Entahberada di mana aku sekarang, sekeliling bahkan langit dipenuhi kabut tebal seputih salju. Tapi anehnya, tidak ada rasa dingin atau sesak napas sama sekali. Sebuah kekuatan menuntun supaya aku melangkah dan melangkah.Tidak terdengar suara apa pun, aroma yang bagaimanapun sebagai tanda-tanda adanya kehidupan. Kosong. Seperti dimensi lain yang sengaja dipersiapkan hanya untukku.Mungkinkah sekarang ....Iya, pasti tidak salah lagi. Sekarang aku berada di alam sesudah kematian. Alam impian bagi yang selama hidup terus mendapat kebencian kedua orang tua."Naya, kembali. Belum saatnya kamu berada di sini!"Aku tersentak, mengikuti naluri untuk mencari asal teguran yang telah menggagalkan sebagian niat terus berjalan. Berbalik badan, kudapati seorang laki-laki dengan ketampanan nyaris sempurna, berpakaian sebagaimana panglima perang zaman kejayaan raja raja tanah Jawa.Ia tersenyum, sesekali ujung ikat kepala berwarna keemasan itu melambai se
Cling!Tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku, dengan teguran sangat mengejutkan."Ciyee, habis ngadu, ya?"Aku yang tersentak kaget, seketika menoleh, menggeser duduk agak jauh saat menyadari satu hal; ia adalah orang dalam mimpiku, yang baru saja menjadi cerita tidak seru."Kenapa takut? Aku ini manusia beneran sepertimu. Bukan kaleng-kaleng, loh!" lanjutmya copy paste kalimat. Lantas terpingkal-pingkal melihatku yang sudah mati kutu ketakutan."Aku juga sudah mendengar cerita semuanya, Tenang saja, nggak bakalan marah, kok!""Cuma ... kasihan sekali, cerita gadis cantik cuma dianggap angin lalu. Hahaha." Ia terus saja meledek.Astaga, kok serba tahu dan santai banget, sih? Manusia jenis apa dia?"Manusia purba!" tandasnya, seolah pikiranku adalah buku terbuka yang bisa dibaca sambil lewat.Sebelum ia kembali menebak pikiran lagi, kuberanikan duri bertanya langsung."Kamu, kenapa ... kenapa dari tadi seolah ta
Tidak ada rasa takut sekarang, drama pecah botol parfum dan melihat hantu tadi, berhasil menciptakan kesal tersendiri. Siapa pun dia, memang tak ada akhlak.Kulewati laki-laki berpakaian serba emas yang menyelipkan senjata panah itu, dengan acuh. Masuk kamar dan sebisa mungkin membereskan pecahan kaca serta isinya. Meski ia bersikeras minta maaf, aku tidak peduli.Namun ...."Mencari apa? Parfumnya di meja," ucapnya, lantas duduk di tepi ranjang.Seketika aku menoleh ke arah yang ditunjukkan. Dan, terbelalak keheranan. Botol kaca berisi cairan harum berwarna ungu muda yang tadi pecah, sudah kembali seperti sedia kala. Utuh, berikut isinya.Beberapa kali mengerjap, hasilnya tidak berubah. Parfum itu memang kembali utuh."Kok bisa?" gumamku."Mudah saja. Bahkan aku bisa sekejap mata mengantarmu ke kota," jawabnya ringan."Kamu ... bisa mengantarku ke kota dengan cepat?" tanyaku. Lenyap sudah kemarahan tadi bersama ... sebut
"Lagu tadi pakai bahasa Inggris, bahasa asing orang luar negri."Kaivan mengangguk, lebih mengerti mungkin."Kamu pernah menikmati makanan di alam manusia?" Sekarang ganti aku yang bertanya."Belum. Aku hanya mendengar saja," jawabnya."Ayo beli makanan! Pilih saja, aku yang traktir."Sengaja tidak kugunakan kata 'cari makan' nanti kepo lagi. Dan, sebelum Kaivan menjawab apa pun, aku sudah menarik tangannya ke jajaran stand di sekitar alun-alun.Berkeliling, membaca satu per satu spanduk di tenda-tenda penjual makanan, tidak ada yang menarik minatnya. Entah apa makanan laki-laki tampan ini di alamnya. Sampai di depan sebuah gerobak mi ayam, dia mengajak berhenti.Aku yang mengerti maksudnya langsung memesan dua porsi mi ayam dan dua gelas es campur.Hitungan menit menunggu, pesanan kami datang. Tapi, Kaivan justru terlihat bingung."Pakai tangan boleh, Nay?" tanyanya berbisik.Aku menutup mulut seketika, setengah
Apa yang dijelaskan Kaivan hanya sebagian saja kumengerti. Maklum, aku lahir, besar, bahkan merintis karir di Jakarta. Sesekali libur sekolah atau kuliah ke rumah Kakek, bukan membahas ilmu hitam.Namun, aku tidak ingin kepo lagi. Semua kejadian hari ini benar-benar melelahkan. Banyak bicara pasti menguras energi.Segera berkemas. Untung saja aku hanya membawa pakaian beberapa stel, alat make up secukupnya, dan oleh-oleh dari jakarta yang langsung ke tangan Bulek kemarin pagi."Minta izin Kakekmu untuk membawa lampu emasku, Naya," ucap Kaivan sambil menyodorkan segelas air minum.Bukan air putih hasil 'tring' ya, botol minum dan gelas memang aku siapkan di meja samping tempat tidur, berjaga-jaga kalau haus tengah malam.Aku diam saja, melanjutkan minum. Hingga air dalam gelas sisa setengah, Kaivan memintanya."Jangan dihabiskan, aku juga haus!""Apa sih? Kamu kan bisa 'tring' jadi gelas dan air minum!""Trang tring, Trang
Pov Kaivan.Wuiing!Kubawa Naya mendarat tepat di halaman rumahnya. Sebuah bangunan yang tidak terlalu besar, tapi memiliki pot-pot kecil berisi bunga warna warni.Bangunan dengan model serupa ada di kanan, kiri, bahkan depan rumah ini, dibatasi jalan beraspal.'Apa rumah manusia modern memang seperti ini? Padat, sedikit tanaman hijau, dan membosankan'Aku terus menggumam dalam hati, sambil mengamati sekeliling."Hey, ayo masuk!" Dengan wajah kesal, Naya menarik tanganku segera masuk rumah. "Betah sekali di teras, liatin apa, sih?"Wajar jika gadis cantik berbaju tosca dengan hiasan mawar di pundak itu kesal, dipanggil dari tadi aku malah asik sendiri."Ehm, enggak. Aku cuma mengamati rumah-rumah di sekitar sini," jawabku salah tingkah."Ada yang aneh?"Aku lantas duduk di kursi empuk bermotif batik, ada bantal kecil warna senada tergeletak begitu saja."Iya. Rumahnya berbeda dari zamanku."Naya ters
Ucapan Pangeran Nanggala Seta tidak sekadar omong kosong, melainkan benar adanya. Sebulan setelah pengukuhan para Senopati dan beberapa Tumenggung baru, Prabu Dananjaya mengadakan pertemuan agung lagi.Barangkali itu yang dibilang anugerah, hadiah terbesar bagi orang-orang yang bisa menahan diri tidak terbawa amarah. Jabatan Senopati memang lepas dari angan-angan. Tapi siapa sangka, aku justru dikukuhkan menjadi prajurit pengawal pribadi raja, bersama tiga orang lainnya.Kedudukan yang paling tinggi tentu saja, kehormatan tersendiri bisa selalu dekat dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan Sang Prabu.Jika punggawa lain yang memiliki kepentingan dengan raja harus melalui pemeriksaan prajurit jaga, maka tidak bagi kami. Aku dan ketiga orang teman terpilih itu bebas keluar masuk ruang pribadi raja.Namun, kegembiraan hari pengukuhan itu tidak bertahan lama. Takdir benar-benar menyukai kesedihan dan air mata. Tepat menjelang sesi akhir pertemuan agung,
Hingga di hari ke tiga, aku baru berani mengutarakan pertanyaan itu."Ampun, Gusti Dewi. Ampun, Pangeran Nanggala. Bolehkah hamba menanyakan sesuatu?"Wanita cantik berkebaya jingga itu tersenyum ramah. "Sejak kita melarikan diri dari istana, sudah berapa kali kubilang untuk tidak membatasi diri antara kawula dan junjungan, Mahesa?"Aku menunduk. "Maafkan, Gusti Dewi. Tetapi ....""Ini bukan istana, Kakang. Melainkan hutan belantara. Aku, Ibunda, kau, dan Tantri sama derajatnya. Makanan, minuman, maupun alas tidur kita tidak dibedakan." Pangeran Nanggala menengahi. Tubuh ringkihnya yang bersandar di tonggak kayu, sesekali butuh ditopang sang ibu."Tanyakan, Mahesa. Mumpung kita belum melanjutkan perjalanan," lanjut Dewi Gayatri.Memang, selama masa pelarian, kami berempat saling bahu membahu dalam segala hal. Pangeran Nanggala yang sedang sakit pun tidak mau hanya berpangku tangan.Meski begitu, rasa canggung kepada ratu junjungan ter
Dengan berat hati, akhirnya aku mengangguk. Antara cinta dan nyawa, tentu prajurit akan memilih nyawa.Nyawa bisa digunakan untuk menghimpun kebaikan terus menerus. Sementara cinta, akan banyak menuntut pengorbanan yang entah apa artinya. Lagi pula Naya belum tentu mau denganku.Kebahagiaan? Mungkin iya jika aku masih manusia. Tapi akan menjadi lain jika memaksa menyatukan kodrat yang tidak semestinya. Jin dan manusia terikat pernikahan. Penderitaan satu sama lain yang ada.Sekarang, kesadaranku akan hal itu dipulihkan kembali."Saya bersedia melepas Naya dan menjalani kodrat serta kewajiban saya, Kiai," ucapku lemah.Jujur saja, ulu hatiku nyeri sekarang. Serasa ditekan lancip ujung tombak panas. Aku bahkan mengerjap, hampir saja jatuh butiran butiran air mata.Lemah, ya? Coba kamu yang jadi aku."Kuatkan hatimu, Ngger. Paksa untuk ikhlas. Sang pencipta sudah menjanjikan kebaikan yang jauh lebih baik bagi orang-orang yang ikhlas," nasehat Tabib Narapadya lagi.Aku hampir-hampir tidak
Pertarungan dengan tabib Tuge Lan Ba Ta memang berhasil kumenangkan. Semula baik-baik saja, tapi semakin hari tubuhku melemah merasakan persendian yang sakitnya kadang menimbulkan gigil panas dingin.Iya, efek jangka panjang rupanya bukan saja terjadi pada penyakit manusia. Aku pun mengalami.Naya, jangan ditanya khawatirnya sekarang. Meski kata cinta belum bisa terucap, tapi perhatian yang dia berikan lebih dari cukup untuk menentramkan hati.Jika tidak berada rumah, maka rentetan pesan WhatsApp akan menuntut jawaban. Menanyakan makan, sakit, atau minta dibelikan apa sepulang kerja. Ah, andai tidak sakit, aku juga tidak mau menjadi laki-laki lembek begini.Tuk! Tuk! Tuk!Aku terkesiap dari lamunan, susah payah bangun dari tempat tidur demi menyambut siapa pengetuk lampu barusan.Tuk! Tuk! Tuk!Bukan Naya, tidak ada panggilan seperti biasa. Energinya pun berbeda. Lebih lembut sekaligus menentramkan, tanda pemiliknya benar-benar memiliki nurani bersih sepanjang usianya.Aku buru-buru
Cling!Sosok itu menembus pintu, kemudian berdiri tegak di hadapanku. Pakaian, jenggot, dan rambut putihnya mencerminkan sosoknya yang dituakan pada satu wilayah tertentu.Jin kan bisa berubah menjadi apa saja sesuai keinginannya, termasuk orang renta. Meski kami tetap saja menolak tua dan mati."Silakan duduk, Tuan. Ada kepentingan apa dengan saya?"Aku langsung mempersilakan dan bertanya tanpa basa-basi setelah kami sama-sama membungkuk sebentar untuk memberi salam hormat. Dia jin, mau disuguhi apa selain kemenyan? Sedangkan di sini langka mencari yang seperti itu. Adanya teh, kopi, kue, dan buah-buahan dalam kulkas.Kakek tua itu melihat Naya sekilas, kemudian bicara dengan raut sungkan. "Maaf, apa Anakmas bisa menjauhkan gadis itu lebih dulu?Energi manusia dan jin berbeda. Saya takut nanti kenapa kenapa."Aku mengangguk cepat, buru-buru mengangkat tubuh gadisku untuk dipindahkan ke kamar tidurnya. Tidak tega men-tring pamer kepandaian, soalnya cinta.Lagi pula, tidak baik juga al
Hujan akhirnya mereda, banjir pun surut perlahan. Satu per satu warga kompleks kembali dari pengungsian, membersihkan rumah sekaligus menyelamatkan apa yang masih bisa digunakan.Naya kembali tersenyum cerah, tidak ada uring-uringan dadakan karena kemauan ke luar rumah kupenuhi. Tapi, lihat saja dua atau tiga hari lagi, kalau jawaban cinta masih belum kuterima, kompleks ini akan menjadi saingan danau Toba.Iya, hujan dan banjir hanya kubuat berhenti sementara. Hanya demi menghilangkan persepsi 'laki-laki tidak peka'Namun, jauh di dalam hati aku tetap menagih janji."Van, kamu mau nggak nemenin aku?"Naya tiba-tiba saja muncul mengagetkan. Ah bukan, aku saja yang salah akhir-akhir ini sering melamun."Iya, boleh!!" jawabku penuh semangat. "Memangnya mau ke mana?""Lihat kerja bakti!"Aku tercengang, kepala jadi pening mendadak karena dipaksa berpikir mendadak juga.Kerja bakti itu apa? Jenis pekerjaan baru yang digaji minyak goreng untuk meringankan beban warga negara Indonesia?Kan k
Hujan deras selama empat malam tiga hari, belum ada tanda-tanda berhenti. Langit sesekali menampakkan biru cerah lengkap dengan mataharinya. Tapi, hanya hitungan menit.Mendung kembali menebal, dan tumpah ruah menjadi gemericik yang sekali waktu diselingi angin atau petir.Semua orang menatap tidak menentu dari balik kaca jendela rumah masing-masing. Gelisah memikirkan nasib baju kotor, merutuk tidak bisa leluasa ke luar rumah, tapi menyimpan perasaan was-was begitu besar.Aku tahu semuanya, aku bisa merasakan campuran energi mereka. Tetapi, niatku sudah bulat untuk tidak menghentikan semuanya.Selama Naya masih berkeras hati mengulur jawaban pernyataan cintaku, seluruh warga kompleks perumahan terkena musibah pun aku tidak peduli. Yang salah itu Naya, yang bisa menghentikan amarahku tentu hanya dia."Van, sampai kapan kamu akan membuat hujan terus menerus?"Naya mengusik kegiatanku melukis, sambil meletakkan satu gelas kopi yang masih mengepulkan asap di meja. Dia lantas menarik kurs
"Van, tapi kodrat kamu tetap jin! Bagaimanapun juga asal mulanya!"Eh, berani membantah dia. Untung sayang, kalau tidak, sudah aku tring jadi Spongebob sekarang."Masa bodoh!" sengitku. "Yang aku tahu hanya kita menikah, atau kompleks perumahan ini hancur kena musibah!"Naya terdiam, tidak sanggup lagi membantah mungkin saja. Dan, aku yakin dia pasti berusaha keras bisa mencintaiku setelah ini.Wanita memang adakalanya sedikit dibentak, supaya berpikir ulang untuk macam-macam. "Jangan, Naya! Jangan sampai jatuh cinta sama dia!"Tiba-tiba kami dikejutkan oleh sebuah teriakan. Sosok berkaos hitam gambar tengkorak itu berapi-api melakukan upaya pencegahan.Dia mendekat, hingga berdiri beberapa tindak di hadapan Naya."Jangan, Naya. Kamu jangan sampai jatuh cinta sama Kaivan. Dia itu jin jahat, bisa-bisa kamu tertular berbuat kejahatan!"Shit! Dikira aku penyebar virus omikron apa?Namun, aku memilih diam. Tidak menanggapi arwah transparan yang sedang berusaha mempengaruhi Naya. Sebab ap
Pov Kaivan"Van, lagi ngapain sih sibuk bener?"Aku tersenyum, menggeser duduk untuk memberi ruang Naya melihat sendiri apa yang aku tulis dalam nota. Sebuah daftar persiapan yang barangkali tidak begitu penting bagi manusia."Ini, lagi nulis daftar barang," jawabku. Menyodorkan nota supaya Naya meneliti dan menambahkan apa yang kurang.Membaca dalam diam, kedua alisnya bertaut. "Ini buat apaan? Kok ada balon sama pohon Natal?"'"Ulang Tahun! Emang salah ya kalau pakai balon?"Naya tergelak, kedipan matanya nyaris membuat hatiku rontok seperti tanaman cabe di musim hujan. Tapi, kok sepertinya menertawakan aku."Kalau yang ulang tahun anak kecil sih bener. Ada balon, hiasan warna-warni dan permen. Tapi ..." Naya kembali menatapku lekat. "Siapa emang yang ulang tahun?""Aku. Gara-gara sering liat video acara ulang tahun di YouTube, jadinya ingin ulang tahun juga!"Tuh kan, malah curhat.Naya senyum-senyum. Belum sempat aku menerawang isi pikirannya, sudah didahului bertanya."Ulang tahu
Pov NayaBenar apa yang Kaivan bilang sebelum sarapan tadi, kalau ibu tiriku akan menyebar berita bohong melalui siaran langsung.Saat aku membuka Instagram, komentar serta DM berdatangan. Mereka semua menanyakan kebenaran ucapan ibu, ada juga yang langsung menghujat dengan bahasa kasar ala manusia.Aku belum membuka video siaran langsung ibu, memilih mengetuk lampu tidur dulu supaya ada teman menyaksikan. Sendiri takut makan hati.Tuk! Tuk! Tuk!"Van, ke luar bentar bisa? Penting nih!"Sliiing!Pendar otomatis berwarna emas menyilaukan dari lampu tidur itu, membuat senyum mengembang seketika. Kaivan langsung merespon, rupanya tidak sibuk juga.Cahaya emas itu meredup perlahan, dan mati total begitu laki-laki berpakaian prajurit muncul di hadapanku. Dia tersenyum lembut, kemudian merangkul duduk."Ada apa?" tanyanya dengan ekspresi biasa saja.Aku menyodorkan handphone padanya. "Benar apa yang kamu bilang tadi, ibu membuat ulah!"Kaivan lantas mengambil benda pipih itu, membuka video
Manusia memang memiliki banyak keunggulan, kelebihannya tidak jarang membuat kami bangsa jin dengki kepada mereka. Namun, kala sisi egois manusia muncul, cara-cara yang digunakan acapkali menimbulkan geram.Mengesampingkan rasa malu, padahal mengaku paling gengsi sama ini itu.Sean, salah satu contoh yang akan kubeberkan. Pacar Naya semasa SMA yang sempat disangkal 'berbohong demi kebaikan' agar aku tidak marah, sekarang berulah. Pengacara muda itu melebihi selebgram Delon, bahkan.Dia melakukan siaran langsung, pamer barang-barang lamaran untuk Naya. Dan, sialnya gadisku itu melihat videonya lebih dulu.Aku memerhatikan dengan sengaja tidak menampakkan diri, maupun memakai parfum citrus. Menahan panas dalam hati bukan sesuatu yang mudah, apalagi menahan diri supaya tidak menyakiti Naya.Begitu agak tenang barulah aku muncul tiba-tiba.Cling!"Nonton apa, Naya?" tanyaku, langsung duduk di sebelahnya.Calon jodohku tergagap, salah tingkah menyembunyikan video dalam handphonenya."Eh, e