POV Nasya
Belakangan ini aku gak tahu kenapa mudah sekali merasa lapar. Bahkan selera makanku meningkat drastis. Tadi malam saja aku menghabiskan tiga porsi martabak manis sendirian. "Kamu kenapa Na?" tanya Seina melihatku gelisah."Aku pengen makan cilok Sei?" Aku merasakan air liurku berproduksi sangat banyak ketika aku mengucap kata cilok."Hah... Tumben. Minta Pak Aji beliin sana!" saran Seina.Aku pun mengikuti anjuran Seina meminta tolong pada pesuruh Puskesmas. Tak lupa kuberi ongkos sebagai pengganti bensin. Saat cilok sudah ditangan langsung kueksekusi. Ugh... Enaknya. Aku langsung memakannya dengan sangat lahap. Seina sendiri menatapku dengan tatapan heran."Kamu doyan apa laper sih Na," sesekali Seina mengelus perutnya yang nampak membuncit. Usia kandungannya sudah 5 bulan."Laper tapi juga doyan. Hehehe.""Ibumu katanya ikut tinggal sama kamu Sei?" tanyaku untuk mengalihkan perhatian Seina. Aku merasa risih diperhatikan terusPOV RayyanSemalaman aku berusaha membujuk istri cantikku. Astaga hanya karena mie ayam dia ngambek gak ketulungan pake acara nangis segala. Akhirnya mau tak mau aku mencari si mas-mas penjual mie ayam dan pesan lagi."Tolong bungkus dua ya Mas," pintaku."Loh Pak Dokter bukannya Bu Dokter tadi udah pesen dua ya?""Owh, ada kedua adikku minta dibeliin mie ayam," sahutku asal. Gak mungkin aku ngomong yang sebenarnya kan?Setelah menunggu hampir lima belas menit akhirnya mie pesananku jadi."Ini Pak Dokter." Mas penjual mengulurkan kantung kresek berisi dua bungkus mie ayam padaku."Makasih Mas, berapa?""Dua puluh ribu Mas.""Ini.""Makasih Mas.""Sama-sama saya duluan ya Mas."Aku pun segera pamit dan kembali ke rumah.Aku berharap Nasha luluh dan gak nangis lagi. Aku takut Ayah dan Ibu mengira aku ngapa-ngapain anak mereka.Aku membangunkan Nasha yang tertidur, menyuruhnya makan mie yang baru aku beli. 
POV NashaHari ini mood-ku buruk. Aku masih sebel sama Mas Rayyan masa dia makan mie ayam punya aku. Makin sebel karena semaleman pake acara ndusel-ndusel ke aku terus waktu tidur. Udah aku bilang jangan deket-deket bau badannya bikin enek. Tapi dia gak mau tahu.Sebenarnya aku rindu dipeluk sama suamiku. Pengen ndusel di keteknya. Hiks... hiks... Tapi aku enek. Sebel juga. Gak tahu kenapa? Pagi ini aku juga sebel, kenapa dia selalu wangi coba. Aku kan makin enek. Jadi saat makan aku sengaja duduk jauh darinya dan malas ngambilin nasi buat Mas Rayyan. Sebenarnya kasihan... Tapi akhirnya kuambilkan juga saat Mas Rayyan meminta. Sungguh tatapan matanya itu membuatku luluh.Aku sendiri bingung dengan diriku. Saat ini segala sesuatu tentang Mas Rayyan pokoknya bikin aku sebel. Nah tuh catet."Gak usah manyun terus kenapa Bu? Gak dapat jatah semalem ya?" Seina datang dan langsung duduk sambil makan keripik kentang. Lamunanku tentang Mas Rayyan langsung terbang."
POV RayyanAku terus tersenyum dan sesekali mengintip seseorang yang duduk di jok belakang. Istriku tersayang si bumil yang lagi banyak tingkah dan drama. Walau tingkahnya aneh tapi aku gak bisa marah. Namanya juga ibu hamil ada-ada saja tingkahnya. Apalagi kehamilan Nasha baru memasuki trimester pertama. Keluarga kami menyambut bahagia kehamilan Nasha terutama kedua mertuaku. Maklumlah cucu pertama.Selama hamil sebenarnya Nasha sama sekali tidak merepotkan. Dia makan apa saja tak pernah meminta hal-hal aneh. Cuma terkadang suka bikin drama yang bikin aku kelimpungan. Tapi sebagai suami dan calon Ayah siaga, aku berusaha memenuhi segala keinginannya dan memperbanyak stok sabarku."Maaaaaas." Nasha memanggilku dengan suara manja."Kenapa?" Aku menghentikan aktifitas mengoreksi hasil ujian mahasiswaku."Laper.""Mau apa hem?""Tapi udah malam.""Gak apa-apa. Demi kamu sama kedua anak kita gak masalah. Jadi istriku mau apa hem?"Kulihat bin
POV NashaTarik nafas hembuskan...Tarik lagi... Hembuskan ...Diusia kehamilan yang mulai menginjak 8 bulan ini, aku mudah merasa lelah. Maklumlah kan bawa dua. Ukuran perut sudah melebar kemana-mana. Seina sendiri sedang cuti. Usia anaknya hampir 2 bulan, anaknya cowok.Sekarang aku diantar oleh Ayah kalau berangkat kadang sama Mas Rayyan. Gak boleh naik motor lagi pokoknya. Iya sih bahaya soalnya. Mas Rayyan sangat overprotektif pada kami. Sempet merasa gak enak karena di awal-awal kehamilan sudah bikin dia nelangsa sekaligus merana. Hahaha.Ya mau gimana lagi bawaan anak. Hehehe. Alhamdulilah masuk trimester kedua sudah mulai berkurang kadar sebelnya, urusan biologis Mas Rayyan pun tersalurkan. Gak mau yah aku jadi istri durhaka. Hihihi."Masih ada pasien gak Sus?" tanyaku."Sudah gak ada Dok. Ih... Sebentar lagi ya Dok. Gak nyangka aja udah 8 bulan," ucap Suster Mira sambil mengelus perutku."Iya ini Sus.""Cowok apa cewek, Dok?"
POV RayyanAku merebahkan tubuhku lelah sekali. Aktivitasku benar-benar padat, Margono, Wiradadi dan Unsoed. Aku bahkan jarang menemani Nasha. Padahal kandungannya hampir memasuki 36 Minggu. Kata Prita untuk sementara ini tak ada masalah dengan si kembar. Nasha bisa melahirkan normal, dan setelah berunding dengan keluarga besar dan bagaimana kesiapan Nasha kami memutuskan Nasha melahirkan normal."Capek Mas?" istriku datang sambil membawakan kopi. Aku harus lembur memeriksa hasil ujian para mahasiswaku. Sehingga aku butuh kopi."Iya capek. Maafin Mas ya? Mas jarang ada waktu untuk kalian. Semester ini kontrak dengan Unsoed habis sedangkan dengan Wiradadi masih setahun lagi. Mas mau fokus di Margono saja," ucapku."Gak papa Mas, insya Allah capeknya Mas jadi ibadah dan pahala bagi Mas. Kalau Mas memudahkan urusan semua orang. Nanti jadi jalan buat kelancaran kelahiran si kembar.""Amin." Aku merebahkan kepalaku pada paha istriku. Sesekali mengecup perutnya da
POV Nasha"Leo?" aku yang baru saja selesai praktek kaget melihat kehadiran Leo."Kamu sibuk gak Na?"Aku menggeleng."Bisa kita ke rumah Jeni.""Kenapa dengan Jeni, Le?""Kata ibunya dia sudah tiga hari mengurung diri di kamar.""Apa? Ya udah aku chat suami sama Ayahku dulu."Setelah mendapat ijin dari Mas Rayyan dan menghubungi Ayah kalau aku pergi dengan Leo, kami pun segera menuju rumah Jeni.Kami disambut Tante Joana. Oh iya, keluarga Jeni itu mualaf dan berdarah Tionghoa."Masuk dulu yuk. Wah gimana kabar si kembar di dalam?" tanya Tante Joana sambil mengusap perutku."Alhamdulillah sehat Tante."Kami pun masuk dan duduk di ruang tengah. Tante menceritakan keadaan Jeni sebelum mengurung diri di kamarnya. Katanya Jeni jadi seperti ini setelah seminggu yang lalu bertemu dr. Wijaya di klinik. Dari Tante Joana kami tahu bahwa Jeni akan bertunangan dengan dr. Wijaya bulan depan. Awalnya keduanya setuju. Namun, Jeni tiba-ti
Tiga hari lamanya Mas Rayyan tak sadarkan diri. Aku menginap di rumah kenalan Papah, rumahnya dekat dengan Orthopedi. Percuma aku bersikukuh menunggu Mas Rayyan di rumah sakit. Karena seluruh keluarga pasti menolaknya. Terlebih lagi ada si kembar dalam perutku. Aku tak boleh egois. Jadi aku hanya menunggunya ketika pagi hingga sore hari.Seperti hari ini, dengan setia aku menemaninya di ruang ICU. Aku menggenggam tangan kanannya. Sesekali mengecup mesra."Lihatlah Mas, bahkan si kembar tahu kalau aku sedang bersama Ayahnya. Bangunlah Mas, aku merindukanmu, jahili aku seperti biasanya, cubit pipiku, peluk diriku, tolong jangan tinggalkan aku," ucapku lirih disamping telinganya. Air mata terus menetes di pipiku, kuusap lembut kepalanya, kucium mesra pipinya."Kenapa kamu diam Mas? Bahkan sedikit suara atau gerakan saja kamu akan terbangun. Kenapa sekarang tidak? Hiks... Hiks..." sekali lagi kuelus kepalanya dan kucium mesra keningnya.Tak bosan aku bersuara.
Tepat satu minggu, Mas Rayyan masih belum sadarkan diri. Aku rutin mengunjunginya setiap hari dan menemaninya sampai sore. Tiga hari ini aku sudah mulai merasakan kencang-kencang pada pinggang dan perutku. Aku tahu ini kontraksi palsu. Aku rajin berjalan-jalan selama menunggui Mas Rayyan.Hari ini aku ditemani Mamah dan Rania.Raisa tadi pagi menengok kakaknya sebentar, bagaimanapun dia juga punya anak kecil yang masih butuh dijaga. Jadi tak bisa ikut menjaga kakaknya."Gimana Na? Masih suka kenceng-kenceng gak?""Masih Mah.""Kontraksinya sehari berapa kali?""Cuma pas malem sama pas pagi aja Mah.""Owh, Keluar lendir atau flek gak Sayang.""Enggak Mah.""Mamah jadi inget, waktu lahirin Rayyan gampang banget. Waktu itu Mas Surya lagi di Jakarta. Mamah cuma sama pembantu. Waktu itu Mamah panik banget tapi berusaha tenang. Alhamdulillah pembukaannya cepet," kenang Mama.Namun, mata Ibu mertuaku berkaca-kaca."Di
"Dek, maafin Mas ya. Mas khilaf. Janji ini yang terakhir khilafnya." Aku hanya bisa menghembuskan nafas. Dulu sekali Mas Rei juga bilangnya khilaf tapi ini malah khilaf lagi. "Dek, jangan marah ya. Senyum dong." "Buat apa marah Mas? Toh udah kejadian bukan?" sahutku sinis. "Iya juga sih. Tapi Mas seneng kok bisa khilaf terus." "Ck." Aku mencebik dan mencubit perutnya. Dasar. Mas Reihan hanya tertawa, sesekali mencium tanganku dan keningku. Bahkan aku yakin kalau gak ada orang, pasti dia sudah mengajakku adu bibir. Haish. Punya suami kok gini amat, untung aku cinta. Mungkin karena aku diam saja Mas Reihan kembali membujukku dengan kata-kata manis. "Iya, iya nanti Mas lebih hati-hati tapi khilafnya gak bakalan ilang, Sayang." Dia mengucap dengan seringai jahil. Dih, dasar! Aku memilih mengerucutkan bibir. Bodo amat kelihatan jelek. Salah sendiri tuh Kulkas jadiin aku istri. Jadi harus terima dong lahir batin kecantikan sama kejelekanku kalau lagi ngambek. "Udah jangan marah ya B
"Kalian gak bawa baby sitter?" tanya Joshua."Gak.""Gak kerepotan?""Enggaklah," jawab Mas Reihan cuek."Kalian kok bisa cuma punya ART sekaligus pengasuh bayi tanpa pakai jasa baby sitter sih?""Ya bisalah," ucap Mas Reihan."Kok Zaza bisa ya ngajar sekaligus bisa kasih ASI. Eksklusif lagi.""Istriku gitu loh.""Iya-iya yang istrinya paling cantik, paling pinter, paling ter-semua pokoknya.""Harus. Kan istri sendiri bukan istri orang lain.""Ck. Dasar Dokter Kulkas." Joshua mengumpati suamiku. Lalu dia bergegas mengikuti gadis cilik yang berlari hendak bermain dengan air.Aku hanya bisa menahan tawa melihat bagaimana interaksi suamiku dengan para sahabat sekaligus rekan kerjanya."Mimik muka suamimu loh Za, gak berubah. Bisa datar gitu. Kok kamu mau sih nikah sama dia.""Eh Bu Mila." Aku menyalami Bu Mila, salah satu istri dari rekan Mas Reihan. Dokter Siswo, spesialis jant
Sepuluh hari aku dan Baby Twins di rumah sakit. Kini kami kembali ke Sokaraja dan disana aku dan Twins disambut oleh seluruh keluarga. Bahkan, Tante Raisa sekeluarga pun datang.Malamnya acara akikah kedua anakku diselenggarakan dengan meriah. Sebetulnya acara akikah standar, hanya saja malam ini semua keluargaku dan Mas Reihan datang jadi sangat ramai.Seperti biasa Royya dan Rael akan bertengkar. Kali ini mereka bertengkar memperebutkan siapa yang jadi saudara ketiga. Astaga.Acara akikah sudah selesai dari tadi tapi kami masih sibuk bercengkrama. Aku yang merasa lelah meminta ijin untuk ke kamar lebih dulu, tentu saja dengan diantar oleh Mas Reihan."Mas temeni yang lain aja. Rana gak papa sama Twins.""Oke. Tidur yang nyenyak ya Dek.""Iya."Mas Reihan mencium pipi Twins dan terakhir mencium keningku mesra."Tidur ya, Mas keluar dulu.""Oke."Aku merebahkan diri di samping si kembar. Kami memutuskan meme
"Mereka luar biasa Mas.""Iya. Sangat luar biasa."Aku dan Mas Reihan tengah menatap baby twins. Keduanya benar-benar luar biasa. Mereka adalah hadiah terindah bagi kami setelah tiga tahun penantian. Aku bersyukur, Allah memberi kami kepercayaan dua buah hati sekaligus. Mana kembar sepasang lagi.Cup.Aku menoleh ke arah Mas Reihan. Lalu mencubit perutnya."Mas!" bentakku sambil memelototinya. Dasar! Suka sekali cari kesempatan."Apa? Hem ...." Dia hanya tersenyum dan menatapku jahil. Bahkan tangannya sudah memainkan kerudungku dari tadi dan diputar-putarnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Refleks Mas Reihan menghentikan aksi anehnya dan berdiri menyambut tamu yang datang."Zazaaaaa.""Yayaaaa."Yaya menuju ke ranjangku. Dia langsung memelukku dan aku balik memeluknya, heboh pokoknya. Aku menyambut uluran tangan semua rekan kerjaku yang datang."Wah ganteng dan cantik ya Za
POV RanaAku terbangun di sebuah hamparan pasir yang indah. Kutatap sekelilingku. Pantai?Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Sepi. Kemana semua orang?Mana Mas Reihan? Dan ... kenapa perutku kempes? Dimana bayiku? Aku panik. Aku mencoba berlari mencari orang-orang tapi tak ada satupun yang kutemui. Hingga kulihat sebuah perahu di sana. Aku berlari menuju perahu yang masih berada di bibir pantai sepertinya mereka akan berlayar."Permisi ... permisi. Bolehkah sa-" Aku tertegun. Mataku berkaca-kaca. Aku segera berlari menyongsong kedua orang yang sangat kurindu."Ayah, Bunda, Rana kangen." Kedua orang tuaku memelukku. Lama kami berpelukan."Kalian mau kemana?""Berlayar," ucap Ayah."Boleh Rana ikut?""Boleh," kini Bunda yang menyahut.Aku menggenggam tangan Ayah dan Bunda di kanan kiriku. Aku bahagia sekali. Kami berjalan bergandengan tangan dan akan naik ke perahu. Ayah yang pertama naik, kemudian Ayah mengulurkan t
Sudah tiga hari, Rana masih tak sadarkan diri. Menurut ahli obgyn, perut Rana mengalami benturan yang cukup keras. Namun tak membahayakan rahimnya. Aku masih ingat, bagaimana Rana berkutat dengan Karina yang ingin memukul perutnya saat itu. Berulangkali dia menghalangi tinju Karina. Ya Allah. Semoga Engkau membalas perlakuan Karina sesuai dengan tindakannya, amin.Pembersihan rahim juga sudah dilaksakan. Nindy bilang, tak ada masalah. Ketidaksadaran Rana diakibatkan kelelahan dan pasokan oksigen ke otak yang hampir saja berkurang.Selama tiga hari ini kondisi baby twins mulai stabil. Mereka sudah dipindahkan ke ruang anak. Bersyukur Aya dan Fiqa memiliki ASI yang melimpah. Riyyan dan Ela juga sudah berusia satu tahun dan sudah makan. Jadi, ibu mereka bisa mendonorkan ASI-nya untuk kedua anakku."Kondisi mereka sudah stabil." Mamah menghampiriku dan mengelus kedua pipi cucu kembarnya. Mamah habis melaksanakan sholat tahajud di masjid."Iy
"Dek ... Dek," panggilku.Rana tersenyum kearahku. Aku menggenggam tangannya dan sesekali menciumnya."Kamu bisa. Kamu bilang kamu ingin mereka selamat kan?"Dia mengangguk, dengan susah payah Rana menahan rasa sakitnya. Aku tahu pembukaan sudah sempurna hanya saja Rana mungkin sudah tak punya tenaga untuk mengejan. Sementara perjalanan kami masih lama."Eghhh ... huft ... egghhh ....""Dorong sayang, ingat Allah, ingat anak kita. Kamu mau mereka selamat kan? Ingat, surga kita ada pada mereka Sayang?"Rana menatapku dengan mata berkaca, entah kenapa aku seperti melihat pancaran semangat dalam matanya.Meski susah payah Rana berusaha mengejan dan aku mencoba membantunya. Rana terus mengejan hingga tangisan pertama keluar."Eaaaaa ...."Aku segera mengeluarkan bayiku, melepas bajuku dan kuselimuti bayi lelakiku."Mbak, pegang!""Oke."Setelah menyerahkan kepada rekan Elang, aku segera menyemangati Rana
POV ReihanAku membaca chat dari Rana yang meminta ijin menjenguk Diva yang sedang sakit. Aku pun mengijinkannya.Hampir satu jam kemudian HP-ku berdering terus. Aku mengeceknya. Pak Yadi."Kenapa Pak?""Mas Rei, Mbak Zaza gak ada. Tadi saya disuruh beli apel sama Mbak Zaza. Eh pas balik mereka udah gak ada.""Oke. Kamu tetap tunggu disitu. Cari terus."Aku segera mematikan sambungan dan menghubungi Elang."El, tolong lacak Rana. Dia menghilang.""Oke."Aku segera mengambil kunci mobilku dan berpesan pada Suster Dira untuk meminta bantuan Dokter Joko menangani pasien-pasienku. Aku berlari menuju ke mobil. Entah kenapa firasatku tak enak."Iya El, bagaimana?""Mereka ke arah Baturaden. Aku sharelock lokasinya. Aku dan kawan-kawan menuju kesana."Aku segera memacu mobilku dengan kecepatan maksimal yang aku bisa. Kurang lebih tiga puluh menit aku sampai di sebuah vila. Aku parkir di tempat j
Karina kembali mengelus perutku dengan penuh pemujaan sedangkan aku benar-benar ketakutan. Karina menatapku dengan seringai jahat.Bugh."Aw ...." Aku meringis karena Karina memukul perutku.Aku merintih menahan rasa sakit."Kak Karin jangan!""Hahahaha."Karina menatapku dengan tatapan penuh kebencian. Aku masih berusaha menahan rasa sakit."Kamu tahu, ibuku benar-benar wanita menjijikkan. Entah berapa pria yang pernah tidur sama dia. Sungguh menyebalkan." Karina menoleh ke arah Dinda. Kemudian dia mengelus pipi Dinda membuat Dinda ketakutan bahkan berusaha memalingkan wajahnya."Aku dan Dinda berasal dari rahim yang sama namun ayah berbeda. Dan yang menyebalkan, kami tak tahu siapa mereka.""Bukannya kakak, anak mendiang Dokter Wijaya?" cicit Dinda."Hahaha. Bukan! Sayangnya bukan! Kalau bukan karena otak cerdikku dan keinginan Ibu kita untuk lepas dari kemiskinan, tak mungkin aku bisa sampai disini."