“Siapa gadis yang datang bersama Tuan muda?” tanya seorang Perempuan berusia 58 tahun kepada rekan kerjanya. Mendengar pertanyaan yang baru saja terlontar dari bibir rekan kerjanya, Ariana pun menolehkan kepala mengikuti ke arah Marie menoleh. “Entahlah. Siang tadi aku melihat gadis itu datang bersama Gorge menuju ruangan Tuan Albert.”Sesaat perempuan bernama Ariana tesebut tampak berpikir. Mungkinkah gadis muda yang datang bersama Danzel ke mess karyawan itu adalah pekerja baru? Namun dengan wajahnya yang sempurna dan layak menjadi super model, mungkinkah gadis itu akan bekerja di kebun anggur seperti dirinya?“Bisa saja gadis itu adalah pacar dari tuan muda. Lihatlah, keduanya tampak serasi.” Marie menatap dua manusia yang menjadi objek pembicaraan mereka berdua saat itu. Ariana menganggukan kepala, menurutnya spekulasi Marie tentang dua orang itu bisa saja benar. “Kau benar, Marie. Mereka tampak serasi. Gadis itu memang pantas menjadi kekasih tuan Danzel.” Muda dan kaya, seoran
Lucia beradaptasi dengan lingkungan tempat kerja barunya dengan sangat cepat kendati dialah pekerja termuda dari semua pekerja kebun yang mengabdi pada di Austin Wine Company. Bekerja di Perkebunan anggur bisa dikatakan terlalu melelahkan. Para pekerja harus memberi perhatian penuh kepada tanaman anggur seolah merawat anak kandung mereka sendiri musim demi musim, memberi perhatian penuh atas tahap pertumbuhan tanaman anggur beserta serangkaian aktivitas untuk memastikan buah yang mereka hasilkan berkualitas.Saat itu musim panen telah tiba. Sama seperti yang dilakukan para pekerja di saat musim panen, pagi menjelang siang Lucia sedang memetik buah anggur secara manual menggunakan gunting. Setiap pergerakan gadis itu tidak lepas dari perhatian Danzel yang hari itu sengaja menggantikan tugas Billy selaku mandor panen di Austin Wine Company. Hal tersebut ia lakukan agar bisa melihat Lucia dalam waktu lama. “Kenapa tuan memilih berdiri di sini? Bukankah menjadi tugas Billy untuk mengawa
Semenjak kejadian beberapa hari lalu, Lucia kerap kali menatap ke segala arah dengan antisipasi saat bekerja. Ada sosok yang ingin dia hindari, seorang pria yang membuat dadanya berdesir setiap kali menatap sosok tersebut.Pasangan bukanlah prioritasnya saat ini, fokusnya bekerja di Prince Edward adalah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk kebutuhan sang buah hati kelak.Lucia mendengus lelah karena sampai pekerjaan usai pria yang ingin dia hindari tak kunjang menampakkan diri. Otak gadis itu memeintahkan untuk menghindari Danzel, namun hati kecilnya yang justru mengatakan sebaliknya; dia ingin kembali bertemu atau setidaknya berpapasan dangan Danzel walau hanya satu kali dalam sehari. “Kenapa tuan Danzel tidak terlihat sama sekali hari ini?” tanya Lucia pada dua wanita yang jalan bersamannya setelah berdeham.Mendengar pertanyaan gadis muda itu, Marie menyiku lengan Ariana sembari bermain mata seakan berkata;’Kau dengar itu?’Ariana yang paham dengan isyarat mata sahabatnya me
Semua mata tertuju pada pasangan yang baru saja tiba. Sontak semua orang yang sedang menikmati euforia pesta ulang tahun mewah Baron Demario memberikan akses jalan agar tidak mengganggu perjalanan pasangan itu tiba di panggung. Waktu seakan terhenti saat itu. Semua mata terpana, para pria muda di sana seakan lupa dengan pasangan dansa masing-masing. Gadis bergaun merah muda itu tampak begitu anggun. Pria yang mendampinginya pun terlihat sangat menawan dengan jas slimfit yang membalut tubuh kekarnya. "Kau lihat disana, Daren?" ucap Baron saat keriangan yang terdengar tiba-tiba berganti dengan bisikan yang saling bersahutan. Semua tubuh berhenti mengikuti alunan musik yang memanjakan telinga. Semua mulut saling berbisik kagum tentang pasangan serasi yang berjalan menuju panggung ulang tahun."Ya, aku melihatnya." Daren yang turut menyaksikan pemandangan langka tersebut mengangguk. "Cubit aku, aku pasti bermimpi," gumam Baron tanpa sadar yang langsung direspon dengan cubitan oleh Dar
"Apakah kau sudah menemukan gadis itu?" Robin menyugar rambutnya dengan frustasi saat dia kembali mendapat pertanyaan yang sama. Atasannya menyuruhnya mencari keberadaan seorang gadis asing hanya berbekal sebuah foto. Tugas ini cukup sulit mengingat remaja adalah mahluk yang aktif dengan banyak aktifitas bebas mereka. "Untuk saat ini belum, Boss. Aku sedang mengusahakannya." jawab Robin disertai helaan nafas lelah. Pria di seberang sambungan langsung memutus percakapan saat itu juga, nyaris suara telepon dimatikan tersebut membuat telingannya berdengung. Mencari seorang gadis bernama Giovanni Ruth Gracewell bukanlah hal yang mudah. Hari itu adalah hari ke enam Robin berdiri mengawasi lalu lalang mahasiswa di gerbang universitas terbesar di Toronto yang bossnya yakini sebagai tempat gadis itu menimba ilmu. Robin menghela nafas lelah sembari memasukan kembali foto gadis yang membuatnya pusing bukan kepalang selama beberapa hari ini. Siang itu Robin hilang kesabaran, dia ingin mengak
Lucia kembali ke kamar begitu pekerjaan usai. Tidak seperti biasanya, gadis itu kembali ke kamar lebih dulu dari teman-temannya. Dia merasa mudah sekali lelah akhir-akhir ini, dan dia tahu pasti kehamilannyalah yang membuatnya mudah merasa lelah. "Hah, akhirnya sampai." Lucia mengusap peluh yang membasahi dahi begitu tiba di depan kamarnya. Jarak dari perkebunan ke kamar mess tiba-tiba saja terasa semakin jauh. Saat hendak menyentuh knop pintu, gadis itu mendapati sebuah bingkisan tergantung pada benda tersebut. Lucia pun mengernyit seraya menoleh ke sekitar, namun dia tidak mendapati seorang pun di sana. Ragu-ragu Lucia mengambil bingkisan tersebut sembari memasuki kamar dengan waspada. Gadis itu mengunci pintu dan segera membuka bingkisan yang dia temukan sore itu. Kernyitan di dahinya semakin dalam saat mendapati sebuah kotak berbentuk hati ada dalam bingkisan tersebut. Lucia segera membuka kotak berbentuk hati itu dan mendapati cokelat-cokelat kecil berbentuk hati di dalamnya
Ariana dan Marie menatap Lucia penuh tanya saat gadis itu menutup kotak makannya, sedang mereka tahu bahwa gadis itu baru makan setengah dari bekal sandwich yang dia bawa untuk makan siang. "Kenapa kau tidak menghabiskan bekal makan siangmu?" tanya Ariana di sela aktifitas mengisi perut. "Aku sudah kenyang." jawab Lucia sekenanya, lalu mereguk minuman dari botol yang baru saja dia ambil dari lunch bag. Marie menanggapi jawaban Lucia dengan gelengan penuh protes. "Aku sudah berkali-kali mendapatimu tidak menghabiskan bekal yang kau bawa, Lucia, habiskanlah. Kau butuh banyak energi untuk kembali bekerja," panik Marie yang menyadari wajah gadis itu pucat, namun memaksa untuk tetap bekerja. "Entah mengapa aku kehilangan selera makan akhir-akhir ini." Lucia mengemasi semua peralatan makannya ke dalam lunch bag kembali. "Tapi Lucia," Marie hendak kembali membujuk gadis itu agar menghabiskan makanannya dan menyatakan kekhawatirannya terhadap wajah pucat Lucia, tetapi gadis itu cukup ker
Danzel berulang kali melihat jam di tangan saat sarapan bersama kedua orang tuanya. Dia sudah berencana untuk menemui Lucia pagi itu sebelum jam kerja perkebunan dimulai. "Kenapa kau tidak menambahkan lagi daging di piringmu, Sayang?" tanya Clarie saat mendapati porsi makan Danzel yang sedikit berkurang. Danzel kedapatan mengerling pada jam di tangan saat berbicara dengan ibunya. Clarie mengernyit, lalu menoleh pada jam dinding. Waktu baru menunjukan pukul 07.30 a.m, jam kuliah Danzel baru dimulai pada pukul 9.30. Clarie pun menaruh curiga dengan gesture Danzel yang sedikit mencurigakan."Apakah kelas dimulai lebih awal, Danzel?" pertanyaan Clarie membuat Danzel tersadar."Ah, tidak, Ibu." Danzel terlihat salah tingkah saat itu. Tiba-tiba saja pria muda itu meraih sendok lauk dan memasukan daging ke dalam piringnya. Pria itu kembali mengunyah daging yang baru saja dia ambil seperti orang kelaparan. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari perhatian Clarie dan Albert. Saat sepasang sua
Persalinan Lucia tinggal menghitung hari. Kent menjadi suami siaga yang selalu berada di dekat Lucia. Pria paruh baya itu memutuskan untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Fregrant Potion. “Kent, bisakah kau membawaku jalan-jalan?” pinta Lucia kepada suaminya. “Aku bosan jika sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam rumah, aku ingin menghirup udara segar di luar.”Oliver Kent yang semula memainkan ponselnya seketika menoleh ke arah istri belianya yang sedang bersandar pada kepala ranjang sembari mengelus perutnya yang besar. “Tentu saja. Tetapi melihat kondisimu yang mendekati persalinan, sebaiknya kita mencari udara segar di taman bunga yang terletak di samping mansion, Lucia.” jawaban Oliver Kent mendapatkan respon anggukan kepala dari Lucia.Dengan penuh kehati-hatian Kent menggandeng istrinya menuju salah satu gazebo yang yang ada di taman. Hamparan bunga tulip beraneka warna memanjakan mata yang berhasil membuat Lucia kagum. Astaga, kemana saja Lucia sela
Kedua pria asing tadi menyeret Lisa ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh gadis itu di atas ranjang. Salah satu pria yang tidak Lisa ketahui namanya mengunci pintu, yang seketika membuat bulu kudu Lisa meremang. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Lisa dengan wajah berlinang air mata. Gadis itu bahkan berlutut di depan dua pria asing itu agar melepaskannya. "Aku mohon, tolong lepaskan aku." Kedua pria berbadan tambun itu saling menatap dengan tatapan datar, sebelum akhirnya melepas pakaian Lisa dengan gerakkan kasar. Lisa menangis dan menyilangkan tangannya untuk menutupi bagian sensitif pada bagian dada dan kewanitaannya, namun hal tersebut nampaknya membuat kedua pria yang sudah membelinya marah. "Kami sudah membayar mahal untuk ini, jangan buang waktu kami, Nona," geram salah satu pria bernama Rey sembari menampar keras pantat Lisa, menyisahkan bekas jari berwarna merah pada bokong mulus gadis tersebut. "Ouch," Lisa meringis dan reflek memegangi bagian tubuhnya yang baru
Tinggal setengah perjalanan lagi untuk tiba di gedung Fregrant Potions, Kent merasakan kegelisahan yang luar biasa tanpa dia ketahui sebabnya. Pria itu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya dan hendak menanyakan keadaan Lucia. Dan di saat itulah baru ia sadari bahwa ponselnya masih tertinggal di rumah. "Putar balik, ponselku tertinggal di kamar." perintah Kent yang langsung di kerjakan Robin saat itu juga. Segera mobil yang mereka naiki melaju kembali ke mansion Kent. Jantung pria itu berdegup kencang sehingga membuat kegelisahannya bertambah. Kent berulang kali menarik dan menghembuskan nafas untuk meredakan kegelisahan yang dia alami, namun nampaknya itu sama sekali tidak membantu."Tambah kecepatannya, Robin." pintanya tak sabar ingin segera memastikan keadaan Lucia. Setibanya di mansion, pria paruh baya itu berjalan cepat dan mencari keberadaan Lucia di ruang makan, tempat terakhir kali dia dan gadis itu melewati pagi bersama. Namun tidak dia temukan Lucia di sana, dia
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Lucia dan Oliver yang baru saja mengikrarkan janji sehidup semati. Semua terasa seperti mimpi bagi Lucia. Hari itu adalah hari membahagiakan dalam hidupnya karena resmi menyandang nama Mrs.Silverlake. Semua pasang mata menyaksikan adegan ciuman yang dilakukan sepasang mempelai yang berlangsung cukup lama, yang semakin menghidupkan suasana romatis di hari itu."Beberapa paparazi membidik ke arah kita, Kent," ucap Lucia lirih setelah keduanya mengahiri sesi berciuman. Namun respon dari pria yang baru saja resmi menjadi suaminya membuat dahinya berkerut. "Ya, lalu?" Oliver terlihat sngat tenang, Lucia tidak menemukan keraguan di wajah pria itu. Kent menatapnya dengan teduh dan semakin terang-terangan memperlakukan Lucia dengan mesra di depan banyak orang. "Bagaimana jika yang kau takutkan terjadi? Nama kita akan kembali menjadi head line di berbagai media sosial, Kent. Semua orang akan kembali menghujat kita." Lucia menundukkan wajahnya dan m
"Turunkan aku!" pekik Lucia ke sekian kali, namun tetap Kent abaikan. Pria itu terus saja fokus pada jalanan di depan. "Pria manipulatif, licik, kau hanya menahanku demi dapat melampiaskan nafsumu setelah kau lelah dengan pekerjaanmu! Kau bahkan memperlakukan aku seperti wanita simpanan!" Setiap umpatan yang keluar dari mulut Lucia membuat dahi Kent mengerut. Ternyata seburuk itu penilaian Lucia atas dirinya, sehingga gadis itu berulang kali menyebut bahwa dirinya pria manipulatif. Dan apa tadi? Gadis itu berkata bahwa Kent selama ini sengaja menahannya hanya untuk memuaskan nafsu? Kent akui, hasratnya memang mudah bergejolak setiap kali berdekatan dengan Lucia, tetapi bukan hanya karena alasan itu Kent menahannya!Segera pria itu meminggirkan mobilnya di sebuah bahu jalan. Pria itu melepas seat beltnya yang seketika membuat Lucia merasa takut, takut jika pria itu melepas seat belt dan berpindah duduk ke kursi penumpang belakang untuk menamparnya yang sudah dengan lancang memaki Ke
Kent sedang menikmati udara malam di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi yang sudah mendingin. Entah mengapa, kedua matanya sulit sekali terpejam walau seharian itu dia sibuk dan merasakan lelah yang teramat. Ucapan yang Lucia sampaikan melalui para bawahannya selalu terngiang di telinganya.Dering ponsel dari dalam kamar terdengar nyaring saat suasana sunyi, sehingga Kent dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Kent segera mengambil benda tersebut dengan sedikit tergesa, berharap telepon tersebut berasal dari Jovan yang memberinya kabar tentang keberadaan Lucia. Tepat seperti dugaannya, nama Jovan tertera sebagai ID Caller, namun sungguh di sayangkan, panggilan telepon berakhir sebelum Kent sempat mengangkat telepon tersebut. Kent menyipitkan mata setelah membuka ponselnya. Jovan sudah terlebih dulu mengiriminya pesan sebelum meneleponnya. Mungkin bawahanya tersebut menelepon untuk sesuatu yang bersifat urgent, mengingat dia telah menegaskan untuk tidak menghubunginya selama Jov
Jovan berjalan dengan malas saat kembali ke mobilnya. Dia tidak menyangka atasannya memberi tugas yang sangat rumit untuk dia jalani; mencari keberadaan si gadis keras kepala. Ottawa cukup luas, sehingga mencari Lucia bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit. Dengan kondisi finasial Kent, Jovan yakin bahwa asannya tersebut pasti bisa menemukan wanita yang jauh lebih sempurna dibanding gadis labil itu. Karena seperti yang kebanyakan orang tahu, ada banyak wanita di dunia ini. Tetapi mengapa seorang Oliver Kent Silverlake harus menjatuhkan hati dengan gadis yang usianya terpaut jauh? Pria itu berjalan mendekati sekelompok remaja yang baru saja keluar dari sebuah restaurant cepat saji untuk melakukan pekerjaan yang cukup bodoh seperti yang dia lakukan selama berhari-hari; menanyakan apakah orang tersebut pernah melihat gadis yang ada dalam foto di yang dia pegang. "Permisi," sapanya dengan wajah datar, jauh dari kesan bersahabat pada segerombolan remaja pria di hadapa
"Dimana Lucia?" Eryk langsung menyodorkan pertanyaan itu kepada Helena yang baru saja membukakan pintu apartemen untuknya. Helena sedikit terlonjak saat melihat siapa pria yang ada di hadapannya. Dahi gadis pelayan itu mengerut. Melihat dari gesture Eryk, sepertinya pria itu tahu bahwa sebelumnya Lucia pernah tinggal disana. "Nona Lucia tidak ada di tempat ini, Tuan." jawab Helena dengan pembawaan tenang dan terlatih."Jangan berbohong!" Teriak Eryk sembari berjalan melintasi Helena yang masih berada di ambang pintu.Pria itu memeriksa semua bagian apartemen untuk mencari keberadaan Lucia. Namun dia menggeram kecewa setelahnya karena tidak menemukan gadis yang dia cari. "Dimana kau menyembunyikannya?" wajah pria itu semakin mengetat yang kian membuat Helena menciut. "Nona Lucia tidak ada di sini, Tuan. Sungguh." Jemari Helena saling memilin dengan raut gelisah, sebisa mungkin gadis itu tidak mengatakan bahwa Lucia memang sempat tinggal di apartemen itu.Eryk menatap penuh selidik
Pengunjung pria di Moonlight Lounge berkali lipat lebih banyak semenjak Lucia bekerja sebagai hostess di sana. Isabella cukup puas dengan kinerja anak buah barunya tersebut. Promosi Lucia atas brand-brand minuman beralkohol selalu berhasil. Bahkan beberapa pengunjung yang rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas tidak segan memberi gadis itu tip untuk setiap minuman yang Lucia tuang ke dalam gelas mereka. Lucia berjalan menuju samping meja bartender, tempat dimana para hostess berkumpul. "Good job, Lucia." puji Isabella sambil mengipas lehernya dengan kipas tangan yang selalu dia bawa. Senyum masih tersungging di wajahnya. Tidak hanya paras cantiknya yang membuat para pengunjung pria tertarik, tetapi gadis itu melayani para pengunjung dengan sangat baik."Thank you, Ma'am." jawab Lucia dengan senyum ramah, tanpa memperlihatkan kepada rekan hostess lain betapa superiornya dia dalam pekerjaan yang dia geluti. "Duduk, Lucia, jangan berdiri terlalu lama." ucap Hilda yang m