»»»»
Radith datang sambil berlari mendekati Dava. Cowok itu sudah duduk di kursi yang ada di dekat tempat tidur Cia, sedangkan gadis itu masih berbaring tak sadarkan diri.
"Gimana keadaannya?"
"Kacau, Pa!" Dava menatap Cia sesaat lalu menunduk. "Dokter bilang, Cia bisa aja kehilangan nyawanya, untung dia cepet-cepet di bawa kesini!"
"Cowok yang kamu bilang dateng sama Cia, sekarang di mana?"
"Dia udah pulang. Dia sama sekali nggak mau ngomong apapun, bahkan dia cuma jawab satu pertanyaan, itu cuma nama dia doang! Sisanya dia sama sekali nggak ngomong apa-apa!"
"Kamu biarin dia gitu aja?"
"Untuk sekarang iya. Lagian, dia bawa bodyguardnya, Dava nggak bisa apa-apa. Tapi, Gevin bantu Dava dan ngikutin mereka."
"Gevin?"
"Temen sekelas D
»»»»"Dua tahun lalu ... di halte depan sekolah!" Cia menahan ucapannya, Jun tidak mengerti apa yang Cia maksud, "lo yang nabrak Kakak gue, kan ...." cowok Korea itu benar-benar terkejut mendengar apa yang Cia ucapkan. Tidak, bukan hanya terkejut, Jun juga tak percaya dengan pendengarannya."Maksud lo ... apa?""Motor yang lo pake waktu itu, sama persis kayak motor yang dulu nabrak Kakak gue. Gue nggak tau siapa pengendaranya, tapi itu jelas motor yang sama!" Jun terdiam lalu menunduk, "waktu itu hujan ..." Cia lalu terdiam, menatap Jun yang masih menunduk di depannya."Iya ... itu gue!" Cia segera mengalihkan tatapannya."Kenapa lo pergi? Kenapa lo nggak tolongin Kak Nita waktu itu?""Gue ... takut, jadi ...""Lo kabur." Jun tak berani menatap Cia. "Lo tau, apa yang udah lo lakuin waktu itu?"
****"Udah waktunya makan ..." Dava duduk di samping Cia, di tangan cowok itu terdapat mangkuk berisi bubur dan segelas air putih."...""Ci, makan dulu.""...""Gue suapin ya!" Cia menatap Dava kesal."Bisa nggak lo jangan ganggu gue!""Bisa, asal lo harus makan dulu!" Cia mendengus. Tanpa menunggu lama, gadis itu mengambil mangkuk dan memakan bubur yang sudah tersedia. Beberapa kali Cia tampak ingin memuntahkan makanan itu, Dava yang melihatnya sedikit memicing."Lo ... nggak suka bubur?" Cia tak menjawab. Setelah menghabiskan setengah bubur yang ada, gadis itu memberikan mangkuknya kembali pada Dava."Gue udah kenyang!" Sambil mengambil gelas berisi air minum dari tangan Dava, "gue udah selesai. Jadi jangan ganggu gue lagi!" Cia buru-buru berbaring dan menutup seluruh tubuhn
»»»»» Cia berjalan keluar dari kamarnya, sudah 3 hari terlewati setelah kepulangannya dari rumah sakit. Keadaannya semakin membaik. Terlebih, Cia juga tak pernah keluar kamar dan itu membuat Dava senang. Setidaknya Cia tak keluyuran dan membuat kesehatannya semakin memburuk. Saat Cia baru menutup pintu dan ingin berjalan ke lift. Ternyata ada beberapa orang di ruang bermain. Mereka tampak sedang bercanda sambil memegang stik ps di tangan mereka."Mau kemana, Ci?" Dava menjeda apa yang tengah dia lakukan."Minum!" Cia acuh dan kembali melangkah, Dava mengangguk lalu kembali duduk untuk melanjutkan acara mabar-Nya dengan teman-temannya. Sampai di dapur, Cia menuang air hangat ke dalam gelas dan menghabiskannya dengan cepat. Gadis itu kembali menuang air ke dalam gelas. Tiba-tiba, Cia dikejutkan oleh suara yang terdengar di bel
*****"Balik sama gue!" Cia menepis tangan Gevin yang mencekal pergelangan tangannya. Dia baru saja keluar dari kelas, dan ternyata Gevin sudah menunggunya."Lo nggak bosen gangguin gue!""Lo pacar gue sekarang, kalo lo lupa, Queen!" ucap Gevin, dan berbisik saat mengucapkan kata Queen."Gue sibuk!" Cia melangkah pergi, Gevin ingin mengejarnya, tapi ponselnya berdering membuatnya urung memanggil nama Cia, dan langsung mengangkat panggilan nya."Oh, hai, Sayang!""...""Nggak dong! Nggak lupa kok, sekarang aku jemput ya!" Gevin tersenyum begitu menawan, lalu memutuskan sambungan telponnya. Cowok itu dengan segera pergi untuk menjemput pacarnya 'yang lain'.****** Cia tersenyum ramah, dan menjabat tangan relasi bisnisnya. Waktu sudah sore saat dirinya baru selesai m
****** Cia melangkah dengan malas ke arah kelasnya, tatapannya kosong. Seakan dia tidak berada dalam tubuhnya saat ini, dia merasa sedang dalam keadaan yang tidak harus berada di tempat itu. "Cia!" Sebuah panggilan membuatnya menoleh, seorang cowok mendekatinya, padahal Cia tidak terlalu mengenalnya."Lo ...?""Oh, gue Sean! Temen sekelas lo." Cia mengangguk malas."Kenapa?""Oh, gue mau tanya, soal Gevin ...""Bukan urusan gue!""Bukannya kalian pacaran!" Cia menatap Sean seakan berkata 'lo percaya sama omong kosong itu!'. "Maksud gue, Gevin nggak pulang ke rumahnya, udah dua hari dan kemarin dia juga nggak masuk sekolah. Mungkin lo tau dia kemana, atau mungkin dia sama lo!" Cia masih menatapnya datar seakan berkata, 'penting banget?'."Bukan urusan gue!"
***** Dava menggendong Cia ke dalam kamarnya, dan ini pertama kalinya Dava masuk kedalam kamar Cia. Kamar gadis itu rapi, tidak seperti bayangannya, dan juga ada beberapa koleksi mobil sport mini di atas meja dan juga sebuah piala yang Dava tidak tau, itu asli atau bukan. Dava membaringkan Cia di tempat tidurnya, lalu menyelimuti sang adik dengan perlahan."Papa ..." Dava menghentikan pergerakkannya saat Cia menggumamkan satu kata yang membuatnya kaget. "Jangan pergi ...""Cia ..." Dava mengusap rambutnya dengan pelan. Entah mengapa, Dava merasa simpati pada sang adik, terlebih sepertinya Cia sejak kecil tidak dekat dengan Diana, dan dia tampak lebih dekat dengan sang Ayah. Dava tidak mengerti, mengapa Cia tak bisa menerima Radith sebagai pengganti Papanya. "Sebenernya, kenapa lo nggak bisa nerima kita, Ci. Apa lo sebegitu bencinya sama gue dan Papa?" Dava menatap Cia dengan mata berkaca-kaca. Cowok itu tersenyum kecil, lalu ingin beranjak
*****"Maksud lo gimana?" Rio duduk di seberang meja Cia."Dirga sama Hide nyulik Gevin kemarin!" Rio menghembuskan napasnya."Gevin? Cowok yang ngikutin gue? Lo ada hubungan sama dia?" Cia menggeleng."Ya enggak lah, lo pikir!""Terus, ngapain Dirga nyulik dia? Nggak ada urusan sama lo kan!""Dari awal, lo udah tau Yo, Dirga itu cari kesempatan buat hancurin semua orang yang ada hubungannya sama gue." Rio mengangguk mengerti."Hubungan lo sama Gevin?""Gevin itu anaknya Om Bernard, dia itu relasi bisnis Bang Ferry dan lo tau kan, Bang Ferry selalu bilang ke gue biar gue punya hubungan baik sama mereka.""Terus hubungannya sama penculikan itu?" "Hari itu, gue sama Gevin ketemu di hotel. Ada masalah dan gue harus bantuin dia atas perintah bokapnya. Gua nggak tau, Dirga tau dari mana dan hari itu juga, Gevin langsung di culik. Untung aja gue belum terlambat." Rio menatap Cia dalam diam."Alasannya bukan itu!" Rio kali ini menatap dengan raut datarnya, "alasan lo nolong dia, bukan karen
***** Gevin dan Cia saat ini sedang bermain perang, Cia sesekali tertawa saat permainan itu di menangkan olehnya, dan Gevin akan menantangnya sekali lagi. Setelah Gevin kalah untuk kesekian kalinya, dan Cia menang entah untuk yang ke berapa kalinya, keduanya memutuskan untuk istirahat. Gevin menatap Cia sambil tersenyum, gadis itu sedang meminum bubble yang dia beli beberapa saat lalu. Cia sedang duduk di sampingnya, tapi karena tubuhnya lebih pendek darinya, Gevin bisa melihat Cia dari samping dengan jelas. Gevin masih berpikir, bagaimana mungkin, Cia adalah gadis yang seperti itu, apa Cia benar-benar bermain dengan Om-om? Tapi jika tidak, lalu apa yang Cia lakukan di Hotel hari itu. Apa Gevin harus bertanya?"Woi! Gue lagi nanya!" "Eh, aduh, sakit woi! Apa? Kenapa?" Gevin terkejut saat Cia menendang tulang keringnya."Kita pulang kan abis ini?" Gevin tersenyum lalu menggeleng."Enak aja. Ayo main yang lain!" "Main apa lagi, ini udah malem, mau kemana lagi sih!" Bukan main di t
***** Di hari saat setelah pembagian kelas, Kian tengah Berjalan di koridor menuju perpustakaan, dia berniat untuk mengembalikan buku yang dia pinjam sebelum libur sekolah kenaikan kelas kemarin. Ketika masuk, Kian bertemu seorang pria yang tampak sedang membereskan tumpukan buku. Dia adalah Deren, penjaga perpustakaan. Berusia 26 tahun, dan lulusan salah satu jurusan di Samsard University. Jurusan penelitian tentang buku. Deren bahkan sudah hampir membaca setiap jenis buku yang ada di perpustakaan itu."Selamat siang, Kak." sapa Kian ramah dan ceria seperti biasanya."Siang juga. Kian rajin sekali, baru hari pertama masuk sudah ke perpustakaan saja." Kian terkekeh pelan."Iya, Kak. Mau ngembaliin buku yang waktu itu di pinjem." Kian mengangkat dua buah buku berukuran sedang yang dia pegang. Kian meletakkan buku itu di atas meja, Deren segera mencatat nya. Setelah selesai, Kian berniat kembali ke kelas, tentunya kelas barunya di mana
*****"Sama Cia. Gevin juga." Dava membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ponsel berwarna hitam miliknya di tempelkan di telinga kiri.'Jangan terlalu ikut campur, Sayang. Kamu tau kan Cia itu gimana.'"Iya, gue tau kok. Tapi gue juga nggak tau apa jawaban Cia." ucapnya lagi. Saat ini, dia sedang menghubungi kekasihnya, Aqila. 'Yah semoga aja, mereka bisa cepet selesain masalahnya.' harap Aqila. Dava menghembuskan napasnya lelah, tidak tau harus berkata apa."Ngomong-ngomong, lagi ngapain?" Dava bangun dari baringnya, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya sama seperti biasanya, dia tampan, memiliki warna mata yang tidak umum di Indonesia. Dava pernah memakai softlens untuk menutupi warna asli matanya karena baginya terlalu mencolok, itu terjadi saat Dava masuk ke bangku SMP. Tapi setiap kali Dava memakai softlens, Cia selalu menatapnya tajam dan dingin lebih dari biasanya. Dava jadi ragu untuk memakainya lagi, apa menutupi warna mata aslinya ter
*****"Ok, gue duluan!" Dava melambaikan tangannya pada Iqbal sambil membawa sepeda motornya pergi meninggalkan sekolah, siang ini, seusai sekolah, Dava memutuskan untuk pulang lebih awal, Radith bilang ada yang ingin di bicarakan, jadi dia buru-buru untuk pulang. Di tengah jalan, Dava menghentikan laju motornya saat melihat mobil yang dia kenal tengah berhenti di bahu jalan, lampu mobil masih menyala, pertanda pemiliknya masih di dalam. Dava memutuskan berhenti di belakang mobil itu, lalu turun tanpa melepas helm miliknya. Dava mengetuk kaca mobil dengan pelan."Ci, Cia ..." panggilnya, gadis yang di dalam menoleh, membuka pintu dengan perlahan. Dava mundur beberapa langkah dan terkejut saat pintu terbuka, Cia langsung memeluk dirinya sambil menangis. Dava tentu saja tidak menyangka Cia langsung memeluknya dan menangis."Cia lo kenapa? Siapa yang bikin lo nangis?" Dava bertanya khawatir. Bukannya menjawab, Cia malah semakin menangis dalam
***** Gevin masih di posisi yang sama, duduk di samping tempat tidur sang Nenek. Padahal banyak yang memintanya untuk istirahat, tapi Gevin menolak. Pakaian yang dia pakai semalam masih sama, hingga pagi ini, Gevin tidak mau pergi ke sekolah dan betah duduk di samping Neneknya."Gue mau di sini aja! Jangan ganggu gue!" ucapan Gevin yang mendapat pelototoan dari Angga."Basi lo!" Angga kesal sekali dengan Gevin. "Emangnya lo mau nikah muda, pacar lo kan banyak!" sindir nya kesal. Gevin menatap sang Nenek yang baru saja tertidur. Semalam, setelah meminta maaf dan di maafkan, Sang Nenek berpesan.'Gevin, ingin sekali Nenek melihatmu menikah sebelum Nenek pergi.' tapi itu kan tidak mungkin. Gevin masih sekolah, terlebih dia mencintai Cia, apa Cia mau menikah dengannya, jika tidak, apa Gevin harus menikah dengan orang lain dulu, baru menceraikannya setelah itu kembali pada Cia. Tapi Gevin sudah berjanji akan berubah, jika dia melakuka
****** Rio menatap Gevin heran, cowok itu keluar sambil membawa handuk dan berjalan dengan santai sembari mengeringkan rambutnya. Empat orang lainnya yang tadi ada di sana sudah pulang, mereka bilang lain kali saja datang lagi, karena melihat mood Cia juga tampaknya tidak bagus. Siapa yang tidak tau jika mood Cia sedang buruk maka semua orang bisa kena getahnya. Mungkin hanya Gevin yang kebal dengan itu semua. Ya ada satu lagi, siapa lagi kalau bukan Dava."Lo baikkan sama Cia?" tanya Rio yang tau bahwa sebelumnya Cia bertengkar dengan Gevin."Iya. Thanks ya, udah cerita soal Cia waktu itu." Rio hanya mengedik acuh. Tak menyangka Cia akan memberikan kesempatan pada Gevin."Jangan nyakitin Cia ..." pesan Rio, "gue kasih tau sama lo ya." Rio melirik kamar Cia lalu berbisik pelan, "Cia kalo udah nyaman, bakalan manja minta ampun. Percaya deh sama gue!" Gevin tentu saja tidak percaya, tapi dia juga penasaran. Gimana sosok Cia yang manja. "Gue
****** Gevin membuka pintu ruangan Cia dan masuk tanpa ijin. Cia menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Gevin sudah biasa dengan itu, tapi sekarang Gevin juga sudah tau cara menenangkan nya."Di luar nggak ada yang gue kenal, sayang. Gue kan baru liat mereka." Gevin langsung memeluk Cia dari belakang, menenangkan gadis itu akan kemarahannya. Gevin melihat sekeliling, ruangan itu ternyata ruang kamar, dengan kasur king size dan sebuah lemari besar, juga meja kerja yang berada di sudut ruangan."Lepas gue mau ganti baju! Keluar sana!" Gevin tersenyum cerah."Mau dong liat lo ganti baju ... Bercanda! Sumpah bercanda!" Gevin segera tertawa melihat reaksi Cia. Cowok itu duduk di sofa yang berada di dekat pintu, lalu mengeluarkan ponselnya. "Gue main game sambil nungguin lo aja gimana?" Cia masih menatap Gevin tajam. Dia heran, kenapa bisa nyaman dengan orang semenyebalkan Gevin. Sungguh bodoh sekali. Gevin benar-benar serius bermai
***** Sore harinya, saat Cia tengah mengendarai mobilnya untuk pulang, ya lebih tepatnya dia ingin pergi ke CR, tiba-tiba saja ban mobilnya meledak dan Cia hampir kehilangan kendali, untungnya dia pembalap handal, jadilah dia berhasil selamat, walaupun dia merusak beberapa tanaman yang ada di trotoar jalan. Gadis itu keluar dan terkejut mendapati sebuah paku berukuran cukup besar tertancap di ban depan mobil miliknya. Beberapa Pejalan kaki, bahkan pengenadara motor yang lewat segera berkumpul dan melihat apa yang terjadi dan berniat membantu jika di perlukan."Bahaya banget!" Cia mengambil ponselnya untuk menghubungi Rio, tapi sebelum panggilan tersambung, Cia melihat mobil Gevin yang mendekat, Cia tak jadi menghubungi Rio. Gevin keluar dengan terburu-buru, tanpa menutup pintu mobilnya, dia mendekati Cia dan langsung memeluknya. Cia sendiri sampai terkejut."Are you ok?" tanya cowok itu penuh kekhawatiran."Ya, gue baik-baik aja kok."
*****"Ngapain hayooo!!" "Woaah!" Gevin terkejut bukan main saat seseorang berbicara tepat di belakang kepalanya. Cowok itupun menoleh dan lebih terkejut lagi karena orang yang berada di belakangnya itu adalah seorang cowok jangkung yang bahkan sedikit lebih tinggi darinya. Gevin itu tinggi, bagi anak seusia Gevin, karena cowok itu memiliki tinggi 180 cm. Sedangkan cowok yang tadi mengejutkannya itu lebih tinggi 5 atau 6 centi darinya."Ngapain ngintip-ngintip?" tanya cowok jangkung itu. Gevin melotot kesal."Lo ngapain sih ngagetin gue!" dengusnya kesal."Lo sendiri ngapain di sini, nggak gabung sama yang lain?" Cowok itu kini melihat ke arah orang-orang yang tadi Gevin perhatikan. "Ssst! Jangan ngurusin urusan orang. Dah sana lo pergi. Awas kalo lo ganggu gue lagi!" Gevin memutar kepalanya ingin melihat teman-temannya lagi."Woaaah!" teriakan Gevin lebih kencang dari yang tadi. Cowok itu bahkan sampai terjatuh t
****** Cia mengemasi barangnya dengan hati-hati. Wajahnya masih murung, Bu Dewi yang juga tengah membantu, tampak tersenyum, lalu menepuk bahunya pelan."Jangan terlalu di pikirkan, Mba. Sebaiknya Mba Cia mengikuti kata hati saja." Cia diam tanpa menjawab. Ferry juga sebenarnya sudah membebaskannya, tapi Cia masih ragu, bagaimaba kedepannya, dia sudah dua kali di sakiti dengan hal yang sama, apa dia akan merasakan yang ketiga, keempat, kelima bahkan seterusnya?"Mama, nanti pulang Nuca mau beli kucing." Cia terkejut sekaligus bingung."Kucing?" Bu Dewi justru tertawa."Kemarin saat jalan-jalan, saya dan Mas Nuca lihat kucing di pet shop. Lucu sekali, Mas Nuca katanya mau minta sama Mba Cia." Cia mendekati Nuca dan berjongkok di depannya."Iya, Mama janji nanti pulang kita beli kucing ya.""Yeeey, Mama yang terbaik." Nuca mencium pipi Cia dan memeluknya. Entah kenapa, melihat Nuca bahagia dan tertawa saja membuat Cia ikut merasakannya.*****