»»»»
Dava bangun untuk bersekolah pagi ini. Dan seperti biasa, cowok itu akan mengecek keberadaan sang adik yang memang sangat sulit dia temui, walaupun mereka tinggal dalam satu rumah yang sama.
"Pagi, Sayang. Udah mau berangkat?" Diana, ibu tiri Dava menyapnya. Dava tersenyum membalas sapaan sang Mama.
"Ma, Cia belum turun?"
"Dia udah berangkat tadi pagi." Dava tampak kecewa. Sejujurnya, waktu yang paling tepat untuk melihat Cia itu hanya saat pagi hari. Karena, setiap malam, Cia selalu pulang larut. Tak ada yang bisa melarang Cia di rumah, tentu saja aksi melompat dari lantai 2 rumah itu menjadi peringatan untuk mereka, bahwa Cia adalah orang yang nekat. Bisa saja Cia akan kabur dari rumah dan tidak akan kembali, jika mereka melarang keras kelakuan Cia selama ini.
"Ya udah, Ma. Dava berangkat dulu!" Diana tersenyum dan mengangguk. Wanita cantik itu adalah seorang designer yang sudah cukup ternama. Tidak, bukan hanya cukup. Tetapi, Diana memang sudah menjadi designer ternama sejak 5 tahunan terakhir. Berkat kerja keras dan juga dedikasinya, Diana saat ini menjadi designer para artis dan pejabat dalam negri maupun mancanegara.
Dava bergegas berangkat ke sekolah, mengendarai sepeda motor hitam merah kesayangannya, tidak lupa helm full face hitam yang melengkapi penampilannya. Dava cowok berparas ganteng yang menjadi rebutan para siswi di sekolah. Dia popular dan juga menjadi salah satu perwakilan siswa pintar di sekolah setiap kali ada lomba. Sayangnya, hati para siswi di SMA Bintang sudah patah karena Dava memang sudah memiliki pacar. Aqila Narayana, gadis cantik populer yang menjadi salah satu siswi terpintar seangkatannya. Dava dan Aqila dekat semenjak mereka menjadi perwakilan lomba antar sekolah saat kelas 10. Dan saat ini, mereka sudah berpacaran lebih dari 6 bulan.
"Dava!" Dava menoleh saat seseorang memanggilnya. Melepas helm dan meletakkannya di atas tank motor, Dava tersenyum begitu melihat siapa yang baru saja memanggilnya. Mata abu-abunya yang memikat itu tampak bercahaya tertimpa sinar matahari.
"Hai ..." Dava mendekati Aqila dan berjalan beriringan dengan sang kekasih. Siapa yang tidak iri dengan pasangan itu. Mereka itu di sebut coupe goals di SMA Samsard, keduanya sama-sama pintar, cantik dan tampan. Lalu, keduanya juga tampak saling mengerti satu sama lain.
"Nanti sore ade film baru, kita nonton ya!" Aqila tersenyum senang mengatakan permintaannya.
"Boleh, jam berapa?"
"Pulang sekolah nanti. Ini film perdana, jadi baru tayang. Aku nggak mau ketinggalan!" Dava terkekeh, lalu mengacak rambut Aqila dengan gemas.
"Iya-iya, Sayang. Nanti kalo gue udah selesai ..." Dava dan Aqila sama-sama terkejut. Ada yang berkelahi di depan mereka. Dava langsung menarik Aqila untuk berada di belakang tubuhnya.
"Gue nggak berantem sama cewek!" Seorang cowok tampak acuh dan ingin pergi melewati Dava. Namun, dari belakang, ada seseorang yang berlari dan langsung mendaratkan lututnya di punggung si cowok.
"Bilang aja lo takut!" ucap si cewek sambil berdiri setelah tadi berhasil mendaratkan satu tendangan dengan lututnya ke arah cowok itu.
"Diem di sini, bentar." Dava tidak bisa tinggal diam. Jika Cia melakukan lebih dari ini, bisa saja dia di keluarkan. "Ci, Cia!" Dava menarik lengan Cia agar menjauh dari si cowok yang tampak kesakitan, dan mencoba untuk berdiri.
"Lepas! Jangan sentuh gue!" Wajah Cia benar-benar memerah. Sudah pasti dia sedang dalam keadaan marah.
"Tenang, Ci. Lo nggak boleh pukul orang sembarangan!"
"Sembarangan!" Cia terkekeh pelan. Melayangkan satu tinjunya pada Dava lalu segera menendang si cowok yang baru bisa berdiri dengan tegak. Dava tampak kesakitan mendapat satu pukulan di perutnya. Aqila langsung berlari untuk mendekati Dava.
"Dava, kamu nggak apa-apa?" Aqila tampak khawatir, dia terlihat marah dan saat itulah, Aqila memberanikan diri menampar Cia sekuat tenaga. Dava terkejut, begitupun para siswa-siswi yang tengah menonton keributan itu.
"Lo ..." belum selesai Cia berkata, Aqila sudah menamparnya lagi.
"Lo gila ya, lo mukulin orang yang nggak salah!" Cia yang tengah di landa emosi semakin emosi. Tangannya terangkat hampir meninju Aqila. Namun, Dava segera mencegahnya dengan menarik Cia dan memeluknya.
"Please! Lo bisa di keluarin, Ci!" Napas Cia memburu, matanya berkilat merah. Dengan segera mendorong Dava dan kembali menatap cowok yang kini sudah berdiri sambil memegang perutnya yang tadi di tendang oleh Cia.
"Lo!" Cia mendekati cowok itu, "nama lo Jun kan. Gue bakal inget nama lo, setelah ini, gue pasti in. Lo nggak akan lama sekolah di sini!" Cia berbalik ingin pergi. Namun, perkataan cowok bernama lengkap Kim Ye-Jun itu membuatnya menghentikan langkah.
"Gue kenal banyak orang-orang kayak lo, yang suka cari perhatian!" Cia kembali menoleh menatap Yejun. Dava tak bisa mencegah lagi saat Cia dengan gerakan super cepat menendang dan meninju wajah Yejun.
"Ci, udah Cia!" Dava menarik Cia agar menghentikan aksinya.
"Lepas An*ing! Siapa yang ngijinin lo nyentuh gue!"
"Gue kakak lo, wajar gue ngelarang lo berantem!"
"Siapa yang mau jadi sodara lo!"
"Cia!" bentak Dava, "lo udah kelewatan. Minta maaf sama dia!"
"Minta maaf, kenapa lo nggak sekalian nyuruh gue sujud depan dia!" Cia bersedekap dada menatap remeh pada Dava.
"Cia, lo mau di keluar in."
"Jangan sok deket sama gue. Semua orang juga tau, lo sama gue itu, ibarat air sama api! Jangan mimpi gue mau baik sama lo. Apa lagi sama cowok nggak bertanggung jawab kayak dia!" Cia melirik Yejun. Dava menggeleng pelan, saat itu, Aqila menarik lengan Dava dan menggenggam tangannya yang terkepal. Aqila sangat tau, bahwa Dava sedang menahan amarahnya sendiri, dia tak ingin melukai Cia. Aqila yang paling tau, bahwa Dava sangat menyayangi Cia.
"Berhenti peduliin gue! Dan jangan pernah mimpi, buat jadi sodara gue!" Cia pergi begitu saja. Meninggalkan keramaian di pagi itu. Tak seorangpun berniat mengomentari hal itu, bahkan seorang Kim Ye-Jun yang tampan itu saja sudah mendapat peringatan keras dari Cia. Tak ada yang tau, permasalahan antara Cia dengan siswa baru pindahan dari Korea itu. Kim Ye-Jun, siswa berprestasi yang baru saja pindah kemarin, dan yang kebetulan menyerempet mobil Cia, dan yang kebetulan juga tetangga kelas Dava. Sungguh dunia yang sempit.
"Lo nggak apa-apa?" Dava mendekati Yejun, cowok Korea itu mengangguk. "Gue minta maaf sebagai kakaknya Cia. Lo anak baru, jadi mungkin belum tau sifatnya Cia. Tapi, gue harap lo maaf in dia!" Yejun hanya diam. Sebetulnya, dapat dari mana sifat urakan Cia itu. Padahal, Kakaknya baik dan juga sopan, tapi kenapa Cia malah urakan dan sulit di atur!
««««
To be Continue ...
»»»» Bolos adalah hal biasa bagi Cia. Tetapi, pagi ini, setelah perkelahiannya dengan cowok bernama Yejun, Cia malas keluar. Mood untuk membolosnya jadi berkurang, alhasil, Cia memilih untuk tidur di kelas, dengan membaringkan kepalanya di atas meja. Saat guru datang, Cia masih terlelap dalam tidurnya, hingga sang guru yang baru saja masuk segera mendekati Cia. Guru itu menggeleng pelan, lalu memukul pelan kepala Cia dengan buku paket di tangannya."Kamu ke sekolah niat belajar apa niat tidur!" Tegur sang guru. Cia yang tidurnya terganggu dengan malas bangun sambil menguap."Apa sih, Pak! Ganggu aja!" Cia mengucek sebelah matanya, dan saat itu, tatapannya beradu dengan manik mata hitam milik seorang gadis yang berdiri di depan kelas."Hari ini, kita kedatangan murid baru!" Guru laki-laki bernama Firman itu berjalan kembali ke arah mejanya. "Silahkan perkenalkan diri kamu!""Terima kasih, Pak!" Gadis dengan kuncir kuda itu tersenyum dengan semangat. "Hallo semua, Nama gue Azkian
»»»» Cia berangkat sekolah dengan tenang seperti biasa. Setelah sampai di kelas, suasana yang tadinya berisik langsung tenang. Para teman sekelas Cia bisa menebak bahwa saat ini, mood Cia sedang tidak baik. Dan itu, bisa berakibat tidak baik juga untuk mereka, jadi mereka memilih untuk diam dan sibuk dengan kegiatan masing-masing."Pagi, Cia!" sapa Kian ceria. Semua yang ada di kelas kembali terkejut dengan perilaku Kian. Kenapa bisa, dengan mudahnya Kian menyapa Cia dalam keadaan seperti itu?Cia tanpa menjawab segera meninggalkan kelas, dan dengan bodohnya, Kian mengikuti kemana Cia pergi. Cia sedang malas berdebat atau semacamnya, tingkat kejahilannya berkurang pagi ini. Tetapi, justru itu yang membuat aura mencekam dari dirinya, jika Cia tidak jahil, maka di pastikan dia sedang dalam mode brutal.Kian yang masih mengikuti langkah Cia tampak bingung, si
»»»» Dava hanya bisa menatap Aqila yang berjalan menjauhinya dalam diam. Aqila akan pergi ke Jepang hari ini, dan itu sudah membuatnya sedih. Dava melangkah pergi dari bandara setelah memastikan pesawat yang di tumpangi Aqila lepas landas. Dengan langkah kaki malasnya, Dava menuju sepeda motor yang terparkir apik di parkiran bandara.Pulang adalah keinginan Dava setelah mengantar Aqila, sebelum dia melihat mobil Cia yang tengah melaju di depannya. Dava sebenarnya takut pada Cia, takut jika Cia akan pergi selamanya dari kehidupan keluarga mereka, jika Dava ikut campur dengan urusan Cia. Namun, rasa penasaran cowok itu sudah pada batasnya. Cia sudah terlalu banyak menyembunyikan sesuatu darinya dan keluarga mereka. Dava akan mencari tau perlahan tentang adiknya yang sejak dulu selalu menyembunyikan apapun darinya."Dia ngapain?" Dava menghentikan laju sepeda motornya
»»»» Cia duduk malas di balik kursi kemudi. Wajahnya datar sambil menahan amarah yang sudah ada di ubun-ubun. "Turun sekarang!" Cia menatap cowok di sampingnya itu dengan geram, "gue bilang, turun sekarang!" Bentaknya penuh penekanan."Nggak, sebelum lo jelas in apa yang lo lakuin di sini dan siapa Om-Om yang sama lo barusan!""Itu nggak ada urusannya sama lo, jadi sekarang lo turun, atau lo gue gebukin di sini!""Gue pilih yang kedua, asal lo jawab pertanyaan gue!" Cia melotot. Ingin sekali dia memukuli wajah Dava yang menyebalkan itu."Serah lo!" Cia akhirnya diam. Menyalakan mesin mobilnya dan segera meninggalkan parkiran hotel. Dava hanya duduk diam di samping Cia, tak tau apa yang Cia lakukan di hotel tadi. Yang jelas, Dava merasa harus mengawasi Cia mulai sekarang."Lo mau kemana?" Cia tak
»»»» Cia membuka matanya, bersiap mandi untuk sekolah. Saat gadis itu selesai bersiap dan ingin keluar dari kamar, Cia di kejutkan dengan kehadiran Dava yang sudah menunggunya, dengan satu kalimat menyebalkan bagi Cia. "Gue nebeng ya!" "Siapa lo!" Cia langsung pergi meninggalkan Dava. "Motor gue di bengkel." "Terus?" "Ya ... gue nebeng sama lo lah!" "Ogah!" "Ayolah, Ci. Sekali ini doang! Ya mungkin pulang juga!" "Taxi banyak!" Cia memencet tombol lift yang berada di depannya. Saat terbuka, ada Radith di sana. Bersama Diana yang juga sudah siap dengan baju kerjanya. "Gue maunya sama lo!" Cia tak menjawab lagi. Memilih diam sambil menunggu lift sampai di lantai dasar. Dia tak suka berdekatan dengan Radith, apalagi Diana. &nbs
»»»» Suara dari seberang telfon masih terdengar. Namun, Cia sudah ingin mengakhiri panggilan itu. Ceramah panjang dari Ferry sudah dia dengar semenjak kemarin, Cia sangat pusing mendengarnya. "Besok malem gua ada acara!" Tanpa maksud tujuan, Cia mengatakan hal itu. 'Acara apa? Paling juga nongkrong sama Rajawali!' "Enggak!" Elak Cia ketus. 'Terus?' "Acara makan malem keluarga!" Cia mengutuk dirinya dalam hati. Namun, beberapa saat kemudian, ide brilian merasuki otaknya. 'Boong banget! Udah nggak usah alasan. Pokoknya, besok malem kita berangkat, jam 8 lo harus udah sampe bandara.' "Gue nggak boong bang! Besok gue vc deh kalo nggak percaya!" 'Gue nggak percaya, bisa aja lo boongin gue, nyewa orang buat jadi sodara sama bokap lo. Gue kan nggak pernah ket
»»»» Radith tersenyum menyambut kedatangan relasi bisnisnya yang sudah membuat janji makan malam bersama keluarganya. Sepasang suami istri dan tiga anaknya datang secara bersamaan."Maaf kami terlambat!" Pria itu menyapa lalu bersalaman dengan Radith."Santai saja, Pak. Kami juga belum lama." Radith mengangguk dan mempersilahkan pria itu untuk duduk. "Nah, Ma. Perkenalkan, beliau adalah Pak Bernard Knowles. Rekan bisnis Papa.""Selamat malam, Pak Bernard," sapa Diana sambil tersenyum ramah."Dia istri saya, Diana. Dan kedua anak saya, Dava dan Cia." Cia langsung memalingkan wajahnya.'Mampus!' Batinnya berteriak."Malam, Pak," sapa Dava ramah. Sedangkan Cia masih menunduk. "Pst! Ci, Cia!" Dava menepuk lengan Cia pelan. Cia mengangkat kepalanya sambil tersenyum canggung.
»»»»"Pak Ferry menghubungi saya, dan berkata bahwa saya harus menjaga privasi dari client. Saya pikir, itu tentang Pak Radith. Ternyata, justru anda Mrs. Carlstie." Cia tersenyum canggung."Maaf ya, Pak. Tapi, Bapak nggak bilang sama om Radith kan?""Tenang saja, saya bisa menjaga rahasia.""Syukurlah.""Kamu hebat ya, saya jadi merasa semakin bersemangat untuk bekerja. Dulu, saat saya seusia kamu, yang saya pikirkan hanya main!" Bernard dan Cia terkekeh bersama."Tapi, kedepannya tolong jangan beri tahu siapa-siapa tentang saya ya, Pak!"
***** Di hari saat setelah pembagian kelas, Kian tengah Berjalan di koridor menuju perpustakaan, dia berniat untuk mengembalikan buku yang dia pinjam sebelum libur sekolah kenaikan kelas kemarin. Ketika masuk, Kian bertemu seorang pria yang tampak sedang membereskan tumpukan buku. Dia adalah Deren, penjaga perpustakaan. Berusia 26 tahun, dan lulusan salah satu jurusan di Samsard University. Jurusan penelitian tentang buku. Deren bahkan sudah hampir membaca setiap jenis buku yang ada di perpustakaan itu."Selamat siang, Kak." sapa Kian ramah dan ceria seperti biasanya."Siang juga. Kian rajin sekali, baru hari pertama masuk sudah ke perpustakaan saja." Kian terkekeh pelan."Iya, Kak. Mau ngembaliin buku yang waktu itu di pinjem." Kian mengangkat dua buah buku berukuran sedang yang dia pegang. Kian meletakkan buku itu di atas meja, Deren segera mencatat nya. Setelah selesai, Kian berniat kembali ke kelas, tentunya kelas barunya di mana
*****"Sama Cia. Gevin juga." Dava membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ponsel berwarna hitam miliknya di tempelkan di telinga kiri.'Jangan terlalu ikut campur, Sayang. Kamu tau kan Cia itu gimana.'"Iya, gue tau kok. Tapi gue juga nggak tau apa jawaban Cia." ucapnya lagi. Saat ini, dia sedang menghubungi kekasihnya, Aqila. 'Yah semoga aja, mereka bisa cepet selesain masalahnya.' harap Aqila. Dava menghembuskan napasnya lelah, tidak tau harus berkata apa."Ngomong-ngomong, lagi ngapain?" Dava bangun dari baringnya, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya sama seperti biasanya, dia tampan, memiliki warna mata yang tidak umum di Indonesia. Dava pernah memakai softlens untuk menutupi warna asli matanya karena baginya terlalu mencolok, itu terjadi saat Dava masuk ke bangku SMP. Tapi setiap kali Dava memakai softlens, Cia selalu menatapnya tajam dan dingin lebih dari biasanya. Dava jadi ragu untuk memakainya lagi, apa menutupi warna mata aslinya ter
*****"Ok, gue duluan!" Dava melambaikan tangannya pada Iqbal sambil membawa sepeda motornya pergi meninggalkan sekolah, siang ini, seusai sekolah, Dava memutuskan untuk pulang lebih awal, Radith bilang ada yang ingin di bicarakan, jadi dia buru-buru untuk pulang. Di tengah jalan, Dava menghentikan laju motornya saat melihat mobil yang dia kenal tengah berhenti di bahu jalan, lampu mobil masih menyala, pertanda pemiliknya masih di dalam. Dava memutuskan berhenti di belakang mobil itu, lalu turun tanpa melepas helm miliknya. Dava mengetuk kaca mobil dengan pelan."Ci, Cia ..." panggilnya, gadis yang di dalam menoleh, membuka pintu dengan perlahan. Dava mundur beberapa langkah dan terkejut saat pintu terbuka, Cia langsung memeluk dirinya sambil menangis. Dava tentu saja tidak menyangka Cia langsung memeluknya dan menangis."Cia lo kenapa? Siapa yang bikin lo nangis?" Dava bertanya khawatir. Bukannya menjawab, Cia malah semakin menangis dalam
***** Gevin masih di posisi yang sama, duduk di samping tempat tidur sang Nenek. Padahal banyak yang memintanya untuk istirahat, tapi Gevin menolak. Pakaian yang dia pakai semalam masih sama, hingga pagi ini, Gevin tidak mau pergi ke sekolah dan betah duduk di samping Neneknya."Gue mau di sini aja! Jangan ganggu gue!" ucapan Gevin yang mendapat pelototoan dari Angga."Basi lo!" Angga kesal sekali dengan Gevin. "Emangnya lo mau nikah muda, pacar lo kan banyak!" sindir nya kesal. Gevin menatap sang Nenek yang baru saja tertidur. Semalam, setelah meminta maaf dan di maafkan, Sang Nenek berpesan.'Gevin, ingin sekali Nenek melihatmu menikah sebelum Nenek pergi.' tapi itu kan tidak mungkin. Gevin masih sekolah, terlebih dia mencintai Cia, apa Cia mau menikah dengannya, jika tidak, apa Gevin harus menikah dengan orang lain dulu, baru menceraikannya setelah itu kembali pada Cia. Tapi Gevin sudah berjanji akan berubah, jika dia melakuka
****** Rio menatap Gevin heran, cowok itu keluar sambil membawa handuk dan berjalan dengan santai sembari mengeringkan rambutnya. Empat orang lainnya yang tadi ada di sana sudah pulang, mereka bilang lain kali saja datang lagi, karena melihat mood Cia juga tampaknya tidak bagus. Siapa yang tidak tau jika mood Cia sedang buruk maka semua orang bisa kena getahnya. Mungkin hanya Gevin yang kebal dengan itu semua. Ya ada satu lagi, siapa lagi kalau bukan Dava."Lo baikkan sama Cia?" tanya Rio yang tau bahwa sebelumnya Cia bertengkar dengan Gevin."Iya. Thanks ya, udah cerita soal Cia waktu itu." Rio hanya mengedik acuh. Tak menyangka Cia akan memberikan kesempatan pada Gevin."Jangan nyakitin Cia ..." pesan Rio, "gue kasih tau sama lo ya." Rio melirik kamar Cia lalu berbisik pelan, "Cia kalo udah nyaman, bakalan manja minta ampun. Percaya deh sama gue!" Gevin tentu saja tidak percaya, tapi dia juga penasaran. Gimana sosok Cia yang manja. "Gue
****** Gevin membuka pintu ruangan Cia dan masuk tanpa ijin. Cia menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Gevin sudah biasa dengan itu, tapi sekarang Gevin juga sudah tau cara menenangkan nya."Di luar nggak ada yang gue kenal, sayang. Gue kan baru liat mereka." Gevin langsung memeluk Cia dari belakang, menenangkan gadis itu akan kemarahannya. Gevin melihat sekeliling, ruangan itu ternyata ruang kamar, dengan kasur king size dan sebuah lemari besar, juga meja kerja yang berada di sudut ruangan."Lepas gue mau ganti baju! Keluar sana!" Gevin tersenyum cerah."Mau dong liat lo ganti baju ... Bercanda! Sumpah bercanda!" Gevin segera tertawa melihat reaksi Cia. Cowok itu duduk di sofa yang berada di dekat pintu, lalu mengeluarkan ponselnya. "Gue main game sambil nungguin lo aja gimana?" Cia masih menatap Gevin tajam. Dia heran, kenapa bisa nyaman dengan orang semenyebalkan Gevin. Sungguh bodoh sekali. Gevin benar-benar serius bermai
***** Sore harinya, saat Cia tengah mengendarai mobilnya untuk pulang, ya lebih tepatnya dia ingin pergi ke CR, tiba-tiba saja ban mobilnya meledak dan Cia hampir kehilangan kendali, untungnya dia pembalap handal, jadilah dia berhasil selamat, walaupun dia merusak beberapa tanaman yang ada di trotoar jalan. Gadis itu keluar dan terkejut mendapati sebuah paku berukuran cukup besar tertancap di ban depan mobil miliknya. Beberapa Pejalan kaki, bahkan pengenadara motor yang lewat segera berkumpul dan melihat apa yang terjadi dan berniat membantu jika di perlukan."Bahaya banget!" Cia mengambil ponselnya untuk menghubungi Rio, tapi sebelum panggilan tersambung, Cia melihat mobil Gevin yang mendekat, Cia tak jadi menghubungi Rio. Gevin keluar dengan terburu-buru, tanpa menutup pintu mobilnya, dia mendekati Cia dan langsung memeluknya. Cia sendiri sampai terkejut."Are you ok?" tanya cowok itu penuh kekhawatiran."Ya, gue baik-baik aja kok."
*****"Ngapain hayooo!!" "Woaah!" Gevin terkejut bukan main saat seseorang berbicara tepat di belakang kepalanya. Cowok itupun menoleh dan lebih terkejut lagi karena orang yang berada di belakangnya itu adalah seorang cowok jangkung yang bahkan sedikit lebih tinggi darinya. Gevin itu tinggi, bagi anak seusia Gevin, karena cowok itu memiliki tinggi 180 cm. Sedangkan cowok yang tadi mengejutkannya itu lebih tinggi 5 atau 6 centi darinya."Ngapain ngintip-ngintip?" tanya cowok jangkung itu. Gevin melotot kesal."Lo ngapain sih ngagetin gue!" dengusnya kesal."Lo sendiri ngapain di sini, nggak gabung sama yang lain?" Cowok itu kini melihat ke arah orang-orang yang tadi Gevin perhatikan. "Ssst! Jangan ngurusin urusan orang. Dah sana lo pergi. Awas kalo lo ganggu gue lagi!" Gevin memutar kepalanya ingin melihat teman-temannya lagi."Woaaah!" teriakan Gevin lebih kencang dari yang tadi. Cowok itu bahkan sampai terjatuh t
****** Cia mengemasi barangnya dengan hati-hati. Wajahnya masih murung, Bu Dewi yang juga tengah membantu, tampak tersenyum, lalu menepuk bahunya pelan."Jangan terlalu di pikirkan, Mba. Sebaiknya Mba Cia mengikuti kata hati saja." Cia diam tanpa menjawab. Ferry juga sebenarnya sudah membebaskannya, tapi Cia masih ragu, bagaimaba kedepannya, dia sudah dua kali di sakiti dengan hal yang sama, apa dia akan merasakan yang ketiga, keempat, kelima bahkan seterusnya?"Mama, nanti pulang Nuca mau beli kucing." Cia terkejut sekaligus bingung."Kucing?" Bu Dewi justru tertawa."Kemarin saat jalan-jalan, saya dan Mas Nuca lihat kucing di pet shop. Lucu sekali, Mas Nuca katanya mau minta sama Mba Cia." Cia mendekati Nuca dan berjongkok di depannya."Iya, Mama janji nanti pulang kita beli kucing ya.""Yeeey, Mama yang terbaik." Nuca mencium pipi Cia dan memeluknya. Entah kenapa, melihat Nuca bahagia dan tertawa saja membuat Cia ikut merasakannya.*****