Ariana dan Marie menatap Lucia penuh tanya saat gadis itu menutup kotak makannya, sedang mereka tahu bahwa gadis itu baru makan setengah dari bekal sandwich yang dia bawa untuk makan siang. "Kenapa kau tidak menghabiskan bekal makan siangmu?" tanya Ariana di sela aktifitas mengisi perut. "Aku sudah kenyang." jawab Lucia sekenanya, lalu mereguk minuman dari botol yang baru saja dia ambil dari lunch bag. Marie menanggapi jawaban Lucia dengan gelengan penuh protes. "Aku sudah berkali-kali mendapatimu tidak menghabiskan bekal yang kau bawa, Lucia, habiskanlah. Kau butuh banyak energi untuk kembali bekerja," panik Marie yang menyadari wajah gadis itu pucat, namun memaksa untuk tetap bekerja. "Entah mengapa aku kehilangan selera makan akhir-akhir ini." Lucia mengemasi semua peralatan makannya ke dalam lunch bag kembali. "Tapi Lucia," Marie hendak kembali membujuk gadis itu agar menghabiskan makanannya dan menyatakan kekhawatirannya terhadap wajah pucat Lucia, tetapi gadis itu cukup ker
Danzel berulang kali melihat jam di tangan saat sarapan bersama kedua orang tuanya. Dia sudah berencana untuk menemui Lucia pagi itu sebelum jam kerja perkebunan dimulai. "Kenapa kau tidak menambahkan lagi daging di piringmu, Sayang?" tanya Clarie saat mendapati porsi makan Danzel yang sedikit berkurang. Danzel kedapatan mengerling pada jam di tangan saat berbicara dengan ibunya. Clarie mengernyit, lalu menoleh pada jam dinding. Waktu baru menunjukan pukul 07.30 a.m, jam kuliah Danzel baru dimulai pada pukul 9.30. Clarie pun menaruh curiga dengan gesture Danzel yang sedikit mencurigakan."Apakah kelas dimulai lebih awal, Danzel?" pertanyaan Clarie membuat Danzel tersadar."Ah, tidak, Ibu." Danzel terlihat salah tingkah saat itu. Tiba-tiba saja pria muda itu meraih sendok lauk dan memasukan daging ke dalam piringnya. Pria itu kembali mengunyah daging yang baru saja dia ambil seperti orang kelaparan. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari perhatian Clarie dan Albert. Saat sepasang sua
Lucia sudah berada di kebun untuk bekerja, tetapi pikirannya masih berada di kamar, tepatnya dua jam yang lalu, dimana putra semata wayang pemilik kebun tempatnya bekerja menawarinya untuk dijadikan kekasih. Ingatan akan wajah serius dan pancaran mata Danzel yang teduh membuat Lucia tersipu. Memangnya gadis mana yang bisa mengelak ketampanan Danzel Austin? Mungkin Lucia adalah gadis yang beruntung di dunia ini. Tetapi jika dia menerima pernyataan cinta Danzel, bagaimana respon pria itu saat mengetahui bahwa dia sedang mengandung janin? "Hentikan, Lucia! Pohon itu bisa mati jika kelebihan nutrisi!" tegur Billy yang saat itu melintas. Seketika Lucia terperanjat dan baru menyadari bahwa pupuk yang dia tuang berlebihan. "Maafkan aku." jawab gadis itu sembari menarik nafas panjang untuk mengembalikan fokusnya. "Kau terlalu banyak melamun hari ini. Apa kondosi tubuhmu masih belum setabil?" tanya Billy memastikan, mengingat sehari yang lalu gadis itu sempat pingsan dan dilarikan ke klin
Malam semakin larut, udara dingin terasa menggigit kulit. Lucia masih terjaga disaat semua orang lelap dalam tidurnya. Dilema antara janin dalam kandungan dan pernyataan perasaan Danzel membuatnya matanya sulit terpejam.Suara ketukan pintu membuatnya bergidik takut. Gadis itu melirik jam di atas nakas yang menunjukan pukul 01.00 a.m, sangat larut menerima kehadiran seseorang, sehingga Lucia membungkus rapat tubuhnya dengan selimut penuh dengan antisipasi, namun seseorang misterius di luar ruangan kembali mengetuk pintu yang membuat ketakuan Lucia bertambah. Lucia pun menahan diri untuk berada di posisinya sekarang, berharap seseorang di luar ruangan akan bosan menunggu dan pergi. "Lucia," terdengar suara pria yang tidak asing baginya dari arah pintu. "Ini aku, Danzel, buka pintunya," kembali pria itu berucap dengan suara berbisik, namun sampai di telinga Lucia. Lucia menghela nafas lega setelah dia tahu Danzel lah yang ada di balik pintu. Dengan sederet pertanyaan di kepala, gadis
Apa yang akan kau lakukan jika seseorang masuk ke dalam hidupmu dan bersedia memberikan segala yang kamu inginkan? Apakah kau akan sepenuh hati membalas perasaannya? Tetapi, bagaimana jika serpihan masa lalu terus mengiringi kehidupanmu saat ini? Ibarat akar pohon yang mencederai kakimu, sehingga kau kesulian untuk melanjutkan langkah. Lucia berusaha bersikap tenang meski sangat sulit. Dia menyadari bahwa Danzel adalah penyebab para wanita melempar tatapan tak suka padanya. Seharusnya dia merasa behagia karena pria yang saat ini memegang tangannya adalah pria idaman para wanita, tetapi rasa ketidak nyamanan lebih dominan menguasai hatinya dari pada perasaan bangga karena menjadi perempuan pilihan Danzel. Gestur kegelisahan Lucia tanpa sadar diketahui oleh Danzel, tetapi pria itu justru semakin erat menggenggam tangannya dan berbisik tepat di telinga gadis itu,"Aku harap kau mau bersabar, ketidak nyamanamu hanya sementara Lucia. Rasa cinta akan tumbuh semakin besar jika kita sering
Derap kaki sepasang kekasih yang baru saja memutuskan untuk berpacaran terdengar menggema di lorong mess pekerja yang saat itu sangat sepi. Keduanya berjalan bergandengan dan baru berhenti saat tiba di depan pintu bertuliskan angka 058.Danzel mendengkus menatap pintu bertuliskan angka 058 itu, karena benda itu lah yang akan mengakhiri kebersamaan mereka malam itu. "Aku benci akan ada saat seperti ini." Pria itu menggenggam kedua tangan Lucia dengan raut melankoli, seakan mereka akan berpisah dalam waktu lama. Lucia mengerling ke arah tangannya yang berada dalam genggaman Danzel sebelum akhirnya menatap wajah pria itu dengan tersenyum yang tidak sampai di hati. Entah mengapa Lucia tidak merasakan bahwa keduanya sudah menjadi sepasang kekasih sekarang. "Jangan bersedih, masih ada banyak waktu untuk kita bertemu kembali." Ucap Lucia sembari menepuk lengan Danzel dengan terpaksa. Dimulai dari hal kecil, Lucia harus bisa memandang Danzel sebagai kekasihnya meski itu tidak mudah. "Kau
Karakter sejati seseorang memang tidak dapat diukur dari banyaknya uang yang dimiliki. Tetapi, terkadang uang juga dapat menjadi cerminan jiwa seseorang. Saat seseorang dihadapkan pada sejumlah besar uang, bisa saja sikapnya dengan cepat berubah. Malam itu, tepatnya pukul 02.30 a.m. adalah waktu dimana orang-orang begitu nyinyak dalam tidurnya setelah mereka menghadiri pesta ulang tahun nyonya Austin yang angkuh. Bence yang begitu jeli dengan situasi tersebut menganggap dini hari itu adalah peluang emas baginya untuk menghabisi nyawa Lucia. Pria itu langsung menelusuri grup pecinta reptil di media sosial untuk membeli sebuah binatang berbisa demi imbalan uang yang Clarie janjikan.Bence yang sedang berjaga sendiri mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan buku jarinya. Berulang kali pria itu melihat jam yang melingkar di tangannya, berharap pemuda yang bersedia menjual ular kepadanya segera datang menemuinya. Setelah empat puluh lima menit menunggu, terdengar deru kendaraan dari kejauhan
Adam Adelard datang ke klinik dengan pakaian tidur membalut tubuh. Ada seseorang yang sedang membutuhkan bantuan medis, pakaian yang melekat pada tubuhnya tentunya tidak terlalu penting untuk saat ini. Persetan dengan pikiran orang yang akan mengklaim pakaiannya tidak mencerminkan sikap profesional sebagai seorang dokter.Adam memasuki ruang pemeriksaan klinik bersamaan tiga orang pria yang baru saja mengantar Lucia di sana. "Kami sudah membaringkannya, dokter. Permisi." Ucap salah seorang dari tiga pria yang membawa Lucia ke klinik, sebelum akhirnya undur diri dari hadapan pria itu. Adam hanya membalas anggukan kepala, dia segera menyibak gorden untuk melakukan tugasnya sebagai dokter. Mata elang Adam menyipit saat melihat tubuh gadis yang terbaring di ranjang dengan wajah pucat. Seketika kepala pria itu menggeleng karena Lucia adalah pasien yang akhir-akhir ini sering datang ke klinik. "Lagi-lagi kau, nona Lucia." Gumam pria itu sembari menarik dan menghembuskan nafas sebelum akh
Persalinan Lucia tinggal menghitung hari. Kent menjadi suami siaga yang selalu berada di dekat Lucia. Pria paruh baya itu memutuskan untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Fregrant Potion. “Kent, bisakah kau membawaku jalan-jalan?” pinta Lucia kepada suaminya. “Aku bosan jika sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam rumah, aku ingin menghirup udara segar di luar.”Oliver Kent yang semula memainkan ponselnya seketika menoleh ke arah istri belianya yang sedang bersandar pada kepala ranjang sembari mengelus perutnya yang besar. “Tentu saja. Tetapi melihat kondisimu yang mendekati persalinan, sebaiknya kita mencari udara segar di taman bunga yang terletak di samping mansion, Lucia.” jawaban Oliver Kent mendapatkan respon anggukan kepala dari Lucia.Dengan penuh kehati-hatian Kent menggandeng istrinya menuju salah satu gazebo yang yang ada di taman. Hamparan bunga tulip beraneka warna memanjakan mata yang berhasil membuat Lucia kagum. Astaga, kemana saja Lucia sela
Kedua pria asing tadi menyeret Lisa ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh gadis itu di atas ranjang. Salah satu pria yang tidak Lisa ketahui namanya mengunci pintu, yang seketika membuat bulu kudu Lisa meremang. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Lisa dengan wajah berlinang air mata. Gadis itu bahkan berlutut di depan dua pria asing itu agar melepaskannya. "Aku mohon, tolong lepaskan aku." Kedua pria berbadan tambun itu saling menatap dengan tatapan datar, sebelum akhirnya melepas pakaian Lisa dengan gerakkan kasar. Lisa menangis dan menyilangkan tangannya untuk menutupi bagian sensitif pada bagian dada dan kewanitaannya, namun hal tersebut nampaknya membuat kedua pria yang sudah membelinya marah. "Kami sudah membayar mahal untuk ini, jangan buang waktu kami, Nona," geram salah satu pria bernama Rey sembari menampar keras pantat Lisa, menyisahkan bekas jari berwarna merah pada bokong mulus gadis tersebut. "Ouch," Lisa meringis dan reflek memegangi bagian tubuhnya yang baru
Tinggal setengah perjalanan lagi untuk tiba di gedung Fregrant Potions, Kent merasakan kegelisahan yang luar biasa tanpa dia ketahui sebabnya. Pria itu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya dan hendak menanyakan keadaan Lucia. Dan di saat itulah baru ia sadari bahwa ponselnya masih tertinggal di rumah. "Putar balik, ponselku tertinggal di kamar." perintah Kent yang langsung di kerjakan Robin saat itu juga. Segera mobil yang mereka naiki melaju kembali ke mansion Kent. Jantung pria itu berdegup kencang sehingga membuat kegelisahannya bertambah. Kent berulang kali menarik dan menghembuskan nafas untuk meredakan kegelisahan yang dia alami, namun nampaknya itu sama sekali tidak membantu."Tambah kecepatannya, Robin." pintanya tak sabar ingin segera memastikan keadaan Lucia. Setibanya di mansion, pria paruh baya itu berjalan cepat dan mencari keberadaan Lucia di ruang makan, tempat terakhir kali dia dan gadis itu melewati pagi bersama. Namun tidak dia temukan Lucia di sana, dia
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Lucia dan Oliver yang baru saja mengikrarkan janji sehidup semati. Semua terasa seperti mimpi bagi Lucia. Hari itu adalah hari membahagiakan dalam hidupnya karena resmi menyandang nama Mrs.Silverlake. Semua pasang mata menyaksikan adegan ciuman yang dilakukan sepasang mempelai yang berlangsung cukup lama, yang semakin menghidupkan suasana romatis di hari itu."Beberapa paparazi membidik ke arah kita, Kent," ucap Lucia lirih setelah keduanya mengahiri sesi berciuman. Namun respon dari pria yang baru saja resmi menjadi suaminya membuat dahinya berkerut. "Ya, lalu?" Oliver terlihat sngat tenang, Lucia tidak menemukan keraguan di wajah pria itu. Kent menatapnya dengan teduh dan semakin terang-terangan memperlakukan Lucia dengan mesra di depan banyak orang. "Bagaimana jika yang kau takutkan terjadi? Nama kita akan kembali menjadi head line di berbagai media sosial, Kent. Semua orang akan kembali menghujat kita." Lucia menundukkan wajahnya dan m
"Turunkan aku!" pekik Lucia ke sekian kali, namun tetap Kent abaikan. Pria itu terus saja fokus pada jalanan di depan. "Pria manipulatif, licik, kau hanya menahanku demi dapat melampiaskan nafsumu setelah kau lelah dengan pekerjaanmu! Kau bahkan memperlakukan aku seperti wanita simpanan!" Setiap umpatan yang keluar dari mulut Lucia membuat dahi Kent mengerut. Ternyata seburuk itu penilaian Lucia atas dirinya, sehingga gadis itu berulang kali menyebut bahwa dirinya pria manipulatif. Dan apa tadi? Gadis itu berkata bahwa Kent selama ini sengaja menahannya hanya untuk memuaskan nafsu? Kent akui, hasratnya memang mudah bergejolak setiap kali berdekatan dengan Lucia, tetapi bukan hanya karena alasan itu Kent menahannya!Segera pria itu meminggirkan mobilnya di sebuah bahu jalan. Pria itu melepas seat beltnya yang seketika membuat Lucia merasa takut, takut jika pria itu melepas seat belt dan berpindah duduk ke kursi penumpang belakang untuk menamparnya yang sudah dengan lancang memaki Ke
Kent sedang menikmati udara malam di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi yang sudah mendingin. Entah mengapa, kedua matanya sulit sekali terpejam walau seharian itu dia sibuk dan merasakan lelah yang teramat. Ucapan yang Lucia sampaikan melalui para bawahannya selalu terngiang di telinganya.Dering ponsel dari dalam kamar terdengar nyaring saat suasana sunyi, sehingga Kent dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Kent segera mengambil benda tersebut dengan sedikit tergesa, berharap telepon tersebut berasal dari Jovan yang memberinya kabar tentang keberadaan Lucia. Tepat seperti dugaannya, nama Jovan tertera sebagai ID Caller, namun sungguh di sayangkan, panggilan telepon berakhir sebelum Kent sempat mengangkat telepon tersebut. Kent menyipitkan mata setelah membuka ponselnya. Jovan sudah terlebih dulu mengiriminya pesan sebelum meneleponnya. Mungkin bawahanya tersebut menelepon untuk sesuatu yang bersifat urgent, mengingat dia telah menegaskan untuk tidak menghubunginya selama Jov
Jovan berjalan dengan malas saat kembali ke mobilnya. Dia tidak menyangka atasannya memberi tugas yang sangat rumit untuk dia jalani; mencari keberadaan si gadis keras kepala. Ottawa cukup luas, sehingga mencari Lucia bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit. Dengan kondisi finasial Kent, Jovan yakin bahwa asannya tersebut pasti bisa menemukan wanita yang jauh lebih sempurna dibanding gadis labil itu. Karena seperti yang kebanyakan orang tahu, ada banyak wanita di dunia ini. Tetapi mengapa seorang Oliver Kent Silverlake harus menjatuhkan hati dengan gadis yang usianya terpaut jauh? Pria itu berjalan mendekati sekelompok remaja yang baru saja keluar dari sebuah restaurant cepat saji untuk melakukan pekerjaan yang cukup bodoh seperti yang dia lakukan selama berhari-hari; menanyakan apakah orang tersebut pernah melihat gadis yang ada dalam foto di yang dia pegang. "Permisi," sapanya dengan wajah datar, jauh dari kesan bersahabat pada segerombolan remaja pria di hadapa
"Dimana Lucia?" Eryk langsung menyodorkan pertanyaan itu kepada Helena yang baru saja membukakan pintu apartemen untuknya. Helena sedikit terlonjak saat melihat siapa pria yang ada di hadapannya. Dahi gadis pelayan itu mengerut. Melihat dari gesture Eryk, sepertinya pria itu tahu bahwa sebelumnya Lucia pernah tinggal disana. "Nona Lucia tidak ada di tempat ini, Tuan." jawab Helena dengan pembawaan tenang dan terlatih."Jangan berbohong!" Teriak Eryk sembari berjalan melintasi Helena yang masih berada di ambang pintu.Pria itu memeriksa semua bagian apartemen untuk mencari keberadaan Lucia. Namun dia menggeram kecewa setelahnya karena tidak menemukan gadis yang dia cari. "Dimana kau menyembunyikannya?" wajah pria itu semakin mengetat yang kian membuat Helena menciut. "Nona Lucia tidak ada di sini, Tuan. Sungguh." Jemari Helena saling memilin dengan raut gelisah, sebisa mungkin gadis itu tidak mengatakan bahwa Lucia memang sempat tinggal di apartemen itu.Eryk menatap penuh selidik
Pengunjung pria di Moonlight Lounge berkali lipat lebih banyak semenjak Lucia bekerja sebagai hostess di sana. Isabella cukup puas dengan kinerja anak buah barunya tersebut. Promosi Lucia atas brand-brand minuman beralkohol selalu berhasil. Bahkan beberapa pengunjung yang rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas tidak segan memberi gadis itu tip untuk setiap minuman yang Lucia tuang ke dalam gelas mereka. Lucia berjalan menuju samping meja bartender, tempat dimana para hostess berkumpul. "Good job, Lucia." puji Isabella sambil mengipas lehernya dengan kipas tangan yang selalu dia bawa. Senyum masih tersungging di wajahnya. Tidak hanya paras cantiknya yang membuat para pengunjung pria tertarik, tetapi gadis itu melayani para pengunjung dengan sangat baik."Thank you, Ma'am." jawab Lucia dengan senyum ramah, tanpa memperlihatkan kepada rekan hostess lain betapa superiornya dia dalam pekerjaan yang dia geluti. "Duduk, Lucia, jangan berdiri terlalu lama." ucap Hilda yang m