[Sean, kamu di mana?]
Ke luar dari lokasi Persada Tivi, aku sengaja tidak langsung pulang. Melainkan DM Sean untuk memastikan janji tadi siang.
[Depan resto]
Balasnya singkat. Uft, ternyata dia juga sedang harap-harap cemas menunggu.
[Loh, samaan. Kamu pakai baju apa?]
[Hoodie abu-abu]
Aku langsung memasukkan handphone ke saku jeans, meneliti ke segala penjuru untuk mencari orang dengan warna pakaian seperti yang disebut Sean.
Ketemu, aku langsung melambai pada laki-laki yang duduk di jok motor. Secara kebetulan ia menatap ke arahku.
"Sean, sini!"
Laki-laki pemilik hoodie abu-abu itu tersenyum cerah menangkap isyarat, segera mengangguk lantas meninggalkan motor yang terparkir lumayan jauh dariku.
Seperti akting pertemuan di drama drama Korea, Sean berlari ke arahku dan langsung aku sambut genggaman tangan. Tidak mungkin berpelukan, bukan muhrim. Apalagi ini tempat umum, bukan lokasi strategis untuk pacaran apalagi
"Nay, tumben olahraga pagi?"Seorang laki-laki berkaos kuning jreng, mensejajari langkah cepatku. Senyum manis langsung tercipta simetris, saat aku menoleh untuk menjawab sapaan."Eh, Kang Iwan. Jalan juga," balasku."Sesekali, Nay. Di rumah suntuk. Udah seharian capek kerja, sampai rumah Mama masih ngomel-ngomel!"Wah, ternyata laki-laki juga bisa curhat. Tapi, sepertinya masalah Kang Iwan seru dan serius ditanggapi. Secara, dia jarang sekali berbaur dengan warga. Meski ketampanannya menjadi idola ibu-ibu satu komplek perumahan.Introvert kali istilahnya."Memangnya kenapa, Kang? Kan Akang udah mau kerja, depresi dari Teh Sari juga nggak lama?"Setahuku tentang duda tanpa anak yang jalan santai di sebelahku ini sih begitu. Sempat depresi gara-gara bercerai dengan istri cantik blasteran bule.Kang Iwan mengembuskan napas kasar. "Itulah, Nay. Mama ngomel pengen punya cucu, sedangkan aku masih trauma nikah lagi!"Tiba-tiba
Aku langsung terbahak membayangkan taruhan menakutkan itu. Apa jadinya kalau Kang Iwan dengan penuh percaya diri menyetujui, karena takut pamor ketampanannya luntur di depan ibuk-ibuk. Lalu dia kalah, mau tidak mau jualan bakso, lalu ....Anak Pak Rete yang biasa kerja enak di balik meja petugas kecamatan, tiba-tiba jualan bakso karena kalah taruhan."Berani berbuat harus berani tanggung resiko, apalagi jailnya udah ke ranah nama baik!" Kaivan kembali bicara serius. "Masih untung loh cuma dihukum jualan bakso, daripada aku jadiin patung penjaga bendera!"Ya ampun, kalau aku sih milih jadi patung. Anak keluarga super gengsi jualan bakso mah bukan untung, tapi malu tujuh turunan."Nggak nyangka banget. Kang Iwan yang kelihatan baik depan orang, pendiam sejak cerai sama istrinya, ternyata pintar cari muka!" gerutuku kecewa."Makanya harus diberi pelajaran, supaya hati-hati kalau pengen viral," nasehat Kaivan."Van, terus aku nanti gimana kalau
Hujan yang turun sejak subuh tadi belum ada tanda-tanda akan reda, membuat angka delapan yang ditunjuk jarum jam tetap redup seperti suasana jam lima pagi.Pagi yang malas menerbitkan matahari, biasanya juga membuat orang setengah hati beranjak dari rebahan. Aku pun jadi betah berlama-lama menikmati sepiring nasi goreng sambil menonton film di handphone kalau begini. Apalagi, Kaivan sengaja tidak ke luar dari lampu.Benar-benar membagongkan! Begitu disebut pemalas tidak mau!Namun, sarapan dan fokusku pada layar handphone seketika terganggu oleh gedoran dari pintu ruang tamu. Semakin lama seperti orang hendak merobohkan rumah saja. Padahal, bel yang kupasang dengan harga tidak murah memiliki tujuan supaya orang mudah memanggil tuan rumah.Semakin bertambah kesal, aku terpaksa juga meninggalkan ruang makan. Menyahut orang tidak sabaran di luar sana sambil berusaha memutar anak kunci secepat mungkin. Kupikir tetangga iseng, ternyata ....Seoran
Aku tersenyum tipis. "Bisa diatur, Om. Asalkan Om mau ke luar dari celah lemari dan dinding itu, lalu kita bicara baik-baik."Tidak ada ekspresi penuh kesombongan lagi, kecuali menuruti semua permintaanku sebagai tuan rumah yang tadi disalahkan. Om botak ke luar dari persembunyian, begitu juga dua orang bodyguardnya. Duduk kembali di kursi tamu berhadapan denganku."Jadi bagaimana? Apa tangan Japan bisa disembuhkan?" tanya Om botak tanpa basa-basi.Aku mengangguk. "Tapi, kita selesaikan dulu masalah hutang tadi. Saya tidak mau dituduh tanpa bukti, begitu pun Om yang tidak mau rugi!""Apa yang bisa saya berikan sebagai bukti?""Begini, Om." Aku berusaha terlihat elegan memberi penjelasan. "Coba Om berikan saya kuitansi hutang lima ratus juta dengan bunga yang sama itu. Dan, jelaskan siapa yang berhutang atas nama saya.""Apa harus ada kuitansinya sekarang?"Aku tersenyum miring. "Itu sih terserah Om. Mau tangan anak buah Om tetap bolon
"Satu!""Dua!""Tiga!"Tring!Tepat sebelum kata "lempar" meluncur dari mulut Om botak tanpa bantuan toa, Kaivan mengarahkan jari tengah dan jari telunjuknya. Membuat suasana seketika heboh.Om botak tidak jadi memberi aba-aba supaya bodyguardnya gerak cepat melempar obor, dia justru heboh sendiri mengibas-ngibaskan pakaian yang dikenakan. Dan, kawanan kecoa yang entah berjumlah berapa berjatuhan ke tanah karenanya.Tentu saja tiga orang pembawa obor juga ikut panik, histeris sambil mundur-mundur menjauhi bosnya. Rupanya laki-laki juga takut kecoa.Aku dan Kaivan keluar dari perdu tempat persembunyian dengan tawa yang sudah tidak bisa dibendung. Bersamaan itu, banyak orang juga berdatangan dengan kamera dan handphone masing-masing yang semuanya diarahkan pada Om botak.Ternyata teman Kaivan tidak setengah setengah membuat orang viral. Sedari tadi banyak wartawan dadakan yang memvideo dari tempat aman dan strategis. Pantas Kaiva
Pagi yang ditunggu akhirnya tiba. Setelah menghabiskan roti bertoping caramel dan satu gelas white coffe, aku buru-buru mengetuk lampu tidur rumah tinggal Kaivan untuk berpamitan.Laki-laki berparas tampan yang awet tanpa formalin itu pun tanggap, cepat ke luar dari lampu untuk mengucapkan 'hati-hati di jalan'Aku lantas ke luar rumah membawa tas selempang. Masuk mobil Fortuner di mana beberapa orang kru sudah menunggu. Tenang saja, pakaian bisa beli sambil traveling nanti.Perjalanan Jakarta-Yogyakarta dengan mobil pribadi selama beberapa jam, memang terasa membosankan. Apalagi kami---aku dan kru---sengaja tidak mampir mampir karena mengejar waktu persiapan teknis di sana nanti. Untunglah handphone bisa menjadi solusi.Meski sementara, sih. Daripada tidak sama sekali.Ting!Notifikasi pesan membuat kegiatanku membuka bungkus coklat terhenti. Kembali membuka pengunci layar handphone, masuk ke DM akun Instagram baru.[Udah sampai
"Aku ada pemotretan, Nay. Sekaligus kunjungan ke situs bersejarah sama kru."Sebenarnya aku bisa saja ikut, mengunjungi situs bersejarah juga bagian dari traveling. Apalagi, besok aku harus pulang. Kesempatan menikmati kota Yogyakarta adalah sekarang sampai nanti sore.Namun, berpikirnya harus lebih jauh. Jalan-jalan sesama artis tidaklah seperti orang biasa, pasti dimanfaatkan para pencari berita yang tersebar dadakan. Trending gosip sekaligus ketahuan sama yang di rumah, bisa celaka."Iya, nggak apa-apa. Kamu hati-hati ke sana sampai pulangnya. Terus jangan lupa nomor ini dibuang.""Oke, Naya. Sampai nanti!"Aku hanya membalas dengan ucapan cinta basa-basi. Masih berharap jejak telepon seluler tidak bisa terdeteksi, bersamaan nomor baru Delon yang kuhapus dari daftar panggilan masuk.Sebaiknya aku ikut Pak Bos lagi untuk mengecek teknis panggung saja di alun-alun, daripada gabut mengurung diri di kamar penginapan sampai nanti sore.&d
"Kamarnya Kak Naya ada di sebelah mana, Tuan Mahesa?"Duhh, ini tuyul apa anak orang, sih? Kepo tidak ada habisnya, serba tidak mengerti dijelaskan dari tadi.Kaivan yang sudah kesal, bertambah murka mendengar hal itu. Dia menatap tajam bocil gundul yang memakai kaos Upin."Usrok, apa kemampuanmu mengetahui sesuatu melalui bau tubuh, sudah hilang?""Be-belum, Tuan.""Lalu, kenapa masih membantah?""Biasanya kan saya nyium bau duit. Nah, ini mencari benda berdasarkan bau tubuh pemiliknya. Di hotel berkamar banyak pula. Susah, Tuan. Kecuali saya boleh kepoin hantu di sana!"Lagi, Usrok mengakhiri jawaban sambil terkikik."Itu terserah kamu, Usrok. Aku tidak mau tahu! Pokoknya cepat kemasi barang-barang Naya, dan berikan tasnya padaku!"Sebelum ada tawar menawar untuk kesekian kali, Kaivan merangkulku untuk dibawa melesat menembus sebagian langit abu-abu Yogyakarta. Tidak ada satu patah kata pun meluncur dari mulut Kaivan.
Dengan berat hati, akhirnya aku mengangguk. Antara cinta dan nyawa, tentu prajurit akan memilih nyawa.Nyawa bisa digunakan untuk menghimpun kebaikan terus menerus. Sementara cinta, akan banyak menuntut pengorbanan yang entah apa artinya. Lagi pula Naya belum tentu mau denganku.Kebahagiaan? Mungkin iya jika aku masih manusia. Tapi akan menjadi lain jika memaksa menyatukan kodrat yang tidak semestinya. Jin dan manusia terikat pernikahan. Penderitaan satu sama lain yang ada.Sekarang, kesadaranku akan hal itu dipulihkan kembali."Saya bersedia melepas Naya dan menjalani kodrat serta kewajiban saya, Kiai," ucapku lemah.Jujur saja, ulu hatiku nyeri sekarang. Serasa ditekan lancip ujung tombak panas. Aku bahkan mengerjap, hampir saja jatuh butiran butiran air mata.Lemah, ya? Coba kamu yang jadi aku."Kuatkan hatimu, Ngger. Paksa untuk ikhlas. Sang pencipta sudah menjanjikan kebaikan yang jauh lebih baik bagi orang-orang yang ikhlas," nasehat Tabib Narapadya lagi.Aku hampir-hampir tidak
Pertarungan dengan tabib Tuge Lan Ba Ta memang berhasil kumenangkan. Semula baik-baik saja, tapi semakin hari tubuhku melemah merasakan persendian yang sakitnya kadang menimbulkan gigil panas dingin.Iya, efek jangka panjang rupanya bukan saja terjadi pada penyakit manusia. Aku pun mengalami.Naya, jangan ditanya khawatirnya sekarang. Meski kata cinta belum bisa terucap, tapi perhatian yang dia berikan lebih dari cukup untuk menentramkan hati.Jika tidak berada rumah, maka rentetan pesan WhatsApp akan menuntut jawaban. Menanyakan makan, sakit, atau minta dibelikan apa sepulang kerja. Ah, andai tidak sakit, aku juga tidak mau menjadi laki-laki lembek begini.Tuk! Tuk! Tuk!Aku terkesiap dari lamunan, susah payah bangun dari tempat tidur demi menyambut siapa pengetuk lampu barusan.Tuk! Tuk! Tuk!Bukan Naya, tidak ada panggilan seperti biasa. Energinya pun berbeda. Lebih lembut sekaligus menentramkan, tanda pemiliknya benar-benar memiliki nurani bersih sepanjang usianya.Aku buru-buru
Cling!Sosok itu menembus pintu, kemudian berdiri tegak di hadapanku. Pakaian, jenggot, dan rambut putihnya mencerminkan sosoknya yang dituakan pada satu wilayah tertentu.Jin kan bisa berubah menjadi apa saja sesuai keinginannya, termasuk orang renta. Meski kami tetap saja menolak tua dan mati."Silakan duduk, Tuan. Ada kepentingan apa dengan saya?"Aku langsung mempersilakan dan bertanya tanpa basa-basi setelah kami sama-sama membungkuk sebentar untuk memberi salam hormat. Dia jin, mau disuguhi apa selain kemenyan? Sedangkan di sini langka mencari yang seperti itu. Adanya teh, kopi, kue, dan buah-buahan dalam kulkas.Kakek tua itu melihat Naya sekilas, kemudian bicara dengan raut sungkan. "Maaf, apa Anakmas bisa menjauhkan gadis itu lebih dulu?Energi manusia dan jin berbeda. Saya takut nanti kenapa kenapa."Aku mengangguk cepat, buru-buru mengangkat tubuh gadisku untuk dipindahkan ke kamar tidurnya. Tidak tega men-tring pamer kepandaian, soalnya cinta.Lagi pula, tidak baik juga al
Hujan akhirnya mereda, banjir pun surut perlahan. Satu per satu warga kompleks kembali dari pengungsian, membersihkan rumah sekaligus menyelamatkan apa yang masih bisa digunakan.Naya kembali tersenyum cerah, tidak ada uring-uringan dadakan karena kemauan ke luar rumah kupenuhi. Tapi, lihat saja dua atau tiga hari lagi, kalau jawaban cinta masih belum kuterima, kompleks ini akan menjadi saingan danau Toba.Iya, hujan dan banjir hanya kubuat berhenti sementara. Hanya demi menghilangkan persepsi 'laki-laki tidak peka'Namun, jauh di dalam hati aku tetap menagih janji."Van, kamu mau nggak nemenin aku?"Naya tiba-tiba saja muncul mengagetkan. Ah bukan, aku saja yang salah akhir-akhir ini sering melamun."Iya, boleh!!" jawabku penuh semangat. "Memangnya mau ke mana?""Lihat kerja bakti!"Aku tercengang, kepala jadi pening mendadak karena dipaksa berpikir mendadak juga.Kerja bakti itu apa? Jenis pekerjaan baru yang digaji minyak goreng untuk meringankan beban warga negara Indonesia?Kan k
Hujan deras selama empat malam tiga hari, belum ada tanda-tanda berhenti. Langit sesekali menampakkan biru cerah lengkap dengan mataharinya. Tapi, hanya hitungan menit.Mendung kembali menebal, dan tumpah ruah menjadi gemericik yang sekali waktu diselingi angin atau petir.Semua orang menatap tidak menentu dari balik kaca jendela rumah masing-masing. Gelisah memikirkan nasib baju kotor, merutuk tidak bisa leluasa ke luar rumah, tapi menyimpan perasaan was-was begitu besar.Aku tahu semuanya, aku bisa merasakan campuran energi mereka. Tetapi, niatku sudah bulat untuk tidak menghentikan semuanya.Selama Naya masih berkeras hati mengulur jawaban pernyataan cintaku, seluruh warga kompleks perumahan terkena musibah pun aku tidak peduli. Yang salah itu Naya, yang bisa menghentikan amarahku tentu hanya dia."Van, sampai kapan kamu akan membuat hujan terus menerus?"Naya mengusik kegiatanku melukis, sambil meletakkan satu gelas kopi yang masih mengepulkan asap di meja. Dia lantas menarik kurs
"Van, tapi kodrat kamu tetap jin! Bagaimanapun juga asal mulanya!"Eh, berani membantah dia. Untung sayang, kalau tidak, sudah aku tring jadi Spongebob sekarang."Masa bodoh!" sengitku. "Yang aku tahu hanya kita menikah, atau kompleks perumahan ini hancur kena musibah!"Naya terdiam, tidak sanggup lagi membantah mungkin saja. Dan, aku yakin dia pasti berusaha keras bisa mencintaiku setelah ini.Wanita memang adakalanya sedikit dibentak, supaya berpikir ulang untuk macam-macam. "Jangan, Naya! Jangan sampai jatuh cinta sama dia!"Tiba-tiba kami dikejutkan oleh sebuah teriakan. Sosok berkaos hitam gambar tengkorak itu berapi-api melakukan upaya pencegahan.Dia mendekat, hingga berdiri beberapa tindak di hadapan Naya."Jangan, Naya. Kamu jangan sampai jatuh cinta sama Kaivan. Dia itu jin jahat, bisa-bisa kamu tertular berbuat kejahatan!"Shit! Dikira aku penyebar virus omikron apa?Namun, aku memilih diam. Tidak menanggapi arwah transparan yang sedang berusaha mempengaruhi Naya. Sebab ap
Pov Kaivan"Van, lagi ngapain sih sibuk bener?"Aku tersenyum, menggeser duduk untuk memberi ruang Naya melihat sendiri apa yang aku tulis dalam nota. Sebuah daftar persiapan yang barangkali tidak begitu penting bagi manusia."Ini, lagi nulis daftar barang," jawabku. Menyodorkan nota supaya Naya meneliti dan menambahkan apa yang kurang.Membaca dalam diam, kedua alisnya bertaut. "Ini buat apaan? Kok ada balon sama pohon Natal?"'"Ulang Tahun! Emang salah ya kalau pakai balon?"Naya tergelak, kedipan matanya nyaris membuat hatiku rontok seperti tanaman cabe di musim hujan. Tapi, kok sepertinya menertawakan aku."Kalau yang ulang tahun anak kecil sih bener. Ada balon, hiasan warna-warni dan permen. Tapi ..." Naya kembali menatapku lekat. "Siapa emang yang ulang tahun?""Aku. Gara-gara sering liat video acara ulang tahun di YouTube, jadinya ingin ulang tahun juga!"Tuh kan, malah curhat.Naya senyum-senyum. Belum sempat aku menerawang isi pikirannya, sudah didahului bertanya."Ulang tahu
Pov NayaBenar apa yang Kaivan bilang sebelum sarapan tadi, kalau ibu tiriku akan menyebar berita bohong melalui siaran langsung.Saat aku membuka Instagram, komentar serta DM berdatangan. Mereka semua menanyakan kebenaran ucapan ibu, ada juga yang langsung menghujat dengan bahasa kasar ala manusia.Aku belum membuka video siaran langsung ibu, memilih mengetuk lampu tidur dulu supaya ada teman menyaksikan. Sendiri takut makan hati.Tuk! Tuk! Tuk!"Van, ke luar bentar bisa? Penting nih!"Sliiing!Pendar otomatis berwarna emas menyilaukan dari lampu tidur itu, membuat senyum mengembang seketika. Kaivan langsung merespon, rupanya tidak sibuk juga.Cahaya emas itu meredup perlahan, dan mati total begitu laki-laki berpakaian prajurit muncul di hadapanku. Dia tersenyum lembut, kemudian merangkul duduk."Ada apa?" tanyanya dengan ekspresi biasa saja.Aku menyodorkan handphone padanya. "Benar apa yang kamu bilang tadi, ibu membuat ulah!"Kaivan lantas mengambil benda pipih itu, membuka video
Manusia memang memiliki banyak keunggulan, kelebihannya tidak jarang membuat kami bangsa jin dengki kepada mereka. Namun, kala sisi egois manusia muncul, cara-cara yang digunakan acapkali menimbulkan geram.Mengesampingkan rasa malu, padahal mengaku paling gengsi sama ini itu.Sean, salah satu contoh yang akan kubeberkan. Pacar Naya semasa SMA yang sempat disangkal 'berbohong demi kebaikan' agar aku tidak marah, sekarang berulah. Pengacara muda itu melebihi selebgram Delon, bahkan.Dia melakukan siaran langsung, pamer barang-barang lamaran untuk Naya. Dan, sialnya gadisku itu melihat videonya lebih dulu.Aku memerhatikan dengan sengaja tidak menampakkan diri, maupun memakai parfum citrus. Menahan panas dalam hati bukan sesuatu yang mudah, apalagi menahan diri supaya tidak menyakiti Naya.Begitu agak tenang barulah aku muncul tiba-tiba.Cling!"Nonton apa, Naya?" tanyaku, langsung duduk di sebelahnya.Calon jodohku tergagap, salah tingkah menyembunyikan video dalam handphonenya."Eh, e