"Kapan cutinya Mbak?" saat ini aku sedang membantu Mbak Nisha membuat kue untuk acara hajatan nanti.
"Hari Jumat, Dek.""Gak kemepeten itu Mbak? Minggu aja akad loh?""Gak bisa Dek. Mau ada akreditasi jadi Mbak pengin semua tanggungjawab Mbak selesai sebelum Mbak nikah. Masmu aja malah cutinya H-1, Dek.""Astaga. Besok aku mau jadi dokter Puskesmas ajalah yang gak sibuk," jawabku cengengesan."Hahaha. Kata siapa gak sibuk? Sama aja kali tapi iya sih kalau di Puskesmas gak terlalu capek. Kalau mau jadi dokter Puskesmas usahain PNS dulu lah. Kalau enggak nanti gajinya gak seberapa.""Iya-iya yang kerjanya di rumah sakit swasta gede, gajinya gede pula.""Tapi tanggung jawabnya juga gede Dek," timpal Mbakku."Iya sih."*****"Rosi," aku berlari menghampiri Rosi."Eh... Nasha," kulihat Rosi nampak gugup melihatku."Kamu lagi ngapain?" tanyaku."Aku... Aku... ""Sori. La... Nasha," kulihat Feri berjalan dari arah toilet"Na, tolong kamu beliin beberapa keperluan di Moro aja ya? biar lebih murah.""Iya Bu, nanti Nasha naik Grab aja. Kasihan Ayah.""Iya, apa kamu ditemani sama Huda aja, Na?""Gak usah Bu! Kasihan Huda, mungkin dia juga lagi capek. Udah Na sendiri aja.""Ya sudah, hati-hati ya Nduk.""Iya Bu."Aku segera memesan Grab melalui aplikasi di ponselku. Kurang dari lima belas menit Grab datang dan aku langsung naik.Sekitar empat puluh lima menit, aku sampai di Moro. Langsung saja aku mengambil keranjang dan mengisinya dengan berbagai keperluan seperti yang tertera di daftar belanjaan yang sudah ibuku buat.Setelah selesai berbelanja dan membayarnya di kasir, aku menitipkan barang belanjaanku di penitipan barang. Aku ingin membeli beberapa novel baru sebagai bahan bacaan. Saat aku hendak menuju ke area bookstore, mataku membelalak melihat pasangan yang tengah berjalan mesra. Refleks aku bersembunyi dan memilih memperhatikan mereka
Aku tengah menyusuri koridor kampus dengan hati gembira. Akhirnya judul skripsiku di acc. Biar bisa mulai nyicil hehehe. Entah kenapa sepanjang jalan kulihat semua mata memandang ku. Apa ada yang aneh ya dengan penampilanku. Aku mencoba melihat penampilanku sepertinya tidak ada.Aku segera menuju salah satu gazebo jurusan, mau nunut wifi gratis guna mencari beberapa sumber tambahan skripsi."Na." panggilan seseorang kepadaku.Aku menoleh kulihat ketiga temanku sedang berlari menuju ke arahku. Nafas mereka ngos-ngosan kayak baru dikejar satpam aja."Kamu... Kamu... Udah tahu belum." tanya Gita."Udah tahu apa?" aku bingung."Nih... Lihat ini." Lusi menyerahkan Hpnya padaku. Aku melihat ada file video. Segera kuputar dan astaghfirullah refleks aku melempar Hp tersebut. Jeni mencoba menangkapnya dan untung berhasil.Mataku memerah. Campuran antara marah, kecewa dan sedih. Ya Alloh, apa yang dipikirkan oleh mereka.
Sejak terkuaknya video yang menghebohkan kampusku. Feri dan Rosi di DO dari universitas. Bahkan kudengar mereka akan menikah karena Rosi hamil dan orangtuanya meminta pertanggungjawaban Feri. Syukurlah kalau mereka akhirnya menikah.Aku sudah tak pernah berhubungan dengan mereka berdua. Bahkan semua gengku pun sudah lama tak menyapa Rosi semenjak ketahuan merebut pacar eh ralat mantan pacarku.Dino pun sepertinya sudah kembali ceria. Aku tahu dia juga sangat patah hati. Perjuangan cintanya sia-sia. Semoga kamu dapat pengganti yang lebih baik Dino. Doaku untukmu.*****Hari ini aku menemani ayah ibu mengunjungi rumah sakit tempat mbak Nisha kerja selama ini. Kami baru sempat mengambil semua barang mbak Nisha yang masih tertinggal. Selain itu bermaksud menemui pimpinan untuk mengucapkan permohonan maaf dan ucapan terima atas semua kebaikan beliau untuk keluarga kami.Karena kebelet pipis. Aku ijin ke kamar mandi dulu. Ayah dan ibu langsun
*Lima Tahun Kemudian*Aku berjalan menelusuri koridor Puskesmas Sokaraja II. Aku ditempatkan di sini setelah lulus tes CPNS, dua tahun lalu.Ayah dan Ibu memutuskan ikut denganku. Ayah membeli rumah di Sokaraja. Karena toh Ayah sudah pensiun dari kerjaan beliau sebagai guru. Sedangkan Ibu cuma ibu rumah tangga. Sehingga mereka malah dengan senang hati mengikutiku yang kini menjadi anak semata wayang mereka.Rumah di Jatilawang ditempati Huda untuk sementara waktu sampai dia punya rumah sendiri. Usia Huda sepantaran Mbak Nisha. Dia sudah menikah dan punya satu putri yang cantik. Kalian mau tahu siapa istrinya? Dia tak lain dan tak bukan adalah drg. Sagita Prastika hahaha. Yap, salah satu sahabatku, Gita. Entah bagaimana mereka jatuh cinta, tahu-tahu nikah aja. Dino dan Lusi juga sudah menikah dengan pilihan mereka. Sedangkan Leo, Jeni dan aku, kami masih asik sendiri."Pagi dr. Nasha," sapa Suster Mira yang bertugas menemaniku di poli gigi."Pagi Suster Mira,
Awal bulan merupakan waktu buat belanja bulanan. Seperti biasa aku dan Ibu akan berbelanja di Moro membeli segala keperluan untuk satu bulan mendatang seperti persediaan shampo, sabun, detergen, minyak, kecap, saus, bumbu-bumbu dan masih banyak lagi.Namanya wanita, terkadang kami khilaf. Jatah yang harus kami beli satu jadinya dua atau tiga atau lima kalau ada promo. Mumpung promo ceritanya jadi beli lebih banyak."Udah semua Bu? Ada yang masih belum kebeli gak?" tanyaku sambil mendorong troli."Kayaknya udah semua Na. Tapi coba Ibu cek dulu."Ibu sibuk mengecek daftar belanjaan dengan barang yang sudah kami ambil."Udah semua Dek. Nanti jangan lupa mampir beli baju anak ya buat nengokin cucunya Bu Mulyo," titah Ibu."Mbak Hana udah ngelahirin ya Bu?""Iya, anaknya cowok. Ganteng." Ibu kelihatan sumringah sekali."Jelas gantenglah orang Bapak Ibunya juga cakep.""Coba kalau itu cucunya Ibu. Tambah seneng Ibu." Ibu mulai mengu
Suasana riuh di aula Unsoed pertanda banyaknya orang yang ada disini. Aku, Leo dan Jeni sedang ikut seminar tentang operasi bedah mulut. Kalau bukan karena paksaan Jeni tak mungkin kami berdua duduk manis disini. Dari kami berenam hanya Jeni yang bukan PNS, dia bekerja di klinik kecantikan gigi milik orang tuanya. Anak horang kaya dia mah. Lusi dan Dino baru keterima PNS tahun lalu. Lusi memilih kembali ke desanya di bumi Wonosobo. Dino juga memilih kembali ke daerahnya di Majenang.Kalau Leo, Gita dan aku sudah dua tahun yang lalu lulus tesnya. Aku dan Gita kebetulan asli wong Banyumas sedangkan Leo pendatang dari luar Jawa dan menetap di Banyumas. Jadi kerjanya kami ya disini saja. Hidup Banyumas.Saat pendaftaran CPNS, aku memilih penempatan di Sokaraja, Lusi jelas milih Wangon yang dekat dengan Jatilawang. Sedangkan Leo justru memilih penempatan di Margono. Dia kan cowok jadi pasti pengen lebih berkembang karirnya.Aku dan Leo hanya berbincang sa
Aku duduk berhadapan dengan Mas Rayyan di kantin rumah sakit. Seina kembali ke Puskesmas karena hari ini dia piket. Sebelum berpisah aku tahu sorot matanya penuh rasa ingin tahu. Ah besok pasti aku bakalan dicecarnya."Kamu gimana kabarnya Na?""Alhamdulillah baik Mas. Mas gimana?""Alhamdulillah baik. Akhirnya kita bisa ngobrol juga ya." Aku mengernyit, maksudnya apa?"Kemarin Mas lihat kamu sepintas sama temen kamu. Tapi kenapa gak jadi menghampiri Mas, hem?"Aku jadi malu. Ah, dia pasti melihat aksi dorong-dorongan antara aku dan Jeni yang sangat memalukan."Hehehe. Kirain gak lihat Mas.""Terus kenapa Mas gak disamperin?""Malu Mas, takut Mas lupa sama aku. Lagian kemarin fans dadakan Mas banyak banget, kita kabur takut di bully netizens," ucapku sambil terkekeh."Astaga Nasha. Kamu ini ya?" dia mencubit kedua pipiku guys."Aw... Aw... Aw... Mas... Lepasin sakit tahu." Aku mengusap kedua pipiku yang memerah. Ya
Hari ini aku sedang melakukan pemeriksaan kesehatan mulut dan gigi di SMPN 1 Sokaraja. Kami berenam terdiri dari dua bidan, dua perawat, satu tenaga kesmas dan dokter gigi. Hal yang kami periksa ada tensi, tinggi badan, berat badan, kesehatan gigi dan mulut, kesehatan mata dan telinga serta mengecek kesehatan umum para siswa. Ini merupakan kegiatan rutin Puskesmas untuk istilahnya penjaringan. Selama dua minggu ini aku sibuk berkeliling sekolah tingkat SMP/MTs di Sokaraja dengan diselingi jadwal praktek di Puskesmas."Akhirnya selesai juga. Ini tempat terakhir kan ya?" ucap Luna si bidan junior."Iya ini yang terakhir. Semuanya tolong dikumpulin dan di rekap ya, Wan!" Perintah Bu Ami bidan senior."Siap Bu Ami," jawab Wawan si perawat."Kirana masih di ruang kelas apa?" tanya Bu Ami lagi."Sepertinya masih Bu. Masih penyuluhan bahaya narkotika dan rokok," jawab Yuli seorang perawat juga."Oke berarti tinggal tunggu dia selesai terus nanti kita pam
"Dek, maafin Mas ya. Mas khilaf. Janji ini yang terakhir khilafnya." Aku hanya bisa menghembuskan nafas. Dulu sekali Mas Rei juga bilangnya khilaf tapi ini malah khilaf lagi. "Dek, jangan marah ya. Senyum dong." "Buat apa marah Mas? Toh udah kejadian bukan?" sahutku sinis. "Iya juga sih. Tapi Mas seneng kok bisa khilaf terus." "Ck." Aku mencebik dan mencubit perutnya. Dasar. Mas Reihan hanya tertawa, sesekali mencium tanganku dan keningku. Bahkan aku yakin kalau gak ada orang, pasti dia sudah mengajakku adu bibir. Haish. Punya suami kok gini amat, untung aku cinta. Mungkin karena aku diam saja Mas Reihan kembali membujukku dengan kata-kata manis. "Iya, iya nanti Mas lebih hati-hati tapi khilafnya gak bakalan ilang, Sayang." Dia mengucap dengan seringai jahil. Dih, dasar! Aku memilih mengerucutkan bibir. Bodo amat kelihatan jelek. Salah sendiri tuh Kulkas jadiin aku istri. Jadi harus terima dong lahir batin kecantikan sama kejelekanku kalau lagi ngambek. "Udah jangan marah ya B
"Kalian gak bawa baby sitter?" tanya Joshua."Gak.""Gak kerepotan?""Enggaklah," jawab Mas Reihan cuek."Kalian kok bisa cuma punya ART sekaligus pengasuh bayi tanpa pakai jasa baby sitter sih?""Ya bisalah," ucap Mas Reihan."Kok Zaza bisa ya ngajar sekaligus bisa kasih ASI. Eksklusif lagi.""Istriku gitu loh.""Iya-iya yang istrinya paling cantik, paling pinter, paling ter-semua pokoknya.""Harus. Kan istri sendiri bukan istri orang lain.""Ck. Dasar Dokter Kulkas." Joshua mengumpati suamiku. Lalu dia bergegas mengikuti gadis cilik yang berlari hendak bermain dengan air.Aku hanya bisa menahan tawa melihat bagaimana interaksi suamiku dengan para sahabat sekaligus rekan kerjanya."Mimik muka suamimu loh Za, gak berubah. Bisa datar gitu. Kok kamu mau sih nikah sama dia.""Eh Bu Mila." Aku menyalami Bu Mila, salah satu istri dari rekan Mas Reihan. Dokter Siswo, spesialis jant
Sepuluh hari aku dan Baby Twins di rumah sakit. Kini kami kembali ke Sokaraja dan disana aku dan Twins disambut oleh seluruh keluarga. Bahkan, Tante Raisa sekeluarga pun datang.Malamnya acara akikah kedua anakku diselenggarakan dengan meriah. Sebetulnya acara akikah standar, hanya saja malam ini semua keluargaku dan Mas Reihan datang jadi sangat ramai.Seperti biasa Royya dan Rael akan bertengkar. Kali ini mereka bertengkar memperebutkan siapa yang jadi saudara ketiga. Astaga.Acara akikah sudah selesai dari tadi tapi kami masih sibuk bercengkrama. Aku yang merasa lelah meminta ijin untuk ke kamar lebih dulu, tentu saja dengan diantar oleh Mas Reihan."Mas temeni yang lain aja. Rana gak papa sama Twins.""Oke. Tidur yang nyenyak ya Dek.""Iya."Mas Reihan mencium pipi Twins dan terakhir mencium keningku mesra."Tidur ya, Mas keluar dulu.""Oke."Aku merebahkan diri di samping si kembar. Kami memutuskan meme
"Mereka luar biasa Mas.""Iya. Sangat luar biasa."Aku dan Mas Reihan tengah menatap baby twins. Keduanya benar-benar luar biasa. Mereka adalah hadiah terindah bagi kami setelah tiga tahun penantian. Aku bersyukur, Allah memberi kami kepercayaan dua buah hati sekaligus. Mana kembar sepasang lagi.Cup.Aku menoleh ke arah Mas Reihan. Lalu mencubit perutnya."Mas!" bentakku sambil memelototinya. Dasar! Suka sekali cari kesempatan."Apa? Hem ...." Dia hanya tersenyum dan menatapku jahil. Bahkan tangannya sudah memainkan kerudungku dari tadi dan diputar-putarnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Refleks Mas Reihan menghentikan aksi anehnya dan berdiri menyambut tamu yang datang."Zazaaaaa.""Yayaaaa."Yaya menuju ke ranjangku. Dia langsung memelukku dan aku balik memeluknya, heboh pokoknya. Aku menyambut uluran tangan semua rekan kerjaku yang datang."Wah ganteng dan cantik ya Za
POV RanaAku terbangun di sebuah hamparan pasir yang indah. Kutatap sekelilingku. Pantai?Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Sepi. Kemana semua orang?Mana Mas Reihan? Dan ... kenapa perutku kempes? Dimana bayiku? Aku panik. Aku mencoba berlari mencari orang-orang tapi tak ada satupun yang kutemui. Hingga kulihat sebuah perahu di sana. Aku berlari menuju perahu yang masih berada di bibir pantai sepertinya mereka akan berlayar."Permisi ... permisi. Bolehkah sa-" Aku tertegun. Mataku berkaca-kaca. Aku segera berlari menyongsong kedua orang yang sangat kurindu."Ayah, Bunda, Rana kangen." Kedua orang tuaku memelukku. Lama kami berpelukan."Kalian mau kemana?""Berlayar," ucap Ayah."Boleh Rana ikut?""Boleh," kini Bunda yang menyahut.Aku menggenggam tangan Ayah dan Bunda di kanan kiriku. Aku bahagia sekali. Kami berjalan bergandengan tangan dan akan naik ke perahu. Ayah yang pertama naik, kemudian Ayah mengulurkan t
Sudah tiga hari, Rana masih tak sadarkan diri. Menurut ahli obgyn, perut Rana mengalami benturan yang cukup keras. Namun tak membahayakan rahimnya. Aku masih ingat, bagaimana Rana berkutat dengan Karina yang ingin memukul perutnya saat itu. Berulangkali dia menghalangi tinju Karina. Ya Allah. Semoga Engkau membalas perlakuan Karina sesuai dengan tindakannya, amin.Pembersihan rahim juga sudah dilaksakan. Nindy bilang, tak ada masalah. Ketidaksadaran Rana diakibatkan kelelahan dan pasokan oksigen ke otak yang hampir saja berkurang.Selama tiga hari ini kondisi baby twins mulai stabil. Mereka sudah dipindahkan ke ruang anak. Bersyukur Aya dan Fiqa memiliki ASI yang melimpah. Riyyan dan Ela juga sudah berusia satu tahun dan sudah makan. Jadi, ibu mereka bisa mendonorkan ASI-nya untuk kedua anakku."Kondisi mereka sudah stabil." Mamah menghampiriku dan mengelus kedua pipi cucu kembarnya. Mamah habis melaksanakan sholat tahajud di masjid."Iy
"Dek ... Dek," panggilku.Rana tersenyum kearahku. Aku menggenggam tangannya dan sesekali menciumnya."Kamu bisa. Kamu bilang kamu ingin mereka selamat kan?"Dia mengangguk, dengan susah payah Rana menahan rasa sakitnya. Aku tahu pembukaan sudah sempurna hanya saja Rana mungkin sudah tak punya tenaga untuk mengejan. Sementara perjalanan kami masih lama."Eghhh ... huft ... egghhh ....""Dorong sayang, ingat Allah, ingat anak kita. Kamu mau mereka selamat kan? Ingat, surga kita ada pada mereka Sayang?"Rana menatapku dengan mata berkaca, entah kenapa aku seperti melihat pancaran semangat dalam matanya.Meski susah payah Rana berusaha mengejan dan aku mencoba membantunya. Rana terus mengejan hingga tangisan pertama keluar."Eaaaaa ...."Aku segera mengeluarkan bayiku, melepas bajuku dan kuselimuti bayi lelakiku."Mbak, pegang!""Oke."Setelah menyerahkan kepada rekan Elang, aku segera menyemangati Rana
POV ReihanAku membaca chat dari Rana yang meminta ijin menjenguk Diva yang sedang sakit. Aku pun mengijinkannya.Hampir satu jam kemudian HP-ku berdering terus. Aku mengeceknya. Pak Yadi."Kenapa Pak?""Mas Rei, Mbak Zaza gak ada. Tadi saya disuruh beli apel sama Mbak Zaza. Eh pas balik mereka udah gak ada.""Oke. Kamu tetap tunggu disitu. Cari terus."Aku segera mematikan sambungan dan menghubungi Elang."El, tolong lacak Rana. Dia menghilang.""Oke."Aku segera mengambil kunci mobilku dan berpesan pada Suster Dira untuk meminta bantuan Dokter Joko menangani pasien-pasienku. Aku berlari menuju ke mobil. Entah kenapa firasatku tak enak."Iya El, bagaimana?""Mereka ke arah Baturaden. Aku sharelock lokasinya. Aku dan kawan-kawan menuju kesana."Aku segera memacu mobilku dengan kecepatan maksimal yang aku bisa. Kurang lebih tiga puluh menit aku sampai di sebuah vila. Aku parkir di tempat j
Karina kembali mengelus perutku dengan penuh pemujaan sedangkan aku benar-benar ketakutan. Karina menatapku dengan seringai jahat.Bugh."Aw ...." Aku meringis karena Karina memukul perutku.Aku merintih menahan rasa sakit."Kak Karin jangan!""Hahahaha."Karina menatapku dengan tatapan penuh kebencian. Aku masih berusaha menahan rasa sakit."Kamu tahu, ibuku benar-benar wanita menjijikkan. Entah berapa pria yang pernah tidur sama dia. Sungguh menyebalkan." Karina menoleh ke arah Dinda. Kemudian dia mengelus pipi Dinda membuat Dinda ketakutan bahkan berusaha memalingkan wajahnya."Aku dan Dinda berasal dari rahim yang sama namun ayah berbeda. Dan yang menyebalkan, kami tak tahu siapa mereka.""Bukannya kakak, anak mendiang Dokter Wijaya?" cicit Dinda."Hahaha. Bukan! Sayangnya bukan! Kalau bukan karena otak cerdikku dan keinginan Ibu kita untuk lepas dari kemiskinan, tak mungkin aku bisa sampai disini."