»»»»
Suara dari seberang telfon masih terdengar. Namun, Cia sudah ingin mengakhiri panggilan itu. Ceramah panjang dari Ferry sudah dia dengar semenjak kemarin, Cia sangat pusing mendengarnya.
"Besok malem gua ada acara!" Tanpa maksud tujuan, Cia mengatakan hal itu.
'Acara apa? Paling juga nongkrong sama Rajawali!'
"Enggak!" Elak Cia ketus.
'Terus?'
"Acara makan malem keluarga!" Cia mengutuk dirinya dalam hati. Namun, beberapa saat kemudian, ide brilian merasuki otaknya.
'Boong banget! Udah nggak usah alasan. Pokoknya, besok malem kita berangkat, jam 8 lo harus udah sampe bandara.'
"Gue nggak boong bang! Besok gue vc deh kalo nggak percaya!"
'Gue nggak percaya, bisa aja lo boongin gue, nyewa orang buat jadi sodara sama bokap lo. Gue kan nggak pernah ketemu sama mereka!'
"Ish! Pokoknya, gue nggak bisa. Titik!"
Cia memutuskan sambungan telfon. Lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Berarti, besok dia harus terpaksa hadir di acara yang Radith katakan tadi. Kapan dan di mana acara itu di lakukan? Menyebalkan jika dia harus bertanya pada Dava. Apa dia bertanya pada Radith saja?
»»»»
Cia keluar dari lift dan menuju ke arah dapur. Semalam, dia meninggalkan casan laptopnya di sana. Gara-gara ada Dava dan Radith, jadi dia melupakan benda itu.
Saat sedang memasukan casan laptop ke dalam tas, Radith muncul dengan jas kerja lenkapnya. Sepertinya dia sedang bersiap untuk pergi ke kantor. Cia celingukan mencari anak ayam yang biasa mengikuti Radith. Siapa lagi kalau bukan Diana.
"Khm!" Cia berdehem sambil menuang air ke dalam gelas, melirik Radith yang langsung duduk di kursinya. Dua prt langsung menyiapkan sarapan untuk Radith.
"Belum berangkat, Cia?" tanya Radith ramah. Cia memalingkan wajahnya.
"Kalo gue masih di sini. Berarti ya belum!" Cia hendak berlalu pergi, lalu mengingat bahwa dia akan ikut dalam acara makan malam nanti. Cia menghentikan langkahnya tepat di samping Radith. Pria itu menoleh dan mendapati Cia yang tampak ingin bicara sesuatu.
"Jam berapa?" Pertanyaan itu lolos dari bibir Cia. Radith terdiam sesaat lalu tersenyum lebar.
"Nanti malam, jam setengah delapan di Carlis Resto!" jawab Radith dengan penuh semangat.
"Di mana?"
"Carlis Resto!"
"Ok!"
"Kita berangkat sama-sama saja!"
"Nggak perlu, gue punya mobil sendiri!" Cia langsung pergi begitu saja. Radith tersenyum melihat kepergian putrinya. Saat itulah Dava keluar dari lift dengan terburu-buru.
"Cia mana?"
"Udah berangkat!" Jawab Radith sambil tersenyum. Dava tampak sedikit kecewa, tapi segera merubah ekspresinya saat melihat Radith tampak bahagia pagi ini.
"Papa tumben senyum-senyum pagi-pagi gini. Ada apa nih?" Dava duduk di dekat kursi Radith, dua prt tadi langsung menyiapkan sarapan juga untuk Dava.
"Adik kamu nanti malam ikut datang!"
"Siapa? Cia? Serius, Pa?"
"Dia sendiri yang bilang." Dava tampak kegirangan mendengar perkataan Radith.
"Asik, akhirnya dia mau juga kumpul keluarga!" Moment paling Dava tunggu setiap saat adalah dimana mereka bisa berkumpul bersama. "Nggak sabar jadinya, buat nanti malem." Radith hanya terkekeh pelan melihat tingkah putranya.
»»»»
Cia menganga tak percaya dengan sebuah paket yang di berikan oleh prt beberapa saat yang lalu. Dia baru saja pulang sekolah dan berniat pergi ke castroom. Namun, seorang prt menyerahkan sebuah paket dengan takut-takut kepadanya. Dan saat Cia kembali ke kamar dan membuka isinya, itu adalah paket yang di kirimkan Ferry untuknya. Lengkap dengan sebuah note bertuliskan.
'Gue nggak percaya kalo lo pergi tanpa pake ini!' Dan sebuah dress cantik berwarna hitam yang mungkin sangat pas di tubuh Cia.
"Ah sial!" Cia membanting tubuhnya ke kasur. Kenapa hidupnya jadi rumit begini.
"Ci, Cia!" Dava mengetuk pintu kamar Cia beberapa kali. Sejak dirinya memutuskan untuk ikut dalam acara makan malam itu, di sekolah, Dava seperti seorang yang baru saja jatuh cinta kembali, mengikuti Cia dari jauh, menatapnya sambil senyum-senyum tidak jelas. Mengerikan bagi Cia.
"Pergi lo, tukang nguntit!" Cia berteriak kencang. Dava tak mendengar karena kamar Cia memang kedap suara. Cia memilih membenamkan kepalanya di balik bantal, setidaknya dia tak akan mendengar ketukan suara Dava lagi dari luar. Memang menyebalkan, ruangan yang aneh, dari dalam bisa mendengar suara dari luar, tapi dari luar tak bisa mendengar suara dari dalam. Kan menyebalkan.
Waktu yang Dava tunggu akhirnya tiba. Jam menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit. Dan mereka harus berangkat sekarang sebelum mereka terlambat. Dava sudah mencari-cari Cia sejak tadi, berharap mereka bisa berangkat bersama menggunakan satu mobil. Namun, sayangnya Cia sudah lebih dulu pergi menggunakan mobilnya sendiri.
"Ayo kita berangkat, sebelum semakin malam!" Dava akhirnya pasrah, ikut masuk ke dalam mobil Radith. Diana juga melakukan hal yang sama, lagi pula tak akan nyaman bila ada Cia di dalam mobil itu.
»»»»
Dava menatap Cia tanpa berkedip. Siapa gadis cantik dengan dress selutut yang ada di hadapannya ini? Benarkan ini Cia, benarkah ini adiknya yang selama ini tampil urakan itu? Apa ini yang di sebut the power of make up?
"Lo liatin apaan! Mau gue colok!" Cia bersiap menusukkan kedua jarinya ke arah mata Dava. Sang kakak segera menghindar sambil terkekeh pelan.
"Habisnya lo beda banget sih!" Cia mengambil sesuatu dari tas kecil yang dia pegang.
"Pake!" Perintahnya pada Dava. Cowok manik abu tampak terkejut, bukan pada apa yang Cia berikan, tapi pada apa yang Cia lakukan. Memberikan sebuah dasi kupu-kupu pada Dava? Benar-benar bukan seperti Cia. "Mau nggak? Kalo enggak, gue masuk in lagi!" Dava dengan segera mengambil dasi itu. Memakainya lalu tersenyum bangga, pasalnya, dasi itu memiliki bentuk yang sama dengan pita yang ada di bahu kiri Cia. Mereka sama an sekarang.
"Pa, liat!" Dava memamerkan kekompakan keduanya pada Radith. Mereka sudah sampai lebih dulu di restoran dan Cia sudah sampai lebih dulu dari yang lain.
"Wah, kalian cocok sekali pakai itu. Jadi kompak ya!" Radith tersenyum hangat. Cia menghela napasnya sebelum berdiri dan berkata.
"Ayo foto bareng!" Dengan lantang. Karena tempat itu memang sedang sepi. Dava dan Radith menatap Cia tak percaya, sedangkan Diana hanya duduk diam di tempatnya.
"Sa.sama kita, Ci?" Dava tak salah dengar, kan?
"Iya, ayo foto bareng!" Pada akhirnya, Radith dan Dava berdiri di samping kanan dan kiri Cia. Cia sudah malu setengah mati di buatnya, mungkin di kehidupan yang lalu, Cia sering mempermalukan seseorang, maka dari itu, sekarang dia sedang di permalukan.
Cia mengirim fotonya kepada Ferry setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Semoga saja ini akan baik-baik saja kedepannya.
.
.
.
Apanya yang baik-baik saja!
»»»»
To be Continue ....
»»»» Radith tersenyum menyambut kedatangan relasi bisnisnya yang sudah membuat janji makan malam bersama keluarganya. Sepasang suami istri dan tiga anaknya datang secara bersamaan."Maaf kami terlambat!" Pria itu menyapa lalu bersalaman dengan Radith."Santai saja, Pak. Kami juga belum lama." Radith mengangguk dan mempersilahkan pria itu untuk duduk. "Nah, Ma. Perkenalkan, beliau adalah Pak Bernard Knowles. Rekan bisnis Papa.""Selamat malam, Pak Bernard," sapa Diana sambil tersenyum ramah."Dia istri saya, Diana. Dan kedua anak saya, Dava dan Cia." Cia langsung memalingkan wajahnya.'Mampus!' Batinnya berteriak."Malam, Pak," sapa Dava ramah. Sedangkan Cia masih menunduk. "Pst! Ci, Cia!" Dava menepuk lengan Cia pelan. Cia mengangkat kepalanya sambil tersenyum canggung.
»»»»"Pak Ferry menghubungi saya, dan berkata bahwa saya harus menjaga privasi dari client. Saya pikir, itu tentang Pak Radith. Ternyata, justru anda Mrs. Carlstie." Cia tersenyum canggung."Maaf ya, Pak. Tapi, Bapak nggak bilang sama om Radith kan?""Tenang saja, saya bisa menjaga rahasia.""Syukurlah.""Kamu hebat ya, saya jadi merasa semakin bersemangat untuk bekerja. Dulu, saat saya seusia kamu, yang saya pikirkan hanya main!" Bernard dan Cia terkekeh bersama."Tapi, kedepannya tolong jangan beri tahu siapa-siapa tentang saya ya, Pak!"
»»»» "Aduh!" Gevin sudah bersedeku di lantai dengan tangan yang terkunci ke belakang. "Jangan karena bokap lo nitipin lo ke gue, lo bisa seenaknya!" Cia mendorong Gevin hingga cowok itu terjatuh ke lantai. Sedangkan Cia langsung berlalu pergi begitu saja, harinya begitu sial.
»»»»» Pagi di sekolah yang damai. Semua orang tampak senang karena sepertinya si pentolan sekolah tidak masuk sekolah. Walaupun semua orang tampak senang, lain hal dengan cowok bermanik mata abu-abu yang kini duduk di tepi lapangan basket. Dia bersama sahabatnya, Iqbal sedang menghabiskan waktu hanya duduk diam sambil menunggu bel pelajaran di mulai. Iqbal menatap Dava dengan bingung, sejak beberapa hari lalu, Dava tampaknya sering melamun dan sering tidak fokus. "Cia?" Pertanyaan singkat dan tidak jelas Iqbal justru di tangkap jelas oleh Dava. Cowok manik abu itu mengangguk, lalu menghela napasnya, "udah lah, dia itu memang susah di tebak. Gue denger, kemaren dia bikin rusuh di kantin!" "Gara-gara gue!" Dava menatap kunci mobil milik Cia di tangannya. Benar, kemarin dia dan Cia berangkat bersama dan pada akhirnya, Cia meninggalkan kunci mobilnya sekali
»»»»"Dava!" Radith berlari mendekati Dava yang masih duduk di depan ruang Operasi."Pa!" Cowok manik abu itu segera berdiri."Apa yang terjadi?" Radith bertanya pada Kasim dan Naida yang masih menemani Dava."Maaf, pak. Saat ini, Cia sedang di operasi." Radith tak mengerti apa yang di ucapkan Kasim."Apa maksud Bapak?""Dokter bilang, pisau yang menusuk perut Cia, mengenai organ vitalnya, dan saat ini Cia harus di operasi!" jelas Kasim. Radith menatap Dava yang sudah kembali duduk di kursinya, seragam sekolahnya masih berlumuran darah juga kedua tangannya yang tampak bergetar."Dava ..." Radith duduk di samping Dava, lalu merangkul bahu puteranya itu."Pa ...!" Dava langsung memeluk Radith dengan erat. Dava masih tak percaya, beberapa jam yang lalu, adiknya berbaring di pangkuannya denga
»»»» Cia menatap jam yang terus berdetak di dinding ruang rawatnya. Sudah 2 hari dia di rawat dan seharusnya, nanti malam adalah pertandingannya dengan pembalap dari New Zealand. Cia tak ingin melewatkan kesempatan itu, tapi bagaimana bisa dia keluar, jika dia terus di awasi 24 jam begini!"Hai Cia ..." Cia berdecak kesal. Kenapa di saat seperti ini, harus muncul orang yang menyebalkan!"Ngapain lo kesini!" Ketus Cia. Kian hanya tersenyum seperti biasa."Kita kan temen, jadi wajar kalo gue jengukin lo, ya kan?""Nggak perlu, dah sana balik!""Ih, jahat banget. Padahal kan gue cuma pengen tau keadaan lo doang!""Gue baik-baik aja. Puas lo, dah sana balik!""Ish! Iya-iya, gue pulang nih!" Cia mengalihkan tatapannya, dan saat itu dia mendapat ide bagus."Tunggu!"
»»»» Radith datang sambil berlari mendekati Dava. Cowok itu sudah duduk di kursi yang ada di dekat tempat tidur Cia, sedangkan gadis itu masih berbaring tak sadarkan diri. "Gimana keadaannya?" "Kacau, Pa!" Dava menatap Cia sesaat lalu menunduk. "Dokter bilang, Cia bisa aja kehilangan nyawanya, untung dia cepet-cepet di bawa kesini!" "Cowok yang kamu bilang dateng sama Cia, sekarang di mana?" "Dia udah pulang. Dia sama sekali nggak mau ngomong apapun, bahkan dia cuma jawab satu pertanyaan, itu cuma nama dia doang! Sisanya dia sama sekali nggak ngomong apa-apa!" "Kamu biarin dia gitu aja?" "Untuk sekarang iya. Lagian, dia bawa bodyguardnya, Dava nggak bisa apa-apa. Tapi, Gevin bantu Dava dan ngikutin mereka." "Gevin?" "Temen sekelas D
»»»»"Dua tahun lalu ... di halte depan sekolah!" Cia menahan ucapannya, Jun tidak mengerti apa yang Cia maksud, "lo yang nabrak Kakak gue, kan ...." cowok Korea itu benar-benar terkejut mendengar apa yang Cia ucapkan. Tidak, bukan hanya terkejut, Jun juga tak percaya dengan pendengarannya."Maksud lo ... apa?""Motor yang lo pake waktu itu, sama persis kayak motor yang dulu nabrak Kakak gue. Gue nggak tau siapa pengendaranya, tapi itu jelas motor yang sama!" Jun terdiam lalu menunduk, "waktu itu hujan ..." Cia lalu terdiam, menatap Jun yang masih menunduk di depannya."Iya ... itu gue!" Cia segera mengalihkan tatapannya."Kenapa lo pergi? Kenapa lo nggak tolongin Kak Nita waktu itu?""Gue ... takut, jadi ...""Lo kabur." Jun tak berani menatap Cia. "Lo tau, apa yang udah lo lakuin waktu itu?"
***** Di hari saat setelah pembagian kelas, Kian tengah Berjalan di koridor menuju perpustakaan, dia berniat untuk mengembalikan buku yang dia pinjam sebelum libur sekolah kenaikan kelas kemarin. Ketika masuk, Kian bertemu seorang pria yang tampak sedang membereskan tumpukan buku. Dia adalah Deren, penjaga perpustakaan. Berusia 26 tahun, dan lulusan salah satu jurusan di Samsard University. Jurusan penelitian tentang buku. Deren bahkan sudah hampir membaca setiap jenis buku yang ada di perpustakaan itu."Selamat siang, Kak." sapa Kian ramah dan ceria seperti biasanya."Siang juga. Kian rajin sekali, baru hari pertama masuk sudah ke perpustakaan saja." Kian terkekeh pelan."Iya, Kak. Mau ngembaliin buku yang waktu itu di pinjem." Kian mengangkat dua buah buku berukuran sedang yang dia pegang. Kian meletakkan buku itu di atas meja, Deren segera mencatat nya. Setelah selesai, Kian berniat kembali ke kelas, tentunya kelas barunya di mana
*****"Sama Cia. Gevin juga." Dava membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ponsel berwarna hitam miliknya di tempelkan di telinga kiri.'Jangan terlalu ikut campur, Sayang. Kamu tau kan Cia itu gimana.'"Iya, gue tau kok. Tapi gue juga nggak tau apa jawaban Cia." ucapnya lagi. Saat ini, dia sedang menghubungi kekasihnya, Aqila. 'Yah semoga aja, mereka bisa cepet selesain masalahnya.' harap Aqila. Dava menghembuskan napasnya lelah, tidak tau harus berkata apa."Ngomong-ngomong, lagi ngapain?" Dava bangun dari baringnya, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya sama seperti biasanya, dia tampan, memiliki warna mata yang tidak umum di Indonesia. Dava pernah memakai softlens untuk menutupi warna asli matanya karena baginya terlalu mencolok, itu terjadi saat Dava masuk ke bangku SMP. Tapi setiap kali Dava memakai softlens, Cia selalu menatapnya tajam dan dingin lebih dari biasanya. Dava jadi ragu untuk memakainya lagi, apa menutupi warna mata aslinya ter
*****"Ok, gue duluan!" Dava melambaikan tangannya pada Iqbal sambil membawa sepeda motornya pergi meninggalkan sekolah, siang ini, seusai sekolah, Dava memutuskan untuk pulang lebih awal, Radith bilang ada yang ingin di bicarakan, jadi dia buru-buru untuk pulang. Di tengah jalan, Dava menghentikan laju motornya saat melihat mobil yang dia kenal tengah berhenti di bahu jalan, lampu mobil masih menyala, pertanda pemiliknya masih di dalam. Dava memutuskan berhenti di belakang mobil itu, lalu turun tanpa melepas helm miliknya. Dava mengetuk kaca mobil dengan pelan."Ci, Cia ..." panggilnya, gadis yang di dalam menoleh, membuka pintu dengan perlahan. Dava mundur beberapa langkah dan terkejut saat pintu terbuka, Cia langsung memeluk dirinya sambil menangis. Dava tentu saja tidak menyangka Cia langsung memeluknya dan menangis."Cia lo kenapa? Siapa yang bikin lo nangis?" Dava bertanya khawatir. Bukannya menjawab, Cia malah semakin menangis dalam
***** Gevin masih di posisi yang sama, duduk di samping tempat tidur sang Nenek. Padahal banyak yang memintanya untuk istirahat, tapi Gevin menolak. Pakaian yang dia pakai semalam masih sama, hingga pagi ini, Gevin tidak mau pergi ke sekolah dan betah duduk di samping Neneknya."Gue mau di sini aja! Jangan ganggu gue!" ucapan Gevin yang mendapat pelototoan dari Angga."Basi lo!" Angga kesal sekali dengan Gevin. "Emangnya lo mau nikah muda, pacar lo kan banyak!" sindir nya kesal. Gevin menatap sang Nenek yang baru saja tertidur. Semalam, setelah meminta maaf dan di maafkan, Sang Nenek berpesan.'Gevin, ingin sekali Nenek melihatmu menikah sebelum Nenek pergi.' tapi itu kan tidak mungkin. Gevin masih sekolah, terlebih dia mencintai Cia, apa Cia mau menikah dengannya, jika tidak, apa Gevin harus menikah dengan orang lain dulu, baru menceraikannya setelah itu kembali pada Cia. Tapi Gevin sudah berjanji akan berubah, jika dia melakuka
****** Rio menatap Gevin heran, cowok itu keluar sambil membawa handuk dan berjalan dengan santai sembari mengeringkan rambutnya. Empat orang lainnya yang tadi ada di sana sudah pulang, mereka bilang lain kali saja datang lagi, karena melihat mood Cia juga tampaknya tidak bagus. Siapa yang tidak tau jika mood Cia sedang buruk maka semua orang bisa kena getahnya. Mungkin hanya Gevin yang kebal dengan itu semua. Ya ada satu lagi, siapa lagi kalau bukan Dava."Lo baikkan sama Cia?" tanya Rio yang tau bahwa sebelumnya Cia bertengkar dengan Gevin."Iya. Thanks ya, udah cerita soal Cia waktu itu." Rio hanya mengedik acuh. Tak menyangka Cia akan memberikan kesempatan pada Gevin."Jangan nyakitin Cia ..." pesan Rio, "gue kasih tau sama lo ya." Rio melirik kamar Cia lalu berbisik pelan, "Cia kalo udah nyaman, bakalan manja minta ampun. Percaya deh sama gue!" Gevin tentu saja tidak percaya, tapi dia juga penasaran. Gimana sosok Cia yang manja. "Gue
****** Gevin membuka pintu ruangan Cia dan masuk tanpa ijin. Cia menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Gevin sudah biasa dengan itu, tapi sekarang Gevin juga sudah tau cara menenangkan nya."Di luar nggak ada yang gue kenal, sayang. Gue kan baru liat mereka." Gevin langsung memeluk Cia dari belakang, menenangkan gadis itu akan kemarahannya. Gevin melihat sekeliling, ruangan itu ternyata ruang kamar, dengan kasur king size dan sebuah lemari besar, juga meja kerja yang berada di sudut ruangan."Lepas gue mau ganti baju! Keluar sana!" Gevin tersenyum cerah."Mau dong liat lo ganti baju ... Bercanda! Sumpah bercanda!" Gevin segera tertawa melihat reaksi Cia. Cowok itu duduk di sofa yang berada di dekat pintu, lalu mengeluarkan ponselnya. "Gue main game sambil nungguin lo aja gimana?" Cia masih menatap Gevin tajam. Dia heran, kenapa bisa nyaman dengan orang semenyebalkan Gevin. Sungguh bodoh sekali. Gevin benar-benar serius bermai
***** Sore harinya, saat Cia tengah mengendarai mobilnya untuk pulang, ya lebih tepatnya dia ingin pergi ke CR, tiba-tiba saja ban mobilnya meledak dan Cia hampir kehilangan kendali, untungnya dia pembalap handal, jadilah dia berhasil selamat, walaupun dia merusak beberapa tanaman yang ada di trotoar jalan. Gadis itu keluar dan terkejut mendapati sebuah paku berukuran cukup besar tertancap di ban depan mobil miliknya. Beberapa Pejalan kaki, bahkan pengenadara motor yang lewat segera berkumpul dan melihat apa yang terjadi dan berniat membantu jika di perlukan."Bahaya banget!" Cia mengambil ponselnya untuk menghubungi Rio, tapi sebelum panggilan tersambung, Cia melihat mobil Gevin yang mendekat, Cia tak jadi menghubungi Rio. Gevin keluar dengan terburu-buru, tanpa menutup pintu mobilnya, dia mendekati Cia dan langsung memeluknya. Cia sendiri sampai terkejut."Are you ok?" tanya cowok itu penuh kekhawatiran."Ya, gue baik-baik aja kok."
*****"Ngapain hayooo!!" "Woaah!" Gevin terkejut bukan main saat seseorang berbicara tepat di belakang kepalanya. Cowok itupun menoleh dan lebih terkejut lagi karena orang yang berada di belakangnya itu adalah seorang cowok jangkung yang bahkan sedikit lebih tinggi darinya. Gevin itu tinggi, bagi anak seusia Gevin, karena cowok itu memiliki tinggi 180 cm. Sedangkan cowok yang tadi mengejutkannya itu lebih tinggi 5 atau 6 centi darinya."Ngapain ngintip-ngintip?" tanya cowok jangkung itu. Gevin melotot kesal."Lo ngapain sih ngagetin gue!" dengusnya kesal."Lo sendiri ngapain di sini, nggak gabung sama yang lain?" Cowok itu kini melihat ke arah orang-orang yang tadi Gevin perhatikan. "Ssst! Jangan ngurusin urusan orang. Dah sana lo pergi. Awas kalo lo ganggu gue lagi!" Gevin memutar kepalanya ingin melihat teman-temannya lagi."Woaaah!" teriakan Gevin lebih kencang dari yang tadi. Cowok itu bahkan sampai terjatuh t
****** Cia mengemasi barangnya dengan hati-hati. Wajahnya masih murung, Bu Dewi yang juga tengah membantu, tampak tersenyum, lalu menepuk bahunya pelan."Jangan terlalu di pikirkan, Mba. Sebaiknya Mba Cia mengikuti kata hati saja." Cia diam tanpa menjawab. Ferry juga sebenarnya sudah membebaskannya, tapi Cia masih ragu, bagaimaba kedepannya, dia sudah dua kali di sakiti dengan hal yang sama, apa dia akan merasakan yang ketiga, keempat, kelima bahkan seterusnya?"Mama, nanti pulang Nuca mau beli kucing." Cia terkejut sekaligus bingung."Kucing?" Bu Dewi justru tertawa."Kemarin saat jalan-jalan, saya dan Mas Nuca lihat kucing di pet shop. Lucu sekali, Mas Nuca katanya mau minta sama Mba Cia." Cia mendekati Nuca dan berjongkok di depannya."Iya, Mama janji nanti pulang kita beli kucing ya.""Yeeey, Mama yang terbaik." Nuca mencium pipi Cia dan memeluknya. Entah kenapa, melihat Nuca bahagia dan tertawa saja membuat Cia ikut merasakannya.*****