»»»»
Cia membuka matanya, bersiap mandi untuk sekolah. Saat gadis itu selesai bersiap dan ingin keluar dari kamar, Cia di kejutkan dengan kehadiran Dava yang sudah menunggunya, dengan satu kalimat menyebalkan bagi Cia.
"Gue nebeng ya!"
"Siapa lo!" Cia langsung pergi meninggalkan Dava.
"Motor gue di bengkel."
"Terus?"
"Ya ... gue nebeng sama lo lah!"
"Ogah!"
"Ayolah, Ci. Sekali ini doang! Ya mungkin pulang juga!"
"Taxi banyak!" Cia memencet tombol lift yang berada di depannya. Saat terbuka, ada Radith di sana. Bersama Diana yang juga sudah siap dengan baju kerjanya.
"Gue maunya sama lo!" Cia tak menjawab lagi. Memilih diam sambil menunggu lift sampai di lantai dasar. Dia tak suka berdekatan dengan Radith, apalagi Diana.
"Kalian sudah mau berangkat?" Pertanyaan Radith membuat Dava segera menoleh.
"Iya, Pa. Tapi Cia nggak mau nganter Dava!" Dava manja hanya pada Radith. Dia itu anak satu-satunya Radith. Pengusaha terkaya no 3 di Indonesia yang namanya sudah meradang kemana-mana.
"Memang motor kamu kemana?" Diana yang bertanya. Sebenarnya, sejak dulu Dava bingung melihat interaksi antara Diana dan Cia. Benar-benar sangat aneh.
"Lagi di beng ... kel! Eh cia tunggu!" Cia berlari keluar setelah pintu lift terbuka. Tak lupa dia menendang tong sampah yang berada di dekat pintu lift untuk menghalangi Dava yang ingin mengejarnya. Saat Dava berhasil melompati tong sampah itu, Cia sudah keluar dari rumah, dengan suara mobilnya yang menjauh.
"Aaah, Cia!" Teriak Dava kesal.
"Ya sudah, kamu pakai mobil Mama saja!" Diana memberikan kunci mobil miliknya.
"Terus, Mama gimana?" Dava menatap Diana ragu.
"Ada papa kamu, khawatirkan apa!" Diana terkekeh pelan. Radith tersenyum, lalu merangkul istrinya.
"Mama benar, sudah sana kamu berangkat. Nanti terlambat!"
"Ya udah, Pa, Ma. Dava berangkat dulu!"
Dava segera berangkat ke sekolah, mengendarai mobil SUV milik Diana. Dava sangat menyayangi Diana, dia kagum pada Mama tirinya itu, dia sosok yang mandiri dan juga tangguh. Walaupun Papanya menyarankan Diana untuk mempekerjakan seorang supir, Diana selalu menolak dan berkata bahwa itu tidak perlu, Diana bisa menyetir sendiri dan dia lebih nyaman bila mengendarai mobilnya sendiri. Beda dengan Radith yang selalu bersama supir.
Sesampainya Dava di sekolah, cowok itu berapas-pasan dengan Yejun. Cowok itu masih memakai mobil hammer miliknya, dengan gaya ala-ala korea yang memang cocok untuknya.
"Baru dateng juga?" Dava menyapa.
"Iya!" Yejun mengangguk kaku. Dava pernah menolongnya sekali saat Cia memukulinya, jika tak ada Dava, mungkin Yejun sudah babak belur di hajar Cia.
"Lo tetangga kelas gue, kalo nggak salah." Dava membenarkan letak tas ransel yang dia pakai.
"Kayaknya!" Dava terkekeh.
"Santai aja kali. Gue bukan Cia, nggak usah kaku gitu!" Yejun tersenyum canggung. Dia juga ingin punya teman di sekolah itu, tapi sifat cuek dan dingin yang sudah ada pada dirinya, membuat teman sekelas Yejun enggan untuk dekat dengannya, terlebih, sesaat setelah dirinya masuk, dia sudah membuat masalah dengan Cia.
"Gimana sekolah di sini?" Keduanya mengobrol sambil berjalan beriringan menuju kelas mereka yang bersebelahan.
"Lumayan ... aneh!" Dava tertawa, lalu menepuk bahu Yejun.
"Gara-gara Cia? Dia itu emang aneh sih, tapi sebenernya dia baik, kok." Yejun hanya mengangguk, lalu menghentikan langkahnya, lalu menatap Dava.
"Baik ... ya!" Dava ikut menoleh ke depan. Cia sedang menyudutkan seorang gadis di dinding. Gadis itu tampak ketakutan sambil terus menatap mata cia dengan tubuh gemetar. Dava segera berlari mendekat. "Dia bakal minta maaf lagi buat adiknya?" Yejun sebenarnya tidak suka sifat Dava. Kenapa Dava harus meminta maaf atas kesalahan yang bukan di sebabkan olehnya.
"Cia! Lo ngapain?" Cia menoleh, mendengus dan langsung pergi begitu saja. Bosan rasanya membuat keributan dengan Dava. Dava membiarkan Cia berlalu, dan mendekati gadis yang sedang tersudut tadi. "Lo nggak apa-apa?" Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Namun, sadar saat melihat Yejun juga ada di belakang Dava.
"Ng.nggak apa-apa kok, Kak!"
"Kak? Lo kelas 10? Jarang banget Cia bikin masalah sama adek kelas."
"Eh' gue kelas 11 kok!" Gadis itu yang tadinya bersandar pada tembok langsung berdiri dengan tegak. Tingginya hanya sebatas dada Dava. Lebih kecil dari pada Cia, maka dari itu Dava pikir, gadis itu adalah adik kelas.
"Oh, seangkatan!" Dava jadi canggung. Karena bertubuh kecil, jadi Dava pikir gadis itu adik kelasnya.
"Iya, gue sekelas sama Cia, bahkan duduk semeja!" Kian berucap ceria, sepertinya ketakutannya sudah hilang. Mungkin berkat kehadiran Yejun yang masih berdiri di belakang Dava. Yejun juga penasaran, mengapa Cia membully teman sekelasnya.
"Lo temen sekelasnya Cia? Lo di apain sama dia?"
"Gue tadi cuma minta di anter ke perpus, tapi dia nggak mau." Dava menatap Kian sesaat lalu menggeleng pelan.
"Lo jauh in Cia deh!"
"Kenapa?" Kian menatap Dava dengan tak suka, tak seceria sebelumnya, "kenapa semua orang bilang hal yang sama? Cia juga butuh temen, pasti dia juga kesepian. Kalian nggak tau apa-apa soal Cia! Walaupun dia nyimpen kesedihannya sama kelakuannya, sebenernya dia itu kesepian dan menderita!" Dava menatap Kian datar. Mana mungkin seperti itu, Cia itu dari lahir memang sudah brutal.
"Gue cuma nggak mau kalo lo dapet masalah karena Cia." Cowok manik abu itu menepuk bahu Kian sekali, "kalo lo mau, gue nggak bisa apa-apa. Tapi, gue kasih saran, jangan pernah ucapkan kalimat itu depan Cia, adek gue itu nggak bakal terima omongan gituan!"
"Eh' L.lo kakaknya Cia?" Kian menutup rapat bibirnya, Dava mengangguk sambil tersenyum.
"Kalo gitu, kita duluan! Ayo," ajaknya pada Yejun yang sudah siap melangkah di samping Dava. Kian merutuki kebodohannya. Bukankah apa yang barusan dia lakukan itu nekat? Dia mengatakan hal aneh di depan kakak orang yang sedang dia bicarakan.
"Kian bodoh!" Kian memukul kepalanya sendiri. Harusnya dia tau kalau Cia memiliki Kakak di sekolah itu. Habisnya tidak ada yang memberi tahu dirinya.
»»»»
Malam ini Cia sedang malas keluar. Bukan malas, tapi dia sedang menghindari kejaran Ferry yang terus-terusan meminta dirinya untuk menghadiri meeting di luar negri bersama pria itu. Besok malam mereka berangkat, tapi Cia memang tidak ingin pergi, alhasil dia memilih tinggal di rumah malam ini agar Ferry tidak mendesak nya terus menerus.
"Tumben!" Dava langsung duduk di samping kursi Cia. Saat ini, Cia memang sedang duduk di kursi makan, sambil mengutak atik laptop di depannya.
"..." seperti biasa, Cia tak menanggapi, justru sibuk menonton.
"Nonton apa?" Dava ikut mendekat dan melihat tontonan adiknya. Film bergenre action tengah terputar di laptop adiknya. "Seru juga, ikutan dong!" Cia sedang malas berdebat, dia hanya menggeser laptop miliknya agar Dava tidak bisa melihat tontonannya.
"Kalian di sini!" Radith duduk di kepala kursi. Menatap kedua anaknya yang tampaknya sedang berebut laptop.
"Papa, sini Pa, nonton bareng sama Cia!" Dava menginterupsi Radith agar mendekat. Radith hanya menatap putrinya dalam diam. Sedikit canggung karena tiba-tiba Cia menyerahkan laptop miliknya begitu saja kepada Dava.
Cia akhirnya mengalah dan ingin meninggalkan ruang makan saat suara Radith menginterupsi. "Besok malam, apa kamu ada acara?" Pertanyaan yang di ajukan Radith membuat Cia menoleh.
"..."
"Jika kamu tidak memiliki acara, saya ingin mengajak kamu makan malam bersama relasi bisnis saya. Mereka ingin bertemu kalian!" Radith menatap kedua anaknya sambil tersenyum.
"Nggak tertarik!" Cia berbalik, mengambil laptop yang masih ada di depan Dava lalu membawanya ke kamar. Dava mendengus kesal.
"Gue juga mau ikut nonton Cia!" Dava berlari mengejar Cia. Radith menghela napasnya, sulit sekali menaklukan Cia, padahal 10 tahun sudah berlalu, tapi Cia masih saja menjauhi dirinya, menjaga jarak bahkan menghindarinya. Dia hanya ingin dekat dengan anak tirinya itu, Radith juga menyayangi Cia sepeti dirinya menyayangi Dava.
»»»»
To be Continue .....
»»»» Suara dari seberang telfon masih terdengar. Namun, Cia sudah ingin mengakhiri panggilan itu. Ceramah panjang dari Ferry sudah dia dengar semenjak kemarin, Cia sangat pusing mendengarnya. "Besok malem gua ada acara!" Tanpa maksud tujuan, Cia mengatakan hal itu. 'Acara apa? Paling juga nongkrong sama Rajawali!' "Enggak!" Elak Cia ketus. 'Terus?' "Acara makan malem keluarga!" Cia mengutuk dirinya dalam hati. Namun, beberapa saat kemudian, ide brilian merasuki otaknya. 'Boong banget! Udah nggak usah alasan. Pokoknya, besok malem kita berangkat, jam 8 lo harus udah sampe bandara.' "Gue nggak boong bang! Besok gue vc deh kalo nggak percaya!" 'Gue nggak percaya, bisa aja lo boongin gue, nyewa orang buat jadi sodara sama bokap lo. Gue kan nggak pernah ket
»»»» Radith tersenyum menyambut kedatangan relasi bisnisnya yang sudah membuat janji makan malam bersama keluarganya. Sepasang suami istri dan tiga anaknya datang secara bersamaan."Maaf kami terlambat!" Pria itu menyapa lalu bersalaman dengan Radith."Santai saja, Pak. Kami juga belum lama." Radith mengangguk dan mempersilahkan pria itu untuk duduk. "Nah, Ma. Perkenalkan, beliau adalah Pak Bernard Knowles. Rekan bisnis Papa.""Selamat malam, Pak Bernard," sapa Diana sambil tersenyum ramah."Dia istri saya, Diana. Dan kedua anak saya, Dava dan Cia." Cia langsung memalingkan wajahnya.'Mampus!' Batinnya berteriak."Malam, Pak," sapa Dava ramah. Sedangkan Cia masih menunduk. "Pst! Ci, Cia!" Dava menepuk lengan Cia pelan. Cia mengangkat kepalanya sambil tersenyum canggung.
»»»»"Pak Ferry menghubungi saya, dan berkata bahwa saya harus menjaga privasi dari client. Saya pikir, itu tentang Pak Radith. Ternyata, justru anda Mrs. Carlstie." Cia tersenyum canggung."Maaf ya, Pak. Tapi, Bapak nggak bilang sama om Radith kan?""Tenang saja, saya bisa menjaga rahasia.""Syukurlah.""Kamu hebat ya, saya jadi merasa semakin bersemangat untuk bekerja. Dulu, saat saya seusia kamu, yang saya pikirkan hanya main!" Bernard dan Cia terkekeh bersama."Tapi, kedepannya tolong jangan beri tahu siapa-siapa tentang saya ya, Pak!"
»»»» "Aduh!" Gevin sudah bersedeku di lantai dengan tangan yang terkunci ke belakang. "Jangan karena bokap lo nitipin lo ke gue, lo bisa seenaknya!" Cia mendorong Gevin hingga cowok itu terjatuh ke lantai. Sedangkan Cia langsung berlalu pergi begitu saja, harinya begitu sial.
»»»»» Pagi di sekolah yang damai. Semua orang tampak senang karena sepertinya si pentolan sekolah tidak masuk sekolah. Walaupun semua orang tampak senang, lain hal dengan cowok bermanik mata abu-abu yang kini duduk di tepi lapangan basket. Dia bersama sahabatnya, Iqbal sedang menghabiskan waktu hanya duduk diam sambil menunggu bel pelajaran di mulai. Iqbal menatap Dava dengan bingung, sejak beberapa hari lalu, Dava tampaknya sering melamun dan sering tidak fokus. "Cia?" Pertanyaan singkat dan tidak jelas Iqbal justru di tangkap jelas oleh Dava. Cowok manik abu itu mengangguk, lalu menghela napasnya, "udah lah, dia itu memang susah di tebak. Gue denger, kemaren dia bikin rusuh di kantin!" "Gara-gara gue!" Dava menatap kunci mobil milik Cia di tangannya. Benar, kemarin dia dan Cia berangkat bersama dan pada akhirnya, Cia meninggalkan kunci mobilnya sekali
»»»»"Dava!" Radith berlari mendekati Dava yang masih duduk di depan ruang Operasi."Pa!" Cowok manik abu itu segera berdiri."Apa yang terjadi?" Radith bertanya pada Kasim dan Naida yang masih menemani Dava."Maaf, pak. Saat ini, Cia sedang di operasi." Radith tak mengerti apa yang di ucapkan Kasim."Apa maksud Bapak?""Dokter bilang, pisau yang menusuk perut Cia, mengenai organ vitalnya, dan saat ini Cia harus di operasi!" jelas Kasim. Radith menatap Dava yang sudah kembali duduk di kursinya, seragam sekolahnya masih berlumuran darah juga kedua tangannya yang tampak bergetar."Dava ..." Radith duduk di samping Dava, lalu merangkul bahu puteranya itu."Pa ...!" Dava langsung memeluk Radith dengan erat. Dava masih tak percaya, beberapa jam yang lalu, adiknya berbaring di pangkuannya denga
»»»» Cia menatap jam yang terus berdetak di dinding ruang rawatnya. Sudah 2 hari dia di rawat dan seharusnya, nanti malam adalah pertandingannya dengan pembalap dari New Zealand. Cia tak ingin melewatkan kesempatan itu, tapi bagaimana bisa dia keluar, jika dia terus di awasi 24 jam begini!"Hai Cia ..." Cia berdecak kesal. Kenapa di saat seperti ini, harus muncul orang yang menyebalkan!"Ngapain lo kesini!" Ketus Cia. Kian hanya tersenyum seperti biasa."Kita kan temen, jadi wajar kalo gue jengukin lo, ya kan?""Nggak perlu, dah sana balik!""Ih, jahat banget. Padahal kan gue cuma pengen tau keadaan lo doang!""Gue baik-baik aja. Puas lo, dah sana balik!""Ish! Iya-iya, gue pulang nih!" Cia mengalihkan tatapannya, dan saat itu dia mendapat ide bagus."Tunggu!"
»»»» Radith datang sambil berlari mendekati Dava. Cowok itu sudah duduk di kursi yang ada di dekat tempat tidur Cia, sedangkan gadis itu masih berbaring tak sadarkan diri. "Gimana keadaannya?" "Kacau, Pa!" Dava menatap Cia sesaat lalu menunduk. "Dokter bilang, Cia bisa aja kehilangan nyawanya, untung dia cepet-cepet di bawa kesini!" "Cowok yang kamu bilang dateng sama Cia, sekarang di mana?" "Dia udah pulang. Dia sama sekali nggak mau ngomong apapun, bahkan dia cuma jawab satu pertanyaan, itu cuma nama dia doang! Sisanya dia sama sekali nggak ngomong apa-apa!" "Kamu biarin dia gitu aja?" "Untuk sekarang iya. Lagian, dia bawa bodyguardnya, Dava nggak bisa apa-apa. Tapi, Gevin bantu Dava dan ngikutin mereka." "Gevin?" "Temen sekelas D
***** Di hari saat setelah pembagian kelas, Kian tengah Berjalan di koridor menuju perpustakaan, dia berniat untuk mengembalikan buku yang dia pinjam sebelum libur sekolah kenaikan kelas kemarin. Ketika masuk, Kian bertemu seorang pria yang tampak sedang membereskan tumpukan buku. Dia adalah Deren, penjaga perpustakaan. Berusia 26 tahun, dan lulusan salah satu jurusan di Samsard University. Jurusan penelitian tentang buku. Deren bahkan sudah hampir membaca setiap jenis buku yang ada di perpustakaan itu."Selamat siang, Kak." sapa Kian ramah dan ceria seperti biasanya."Siang juga. Kian rajin sekali, baru hari pertama masuk sudah ke perpustakaan saja." Kian terkekeh pelan."Iya, Kak. Mau ngembaliin buku yang waktu itu di pinjem." Kian mengangkat dua buah buku berukuran sedang yang dia pegang. Kian meletakkan buku itu di atas meja, Deren segera mencatat nya. Setelah selesai, Kian berniat kembali ke kelas, tentunya kelas barunya di mana
*****"Sama Cia. Gevin juga." Dava membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ponsel berwarna hitam miliknya di tempelkan di telinga kiri.'Jangan terlalu ikut campur, Sayang. Kamu tau kan Cia itu gimana.'"Iya, gue tau kok. Tapi gue juga nggak tau apa jawaban Cia." ucapnya lagi. Saat ini, dia sedang menghubungi kekasihnya, Aqila. 'Yah semoga aja, mereka bisa cepet selesain masalahnya.' harap Aqila. Dava menghembuskan napasnya lelah, tidak tau harus berkata apa."Ngomong-ngomong, lagi ngapain?" Dava bangun dari baringnya, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya sama seperti biasanya, dia tampan, memiliki warna mata yang tidak umum di Indonesia. Dava pernah memakai softlens untuk menutupi warna asli matanya karena baginya terlalu mencolok, itu terjadi saat Dava masuk ke bangku SMP. Tapi setiap kali Dava memakai softlens, Cia selalu menatapnya tajam dan dingin lebih dari biasanya. Dava jadi ragu untuk memakainya lagi, apa menutupi warna mata aslinya ter
*****"Ok, gue duluan!" Dava melambaikan tangannya pada Iqbal sambil membawa sepeda motornya pergi meninggalkan sekolah, siang ini, seusai sekolah, Dava memutuskan untuk pulang lebih awal, Radith bilang ada yang ingin di bicarakan, jadi dia buru-buru untuk pulang. Di tengah jalan, Dava menghentikan laju motornya saat melihat mobil yang dia kenal tengah berhenti di bahu jalan, lampu mobil masih menyala, pertanda pemiliknya masih di dalam. Dava memutuskan berhenti di belakang mobil itu, lalu turun tanpa melepas helm miliknya. Dava mengetuk kaca mobil dengan pelan."Ci, Cia ..." panggilnya, gadis yang di dalam menoleh, membuka pintu dengan perlahan. Dava mundur beberapa langkah dan terkejut saat pintu terbuka, Cia langsung memeluk dirinya sambil menangis. Dava tentu saja tidak menyangka Cia langsung memeluknya dan menangis."Cia lo kenapa? Siapa yang bikin lo nangis?" Dava bertanya khawatir. Bukannya menjawab, Cia malah semakin menangis dalam
***** Gevin masih di posisi yang sama, duduk di samping tempat tidur sang Nenek. Padahal banyak yang memintanya untuk istirahat, tapi Gevin menolak. Pakaian yang dia pakai semalam masih sama, hingga pagi ini, Gevin tidak mau pergi ke sekolah dan betah duduk di samping Neneknya."Gue mau di sini aja! Jangan ganggu gue!" ucapan Gevin yang mendapat pelototoan dari Angga."Basi lo!" Angga kesal sekali dengan Gevin. "Emangnya lo mau nikah muda, pacar lo kan banyak!" sindir nya kesal. Gevin menatap sang Nenek yang baru saja tertidur. Semalam, setelah meminta maaf dan di maafkan, Sang Nenek berpesan.'Gevin, ingin sekali Nenek melihatmu menikah sebelum Nenek pergi.' tapi itu kan tidak mungkin. Gevin masih sekolah, terlebih dia mencintai Cia, apa Cia mau menikah dengannya, jika tidak, apa Gevin harus menikah dengan orang lain dulu, baru menceraikannya setelah itu kembali pada Cia. Tapi Gevin sudah berjanji akan berubah, jika dia melakuka
****** Rio menatap Gevin heran, cowok itu keluar sambil membawa handuk dan berjalan dengan santai sembari mengeringkan rambutnya. Empat orang lainnya yang tadi ada di sana sudah pulang, mereka bilang lain kali saja datang lagi, karena melihat mood Cia juga tampaknya tidak bagus. Siapa yang tidak tau jika mood Cia sedang buruk maka semua orang bisa kena getahnya. Mungkin hanya Gevin yang kebal dengan itu semua. Ya ada satu lagi, siapa lagi kalau bukan Dava."Lo baikkan sama Cia?" tanya Rio yang tau bahwa sebelumnya Cia bertengkar dengan Gevin."Iya. Thanks ya, udah cerita soal Cia waktu itu." Rio hanya mengedik acuh. Tak menyangka Cia akan memberikan kesempatan pada Gevin."Jangan nyakitin Cia ..." pesan Rio, "gue kasih tau sama lo ya." Rio melirik kamar Cia lalu berbisik pelan, "Cia kalo udah nyaman, bakalan manja minta ampun. Percaya deh sama gue!" Gevin tentu saja tidak percaya, tapi dia juga penasaran. Gimana sosok Cia yang manja. "Gue
****** Gevin membuka pintu ruangan Cia dan masuk tanpa ijin. Cia menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Gevin sudah biasa dengan itu, tapi sekarang Gevin juga sudah tau cara menenangkan nya."Di luar nggak ada yang gue kenal, sayang. Gue kan baru liat mereka." Gevin langsung memeluk Cia dari belakang, menenangkan gadis itu akan kemarahannya. Gevin melihat sekeliling, ruangan itu ternyata ruang kamar, dengan kasur king size dan sebuah lemari besar, juga meja kerja yang berada di sudut ruangan."Lepas gue mau ganti baju! Keluar sana!" Gevin tersenyum cerah."Mau dong liat lo ganti baju ... Bercanda! Sumpah bercanda!" Gevin segera tertawa melihat reaksi Cia. Cowok itu duduk di sofa yang berada di dekat pintu, lalu mengeluarkan ponselnya. "Gue main game sambil nungguin lo aja gimana?" Cia masih menatap Gevin tajam. Dia heran, kenapa bisa nyaman dengan orang semenyebalkan Gevin. Sungguh bodoh sekali. Gevin benar-benar serius bermai
***** Sore harinya, saat Cia tengah mengendarai mobilnya untuk pulang, ya lebih tepatnya dia ingin pergi ke CR, tiba-tiba saja ban mobilnya meledak dan Cia hampir kehilangan kendali, untungnya dia pembalap handal, jadilah dia berhasil selamat, walaupun dia merusak beberapa tanaman yang ada di trotoar jalan. Gadis itu keluar dan terkejut mendapati sebuah paku berukuran cukup besar tertancap di ban depan mobil miliknya. Beberapa Pejalan kaki, bahkan pengenadara motor yang lewat segera berkumpul dan melihat apa yang terjadi dan berniat membantu jika di perlukan."Bahaya banget!" Cia mengambil ponselnya untuk menghubungi Rio, tapi sebelum panggilan tersambung, Cia melihat mobil Gevin yang mendekat, Cia tak jadi menghubungi Rio. Gevin keluar dengan terburu-buru, tanpa menutup pintu mobilnya, dia mendekati Cia dan langsung memeluknya. Cia sendiri sampai terkejut."Are you ok?" tanya cowok itu penuh kekhawatiran."Ya, gue baik-baik aja kok."
*****"Ngapain hayooo!!" "Woaah!" Gevin terkejut bukan main saat seseorang berbicara tepat di belakang kepalanya. Cowok itupun menoleh dan lebih terkejut lagi karena orang yang berada di belakangnya itu adalah seorang cowok jangkung yang bahkan sedikit lebih tinggi darinya. Gevin itu tinggi, bagi anak seusia Gevin, karena cowok itu memiliki tinggi 180 cm. Sedangkan cowok yang tadi mengejutkannya itu lebih tinggi 5 atau 6 centi darinya."Ngapain ngintip-ngintip?" tanya cowok jangkung itu. Gevin melotot kesal."Lo ngapain sih ngagetin gue!" dengusnya kesal."Lo sendiri ngapain di sini, nggak gabung sama yang lain?" Cowok itu kini melihat ke arah orang-orang yang tadi Gevin perhatikan. "Ssst! Jangan ngurusin urusan orang. Dah sana lo pergi. Awas kalo lo ganggu gue lagi!" Gevin memutar kepalanya ingin melihat teman-temannya lagi."Woaaah!" teriakan Gevin lebih kencang dari yang tadi. Cowok itu bahkan sampai terjatuh t
****** Cia mengemasi barangnya dengan hati-hati. Wajahnya masih murung, Bu Dewi yang juga tengah membantu, tampak tersenyum, lalu menepuk bahunya pelan."Jangan terlalu di pikirkan, Mba. Sebaiknya Mba Cia mengikuti kata hati saja." Cia diam tanpa menjawab. Ferry juga sebenarnya sudah membebaskannya, tapi Cia masih ragu, bagaimaba kedepannya, dia sudah dua kali di sakiti dengan hal yang sama, apa dia akan merasakan yang ketiga, keempat, kelima bahkan seterusnya?"Mama, nanti pulang Nuca mau beli kucing." Cia terkejut sekaligus bingung."Kucing?" Bu Dewi justru tertawa."Kemarin saat jalan-jalan, saya dan Mas Nuca lihat kucing di pet shop. Lucu sekali, Mas Nuca katanya mau minta sama Mba Cia." Cia mendekati Nuca dan berjongkok di depannya."Iya, Mama janji nanti pulang kita beli kucing ya.""Yeeey, Mama yang terbaik." Nuca mencium pipi Cia dan memeluknya. Entah kenapa, melihat Nuca bahagia dan tertawa saja membuat Cia ikut merasakannya.*****