Sampai di depan pintu ruangan itu kulihat dengan baik-baik Ayyara sudah tidak ada lagi di sana. Sebelum pergi untunglah aku ingat aku harus melihat papan informasi yang dipasang di atas pintu ruang tersebut.
Dan aku terhenyak, mendadak dadaku juga berdetak tak beraturan saat kulihat dengan jelas ternyata ruangan tempat dimana Ayyara tadi bicara dengan seorang dokter adalah poli 'KANDUNGAN'.Sedang apa Ayyara di poli kandungan?Apa di sekolahnya ada pemeriksaan yang mengharuskan dia pergi ke sini? Atau apa jangan-jangan, Ayyara ...?Astagfirullah. Aku menutup mulut dengan tangan, bukannya mau berpikir negatif, tapi gadis itu bisa saja berbuat yang tidak-tidak tanpa diketahui siapapun, lebih-lebih kondisi rumahnya sedang tidak baik-baik saja."Ada yang bisa saya bantu, Bu?"Pertanyaan seorang dokter membuatku mengerjap, dokter dari poli kandungan ternyata sudah berdiri tepat di bibir pintu ruangan itu.Kulihat papan namanya adalah dokter Fauzan, dokter itu tampak masih muda sekali, mungkin sekitar 35 tahunan atau lebih atau bisa juga kurang. Wajahnya tampan dan bobotnya gagah."Em tidak Dok, sebenarnya saya ingin bertanya soal pasien yang tadi ada di dalam, seorang remaja berseragam SMA namanya Ayyara," jawabku tanpa basa-basi."Maaf sebelumnya Ibu ini siapanya?" Dokter Fauzan balik bertanya."Saya Ibu tirinya."Dokter itu mematung sebentar sebelum akhirnya ia mengajakku bicara di dalam ruangannya. Aku memberi Adira sedikit pemahaman agar dia mau ikut dan menungguku bicara dengan dokter itu sebentar, untunglah anak itu mau memahami maksudku."Jadi sebenarnya Ayyara sakit atau bagaimana , Dok?" tanyaku penasaran, jujur saja meski hatiku sudah banyak menerka hal yang buruk aku berharap Dokter Fauzan akan mengatakan informasi yang baik soal Ayyara."Sebetulnya, anak Ibu baru saja memeriksa kehamilannya, tapi ia bersikukuh untuk menggugurkan kandungannya yang baru memasuki usia 4 bulan itu."Teg. Seketika jantungku terasa lepas dari tempatnya, seperti ada badai yang menggulung di ruangan itu aku lihat semuanya gelap. Mulutku terasa kelu seperti sesuatu telah menyambar diriku."Apa, Dok? Ayyara hamil? Begitu maksudnya?" tanyaku tak percaya, sungguh tak percaya."Iya Bu, saya bersyukur Ibu datang kesini, anak Ibu sedang membutuhkan banyak dukungan, masalahnya aborsi di saat usianya masih muda apalagi ia juga baru saja mengalami keguguran akan sangat berbahaya bagi nyawanya sendiri," jawab Dokter Fauzan lagi, membuatku semakin tak percaya.Berkali-kali bahkan aku mencubit tanganku sendiri, berharap ini hanyalah mimpi tapi ternyata dokter di depanku sedang benar-benar bicara soal kehamilan Ayyara yang nyata adanya."Tapi bagaimana bisa? Maksud saya ... Ayyara bahkan masih di bawah umur dan belum ...." Aku tak bisa melanjutkan ucapanku, berat rasanya untukku bicara saat ini.Sesekali aku menatap Adira yang tengah duduk di sampingku, untunglah dia masih polos dan belum mengerti pembicaraan kami."Semuanya mungkin saja terjadi di zaman sekarang Bu, mohon bersabar dan mohon untuk tidak menilai Ayyara dari satu sisi saja, Ibu bisa bicarakan semua ini baik-baik dengannya.""Pasti, pasti saya akan bicara dengannya Dok, dan saya mohon jangan pernah lakukan apa yang Ayyara pinta sekalipun ia memaksa atau akan membayar mahal, saya akan bantu dia melewati semua ini, saya akan beri dia pemahaman soal ini," tegasku.Dokter Fauzan manggut-manggut dengan wajah iba."Baik Bu, Ibu tenang saja, soal itu Ibu tidak perlu khawatir, karena melakukan aborsi ilegal juga sangat menyalahi aturan kerja saya."Aku hanya membalas dengan anggukan."Tapi, Bu." Dokter Fauzan bicara lagi. Aku kembali menatapnya serius."Hanya saja anak-anak seusia Ayyara bisa saja berbuat nekat, takutnya dia malah pergi ke tempat yang lain dan bersikeras untuk menggugurkan kandungannya agar bisa menutupi rasa malunya itu," lanjutnya.Dan ucapan Dokter Fauzan itu kembali membuat dadaku sesak sampai udara di sekelilingku terasa berat untuk kuhirup.Apa yang dikatakan dokter Fauzan itu memang benar, Ayyara bisa saja berbuat nekat dan menggugurkan kandungannya di tempat yang justru akan lebih membahayakannya. Tapi tunggu, kata dokter Fauzan itu tadi Ayyara baru saja keguguran?"Dokter, tadi Anda bilang Ayyara baru saja keguguran? apa itu berarti sebelumnya Ayyara juga sudah pernah hamil?"Dokter Fauzan mengangguk, lalu memberikanku sebuah surat rekam medis Ayyara."Sebenarnya saya tidak boleh memperlihatkan itu pada siapapun, tapi karena Ibu adalah orang tuanya saya harap Ibu akan percaya dan akan serius menyikapi kasus Ayyara, jujur, banyak sekali anak-anak seusia Ayyara datang kesini dengan kasus yang sama, dan kebanyakan dari mereka adalah korban pergaulan bebas," ujarnya panjang lebar.Aku semakin tercengang mendengar pernyataan dokter yang ada di hadapanku. Ayyara terlihat seperti anak baik-baik, seragam sekolahnya juga sopan dan panjang tidak kebanyakan seperti anak-anak zaman sekarang.Tapi hari ini? Aku mendengar sendiri Ayyara calon anak tiriku sedang hamil empat bulan dan bahkan sudah pernah hamil sebelumnya. Ya Allah Astagfirullah aladziim, sebegitu bebasnyakah kehidupan Ayyara selama ini? Aku benar-benar tak pernah menduga gadis itu telah berbuat hal yang sampai melanggar batas norma dan agama.Aku membaca dengan jelas surat rekam medis yang ditunjukan dokter Fauzan padaku, walau aku tak begitu mengerti tulisannya tapi aku dapat memahami di sana tertulis Ayyara mulai berkunjung ke sana mulai 6 bulan yang lalu, itu artinya sebelum Mas Nata dan Niami resmi berpisah anak itu sudah mulai mengandung anak pertamanya.Kubaca lagi kunjungan selanjutnya saat Ayyara keguguran di usia kandungan 2 bulan. Dan sekarang kunjungan ketiganya saat Ayyara hamil lagi menginjak usia 4 bulan. Ya Allah Astagfirullahaladziim.Aku mengelus dada berkali-kali, betapa mudahnya gadis itu hamil bahkan sebelum ia menikah dan usianya masih kategori dibawah umur, sedangkan aku? Aku yang ingin punya seorang anak di usiaku yang hampir kepala 3 bahkan harus melewati banyak kepahitan dulu karena tak kunjung ada seorang lelaki yang mau menikahiku."Baik Dokter, semua ini akan saya sikapi dengan serius, tolong beri Ayyara pemahaman saat dia datang ke sini lagi," ucapku lagi, Dokter Fauzan mengnagguk.Setelahnya aku dan Adira bergegas keluar dari ruangan itu.-Walau Ayyara tak menyukaiku tapi aku akan berusaha, aku akan berusaha menjadi temannya dan berusaha untuk selalu ada untuknya, aku tahu gadis itu sekarang sedang terpuruk. Terlepas dari pergaulannya seperti apa, niatnya menggugurkan kandungan harus segera aku gagalkan, aku akan berusaha semampu yang kubisa.Sepanjang jalan pulang dalam taksi, aku benar-benar resah, bagaimana caraku mengatakan hal ini pada Mas Nata? Lagipula kalau Mas Nata tahu soal ini, bisa-bisa Ayyara diamuknya habis-habisan. Aku tidak mau sampai terjadi apa-apa pada kandungannya itu.Tapi kalau aku mengatasi masalah ini sendiri aku kurang yakin apa aku bisa? Aku juga tidak mungkin mengatakan hal ini pada calon ibu mertuaku dulu, beliau sudah tua, pikirannya akan drop dan beliau akan sangat syok mendengar cucunya sudah terjerembab dalam pergaulan bebas."Tante, apa Tante Elia akan berbuat jahat padaku?" Pertanyaan Adira mengembalikan kesadaranku, aku terhentak dari lamunan lalu menatap Adira dengan tatapan yang bingung."Maksudnya bagaimana, Sayang?""Kata Kak Alvin, ibu tiri itu jahat, seperti di film bawang merah dan bawang putih, anak-anak tirinya akan disiksa dan disuruh bekerja terus menerus saat papa tidak ada," jawabnya polos.Aku menarik napas dalam-dalam, bahkan sampai sekarang aku masih menahan rasa sakit ditanganku ini hanya agar bisa mengantarnya ke dokter gigi, mana bisa aku berpikir akan berbuat seperti yang Adira pikirkan itu?Hmm tapi dari ucapan Adira ini aku jadi tahu, pantas saja Alvin tidak menyukaiku mungkin anak itu berpikir, kalau aku akan berbuat jahat padanya seperti apa yang sering dia lihat dalam film-film atau cerita dongeng. Astagfirullahaladziim, ya Allah ada-ada aja, andai mereka tahu, aku ini bukan ibu tiri negeri dongeng."Tidak begitu, Sayang ... kalau semua ibu tiri di dunia ini jahat, seharusnya dari dulu ibu tiri sudah tidak ada lagi, karena orang jahat itu biasanya ditangkap polisi dan dimasukan ke dalam penjara 'kan?" ujarku lembut sambil kuelus rambut hitam panjangnya.Adira terdiam, kemudian mengangguk pelan. Aku tersenyum getir di sampingnya sambil kembali memandangi jalanan dan pohon yang terasa bergerak dari dalam taksi.Gara-gara Adira bicara soal Alvin, aku jadi teringat anak itu. Hampir saja perhatianku teralih semua pada Ayyara, padahal Alvin juga entah kemana sekarang. Kata Bu Nurma, Alvin tidak datang sekolah sudah seminggu lebih, alasannya sakit, padahal dari rumah dia berangkat setiap hari. Tidak aneh lagi, sudah pasti ada masalah juga pada anak itu.Ya Allah ... aku refleks memijit pelipis, terasa berat sekali rasanya tugasku nanti saat menjadi ibu tirinya anak-anak Mas Nata.Jujur sebenernya makin ke sini aku makin ragu, apa mungkin aku sanggup menjadi bagian dari mereka?Arghhh. Andai bukan karena ibuku, aku mungkin sudah kabur sekarang, mengurusi dan masuk di dalam keluarga yang berantakan tentu tidak akan mudah, apalagi aku tak punya pengalaman apapun sebelumnya. Tapi sisi lain aku juga kasihan sama anak-anak Mas Nata, mereka masih muda tapi kehidupan mereka sudah hancur berantakan.-Aku turun dari taksi setelah kami sampai di rumah. Meski tanganku masih sakit aku terpaksa harus mengge
Setelah mencoba semua baju pemberian Niami aku kembali pergi ke dapur untuk melihat bibik apakah bibik sudah datang atau belum."Bibik sudah pulang?" tanyaku sumringah saat melihat bibik tengah sibuk memberskan sayuran dari keranjang belanjanya."Iya Nyonya, saya baru pulang dari pasar, ada perlu sama saya, Nyonya?" tanya bibik balik, ia menyambutku dengan ramah."Bik, bisa antar saya pergi ke tukang urut? Tangan saya sepertinya tetap harus diurut supaya tidak bengkak begini." "Bisa Nyah, hayu pergi sekarang saja mumpung baru dzuhur." "Saya pamit dulu ke ibu mertua ya, Bik." Buru-buru aku menaiki anak tangga untuk menemui calon ibu mertua di kamarnya. Dan saat melewati kamar Mas Nata, kulihat Niami sedang tertidur pulas di sana, astagfirullah padahal mereka sudah cerai mengapa Niami masih saja berani tidur di kamar Mas Nata? Tentu saja aku sedikit kurang setuju, walau bagaimanapun Mas Nata adalah calon suamiku, sudah seharusnya mantan istrinya itu sekarang tidak lagi bersikap seper
Astagfirullah astagfirullah astagfirullah, aku menepuk-nepuk kening, sekuat tenaga membuang semua pikiran buruk yang bergulung di benakku."Kenapa, Nyonya?" tanya Bibik di samping."Tidak apa-apa, Bik," jawabku pendek, aku benar-benar sudah tidak karuan sekarang, aku ingin cepat-cepat sampai ke rumah.Taksi yang kami naiki segera meluncur membelah jalanan, menyatu bersama kendaraan lainnya di jalan raya. Aku mengembuskan napas lega, tentu aku sudah jauh lebih tenang sekarang.Ya Allah, sisi lain dari kehidupan kota ini ternyata benar-benar membuat aku syok, baru saja tadi pagi aku mendapat kabar yang seolah menghentikan kerja jantungku soal kehamilan Ayyara, sekarang aku malah harus bertemu gadis-gadis yang nasibnya sama seperti Ayyara di tempat seperti itu. -"Nyah bangun sudah sampai." Bibik membangunkanku saat kami telah sampai di depan rumah. Tak terasa lamanya di perjalanan membuatku tertidur di dalam taksi.Aku mengucek mata dan mengumpulkan nyawa, lalu bergegas turun."Terima
"Ibu kirain ada apa, bikin kaget aja sih, ada apa teriak-teriak?" cecar Niami seraya mengucek kedua matanya."Ada apa, ada apa, gak malu kamu masih tidur di sini? Sana pulang ke rumah kamu dan jangan pernah berani lagi tidur di kamar Nata, karena besok kamar ini akan jadi kamar Elia dan yang jelas kamu sudah tidak punya hak lagi, paham?!"Beringsut Niami bangun, "silakan saja, siapa juga yang akan kuat menikah dengan seorang pria dingin dan kaku seperti Mas Nata, ambil tuh kamar," tandasnya, Niami mengambil tas kecilnya lalu bergegas pergi dari hadapan kami."Sudah, ayo antar Ibu ke kamar," ucap calon Ibu mertuaku lagi setelah memastikan Niami pergi menuruni anak tangga.Aku mengangguk pelan dan bergegas mengantar calon ibu mertua ke kamarnya. Adira masih terlelap di kasur beliau rupanya, syukurlah tampaknya pengaruh obat dari dokter masih berreaksi."Bu, Mas Nata biasa pulang jam berapa?" tanyaku setelah calon Ibu mertuaku berbaring di sebelah Adira."Sebentar lagi, biasanya jam 5 a
Aku tersentak, jantungku mendadak melonjak tak karuan, kuremas jari jemari ini sambil kutundukan wajahku, aku tahu setelah ini Ayyara akan berulah."Yara tidak akan pernah menerima dia sebagai ibu tiri Yara," imbuhnya lagi.Gadis itu lantas berlari menaiki anak tangga dan pergi ke kamarnya, disusul Alvin yang sejak tadi diam seribu bahasa tapi wajahnya menusuk sampai ulu hati. "Keterlaluan," desis Mas Nata di sampingku. Ia keratkan gigi-gigi dan mengepalkan telapak tangannya.Tak lama dia juga bangkit dan menyusul anak-anaknya ke atas, entah apa lagi yang akan dilakukan Mas Nata pada anak-anak sekarang, yang kulihat jelas Mas Nata pergi dengan wajah tak biasa."Tidak apa-apa Nak, anak-anak hanya butuh waktu," bisik Ibu mertua sambil mengelus bahuku. Aku mengulum senyum getir. Setelah itu ibu membawaku ke kamar tamu, kamar yang tadi menjadi tempatku dirias. Tampak seorang perias itu menatapku iba saat melihat air mata tumpah di pipi."Tidak apa-apa Mbak, hal ini wajar kok," ucapnya.
Kulihat jam di dinding klinik sudah menunjukan pukul setengah 6 sore, bibik tampak sudah resah menunggu hujan reda, beliau pasti memikirkan soal kudapan takjil di rumah. "Tenang Bik, biar untuk takjil kita beli saja," ucapku. Seketika wajah bibik berubah tenang."Kalian masih di sini?" Aku menoleh, Dokter Fauzan ternyata sudah berdiri di samping kami."Eh iya Dokter, belum sempat kami pergi hujan sudah turun sangat deras.""Mau bareng saya? Tenang saya antar sampai depan pintu.""Tidak Dokter, terimakasih, kami akan tunggu sampai hujan reda," tolakku sungkan."Ini sudah hampir masuk waktu buka puasa loh," ucapnya lagi sambil melihat arloji di pergelangan tangannya.Aku menengok ke arah bibik, bibik mengangguk pelan."Ya sudah Dok, jika Dokter Fauzan tidak keberatan kami akan ikut menumpang pulang," ucapku akhirnya.Syukurlah akhirnya aku dan bibik bisa segera pulang berkat kebaikan Dokter Fauzan, aku tidak tahu kalau kami tidak menumpang di mobilnya mungkin kami tidak akan bisa cep
Taksi Ayyara berhenti di sebuah ruko, Ayyara segera masuk ke dalam dengan terburu-buru, tampak dari luar tidak ada yang aneh dan mencurigakan dengan tempat itu, tapi aku tetap ingin memastikan apa yang Ayyara lakukan di dalam.Ya Allah bahkan kakiku masih bergetar karena baru pertamakalinya keluar rumah di jam 11 malam selama hidupku, tapi Ayyara? Usianya baru 16 tahun dia sudah kelihatan lihai sekali membaca situasi untuk pergi ke tempat yang seperti ini.Aku bergidik sendiri saat mengingat betapa mengerikannya suasana di malam hari menjelang tengah malam begini tapi malam ini aku jadi sedikit berani karena sebuah tanggungjawab yang kuemban dari ibu mertuaku agar aku menjaga cucu-cucunya.Sedikit ragu kupaksakan kaki melangkah memasuki sebuah ruangan yang sepertinya didesain khsusus agar semua orang tidak mengira itu sebuah tempat perkumpulan para remaja di malam hari, karena saat aku masuk ke dalam tampak lampu disko kerlap-kerlip menyambutku, di dalam tempat itu ternyata sangat
"Yara tenanglah, Tante akan membantu Yara, Tante tidak akan mengatakan hal ini pada siapapun, sungguh." "Kau memang tidak boleh mengatakan hal ini pada siapapun, tapi kau tidak usah repot-repot membantuku, kau paham?!" semburnya bertelunjuk jari.Mulutku mengatup, entah bagaimana lagi caranya aku memberi gadis ini pemahaman, dia benar-benar tak suka melihatku bahkan setelah aku menolongnya barusan."Ya sudah sekarang kita pulang dulu, ayo." Aku menarik tangan Ayyara danmemaksanya pulang menaki motor yang kubawa."Aku akan pulang sendiri," tolaknya menepis tanganku kasar."Disini tidak aman untukmu Ayyara, tolong mengertilah maksud Tante, apa kamu mau Kevin datang lagi memukuli perutmu itu?!" sentakku agak kasar.Ayyara terhenyak, ia tampak berpikir sebentar sebelum akhirnya duduk di belakang dan pulang bersamaku di motor Pak Oman.-"Ini Pak kuncinya, terimakasih," ucapku pada Pak Oman setelah kami sampai ke rumah. "Iya Nyah, sama-sama." Pak Oman mengangguk sungkan.Sementara kulih
Aku terkejut saat mendengar obrolan mereka berubah jadi pertikaian. Dengan gerakan refleks aku pun mendorong pintu kamar itu sampai terbuka lebar. "Hanaa!" Aku teriak spontan saat kulihat wanita itu tengah berusaha mencekik Ayyara.Wanita itu melonjak kaget, dia menatapku dengan wajah pucat pasi. Sementara Ayyara yang tadi sedang dicekiknya cepat menjauhkan diri, gadis itu berlari ke arahku."Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau mencekik anakku?""Ny-Nyonya, tadi ... tadi itu ... tadi ...." Hana panik, mulutnya bahkan mendadak kelu."Ma, tolong Yara Ma, dia berusaha melenyapkan Yara," kata Ayyara di belakangku.Dapat kurasakan tubuhnya yang gemetar dan napas yang menderu hebat, Ayyara benar-benar ketakutan rupanya."Ti-tidak Nyonya, itu tidak benar, saya hanya sedang bercanda, tadi Non Yara kesulitan minum obat jadi saya ...," tampik wanita itu cepat."Jadi saya apa? Apa perlu kau cekik anakku juga, hah?!""Ti-tidak. Anu ... itu ... anu." Hana mendekat.Braak. Prengg."Aaaw!"Hana
"Itulah aku tidak tahu Mas, makanya kakiku masih lemas saat aku dengar penjelasan dokter itu, aku benar-benar shock, pasalnya bagaimana bisa?"Rahang Mas Nata mengerat, sementara tangannya juga mengepal hebat sampai menampakan urat-urat kehijauannya."Kalau begitu ayo, ayo kita tanya gadis itu, apa alasan dia melakukan ini, dan dari mana dia dapatkan barang terlarang itu." Mas Nata menarik lenganku kuat-kuat. Tanpa melihat wajahnya pun, aku sudah dapat menyimpulkan, betapa ia sedang marah besar sekarang.Aku dibawa jalan terburu-buru, saking buru-burunya aku sampai merasa sedang diseret-seret oleh Mas Nata, gawat, pria ini pasti akan murka semurka murkanya, tapi aku juga tidak bisa mencegah, walau bagaimanapun Ayyara perlu diperingatkan dengan tegas agar gadis itu tidak berulah lagi.Kreet. Bruk.Mas Nata langsung melempar kursi roda yang diletakan di dekat pintu saat kami masuk. Ayyara sampai melonjak kaget, ia terbangun dari tidurnya."Papa, ada apa?" "Ada apa katamu? Bagus sekali
Pulang dari mall, sengaja kubawakan Ayyara kentang goreng kesukaannya itu. Walau aku tahu dia pasti menolak, tapi tak ada salahnya mencoba 'kan? Lagipula aku ikhlas membawakannya makanan, bukan agar dia menerimaku lagi, tapi karena aku memang sedang ingat dia saja, rasanya sayang jika aku pergi ke tempat makan yang biasa kami kunjungi tapi aku tak beli apa-apa untuk Ayyara.Sampai di rumah aku langsung pergi ke kamar gadis itu. Masih pukul 10, aku harap dia belum tidur.Tok tok tok."Yaraa!"Tok tok tok."Yaraa!""Non Yara sudah tidur, Nyonya," kata Hana di belakang.Aku memutar badan. Wanita ini, kenapa selalu muncul di mana saja, huh sebal jadinya."Saya hanya mau memberikan ini." Aku mengangkat kentang goreng dalam plastik yang kubawa."Ya sudah, biar saya saja yang berikan Nyonya, takut Nyonya capek mau istirahat."Hana akan segera meraih plastiknya tapi cepat kutarik ke belakang."Tidak usah, biar saya saja," ucapku ketus."Oh ya sudah Nyonya, kalau begitu saya permisi," katanya
Mas Nata bangkit karena aku terburu-buru menyuruhnya pergi."Ada-ada saja, ya sudah tunggu."Huh, untunglah dia mau, coba kalau Mas Nata ngeyel seperti biasanya, mungkin terpaksa aku harus turun ke jalan lagi.---1 jam kemudian Mas Nata kembali. Aku yang masih mondar-mandir cemas di kamar, cepat turun saat tahu mobil Mas Nata memasuki gerbang rumah."Mas, bagaimana? Apa kamu ketemu sama Ayyara?""Tidak Elia, sudahlah, mungkin mereka memang sedang pergi cari hiburan, yang penting 'kan Ayyara tidak pergi sendiri, kamu tidak usah cemas begini."Aku menghela napas panjang saat Mas Nata malah ceramah di depanku."Mas, kamu ini bagaimana? Sama anak sendiri kok begitu? Justru karena Ayyara tidak pergi sendiri kamu harusnya lebih hati-hati, aku 'kan sudah bilang, meski Hana diambil dari yayasan, tidak ada yang tahu bagaimana hatinya bukan?" Aku mulai emosi karena Mas Nata terkesan santai dan meremehkan firasatku.Ah entahlah, memang aku yang terlalu berlebihan atau Mas Nata yang terlalu sa
"Yaraa, kok bicaranya begitu pada Mama Elia?" Ibu mertua bertanya lembut.Gadis itu tak menjawab, tapi tetap melanjutkan makan malamnya dengan malas. "Kak Yara, kenapa tidak mau pergi jalan-jalan bareng kami?" tanya Adira setelah hening menjeda beberapa menit."Kak Yara sedang banyak urusan penting.""Urusan pentingnya lebih penting dari Mama Elia ya? Sampai-sampai Kak Yara tidak mau ikut pergi bersama kami.""Ya tentu saja," tandasnya tak acuh, gadis itu lalu bangkit dan gegas menaiki anak tangga.Sementara hatiku mendadak nyeri, ucapan dan sikap Ayyara sekarang benar-benar menunjukan bahwa memang ada yang sedang tidak beres pada gadis itu."Ih kenapa Kak Yara bicara begitu? Memangnya boleh ya, Oma?" tanya Adira polos."Tentu tidak Nak, Kak Ayyara mungkin sedang banyak pikiran dan tugas di sekolahnya, karena itu kita lebih baik jangan ganggu dia dulu ya, biarkan saja Kak Ayyara sendiri dulu.""Oh gitu ya Oma." Adira manggut-manggu sambil terus mengunyah makan malamnya."Elia, tolong
"Ya, 10 menit lagi saya turun," balas Ibu.Setelah bicara dengan ibu mertua, Hana kembali keluar."Bu, Hana itu profesional sekali ya kerjanya? Apa Mas Nata ambil dia di yayasan?" tanyaku penasaran.Ibu terkekeh, "hehehe kamu betul sekali, Nak.""Ouuh." Aku manggut-manggut dengan mulut membola.Benar dugaanku ternyata, pantas saja, tidak heran kalau dia terlihat sudah lihai."Oh ya Bu, Ibu ganti langganan laundry ya?""Iya Nak, soalnya di tempat langganan biasa.Hana lebih harum dan rapi hasilnya, maaf ya Ibu jadi pindah akhirnya," jawab beliau sungkan."Eh tidak Bu, tidak apa-apa, tidak perlu sungkan begitu ah, ini 'kan hanya masalah laundry."Memang hanya masalah laundry, tapi sejujurnya aku merasa tersisih, selera si Hana itu ternyata jauh lebih baik dariku."Ya sudah, takut Ibu mau mandi, Elia ke kamar dulu ya Bu, mau sekalian lihat anak-anak juga, tadi hanya sebentar ketemu mereka," ujarku lagi.Ibu mertua mengangguk, "oh ya sudah, sana gih, biasanya Adira jam segini sedang mengga
"Ya terserah bagaimana baiknya saja, Mas." Aku membalas lesu."Ya sudah, biar cepat kelar, aku tutup dulu teleponnya ya.""Ya, Mas."Tut.Lesu lagi, ah tahu bakal begini kemarin saja aku ikut pulang.Tok tok tok."Masuk.""Nak, sarapan dulu, itu nasinya sampe udah dingin gitu loh.""Ya Bu, Elia nanti ke meja.""Loh tidak sekarang? Sudah siang loh."Aku menggeleng lesu. Ibu masuk lalu duduk di dekatku."Kenapa toh, Nak? Seperti sedang sedih, tumben, oh apa ada tetangga yang ngomong macem-macem lagi?""Tidak Bu, Elia hanya sedang malas."Lanjut aku cerita pada ibu soal asisten barunya Mas Nata, ibu ketawa-ketawa saja saat mendengar ceritaku, entah kenapa, apa iya aku terlalu berlebihan."Ya sudah kalau begitu kamu pulang saja sekarang Nak, tidak perlu nunggu dijemput, Nata sedang sibuk bantu pindahan 'kan? Kamu kasih dia kejutan.""Hah? Apa perlu begitu, Bu?""Ya daripada di sini kamu tidak tenang lebih baik kamu pulang 'kan?"Benar juga apa kata ibu, ah tapi ...."Sudah, ayo Ibu antark
"Ya Nyonya, Hana, asisten baru Tuan Nata, sudah 3 hari dia kerja di sini, dia yang urus semua keperluan Tuan Nata dan Nyonya besar, memangnya Tuan Nata tidak cerita?" Bibik bertanya di akhir kalimatnya.Ah aku jadi bingung sendiri, sebagai istri kenapa aku tidak diberitahu soal ini? Memang saat di rumah ibuku kami menyarankan agar Mas Nata mencari pekerja baru untuk membantunya, tapi aku tak menyangka Mas Nata tidak cerita soal ini padaku.Tidak tidak tidak, pikiranku jangan ngaco pelace, mungkin saja Mas Nata hanya lupa mengabari, aku tidak boleh suudzon dulu."Oh ya sudah kalau begitu, makasih ya, Bik.""Ya Nyonya, selamat malam.""Ya, Bibik juga selamat istirahat ya."Tut. Ponsel kumatikan. Aku kembali gusar sampai semalaman tak bisa tidur karena penasaran, kira-kira apa alasan Mas Nata sebenarnya tidak menceritakan soal asisten barunya itu? Ah aku jadi mikir kemana-mana, nama asistennya Hana, itu artinya dia wanita, apa wanita itu cantik? Bagaimana kalau benar cantik? Apa jangan-
Aku mematung. Ya memang benar, kepercayaan Mas Nata padaku adalah hal yang terpenting, tapi saat orang-orang di sekeliling jadi sering menghakimi begini, lama-lama aku jadi tidak tenang juga, aku benar-benar terganggu dan jadi sedih berkepanjangan akhirnya."Sudah jangan sedih lagi, sekarang kamu istirahat saja," ucap Mas Nata lagi.Aku mengangguk.Baru saja aku akan menarik selimut yang diberikan Mas Nata, suara kegaduhan terdengar di luar."Berani-beraninya kalian ngegibahin anak saya ya, mulut kalian itu emang perlu sekali dilakban rupanya!" teriak Ibu."Eh Bu Wening kok marah? Padahal memang begitu kenyataannya 'kan?""Kenyataan apa? Kalian saja yang gampang terhasut sama perempuan tua itu, si Safitri jelantah minyak!""Ya terus kalau semua itu gak bener kenapa sampe harus dihukum arak itu si Lia? Lagian gak mungkin juga Bu Safitri maen fitnah kalau gak begitu kenyataannya, masa dia tega sih sama si Aslan anaknya sendiri.""Bener tuh, emang dasar Bu Wening mah beda aja sama Bu Safi