"Ya Ma, masuk."Kreet."Yara masih belum pakai seragam?" Gadis itu menggeleng lesu."Loh kenapa? Pakai dulu yuk seragamnya, nanti Yara telat, kasihan adik-adik juga kalau nunggu lama di bawah." "Yara tidak usah sekolah ya Ma, Yara takut.""Kenapa takut? Teman-teman dan guru Ayyara pasti akan senang bertemu Ayyara lagi, sebab sekian lama Ayyara tidak masuk sekolah, Sayang."Ayyara diam agak lama."Baiklah, Yara siap-siap dulu," ucapnya kemudian.Refleks sudut bibirku tertarik keatas. "Kalau begitu nanti Mama tunggu di meja makan."Dia mengangguk. Gegas aku keluar dari kamarnya.Setelah dari kamar Ayyara aku pergi ke kamar Alvin dan Adira, lalu kubawa mereka ke meja makan."Tunggu sebentar di sini ya, Kak Yara dan Papa masih di kamar.""Oke, Ma.""Eliaaa!" teriak Mas Nata dari atas.Gegas aku kembali ke atas."Kenapa, Mas?""Elia kemejaku yang warna biru di mana?""Biru yang mana, Mas? Sudah pakai saja yang lain dulu, nanti aku cariin yang biru itu kalau kerjaan yang lain sudah beres
Cepat kubayar gorengan yang telah kupesan, dan bergegas menghampiri Ayyara di jauh sana."Yara."Ayyara dan Aslan spontan bangkit."Sedang apa kalian di sini?" "Mamaaa." Ayyara terisak dan berhambur memelukku. "Eh ada apa ini? Ayyara kenapa?"Ayyara tak menjawab, ia hanya terisak-isak di dadaku."Ada apa ini Aslan?" tanyaku lagi, kali ini pada lelaki yang tengah menunduk hormat di dekat Ayyara."Saya tidak tahu Nyonya, Non Yara tadi saya lihat sedang ada di pinggir jalan saat saya habis isi bensin, saya bawa kesini karena saya pikir Non Yara sedang butuh minum," jelasnya.Tanpa menunggu lama lagi kubawa Ayyara pulang naik motor bersamaku, sementara Aslan kubiarkan dia pulang sendiri.Entah kenapa, rasanya aku masih saja kesal dan mendadak tak percaya pada pria berhidung mancung itu.Lama motor membelah jalanan, Aslan mengikuti kami di belakang, Ayyara duduk lemah di belakangku, di atas sana matahari semakin menyorot tajam membuat peluh berhamburan membasahi kulit. Saat kami berhen
"Besok kamu pergi sama Aslan saja ya, setelah mengantar Adira dan Alvin ajak Aslan ke sekolah Ayyara, karena besok aku harus selesaikan masalah yang ada di resto."Mendadak tubuhku lesu. Pergi sama Aslan? Ya Allah, malas."Tidak apa-apa 'kan El jika besok kamu ke sekolah Ayyara hanya dengan Aslan?" tanyanya lagi.Aku menarik napas berat, andai bukan karena Ayyara mungkin aku tak akan mau."Ya sudah Mas, bagaimana lagi? Kamu selesaikan saja urusan kamu di kantor, biar masalah anak-anak aku yang urus."Mas Nata tersenyum lalu menarikku dalam pelukannya, berkali-kali ia mengatakan terimakasih dan rasa bahagianya, sebab aku telah bersedia dengan tulus mengurus anak-anaknya.***Esok hari setelah menyiapkan sarapan dan keperluan anak-anak sekolah, aku ikut berangkat di mobil Adira dan Alvin, karena Mas Nata sudah mewanti-wanti agar aku tidak naik motor lagi hari ini.Sesampainya di sekolah Ayyara, aku bergegas turun dan memastikan Aslan menungguku hingga selesai."Begini Bu, saya atas nama
Kudekati foto yang tengah menggantung di dinding itu, kutatapi baik-baik, memang tidak salah salah dugaanku, ini benar foto David. Tapi apa hubungannya dengan wanita ini? Apa jangan-jangan dia adalah keluarganya?"Ada apa, Mbak?"Aku berbalik badan saat wanita paruh baya itu ternyata sudah berdiri di belakang."Oh Bu, maaf sebelumnya, apa benar pria yang ada di foto ini bernama David?"Wanita itu mengembuskan napas berat, lalu menyimpan nampan yang tengah ia bawa sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku."Oh itu, iya memang benar, itu ... David anak saya, kenapa? Mbak kenal juga?" cecarnya, ia balik bertanya.Aku terhenyak. Ya Allah ini kebetulan atau bagaimana? Niat hati ingin cari informasi soal Kevin, tapi aku malah menemukan rumah David si biadab itu."Dia anak saya, tapi ... emm entah sudah berapa lama kami tidak bertemu, dia jarang pulang." Wanita itu bicara dengan tingkah gugup.Mataku menyipit, David adalah anaknya dan dia tidak tahu David sedang ada di penjara? Memangnya tidak
Mendadak jantung ini melonjak-lonjak dengan tubuh bergetar."Ma-af Mas, aku benar-benar tidak tahu kalau brankas semudah itu dibobol," ucapku terbata."Terus sekarang bagaimana? Aku kecewa sama kamu Elia, aku kecewa! Bisa-bisanya kamu seceroboh ini, tidak bisa menjaga titipan Ibu dengan baik!" sentaknya lagi.Aku semakin ciut. Sentakan demi sentakan keluar dari mulut Mas Nata dengan spontan, membuatku tidak bisa berkata apa-apa bahkan hanya untuk membela diri.Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan Mas Nata, dia bersikap seperti itu karena memang di sini akulah orang yang paling bersalah. Karena kebodohan dan kecerobohanku, yang kutakutkan selama ini sekarang terjadi, astagfirullah ya Allah, entah cobaan apa lagi ini.Tak terasa air mata menerobos di sudut mata, seiring dengan amarah Mas Nata yang terus meledak-ledak. Sakit sekali rasanya, bukan karena Mas Nata membentakku, tapi karena Mas Nata benar-benar kecewa padaku sekarang."Mas, aku minta maaf, ini memang salahku.""Sudahlah," de
Pov Nata..."Kenapa kamu peduli, Mas? Apa hal itu penting bagimu?" tanyanya balik, lalu gegas pergi meninggalkanku.Tiba-tiba dadaku sesak, kenapa Elia bertingkah seperti itu?Padahal harusnya aku yang marah, karena tadi aku sempat melihat Elia dan Aslan tengah melakukan adegan yang membuatku tak suka.Pria itu, gegas aku menghampirinya."Sedang apa kamu di sini?" tanyaku tak suka."Saya sedang memeriksa apakah semua rumah sudah terkunci dengan baik atau belum, Tuan," jawabnya pelan."Sudah sana pergi."Gegas ia meninggalkanku. Sementara aku memilih duduk di kursi makan sambil memijit kening.Kepalaku sakit sekali rasanya, pusing dan berat juga karena resto cabangku sedang terkena masalah.Ditambah lagi tadi aku melihat Aslan tengah menopang tubuh Elia dengan tatapan tak biasa, sebagai pria normal tentu aku tidak suka melihat mereka melakukan adegan seperti itu, walau pun itu tak sengaja mereka lakukan dan Aslan hanya berniat menolong istriku tapi tetap saja aku tak suka.Cemburu? Ya
Elia menuju meja makan, ia sibuk menata piring dan gelas, pekerjaan yang harusnya dilakukan bibik bahkan ia lakukan sekarang. Aku terus mendekatinya, mencoba memintaa maaf pada wanita berbibir tipis itu.Selesai menyiapkan piring dan gelas, Elia lantas keluar, ia mengambil sapu lidi dan mulai menyapu halaman, aku terkejut melihatnya, segera kuhentikan ia."Apa-apaan ini Elia? Untuk apa kamu lakukan ini? Sudah lepaskan?" Aku mengambil paksa sapu itu dari tangannya kemudian membuangnya ke atas paving. Elia kembali mengambilnya seolah tak suka dengan apa yang kulakukan. "Elia!" sentakku kencang, aku sungguh tidak bisa melihatnya melakukan pekerjaan itu, dia istriku mana mungkin aku akan membiarkannya seperti pembantu di rumah ini."Kenapa, Mas? Kenapa sekarang kamu peduli soal ini? Apa kamu baru tahu aku melakukan semua pekerjaan seperti ini setiap hari? Mengurus rumahmu dan anak-anak, melakukan ini melakukan itu, tapi apa yang kamu berikan padaku? Sebuah tuduhan, hanya sebuah tuduhan,
Ternyata Niami yang datang."Mau apa kau kesini?" sengitku.Niami yang masih di bibir pintu memaksa masuk."Ayolah Mas, aku datang kesini untuk membantumu.""Aku tidak butuh bantuanmu!"Niami duduk di kursi, tepat di depan mejaku."Mas, tadi aku lewat depan restomu, tidak sengaja lihat para karyawan sedang berdemo, dan setelah kucari tahu, kata mereka gaji mereka belum dibayar selama 3 bulan, kenapa, Mas?" cecarnya.Aku makin muak melihatnya."Mas, aku bertanya, kenapa kamu diam?""Apa urusanmu dengan masalahku, hah? Untuk apa kau sangat ingin tahu?"Niami mengerling."Mas, para karyawan sedang berteriak di luar sana, kamu harus segera putuskan sesuatu atau mereka akan benar-benar merusak tempat ini, kerugianmu akan semakin besar sebab kamu perlu mengganti bangunan ini jika sampai mereka merusaknya.""Iya aku tahu, tapi kamu tidak usah ikut campur," desisku bertelunjuk jari.Walau benar apa yang dikatakan Niami, aku sendiri bingung, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku benar-benar b
Aku terkejut saat mendengar obrolan mereka berubah jadi pertikaian. Dengan gerakan refleks aku pun mendorong pintu kamar itu sampai terbuka lebar. "Hanaa!" Aku teriak spontan saat kulihat wanita itu tengah berusaha mencekik Ayyara.Wanita itu melonjak kaget, dia menatapku dengan wajah pucat pasi. Sementara Ayyara yang tadi sedang dicekiknya cepat menjauhkan diri, gadis itu berlari ke arahku."Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau mencekik anakku?""Ny-Nyonya, tadi ... tadi itu ... tadi ...." Hana panik, mulutnya bahkan mendadak kelu."Ma, tolong Yara Ma, dia berusaha melenyapkan Yara," kata Ayyara di belakangku.Dapat kurasakan tubuhnya yang gemetar dan napas yang menderu hebat, Ayyara benar-benar ketakutan rupanya."Ti-tidak Nyonya, itu tidak benar, saya hanya sedang bercanda, tadi Non Yara kesulitan minum obat jadi saya ...," tampik wanita itu cepat."Jadi saya apa? Apa perlu kau cekik anakku juga, hah?!""Ti-tidak. Anu ... itu ... anu." Hana mendekat.Braak. Prengg."Aaaw!"Hana
"Itulah aku tidak tahu Mas, makanya kakiku masih lemas saat aku dengar penjelasan dokter itu, aku benar-benar shock, pasalnya bagaimana bisa?"Rahang Mas Nata mengerat, sementara tangannya juga mengepal hebat sampai menampakan urat-urat kehijauannya."Kalau begitu ayo, ayo kita tanya gadis itu, apa alasan dia melakukan ini, dan dari mana dia dapatkan barang terlarang itu." Mas Nata menarik lenganku kuat-kuat. Tanpa melihat wajahnya pun, aku sudah dapat menyimpulkan, betapa ia sedang marah besar sekarang.Aku dibawa jalan terburu-buru, saking buru-burunya aku sampai merasa sedang diseret-seret oleh Mas Nata, gawat, pria ini pasti akan murka semurka murkanya, tapi aku juga tidak bisa mencegah, walau bagaimanapun Ayyara perlu diperingatkan dengan tegas agar gadis itu tidak berulah lagi.Kreet. Bruk.Mas Nata langsung melempar kursi roda yang diletakan di dekat pintu saat kami masuk. Ayyara sampai melonjak kaget, ia terbangun dari tidurnya."Papa, ada apa?" "Ada apa katamu? Bagus sekali
Pulang dari mall, sengaja kubawakan Ayyara kentang goreng kesukaannya itu. Walau aku tahu dia pasti menolak, tapi tak ada salahnya mencoba 'kan? Lagipula aku ikhlas membawakannya makanan, bukan agar dia menerimaku lagi, tapi karena aku memang sedang ingat dia saja, rasanya sayang jika aku pergi ke tempat makan yang biasa kami kunjungi tapi aku tak beli apa-apa untuk Ayyara.Sampai di rumah aku langsung pergi ke kamar gadis itu. Masih pukul 10, aku harap dia belum tidur.Tok tok tok."Yaraa!"Tok tok tok."Yaraa!""Non Yara sudah tidur, Nyonya," kata Hana di belakang.Aku memutar badan. Wanita ini, kenapa selalu muncul di mana saja, huh sebal jadinya."Saya hanya mau memberikan ini." Aku mengangkat kentang goreng dalam plastik yang kubawa."Ya sudah, biar saya saja yang berikan Nyonya, takut Nyonya capek mau istirahat."Hana akan segera meraih plastiknya tapi cepat kutarik ke belakang."Tidak usah, biar saya saja," ucapku ketus."Oh ya sudah Nyonya, kalau begitu saya permisi," katanya
Mas Nata bangkit karena aku terburu-buru menyuruhnya pergi."Ada-ada saja, ya sudah tunggu."Huh, untunglah dia mau, coba kalau Mas Nata ngeyel seperti biasanya, mungkin terpaksa aku harus turun ke jalan lagi.---1 jam kemudian Mas Nata kembali. Aku yang masih mondar-mandir cemas di kamar, cepat turun saat tahu mobil Mas Nata memasuki gerbang rumah."Mas, bagaimana? Apa kamu ketemu sama Ayyara?""Tidak Elia, sudahlah, mungkin mereka memang sedang pergi cari hiburan, yang penting 'kan Ayyara tidak pergi sendiri, kamu tidak usah cemas begini."Aku menghela napas panjang saat Mas Nata malah ceramah di depanku."Mas, kamu ini bagaimana? Sama anak sendiri kok begitu? Justru karena Ayyara tidak pergi sendiri kamu harusnya lebih hati-hati, aku 'kan sudah bilang, meski Hana diambil dari yayasan, tidak ada yang tahu bagaimana hatinya bukan?" Aku mulai emosi karena Mas Nata terkesan santai dan meremehkan firasatku.Ah entahlah, memang aku yang terlalu berlebihan atau Mas Nata yang terlalu sa
"Yaraa, kok bicaranya begitu pada Mama Elia?" Ibu mertua bertanya lembut.Gadis itu tak menjawab, tapi tetap melanjutkan makan malamnya dengan malas. "Kak Yara, kenapa tidak mau pergi jalan-jalan bareng kami?" tanya Adira setelah hening menjeda beberapa menit."Kak Yara sedang banyak urusan penting.""Urusan pentingnya lebih penting dari Mama Elia ya? Sampai-sampai Kak Yara tidak mau ikut pergi bersama kami.""Ya tentu saja," tandasnya tak acuh, gadis itu lalu bangkit dan gegas menaiki anak tangga.Sementara hatiku mendadak nyeri, ucapan dan sikap Ayyara sekarang benar-benar menunjukan bahwa memang ada yang sedang tidak beres pada gadis itu."Ih kenapa Kak Yara bicara begitu? Memangnya boleh ya, Oma?" tanya Adira polos."Tentu tidak Nak, Kak Ayyara mungkin sedang banyak pikiran dan tugas di sekolahnya, karena itu kita lebih baik jangan ganggu dia dulu ya, biarkan saja Kak Ayyara sendiri dulu.""Oh gitu ya Oma." Adira manggut-manggu sambil terus mengunyah makan malamnya."Elia, tolong
"Ya, 10 menit lagi saya turun," balas Ibu.Setelah bicara dengan ibu mertua, Hana kembali keluar."Bu, Hana itu profesional sekali ya kerjanya? Apa Mas Nata ambil dia di yayasan?" tanyaku penasaran.Ibu terkekeh, "hehehe kamu betul sekali, Nak.""Ouuh." Aku manggut-manggut dengan mulut membola.Benar dugaanku ternyata, pantas saja, tidak heran kalau dia terlihat sudah lihai."Oh ya Bu, Ibu ganti langganan laundry ya?""Iya Nak, soalnya di tempat langganan biasa.Hana lebih harum dan rapi hasilnya, maaf ya Ibu jadi pindah akhirnya," jawab beliau sungkan."Eh tidak Bu, tidak apa-apa, tidak perlu sungkan begitu ah, ini 'kan hanya masalah laundry."Memang hanya masalah laundry, tapi sejujurnya aku merasa tersisih, selera si Hana itu ternyata jauh lebih baik dariku."Ya sudah, takut Ibu mau mandi, Elia ke kamar dulu ya Bu, mau sekalian lihat anak-anak juga, tadi hanya sebentar ketemu mereka," ujarku lagi.Ibu mertua mengangguk, "oh ya sudah, sana gih, biasanya Adira jam segini sedang mengga
"Ya terserah bagaimana baiknya saja, Mas." Aku membalas lesu."Ya sudah, biar cepat kelar, aku tutup dulu teleponnya ya.""Ya, Mas."Tut.Lesu lagi, ah tahu bakal begini kemarin saja aku ikut pulang.Tok tok tok."Masuk.""Nak, sarapan dulu, itu nasinya sampe udah dingin gitu loh.""Ya Bu, Elia nanti ke meja.""Loh tidak sekarang? Sudah siang loh."Aku menggeleng lesu. Ibu masuk lalu duduk di dekatku."Kenapa toh, Nak? Seperti sedang sedih, tumben, oh apa ada tetangga yang ngomong macem-macem lagi?""Tidak Bu, Elia hanya sedang malas."Lanjut aku cerita pada ibu soal asisten barunya Mas Nata, ibu ketawa-ketawa saja saat mendengar ceritaku, entah kenapa, apa iya aku terlalu berlebihan."Ya sudah kalau begitu kamu pulang saja sekarang Nak, tidak perlu nunggu dijemput, Nata sedang sibuk bantu pindahan 'kan? Kamu kasih dia kejutan.""Hah? Apa perlu begitu, Bu?""Ya daripada di sini kamu tidak tenang lebih baik kamu pulang 'kan?"Benar juga apa kata ibu, ah tapi ...."Sudah, ayo Ibu antark
"Ya Nyonya, Hana, asisten baru Tuan Nata, sudah 3 hari dia kerja di sini, dia yang urus semua keperluan Tuan Nata dan Nyonya besar, memangnya Tuan Nata tidak cerita?" Bibik bertanya di akhir kalimatnya.Ah aku jadi bingung sendiri, sebagai istri kenapa aku tidak diberitahu soal ini? Memang saat di rumah ibuku kami menyarankan agar Mas Nata mencari pekerja baru untuk membantunya, tapi aku tak menyangka Mas Nata tidak cerita soal ini padaku.Tidak tidak tidak, pikiranku jangan ngaco pelace, mungkin saja Mas Nata hanya lupa mengabari, aku tidak boleh suudzon dulu."Oh ya sudah kalau begitu, makasih ya, Bik.""Ya Nyonya, selamat malam.""Ya, Bibik juga selamat istirahat ya."Tut. Ponsel kumatikan. Aku kembali gusar sampai semalaman tak bisa tidur karena penasaran, kira-kira apa alasan Mas Nata sebenarnya tidak menceritakan soal asisten barunya itu? Ah aku jadi mikir kemana-mana, nama asistennya Hana, itu artinya dia wanita, apa wanita itu cantik? Bagaimana kalau benar cantik? Apa jangan-
Aku mematung. Ya memang benar, kepercayaan Mas Nata padaku adalah hal yang terpenting, tapi saat orang-orang di sekeliling jadi sering menghakimi begini, lama-lama aku jadi tidak tenang juga, aku benar-benar terganggu dan jadi sedih berkepanjangan akhirnya."Sudah jangan sedih lagi, sekarang kamu istirahat saja," ucap Mas Nata lagi.Aku mengangguk.Baru saja aku akan menarik selimut yang diberikan Mas Nata, suara kegaduhan terdengar di luar."Berani-beraninya kalian ngegibahin anak saya ya, mulut kalian itu emang perlu sekali dilakban rupanya!" teriak Ibu."Eh Bu Wening kok marah? Padahal memang begitu kenyataannya 'kan?""Kenyataan apa? Kalian saja yang gampang terhasut sama perempuan tua itu, si Safitri jelantah minyak!""Ya terus kalau semua itu gak bener kenapa sampe harus dihukum arak itu si Lia? Lagian gak mungkin juga Bu Safitri maen fitnah kalau gak begitu kenyataannya, masa dia tega sih sama si Aslan anaknya sendiri.""Bener tuh, emang dasar Bu Wening mah beda aja sama Bu Safi