Karakter sejati seseorang memang tidak dapat diukur dari banyaknya uang yang dimiliki. Tetapi, terkadang uang juga dapat menjadi cerminan jiwa seseorang. Saat seseorang dihadapkan pada sejumlah besar uang, bisa saja sikapnya dengan cepat berubah. Malam itu, tepatnya pukul 02.30 a.m. adalah waktu dimana orang-orang begitu nyinyak dalam tidurnya setelah mereka menghadiri pesta ulang tahun nyonya Austin yang angkuh. Bence yang begitu jeli dengan situasi tersebut menganggap dini hari itu adalah peluang emas baginya untuk menghabisi nyawa Lucia. Pria itu langsung menelusuri grup pecinta reptil di media sosial untuk membeli sebuah binatang berbisa demi imbalan uang yang Clarie janjikan.Bence yang sedang berjaga sendiri mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan buku jarinya. Berulang kali pria itu melihat jam yang melingkar di tangannya, berharap pemuda yang bersedia menjual ular kepadanya segera datang menemuinya. Setelah empat puluh lima menit menunggu, terdengar deru kendaraan dari kejauhan
Adam Adelard datang ke klinik dengan pakaian tidur membalut tubuh. Ada seseorang yang sedang membutuhkan bantuan medis, pakaian yang melekat pada tubuhnya tentunya tidak terlalu penting untuk saat ini. Persetan dengan pikiran orang yang akan mengklaim pakaiannya tidak mencerminkan sikap profesional sebagai seorang dokter.Adam memasuki ruang pemeriksaan klinik bersamaan tiga orang pria yang baru saja mengantar Lucia di sana. "Kami sudah membaringkannya, dokter. Permisi." Ucap salah seorang dari tiga pria yang membawa Lucia ke klinik, sebelum akhirnya undur diri dari hadapan pria itu. Adam hanya membalas anggukan kepala, dia segera menyibak gorden untuk melakukan tugasnya sebagai dokter. Mata elang Adam menyipit saat melihat tubuh gadis yang terbaring di ranjang dengan wajah pucat. Seketika kepala pria itu menggeleng karena Lucia adalah pasien yang akhir-akhir ini sering datang ke klinik. "Lagi-lagi kau, nona Lucia." Gumam pria itu sembari menarik dan menghembuskan nafas sebelum akh
"Baby, maaf kalau aku terlambat datang." Danzel memegang satu tangan Lucia dan mengecupnya. Pria itu memeluk bagian tengah tubuh Lucia dengan perasaan sedih setelah tahu apa yang menimpa kekasihnya. Seandainya dia tahu Lucia akan mengalami peristiwa nahas malam itu, Danzel akan memilih menghabiskan malam bersama gadis itu semalam suntuk. Itu lebih baik dari pada melihat kekasihnya yang kini terbaring lemah di ranjang pesakitan.Lucia yang saat itu tidur akhirnya terbangun saat mendapati sesuatu menindih bagian tengah tubuhnya. Gadis itu mengulas senyum saat mendapati siapa seseorang yang sedang menyandarkan sisi kepalannya pada bagian perutnya. Dengan hati-hati Lucia menggerakkan tangannya yang tertancap jarum infus dan mengelus dengan lembut rambut Danzel. Pria itu mengangkat kepalanya saat merasakan elusan tangan dari kekasih yang begitu dia cintai. Senyuman menawan gadis itu membuat dada Danzel terasa hangat. Dia pun membalas senyuman gadis itu. "Apakah aku membangunkanmu, Baby
Dengan kasar Danzel mendorong pintu yang sedikit terbuka, membuat Clarie terperanjat saat mendengar suara pintu menghantam dinding. Sontak mata Clarie membulat dengan bibir mengangga. Segera ia jauhkan ponsel dari telinga, tidak lagi dia hiraukan Bence yang masih berbicara untuk menangih bayaran yang dia janjikan. "Dengan siapa saat ini ibu berbicara?" Tanya Danzel dengan suara rendah, penuh penekanan. Pria itu berjalan masuk ke kamar orang tuanya, kini keduanya saling berhadapan."Ah, Danzel," gumam Clarie yang mulai terlihat panik. Bibir Clarie tampak membuka dan menutup tanpa mengeluarkan sepatah kata. Danzel melirik pada layar ponsel yang masih menyala di tangan Clarie, yang menandakan sambungan telepon masih berlanjut. Dengan kasar Danzel merebut ponsel Clarie. Amarah saat mengetahui gadis pujaannya nyaris meregang nyawa di tangan ibu kandungnya membuat Danzel tidak menyisahkan sidikit pun tatapan menghormati terhadap wanita itu. Merasa tertangkap basah, Clarie pun tidak mem
"Lucia, kaukah itu?" ucap Kent saat berdiri dengan jarak setengah meter dari Lucia yang sedang dirias. Seketika tubuh Lucia terpaku setelah mendengar suara berat baritone yang sangat familiar baginya. Jantungnya memompa darah dengan sangat cepat. Rasa panik dan amarah berbaur menjadi satu. Semua perempuan yang ada bersama Lucia menoleh, brush make-up yang hendak dipoleskan ke wajah gadis itu pun terhenti di udara. Melihat aura Kent yang tegas mendominasi, mereka pun merasa segan dan mundur beberapa langkah, memberi ruang untuk pria paruh baya itu mendekati Lucia. "Ke-kent?" ucap gadis itu terbata saat cermin yang dia tatap memantulkan bayangan pria yang sangat dia benci. "Untuk apa kau datang kemari." Seketika kedua tangan gadis itu mengepal, wajahnya yang cantik terpoles dengan make-up tampak mengetat.Kedua tangan pria itu tersimpan di saku celana, matanya turut menatap gadis itu dari pantulan cermin. "Kau terlihat sangat cantik hari ini." Puji Kent dengan nada suara datar. Lucia
Semua mata tertuju pada seorang pria paruh baya berparas rupawan yang berjalan mendekati panggung dengan kedua tangan tersimpan di saku celana. "Paman Kent?" Lirih Danzel sembari melempar tatapan bertanya pada Oliver Kent. Lucia menatap kesal pada Kent yang tanpa merasa berdosa menghentikan moment pemasangan cincin tunangan di jari manis kirinya. "Sebaiknya kau hentikan acara pertunanganmu, Danzel. Aku tidak yakin jika kau benar-benar bisa menerima gadis itu sepenuhnya setelah kau tahu salah satu fakta tentang gadis itu." Kedua sudut bibir Kent naik, membentuk seringai menyeramkan bagi Lucia. Gadis itu melempar tatapan laser yang sama sekali tidak membuat Kent gentar.Seketika wajah Lucia memucat. Keringat dingin membasahi dahi dan telapak tangannya. Apa yang akan Kent katakan di depan semua orang? Semoga bukan fakta tentang dialah ayah biologis dari anak yang dia kandung. Batin Lucia terus merapal doa. "Jangan dengarkan dia, kita lanjutkan saja, Danzel." Panik Lucia sambil berus
Seketika kedua mata Lucia terbelalak setelah mendengar suara pria yang baru saja turun dari mobil. Pria itu berjalan cepat dan meraih tangannya. "Lepaskan aku!" Lucia meronta sekuat tenaga, sekuat apapun dia meronta tetap saja tangannya tidak dapat terbebas dari cengkraman pria berbadan kekar tersebut. Pria itu justru memeganginya lebih kuat lagi. "Lepaskan aku! Belum puaskah kau menghancurkan semuanya?!" Pria itu hanya bergeming. Melihat tantrum Lucia yang tidak menunjukan tanda akan mereda, dengan paksa dia menggendong tubuh Lucia dan memasukkannya ke dalam mobil."Lepaskan aku!" Pekik Lucia sembari memukuli bahu pria itu. "Ikutlah denganku. Diluar terlalu berbahaya untuk gadis sepertimu." Kent mendudukkan Lucia di kursi penumpang belakang dan langsung mengunci pintu mobil tersebut. "Keluarkan aku! Asshole!" Umpat Lucia sembari mengetuk kaca mobil dari dalam. Untuk sesaat Kent merasa kagum. Dari mana Lucia belajar kosa kata itu? Pria itu berjalan memutari bagian depan mobil,
Mendengar Oliver menyebut dirinya ayah dari bayi yang ia kandung membuat Lucia terpaku seketika. Lucia bimbang apakah harus menuruti kemauan pria itu atau tidak, sehingga ia pun memilih untuk mengakhiri panggilan telepon. "Aku mohon, makanlah walau sedikit, Miss. Tuan begitu mengkhawatirkanmu dan bayimu." Pinta Helena dengan raut memohon. Lucia melirik ke arah baki berisi makanan yang mulai mendingin. Aroma susu strawberry yang terhirup oleh hidungnya membuat perut laparnya berbunyi. Seketika wajah gadis itu memerah karena malu.Helena mengulum senyum dan mengambilkan segelas susu khusus ibu hamil yang dia buatkan. "Minumlah, miss. Tuan membelikan susu ibu hamil dengan kualitas terbaik." Gadis pelayan itu menyodorkan susu di hadapan Lucia.Untuk sesaat Lucia tampak menimbang.Akankah dia mengambil makanan pemberian Kent? Namun membiarkan perut laparnya terlalu lama sama saja menyiksa janinnya. Tanpa mempedulikan ucapan Helena, gadis itu pun mereguk susu hingga setengah gelas. Rasa
Persalinan Lucia tinggal menghitung hari. Kent menjadi suami siaga yang selalu berada di dekat Lucia. Pria paruh baya itu memutuskan untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Fregrant Potion. “Kent, bisakah kau membawaku jalan-jalan?” pinta Lucia kepada suaminya. “Aku bosan jika sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam rumah, aku ingin menghirup udara segar di luar.”Oliver Kent yang semula memainkan ponselnya seketika menoleh ke arah istri belianya yang sedang bersandar pada kepala ranjang sembari mengelus perutnya yang besar. “Tentu saja. Tetapi melihat kondisimu yang mendekati persalinan, sebaiknya kita mencari udara segar di taman bunga yang terletak di samping mansion, Lucia.” jawaban Oliver Kent mendapatkan respon anggukan kepala dari Lucia.Dengan penuh kehati-hatian Kent menggandeng istrinya menuju salah satu gazebo yang yang ada di taman. Hamparan bunga tulip beraneka warna memanjakan mata yang berhasil membuat Lucia kagum. Astaga, kemana saja Lucia sela
Kedua pria asing tadi menyeret Lisa ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh gadis itu di atas ranjang. Salah satu pria yang tidak Lisa ketahui namanya mengunci pintu, yang seketika membuat bulu kudu Lisa meremang. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Lisa dengan wajah berlinang air mata. Gadis itu bahkan berlutut di depan dua pria asing itu agar melepaskannya. "Aku mohon, tolong lepaskan aku." Kedua pria berbadan tambun itu saling menatap dengan tatapan datar, sebelum akhirnya melepas pakaian Lisa dengan gerakkan kasar. Lisa menangis dan menyilangkan tangannya untuk menutupi bagian sensitif pada bagian dada dan kewanitaannya, namun hal tersebut nampaknya membuat kedua pria yang sudah membelinya marah. "Kami sudah membayar mahal untuk ini, jangan buang waktu kami, Nona," geram salah satu pria bernama Rey sembari menampar keras pantat Lisa, menyisahkan bekas jari berwarna merah pada bokong mulus gadis tersebut. "Ouch," Lisa meringis dan reflek memegangi bagian tubuhnya yang baru
Tinggal setengah perjalanan lagi untuk tiba di gedung Fregrant Potions, Kent merasakan kegelisahan yang luar biasa tanpa dia ketahui sebabnya. Pria itu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya dan hendak menanyakan keadaan Lucia. Dan di saat itulah baru ia sadari bahwa ponselnya masih tertinggal di rumah. "Putar balik, ponselku tertinggal di kamar." perintah Kent yang langsung di kerjakan Robin saat itu juga. Segera mobil yang mereka naiki melaju kembali ke mansion Kent. Jantung pria itu berdegup kencang sehingga membuat kegelisahannya bertambah. Kent berulang kali menarik dan menghembuskan nafas untuk meredakan kegelisahan yang dia alami, namun nampaknya itu sama sekali tidak membantu."Tambah kecepatannya, Robin." pintanya tak sabar ingin segera memastikan keadaan Lucia. Setibanya di mansion, pria paruh baya itu berjalan cepat dan mencari keberadaan Lucia di ruang makan, tempat terakhir kali dia dan gadis itu melewati pagi bersama. Namun tidak dia temukan Lucia di sana, dia
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Lucia dan Oliver yang baru saja mengikrarkan janji sehidup semati. Semua terasa seperti mimpi bagi Lucia. Hari itu adalah hari membahagiakan dalam hidupnya karena resmi menyandang nama Mrs.Silverlake. Semua pasang mata menyaksikan adegan ciuman yang dilakukan sepasang mempelai yang berlangsung cukup lama, yang semakin menghidupkan suasana romatis di hari itu."Beberapa paparazi membidik ke arah kita, Kent," ucap Lucia lirih setelah keduanya mengahiri sesi berciuman. Namun respon dari pria yang baru saja resmi menjadi suaminya membuat dahinya berkerut. "Ya, lalu?" Oliver terlihat sngat tenang, Lucia tidak menemukan keraguan di wajah pria itu. Kent menatapnya dengan teduh dan semakin terang-terangan memperlakukan Lucia dengan mesra di depan banyak orang. "Bagaimana jika yang kau takutkan terjadi? Nama kita akan kembali menjadi head line di berbagai media sosial, Kent. Semua orang akan kembali menghujat kita." Lucia menundukkan wajahnya dan m
"Turunkan aku!" pekik Lucia ke sekian kali, namun tetap Kent abaikan. Pria itu terus saja fokus pada jalanan di depan. "Pria manipulatif, licik, kau hanya menahanku demi dapat melampiaskan nafsumu setelah kau lelah dengan pekerjaanmu! Kau bahkan memperlakukan aku seperti wanita simpanan!" Setiap umpatan yang keluar dari mulut Lucia membuat dahi Kent mengerut. Ternyata seburuk itu penilaian Lucia atas dirinya, sehingga gadis itu berulang kali menyebut bahwa dirinya pria manipulatif. Dan apa tadi? Gadis itu berkata bahwa Kent selama ini sengaja menahannya hanya untuk memuaskan nafsu? Kent akui, hasratnya memang mudah bergejolak setiap kali berdekatan dengan Lucia, tetapi bukan hanya karena alasan itu Kent menahannya!Segera pria itu meminggirkan mobilnya di sebuah bahu jalan. Pria itu melepas seat beltnya yang seketika membuat Lucia merasa takut, takut jika pria itu melepas seat belt dan berpindah duduk ke kursi penumpang belakang untuk menamparnya yang sudah dengan lancang memaki Ke
Kent sedang menikmati udara malam di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi yang sudah mendingin. Entah mengapa, kedua matanya sulit sekali terpejam walau seharian itu dia sibuk dan merasakan lelah yang teramat. Ucapan yang Lucia sampaikan melalui para bawahannya selalu terngiang di telinganya.Dering ponsel dari dalam kamar terdengar nyaring saat suasana sunyi, sehingga Kent dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Kent segera mengambil benda tersebut dengan sedikit tergesa, berharap telepon tersebut berasal dari Jovan yang memberinya kabar tentang keberadaan Lucia. Tepat seperti dugaannya, nama Jovan tertera sebagai ID Caller, namun sungguh di sayangkan, panggilan telepon berakhir sebelum Kent sempat mengangkat telepon tersebut. Kent menyipitkan mata setelah membuka ponselnya. Jovan sudah terlebih dulu mengiriminya pesan sebelum meneleponnya. Mungkin bawahanya tersebut menelepon untuk sesuatu yang bersifat urgent, mengingat dia telah menegaskan untuk tidak menghubunginya selama Jov
Jovan berjalan dengan malas saat kembali ke mobilnya. Dia tidak menyangka atasannya memberi tugas yang sangat rumit untuk dia jalani; mencari keberadaan si gadis keras kepala. Ottawa cukup luas, sehingga mencari Lucia bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit. Dengan kondisi finasial Kent, Jovan yakin bahwa asannya tersebut pasti bisa menemukan wanita yang jauh lebih sempurna dibanding gadis labil itu. Karena seperti yang kebanyakan orang tahu, ada banyak wanita di dunia ini. Tetapi mengapa seorang Oliver Kent Silverlake harus menjatuhkan hati dengan gadis yang usianya terpaut jauh? Pria itu berjalan mendekati sekelompok remaja yang baru saja keluar dari sebuah restaurant cepat saji untuk melakukan pekerjaan yang cukup bodoh seperti yang dia lakukan selama berhari-hari; menanyakan apakah orang tersebut pernah melihat gadis yang ada dalam foto di yang dia pegang. "Permisi," sapanya dengan wajah datar, jauh dari kesan bersahabat pada segerombolan remaja pria di hadapa
"Dimana Lucia?" Eryk langsung menyodorkan pertanyaan itu kepada Helena yang baru saja membukakan pintu apartemen untuknya. Helena sedikit terlonjak saat melihat siapa pria yang ada di hadapannya. Dahi gadis pelayan itu mengerut. Melihat dari gesture Eryk, sepertinya pria itu tahu bahwa sebelumnya Lucia pernah tinggal disana. "Nona Lucia tidak ada di tempat ini, Tuan." jawab Helena dengan pembawaan tenang dan terlatih."Jangan berbohong!" Teriak Eryk sembari berjalan melintasi Helena yang masih berada di ambang pintu.Pria itu memeriksa semua bagian apartemen untuk mencari keberadaan Lucia. Namun dia menggeram kecewa setelahnya karena tidak menemukan gadis yang dia cari. "Dimana kau menyembunyikannya?" wajah pria itu semakin mengetat yang kian membuat Helena menciut. "Nona Lucia tidak ada di sini, Tuan. Sungguh." Jemari Helena saling memilin dengan raut gelisah, sebisa mungkin gadis itu tidak mengatakan bahwa Lucia memang sempat tinggal di apartemen itu.Eryk menatap penuh selidik
Pengunjung pria di Moonlight Lounge berkali lipat lebih banyak semenjak Lucia bekerja sebagai hostess di sana. Isabella cukup puas dengan kinerja anak buah barunya tersebut. Promosi Lucia atas brand-brand minuman beralkohol selalu berhasil. Bahkan beberapa pengunjung yang rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas tidak segan memberi gadis itu tip untuk setiap minuman yang Lucia tuang ke dalam gelas mereka. Lucia berjalan menuju samping meja bartender, tempat dimana para hostess berkumpul. "Good job, Lucia." puji Isabella sambil mengipas lehernya dengan kipas tangan yang selalu dia bawa. Senyum masih tersungging di wajahnya. Tidak hanya paras cantiknya yang membuat para pengunjung pria tertarik, tetapi gadis itu melayani para pengunjung dengan sangat baik."Thank you, Ma'am." jawab Lucia dengan senyum ramah, tanpa memperlihatkan kepada rekan hostess lain betapa superiornya dia dalam pekerjaan yang dia geluti. "Duduk, Lucia, jangan berdiri terlalu lama." ucap Hilda yang m