Lucia menggunakan jaket denim dan menutupi wajahnya dengan masker serta kacamata hitam. Dari balik kacamata hitam yang dia kenakan, mata gadis itu mengerling dengan gelisah ke segala arah. "Ruth, apa menurutmu penyamaranku tidak akan ketahuan oleh siapa pun?" bisik Lucia kepada Ruth yang turut menutupi sebagian wajahnya dengan masker. "Ssshh, tenanglah, kau bisa ketahuan jika kau tampak gelisah," jawab Ruth yang juga berbisik, penuh hati-hati agar tidak ada yang mendengar percakapan keduannya. Meski Ruth menyarankan agar Lucia tidak gelisah, pada kenyataannya perasaan itu masih bergelayut di dalam dadanya. Percayalah, menjadi buronan berita gossip membuatmu kehilangan kebebasan dalam menikmati hidup. Tanpa disadari, seseorang di bangku belakang Lucia diam-diam memperhatikan keduanya. Dia curiga dengan rambut madu gadis di depannya ang menurutnya tidak asing. Dari ujung kepala hingga kaki, perempuan itu mengamati gadis di depannya dengan seksama. Dia merasa sangat mengenali tubuh g
Kedua manik gelap itu menatap kosong pada hamparan gedung pencakar langit yang saling menyaingi tinggi satu sama lain. Pikiran pria itu kalut, pemberitaan yang beredar tentang dirinya dan Lucia seolah membangun tembok tinggi yang mempersulit keduanya untuk bertemu. Sesaat mata Kent terpejam membayangkan malam penuh gairah yang telah dilalui keduanya. Baru saja sepasang kekasih itu mereguk manisnya kebahagiaan, namun kini beredar rumor yang membuat reputasinya dan juga kekasih belianya buruk. Suara ketukan pintu seketika mambuyarkan lamunannya. "Masuk." ucap Kent seolah tak acuh dengan kehadiran seseorang di balik pintu. Eryk yang baru saja masuk dan mendapati punggung sang ayah menarik nafas dalam untuk menyiapkan mental menghadapi Kent. Pria paruh baya itu bisa saja meledakkan amarahnya kali ini. "Untuk apa Ayah memanggilku?" tanya Eryk dengan suara datar sembari menutup pintu. Pria muda itu berdeham untuk mengusir kegugupan yang dia rasakan. Kent membalik badan dengan kedua tan
"Aku pamit, Ayah. Mungkin aku akan jarang berkunjung. Doakan aku, semoga aku bisa membesarkan anak ini dengan sangat baik." Lucia mengecup nisan Henry sembari memejamkan mata. "Sebenarnya aku enggan untuk pergi dari kota ini, Ayah, tetapi keberadaanku di sini sedang tidak baik-baik saja. Sedangkan hidupku harus terus berjalan."Ruth dapat menyaksikan kerinduan yang begitu menyiksa di depan matanya. Satu-satunya keluarga yang Lucia miliki telah pergi meninggalkan gadis itu untuk selamannya. Tanpa di sandari air mata perlahan luruh dari sudut matanya. "Kita pergi sekarang, Ruth." ucap Lucia yang membuat Ruth cepat-cepat menyeka air matanya. "Benar, kita harus segera pergi sebelum hari semakin siang." gadis itu melirik jam yang melingkar di tangannya untuk menutupi kelopak mata yang basah dengan air mata. Tanpa menoleh kearah Lucia gadis itu berjalan mendahului menuju mobilnya yang terparikir di pelataran Mount Pleasant Cemery. Ruth tidak ingin Lucia melihat sisinya yang menyedihkan
"Jangan menatapnya seperti itu, dia bisa mual hanya karena kau berlama-lama menatapnya!" pekik Ruth sebari melambaikan telapak tangannya di depan wajah Danzel untuk membawa kesadaran pria itu kembali. "Ma-maaf," pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal untuk menutupi kegugupan. Entah mengapa ada sebuah perasaan unik yang merambat di dada Danzel saat itu. Danzel berdeham beberapa kali sebelum menyapa Lucia yang saat itu masih mengulas senyum menyapa. "Jadi kau yang akan bekerja di sini?" "Benar. Ruth berkata jika perkebunan anggur milik keluargamu membutuhkan pekerja tambahan." jawab Lucia yang sama sekali tidak menyadari kekaguman yang bermain di mata sebiru samudera Danzel. Pria itu mencuri lihat dari ujung kepala hingga ujung kaki Lucia yang tiada cela. Danzel menyayangkan jika kulit semulus porselin gadis itu akan terpapar matahari saat bekerja di perkebunan milik keluarganya. Saat tanpa sengaja tatapan keduanya bertemu, Danzel segera mengedarkan pandangnya ke segala ar
“Siapa gadis yang datang bersama Tuan muda?” tanya seorang Perempuan berusia 58 tahun kepada rekan kerjanya. Mendengar pertanyaan yang baru saja terlontar dari bibir rekan kerjanya, Ariana pun menolehkan kepala mengikuti ke arah Marie menoleh. “Entahlah. Siang tadi aku melihat gadis itu datang bersama Gorge menuju ruangan Tuan Albert.”Sesaat perempuan bernama Ariana tesebut tampak berpikir. Mungkinkah gadis muda yang datang bersama Danzel ke mess karyawan itu adalah pekerja baru? Namun dengan wajahnya yang sempurna dan layak menjadi super model, mungkinkah gadis itu akan bekerja di kebun anggur seperti dirinya?“Bisa saja gadis itu adalah pacar dari tuan muda. Lihatlah, keduanya tampak serasi.” Marie menatap dua manusia yang menjadi objek pembicaraan mereka berdua saat itu. Ariana menganggukan kepala, menurutnya spekulasi Marie tentang dua orang itu bisa saja benar. “Kau benar, Marie. Mereka tampak serasi. Gadis itu memang pantas menjadi kekasih tuan Danzel.” Muda dan kaya, seoran
Lucia beradaptasi dengan lingkungan tempat kerja barunya dengan sangat cepat kendati dialah pekerja termuda dari semua pekerja kebun yang mengabdi pada di Austin Wine Company. Bekerja di Perkebunan anggur bisa dikatakan terlalu melelahkan. Para pekerja harus memberi perhatian penuh kepada tanaman anggur seolah merawat anak kandung mereka sendiri musim demi musim, memberi perhatian penuh atas tahap pertumbuhan tanaman anggur beserta serangkaian aktivitas untuk memastikan buah yang mereka hasilkan berkualitas.Saat itu musim panen telah tiba. Sama seperti yang dilakukan para pekerja di saat musim panen, pagi menjelang siang Lucia sedang memetik buah anggur secara manual menggunakan gunting. Setiap pergerakan gadis itu tidak lepas dari perhatian Danzel yang hari itu sengaja menggantikan tugas Billy selaku mandor panen di Austin Wine Company. Hal tersebut ia lakukan agar bisa melihat Lucia dalam waktu lama. “Kenapa tuan memilih berdiri di sini? Bukankah menjadi tugas Billy untuk mengawa
Semenjak kejadian beberapa hari lalu, Lucia kerap kali menatap ke segala arah dengan antisipasi saat bekerja. Ada sosok yang ingin dia hindari, seorang pria yang membuat dadanya berdesir setiap kali menatap sosok tersebut.Pasangan bukanlah prioritasnya saat ini, fokusnya bekerja di Prince Edward adalah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk kebutuhan sang buah hati kelak.Lucia mendengus lelah karena sampai pekerjaan usai pria yang ingin dia hindari tak kunjang menampakkan diri. Otak gadis itu memeintahkan untuk menghindari Danzel, namun hati kecilnya yang justru mengatakan sebaliknya; dia ingin kembali bertemu atau setidaknya berpapasan dangan Danzel walau hanya satu kali dalam sehari. “Kenapa tuan Danzel tidak terlihat sama sekali hari ini?” tanya Lucia pada dua wanita yang jalan bersamannya setelah berdeham.Mendengar pertanyaan gadis muda itu, Marie menyiku lengan Ariana sembari bermain mata seakan berkata;’Kau dengar itu?’Ariana yang paham dengan isyarat mata sahabatnya me
Semua mata tertuju pada pasangan yang baru saja tiba. Sontak semua orang yang sedang menikmati euforia pesta ulang tahun mewah Baron Demario memberikan akses jalan agar tidak mengganggu perjalanan pasangan itu tiba di panggung. Waktu seakan terhenti saat itu. Semua mata terpana, para pria muda di sana seakan lupa dengan pasangan dansa masing-masing. Gadis bergaun merah muda itu tampak begitu anggun. Pria yang mendampinginya pun terlihat sangat menawan dengan jas slimfit yang membalut tubuh kekarnya. "Kau lihat disana, Daren?" ucap Baron saat keriangan yang terdengar tiba-tiba berganti dengan bisikan yang saling bersahutan. Semua tubuh berhenti mengikuti alunan musik yang memanjakan telinga. Semua mulut saling berbisik kagum tentang pasangan serasi yang berjalan menuju panggung ulang tahun."Ya, aku melihatnya." Daren yang turut menyaksikan pemandangan langka tersebut mengangguk. "Cubit aku, aku pasti bermimpi," gumam Baron tanpa sadar yang langsung direspon dengan cubitan oleh Dar
Persalinan Lucia tinggal menghitung hari. Kent menjadi suami siaga yang selalu berada di dekat Lucia. Pria paruh baya itu memutuskan untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Fregrant Potion. “Kent, bisakah kau membawaku jalan-jalan?” pinta Lucia kepada suaminya. “Aku bosan jika sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam rumah, aku ingin menghirup udara segar di luar.”Oliver Kent yang semula memainkan ponselnya seketika menoleh ke arah istri belianya yang sedang bersandar pada kepala ranjang sembari mengelus perutnya yang besar. “Tentu saja. Tetapi melihat kondisimu yang mendekati persalinan, sebaiknya kita mencari udara segar di taman bunga yang terletak di samping mansion, Lucia.” jawaban Oliver Kent mendapatkan respon anggukan kepala dari Lucia.Dengan penuh kehati-hatian Kent menggandeng istrinya menuju salah satu gazebo yang yang ada di taman. Hamparan bunga tulip beraneka warna memanjakan mata yang berhasil membuat Lucia kagum. Astaga, kemana saja Lucia sela
Kedua pria asing tadi menyeret Lisa ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh gadis itu di atas ranjang. Salah satu pria yang tidak Lisa ketahui namanya mengunci pintu, yang seketika membuat bulu kudu Lisa meremang. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Lisa dengan wajah berlinang air mata. Gadis itu bahkan berlutut di depan dua pria asing itu agar melepaskannya. "Aku mohon, tolong lepaskan aku." Kedua pria berbadan tambun itu saling menatap dengan tatapan datar, sebelum akhirnya melepas pakaian Lisa dengan gerakkan kasar. Lisa menangis dan menyilangkan tangannya untuk menutupi bagian sensitif pada bagian dada dan kewanitaannya, namun hal tersebut nampaknya membuat kedua pria yang sudah membelinya marah. "Kami sudah membayar mahal untuk ini, jangan buang waktu kami, Nona," geram salah satu pria bernama Rey sembari menampar keras pantat Lisa, menyisahkan bekas jari berwarna merah pada bokong mulus gadis tersebut. "Ouch," Lisa meringis dan reflek memegangi bagian tubuhnya yang baru
Tinggal setengah perjalanan lagi untuk tiba di gedung Fregrant Potions, Kent merasakan kegelisahan yang luar biasa tanpa dia ketahui sebabnya. Pria itu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya dan hendak menanyakan keadaan Lucia. Dan di saat itulah baru ia sadari bahwa ponselnya masih tertinggal di rumah. "Putar balik, ponselku tertinggal di kamar." perintah Kent yang langsung di kerjakan Robin saat itu juga. Segera mobil yang mereka naiki melaju kembali ke mansion Kent. Jantung pria itu berdegup kencang sehingga membuat kegelisahannya bertambah. Kent berulang kali menarik dan menghembuskan nafas untuk meredakan kegelisahan yang dia alami, namun nampaknya itu sama sekali tidak membantu."Tambah kecepatannya, Robin." pintanya tak sabar ingin segera memastikan keadaan Lucia. Setibanya di mansion, pria paruh baya itu berjalan cepat dan mencari keberadaan Lucia di ruang makan, tempat terakhir kali dia dan gadis itu melewati pagi bersama. Namun tidak dia temukan Lucia di sana, dia
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Lucia dan Oliver yang baru saja mengikrarkan janji sehidup semati. Semua terasa seperti mimpi bagi Lucia. Hari itu adalah hari membahagiakan dalam hidupnya karena resmi menyandang nama Mrs.Silverlake. Semua pasang mata menyaksikan adegan ciuman yang dilakukan sepasang mempelai yang berlangsung cukup lama, yang semakin menghidupkan suasana romatis di hari itu."Beberapa paparazi membidik ke arah kita, Kent," ucap Lucia lirih setelah keduanya mengahiri sesi berciuman. Namun respon dari pria yang baru saja resmi menjadi suaminya membuat dahinya berkerut. "Ya, lalu?" Oliver terlihat sngat tenang, Lucia tidak menemukan keraguan di wajah pria itu. Kent menatapnya dengan teduh dan semakin terang-terangan memperlakukan Lucia dengan mesra di depan banyak orang. "Bagaimana jika yang kau takutkan terjadi? Nama kita akan kembali menjadi head line di berbagai media sosial, Kent. Semua orang akan kembali menghujat kita." Lucia menundukkan wajahnya dan m
"Turunkan aku!" pekik Lucia ke sekian kali, namun tetap Kent abaikan. Pria itu terus saja fokus pada jalanan di depan. "Pria manipulatif, licik, kau hanya menahanku demi dapat melampiaskan nafsumu setelah kau lelah dengan pekerjaanmu! Kau bahkan memperlakukan aku seperti wanita simpanan!" Setiap umpatan yang keluar dari mulut Lucia membuat dahi Kent mengerut. Ternyata seburuk itu penilaian Lucia atas dirinya, sehingga gadis itu berulang kali menyebut bahwa dirinya pria manipulatif. Dan apa tadi? Gadis itu berkata bahwa Kent selama ini sengaja menahannya hanya untuk memuaskan nafsu? Kent akui, hasratnya memang mudah bergejolak setiap kali berdekatan dengan Lucia, tetapi bukan hanya karena alasan itu Kent menahannya!Segera pria itu meminggirkan mobilnya di sebuah bahu jalan. Pria itu melepas seat beltnya yang seketika membuat Lucia merasa takut, takut jika pria itu melepas seat belt dan berpindah duduk ke kursi penumpang belakang untuk menamparnya yang sudah dengan lancang memaki Ke
Kent sedang menikmati udara malam di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi yang sudah mendingin. Entah mengapa, kedua matanya sulit sekali terpejam walau seharian itu dia sibuk dan merasakan lelah yang teramat. Ucapan yang Lucia sampaikan melalui para bawahannya selalu terngiang di telinganya.Dering ponsel dari dalam kamar terdengar nyaring saat suasana sunyi, sehingga Kent dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Kent segera mengambil benda tersebut dengan sedikit tergesa, berharap telepon tersebut berasal dari Jovan yang memberinya kabar tentang keberadaan Lucia. Tepat seperti dugaannya, nama Jovan tertera sebagai ID Caller, namun sungguh di sayangkan, panggilan telepon berakhir sebelum Kent sempat mengangkat telepon tersebut. Kent menyipitkan mata setelah membuka ponselnya. Jovan sudah terlebih dulu mengiriminya pesan sebelum meneleponnya. Mungkin bawahanya tersebut menelepon untuk sesuatu yang bersifat urgent, mengingat dia telah menegaskan untuk tidak menghubunginya selama Jov
Jovan berjalan dengan malas saat kembali ke mobilnya. Dia tidak menyangka atasannya memberi tugas yang sangat rumit untuk dia jalani; mencari keberadaan si gadis keras kepala. Ottawa cukup luas, sehingga mencari Lucia bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit. Dengan kondisi finasial Kent, Jovan yakin bahwa asannya tersebut pasti bisa menemukan wanita yang jauh lebih sempurna dibanding gadis labil itu. Karena seperti yang kebanyakan orang tahu, ada banyak wanita di dunia ini. Tetapi mengapa seorang Oliver Kent Silverlake harus menjatuhkan hati dengan gadis yang usianya terpaut jauh? Pria itu berjalan mendekati sekelompok remaja yang baru saja keluar dari sebuah restaurant cepat saji untuk melakukan pekerjaan yang cukup bodoh seperti yang dia lakukan selama berhari-hari; menanyakan apakah orang tersebut pernah melihat gadis yang ada dalam foto di yang dia pegang. "Permisi," sapanya dengan wajah datar, jauh dari kesan bersahabat pada segerombolan remaja pria di hadapa
"Dimana Lucia?" Eryk langsung menyodorkan pertanyaan itu kepada Helena yang baru saja membukakan pintu apartemen untuknya. Helena sedikit terlonjak saat melihat siapa pria yang ada di hadapannya. Dahi gadis pelayan itu mengerut. Melihat dari gesture Eryk, sepertinya pria itu tahu bahwa sebelumnya Lucia pernah tinggal disana. "Nona Lucia tidak ada di tempat ini, Tuan." jawab Helena dengan pembawaan tenang dan terlatih."Jangan berbohong!" Teriak Eryk sembari berjalan melintasi Helena yang masih berada di ambang pintu.Pria itu memeriksa semua bagian apartemen untuk mencari keberadaan Lucia. Namun dia menggeram kecewa setelahnya karena tidak menemukan gadis yang dia cari. "Dimana kau menyembunyikannya?" wajah pria itu semakin mengetat yang kian membuat Helena menciut. "Nona Lucia tidak ada di sini, Tuan. Sungguh." Jemari Helena saling memilin dengan raut gelisah, sebisa mungkin gadis itu tidak mengatakan bahwa Lucia memang sempat tinggal di apartemen itu.Eryk menatap penuh selidik
Pengunjung pria di Moonlight Lounge berkali lipat lebih banyak semenjak Lucia bekerja sebagai hostess di sana. Isabella cukup puas dengan kinerja anak buah barunya tersebut. Promosi Lucia atas brand-brand minuman beralkohol selalu berhasil. Bahkan beberapa pengunjung yang rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas tidak segan memberi gadis itu tip untuk setiap minuman yang Lucia tuang ke dalam gelas mereka. Lucia berjalan menuju samping meja bartender, tempat dimana para hostess berkumpul. "Good job, Lucia." puji Isabella sambil mengipas lehernya dengan kipas tangan yang selalu dia bawa. Senyum masih tersungging di wajahnya. Tidak hanya paras cantiknya yang membuat para pengunjung pria tertarik, tetapi gadis itu melayani para pengunjung dengan sangat baik."Thank you, Ma'am." jawab Lucia dengan senyum ramah, tanpa memperlihatkan kepada rekan hostess lain betapa superiornya dia dalam pekerjaan yang dia geluti. "Duduk, Lucia, jangan berdiri terlalu lama." ucap Hilda yang m