagi, Nyah." Bibik berbisik di telingaku. Aku tertegun mendengarnya."Yang bener, Bik?" tanyaku tak percaya.Bibik menempelkan jari telunjuknya di depan bibir, "sssttt, jangan bilang-bilang sama orang rumah, Nyah," bisik Bibik."Memangnya kenapa?" tanyaku heran."Non Yara mengancam Bibik seperti itu, kalau informasi ini sampai di telinga Tuan Nata dan Nyonya Amara, Non Yara akan memecat, Bibik," jawab Bibik serius.Aku menarik napas panjang, jadi selama ini Ayyara sering pulang pagi dan Mas Nata tidak tahu? Ya ampun, entah apa yang sudah dilakukan gadis itu di luar sana."Sejak kapan Ayyara sperti itu, Bik?" tanyaku lagi."Seja
Tak lama bibik datang membawa air es dan larutan air garam, segera kubawa Adira ke toliet untuk berkumur, setelah itu aku mengompres pipinya yang bengkak dengan air es. Sekitar 5 menit mengompres Adira mulai sedikit tenang, ia tak begitu histeris seperti tadi."Besok kita periksa ke dokter gigi ya sayang." Cepat Adira menggeleng, wajahnya tampak ketakutan, entah karena takut dengan dokter gigi atau karena ia takut pergi denganku."Pergi ya Nak. Mumpung ada Tante Elia yang antar," bujuk calon Ibu mertua.Untunglah, setelah dibujuk oleh beliau akhirnya Adira setuju akan pergi ke dokter gigi."Terimkasih ya, Nak. Kalau tidak ada kamu entah Adira bagaimana, sakit giginya sudah lama tapi Ibu tidak bisa membawanya ke dokter, jangankan pergi ke dokter jalan ke depan rumah saja rasanya kadang tidak kuat, maklum sudah tua," ujar calon Ibu mertua. Aku mengulum senyum sungkan, "tidak apa-apa Bu, ini memang akan jadi tugas Elia 'kan?""Oh ya Bu, memangnya Mas Nata tidak tahu soal ini?" imbuhku
Sampai di depan pintu ruangan itu kulihat dengan baik-baik Ayyara sudah tidak ada lagi di sana. Sebelum pergi untunglah aku ingat aku harus melihat papan informasi yang dipasang di atas pintu ruang tersebut. Dan aku terhenyak, mendadak dadaku juga berdetak tak beraturan saat kulihat dengan jelas ternyata ruangan tempat dimana Ayyara tadi bicara dengan seorang dokter adalah poli 'KANDUNGAN'. Sedang apa Ayyara di poli kandungan?Apa di sekolahnya ada pemeriksaan yang mengharuskan dia pergi ke sini? Atau apa jangan-jangan, Ayyara ...? Astagfirullah. Aku menutup mulut dengan tangan, bukannya mau berpikir negatif, tapi gadis itu bisa saja berbuat yang tidak-tidak tanpa diketahui siapapun, lebih-lebih kondisi rumahnya sedang tidak baik-baik saja."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Pertanyaan seorang dokter membuatku mengerjap, dokter dari poli kandungan ternyata sudah berdiri tepat di bibir pintu ruangan itu.Kulihat papan namanya adalah dokter Fauzan, dokter itu tampak masih muda sekali,
Gara-gara Adira bicara soal Alvin, aku jadi teringat anak itu. Hampir saja perhatianku teralih semua pada Ayyara, padahal Alvin juga entah kemana sekarang. Kata Bu Nurma, Alvin tidak datang sekolah sudah seminggu lebih, alasannya sakit, padahal dari rumah dia berangkat setiap hari. Tidak aneh lagi, sudah pasti ada masalah juga pada anak itu.Ya Allah ... aku refleks memijit pelipis, terasa berat sekali rasanya tugasku nanti saat menjadi ibu tirinya anak-anak Mas Nata.Jujur sebenernya makin ke sini aku makin ragu, apa mungkin aku sanggup menjadi bagian dari mereka?Arghhh. Andai bukan karena ibuku, aku mungkin sudah kabur sekarang, mengurusi dan masuk di dalam keluarga yang berantakan tentu tidak akan mudah, apalagi aku tak punya pengalaman apapun sebelumnya. Tapi sisi lain aku juga kasihan sama anak-anak Mas Nata, mereka masih muda tapi kehidupan mereka sudah hancur berantakan.-Aku turun dari taksi setelah kami sampai di rumah. Meski tanganku masih sakit aku terpaksa harus mengge
Setelah mencoba semua baju pemberian Niami aku kembali pergi ke dapur untuk melihat bibik apakah bibik sudah datang atau belum."Bibik sudah pulang?" tanyaku sumringah saat melihat bibik tengah sibuk memberskan sayuran dari keranjang belanjanya."Iya Nyonya, saya baru pulang dari pasar, ada perlu sama saya, Nyonya?" tanya bibik balik, ia menyambutku dengan ramah."Bik, bisa antar saya pergi ke tukang urut? Tangan saya sepertinya tetap harus diurut supaya tidak bengkak begini." "Bisa Nyah, hayu pergi sekarang saja mumpung baru dzuhur." "Saya pamit dulu ke ibu mertua ya, Bik." Buru-buru aku menaiki anak tangga untuk menemui calon ibu mertua di kamarnya. Dan saat melewati kamar Mas Nata, kulihat Niami sedang tertidur pulas di sana, astagfirullah padahal mereka sudah cerai mengapa Niami masih saja berani tidur di kamar Mas Nata? Tentu saja aku sedikit kurang setuju, walau bagaimanapun Mas Nata adalah calon suamiku, sudah seharusnya mantan istrinya itu sekarang tidak lagi bersikap seper
Astagfirullah astagfirullah astagfirullah, aku menepuk-nepuk kening, sekuat tenaga membuang semua pikiran buruk yang bergulung di benakku."Kenapa, Nyonya?" tanya Bibik di samping."Tidak apa-apa, Bik," jawabku pendek, aku benar-benar sudah tidak karuan sekarang, aku ingin cepat-cepat sampai ke rumah.Taksi yang kami naiki segera meluncur membelah jalanan, menyatu bersama kendaraan lainnya di jalan raya. Aku mengembuskan napas lega, tentu aku sudah jauh lebih tenang sekarang.Ya Allah, sisi lain dari kehidupan kota ini ternyata benar-benar membuat aku syok, baru saja tadi pagi aku mendapat kabar yang seolah menghentikan kerja jantungku soal kehamilan Ayyara, sekarang aku malah harus bertemu gadis-gadis yang nasibnya sama seperti Ayyara di tempat seperti itu. -"Nyah bangun sudah sampai." Bibik membangunkanku saat kami telah sampai di depan rumah. Tak terasa lamanya di perjalanan membuatku tertidur di dalam taksi.Aku mengucek mata dan mengumpulkan nyawa, lalu bergegas turun."Terima
"Ibu kirain ada apa, bikin kaget aja sih, ada apa teriak-teriak?" cecar Niami seraya mengucek kedua matanya."Ada apa, ada apa, gak malu kamu masih tidur di sini? Sana pulang ke rumah kamu dan jangan pernah berani lagi tidur di kamar Nata, karena besok kamar ini akan jadi kamar Elia dan yang jelas kamu sudah tidak punya hak lagi, paham?!"Beringsut Niami bangun, "silakan saja, siapa juga yang akan kuat menikah dengan seorang pria dingin dan kaku seperti Mas Nata, ambil tuh kamar," tandasnya, Niami mengambil tas kecilnya lalu bergegas pergi dari hadapan kami."Sudah, ayo antar Ibu ke kamar," ucap calon Ibu mertuaku lagi setelah memastikan Niami pergi menuruni anak tangga.Aku mengangguk pelan dan bergegas mengantar calon ibu mertua ke kamarnya. Adira masih terlelap di kasur beliau rupanya, syukurlah tampaknya pengaruh obat dari dokter masih berreaksi."Bu, Mas Nata biasa pulang jam berapa?" tanyaku setelah calon Ibu mertuaku berbaring di sebelah Adira."Sebentar lagi, biasanya jam 5 a
Aku terkejut saat mendengar obrolan mereka berubah jadi pertikaian. Dengan gerakan refleks aku pun mendorong pintu kamar itu sampai terbuka lebar. "Hanaa!" Aku teriak spontan saat kulihat wanita itu tengah berusaha mencekik Ayyara.Wanita itu melonjak kaget, dia menatapku dengan wajah pucat pasi. Sementara Ayyara yang tadi sedang dicekiknya cepat menjauhkan diri, gadis itu berlari ke arahku."Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau mencekik anakku?""Ny-Nyonya, tadi ... tadi itu ... tadi ...." Hana panik, mulutnya bahkan mendadak kelu."Ma, tolong Yara Ma, dia berusaha melenyapkan Yara," kata Ayyara di belakangku.Dapat kurasakan tubuhnya yang gemetar dan napas yang menderu hebat, Ayyara benar-benar ketakutan rupanya."Ti-tidak Nyonya, itu tidak benar, saya hanya sedang bercanda, tadi Non Yara kesulitan minum obat jadi saya ...," tampik wanita itu cepat."Jadi saya apa? Apa perlu kau cekik anakku juga, hah?!""Ti-tidak. Anu ... itu ... anu." Hana mendekat.Braak. Prengg."Aaaw!"Hana
"Itulah aku tidak tahu Mas, makanya kakiku masih lemas saat aku dengar penjelasan dokter itu, aku benar-benar shock, pasalnya bagaimana bisa?"Rahang Mas Nata mengerat, sementara tangannya juga mengepal hebat sampai menampakan urat-urat kehijauannya."Kalau begitu ayo, ayo kita tanya gadis itu, apa alasan dia melakukan ini, dan dari mana dia dapatkan barang terlarang itu." Mas Nata menarik lenganku kuat-kuat. Tanpa melihat wajahnya pun, aku sudah dapat menyimpulkan, betapa ia sedang marah besar sekarang.Aku dibawa jalan terburu-buru, saking buru-burunya aku sampai merasa sedang diseret-seret oleh Mas Nata, gawat, pria ini pasti akan murka semurka murkanya, tapi aku juga tidak bisa mencegah, walau bagaimanapun Ayyara perlu diperingatkan dengan tegas agar gadis itu tidak berulah lagi.Kreet. Bruk.Mas Nata langsung melempar kursi roda yang diletakan di dekat pintu saat kami masuk. Ayyara sampai melonjak kaget, ia terbangun dari tidurnya."Papa, ada apa?" "Ada apa katamu? Bagus sekali
Pulang dari mall, sengaja kubawakan Ayyara kentang goreng kesukaannya itu. Walau aku tahu dia pasti menolak, tapi tak ada salahnya mencoba 'kan? Lagipula aku ikhlas membawakannya makanan, bukan agar dia menerimaku lagi, tapi karena aku memang sedang ingat dia saja, rasanya sayang jika aku pergi ke tempat makan yang biasa kami kunjungi tapi aku tak beli apa-apa untuk Ayyara.Sampai di rumah aku langsung pergi ke kamar gadis itu. Masih pukul 10, aku harap dia belum tidur.Tok tok tok."Yaraa!"Tok tok tok."Yaraa!""Non Yara sudah tidur, Nyonya," kata Hana di belakang.Aku memutar badan. Wanita ini, kenapa selalu muncul di mana saja, huh sebal jadinya."Saya hanya mau memberikan ini." Aku mengangkat kentang goreng dalam plastik yang kubawa."Ya sudah, biar saya saja yang berikan Nyonya, takut Nyonya capek mau istirahat."Hana akan segera meraih plastiknya tapi cepat kutarik ke belakang."Tidak usah, biar saya saja," ucapku ketus."Oh ya sudah Nyonya, kalau begitu saya permisi," katanya
Mas Nata bangkit karena aku terburu-buru menyuruhnya pergi."Ada-ada saja, ya sudah tunggu."Huh, untunglah dia mau, coba kalau Mas Nata ngeyel seperti biasanya, mungkin terpaksa aku harus turun ke jalan lagi.---1 jam kemudian Mas Nata kembali. Aku yang masih mondar-mandir cemas di kamar, cepat turun saat tahu mobil Mas Nata memasuki gerbang rumah."Mas, bagaimana? Apa kamu ketemu sama Ayyara?""Tidak Elia, sudahlah, mungkin mereka memang sedang pergi cari hiburan, yang penting 'kan Ayyara tidak pergi sendiri, kamu tidak usah cemas begini."Aku menghela napas panjang saat Mas Nata malah ceramah di depanku."Mas, kamu ini bagaimana? Sama anak sendiri kok begitu? Justru karena Ayyara tidak pergi sendiri kamu harusnya lebih hati-hati, aku 'kan sudah bilang, meski Hana diambil dari yayasan, tidak ada yang tahu bagaimana hatinya bukan?" Aku mulai emosi karena Mas Nata terkesan santai dan meremehkan firasatku.Ah entahlah, memang aku yang terlalu berlebihan atau Mas Nata yang terlalu sa
"Yaraa, kok bicaranya begitu pada Mama Elia?" Ibu mertua bertanya lembut.Gadis itu tak menjawab, tapi tetap melanjutkan makan malamnya dengan malas. "Kak Yara, kenapa tidak mau pergi jalan-jalan bareng kami?" tanya Adira setelah hening menjeda beberapa menit."Kak Yara sedang banyak urusan penting.""Urusan pentingnya lebih penting dari Mama Elia ya? Sampai-sampai Kak Yara tidak mau ikut pergi bersama kami.""Ya tentu saja," tandasnya tak acuh, gadis itu lalu bangkit dan gegas menaiki anak tangga.Sementara hatiku mendadak nyeri, ucapan dan sikap Ayyara sekarang benar-benar menunjukan bahwa memang ada yang sedang tidak beres pada gadis itu."Ih kenapa Kak Yara bicara begitu? Memangnya boleh ya, Oma?" tanya Adira polos."Tentu tidak Nak, Kak Ayyara mungkin sedang banyak pikiran dan tugas di sekolahnya, karena itu kita lebih baik jangan ganggu dia dulu ya, biarkan saja Kak Ayyara sendiri dulu.""Oh gitu ya Oma." Adira manggut-manggu sambil terus mengunyah makan malamnya."Elia, tolong
"Ya, 10 menit lagi saya turun," balas Ibu.Setelah bicara dengan ibu mertua, Hana kembali keluar."Bu, Hana itu profesional sekali ya kerjanya? Apa Mas Nata ambil dia di yayasan?" tanyaku penasaran.Ibu terkekeh, "hehehe kamu betul sekali, Nak.""Ouuh." Aku manggut-manggut dengan mulut membola.Benar dugaanku ternyata, pantas saja, tidak heran kalau dia terlihat sudah lihai."Oh ya Bu, Ibu ganti langganan laundry ya?""Iya Nak, soalnya di tempat langganan biasa.Hana lebih harum dan rapi hasilnya, maaf ya Ibu jadi pindah akhirnya," jawab beliau sungkan."Eh tidak Bu, tidak apa-apa, tidak perlu sungkan begitu ah, ini 'kan hanya masalah laundry."Memang hanya masalah laundry, tapi sejujurnya aku merasa tersisih, selera si Hana itu ternyata jauh lebih baik dariku."Ya sudah, takut Ibu mau mandi, Elia ke kamar dulu ya Bu, mau sekalian lihat anak-anak juga, tadi hanya sebentar ketemu mereka," ujarku lagi.Ibu mertua mengangguk, "oh ya sudah, sana gih, biasanya Adira jam segini sedang mengga
"Ya terserah bagaimana baiknya saja, Mas." Aku membalas lesu."Ya sudah, biar cepat kelar, aku tutup dulu teleponnya ya.""Ya, Mas."Tut.Lesu lagi, ah tahu bakal begini kemarin saja aku ikut pulang.Tok tok tok."Masuk.""Nak, sarapan dulu, itu nasinya sampe udah dingin gitu loh.""Ya Bu, Elia nanti ke meja.""Loh tidak sekarang? Sudah siang loh."Aku menggeleng lesu. Ibu masuk lalu duduk di dekatku."Kenapa toh, Nak? Seperti sedang sedih, tumben, oh apa ada tetangga yang ngomong macem-macem lagi?""Tidak Bu, Elia hanya sedang malas."Lanjut aku cerita pada ibu soal asisten barunya Mas Nata, ibu ketawa-ketawa saja saat mendengar ceritaku, entah kenapa, apa iya aku terlalu berlebihan."Ya sudah kalau begitu kamu pulang saja sekarang Nak, tidak perlu nunggu dijemput, Nata sedang sibuk bantu pindahan 'kan? Kamu kasih dia kejutan.""Hah? Apa perlu begitu, Bu?""Ya daripada di sini kamu tidak tenang lebih baik kamu pulang 'kan?"Benar juga apa kata ibu, ah tapi ...."Sudah, ayo Ibu antark
"Ya Nyonya, Hana, asisten baru Tuan Nata, sudah 3 hari dia kerja di sini, dia yang urus semua keperluan Tuan Nata dan Nyonya besar, memangnya Tuan Nata tidak cerita?" Bibik bertanya di akhir kalimatnya.Ah aku jadi bingung sendiri, sebagai istri kenapa aku tidak diberitahu soal ini? Memang saat di rumah ibuku kami menyarankan agar Mas Nata mencari pekerja baru untuk membantunya, tapi aku tak menyangka Mas Nata tidak cerita soal ini padaku.Tidak tidak tidak, pikiranku jangan ngaco pelace, mungkin saja Mas Nata hanya lupa mengabari, aku tidak boleh suudzon dulu."Oh ya sudah kalau begitu, makasih ya, Bik.""Ya Nyonya, selamat malam.""Ya, Bibik juga selamat istirahat ya."Tut. Ponsel kumatikan. Aku kembali gusar sampai semalaman tak bisa tidur karena penasaran, kira-kira apa alasan Mas Nata sebenarnya tidak menceritakan soal asisten barunya itu? Ah aku jadi mikir kemana-mana, nama asistennya Hana, itu artinya dia wanita, apa wanita itu cantik? Bagaimana kalau benar cantik? Apa jangan-
Aku mematung. Ya memang benar, kepercayaan Mas Nata padaku adalah hal yang terpenting, tapi saat orang-orang di sekeliling jadi sering menghakimi begini, lama-lama aku jadi tidak tenang juga, aku benar-benar terganggu dan jadi sedih berkepanjangan akhirnya."Sudah jangan sedih lagi, sekarang kamu istirahat saja," ucap Mas Nata lagi.Aku mengangguk.Baru saja aku akan menarik selimut yang diberikan Mas Nata, suara kegaduhan terdengar di luar."Berani-beraninya kalian ngegibahin anak saya ya, mulut kalian itu emang perlu sekali dilakban rupanya!" teriak Ibu."Eh Bu Wening kok marah? Padahal memang begitu kenyataannya 'kan?""Kenyataan apa? Kalian saja yang gampang terhasut sama perempuan tua itu, si Safitri jelantah minyak!""Ya terus kalau semua itu gak bener kenapa sampe harus dihukum arak itu si Lia? Lagian gak mungkin juga Bu Safitri maen fitnah kalau gak begitu kenyataannya, masa dia tega sih sama si Aslan anaknya sendiri.""Bener tuh, emang dasar Bu Wening mah beda aja sama Bu Safi