"Ini kamarmu dan itu kamarku." Xabiru menunjuk dua kamar bersebelahan pada Aira–wanita yang baru saja dinikahinya pagi tadi.
Aira terbengong menatap dua kamar tersebut secara bergantian."Kita beda kamar?" tanyanya setelah memahami kalau dia dan laki-laki yang bergelar suami tersebut tidak satu kamar, padahal mereka adalah pengantin baru.Xabiru menggeleng. "Tidak! Aku belum siap," jawabnya datar membuat kerutan muncul di kening Aira.'Belum siap? Aneh. Seharusnya pihak wanita yang mengatakan hal tersebut. Kenapa malah dia?' Aira menggerutu dalam hati."Ingat, kalau di depan Ibu dan orang luar, kita bersikap mesra layaknya suami-istri, tapi kalau hanya berdua atau di rumah seperti saat ini, kita bagaikan orang asing. Tak perlu mesra apalagi manja-manja. Ada tembok pembatas di antara kita dan aku tak mau ada yang melewatinya."Aira menggaruk kepalanya mencoba mencerna ucapan Xabiru barusan.'Tembok pembatas? Orang asing? Kenapa jadi begini? Memang seperti itu ya, menikah dengan orang kaya?' Aira lagi-lagi menggelengkan kepalanya makin bingung dengan semua yang barusan diucapkan suaminya. Mau membantah, tapi takut. Diam saja malah serba salah. Membuat Aira jadi bingung sendiri."Sudah bengongnya? Bawa barangmu ke sana dan bereskan! Aku mau ke bawah dulu menemui Jingga," tukasnya membuat Aira hanya mampu menganggukkan kepala. Lalu menggeleng setelahnya saat punggung laki-laki dingin tersebut semakin menjauh dari pandangannya.'Pernikahan apaan ini? Kok suamiku kayak gitu ya? Tidak seperti yang dikatakan Ibu. Lelaki ini tetap dingin seperti es batu. Disuruh tidur terpisah lagi, mana bisa dekat. Kapan penjajakannya kalau dekat saja dilarang.' Aira bergumam sendiri meratapi nasibnya sembari memasukkan kopernya ke dalam kamar. Dia tak menyangka pernikahan bak dongeng cinderella tersebut berakhir menyedihkan. Semua ini karena Bu Laila, majikannya dulu yang sekarang berubah status jadi Ibu mertua.***"Kamu punya pacar?" Aira mengernyit mendapatkan pertanyaan tak biasa dari majikannya. Ia tak tahu kenapa tiba-tiba majikannya yang bernama Bu Laila memintanya datang ke ruang kerjanya secara tiba-tiba. Aira pikir dia membuat kesalahan karena biasanya kalau sudah diminta ke ruang kerja Bu Laila, pasti ada sesuatu yang serius.Aira menggeleng lemah."Kok jawabannya tidak pasti begitu, iya atau tidak?" desak Bu Laila membuat Aira menggeleng cepat. "Tidak Bu," jawabnya lugas.Bu Laila mengangguk, tersenyum tipis."Lagi dekat sama laki-laki atau ada yang disukai?" Pertanyaan selanjutnya memaksa Aira menggaruk tengkuk. Lalu menggeleng isyarat tidak ada."Jawab pakai kata!" tegas Bu Laila membuat Aira tersentak."Tidak ada, Bu.""Kalau anakku, suka?""Hah?!" Aira kaget sampai membelalakkan matanya. Pertanyaan Bu Laila membuatnya tercengang tak dapat berkata-kata."A–anak Ibu?" ulang Aira memastikan.Bu Laila mengangguk pasti."Jawab apa ya?" Aira bingung. Mau jawab iya, tapi malu karena rasanya terlalu lancang mengakui suka pada anak majikan sendiri. Bilang tidak, ketahuan bohongnya karena mustahil tidak ada wanita yang tidak menyukai Pak Xabiru. Sudah ganteng, baik, pintar, dan ….Brak!!!"Kaya!" teriak Aira spontan karena lamunannya dikejutkan oleh gebrakan meja Bu Laila. Terpaksa wanita paruh baya tersebut menggebrak meja karena Aira tak menyahut panggilannya. Gadis muda tersebut terlihat sedang melamun."Kaya?" Bu Laila membeo ucapan Aira. Tidak mengerti."Eh, tidak, Bu. Maaf, Saya bingung," jawab polos Aira. Gadis berumur dua puluh dua tahun ini memang dalam keadaan bingung dan sulit memahami apa maksud majikannya saat ini. Ia berhati-hati dalam bicara takut kalau semua ini hanya jebakan untuk mengujinya. Ujian untuk tetap dipekerjakan di rumah ini sebagai baby sitter cucunya."Kamu belum punya pacar?"Bu Laila mengulang pertanyaannya dan dijawab Aira dengan anggukkan kepala."Tidak dekat sama siapapun?"Dijawab anggukkan lagi oleh Aira."Suka sama anak Saya?"Aira mengangguk ragu takut menjawab iya."Suka Jingga?""Hah?""Selama ini suka kan ngasuh Jingga? Apalagi Jingga itu kalau mau apa-apa pengennya sama kamu." Aira kembali mengangguk, membenarkan. Cucu kesayangan Bu Laila memang sangat menyukainya. Padahal Aira baru dua tahun bekerja tapi hubungan mereka sudah sangat akrab. Dimana ada Jingga di situ harus ada Aira. Mereka tidak terpisahkan layaknya Ibu dan anak. Sangat dekat. Itu juga yang membuat Bu Laila akhirnya mengambil sebuah keputusan yang amat besar ini."Jadilah istrinya Xabiru, kamu mau kan?"***"Bunda!" Jingga berlari menghampiri Aira di kamar barunya."Hei anak pintar. Ada apa, Sayang?" sapa Aira lembut."Kata Ayah, Bunda tidur di sini?" tanya Jingga merengkuh leher Aira, bermanja pada Ibu barunya."Iya, sama Jingga kan?" Aira balik bertanya seolah memastikan.Jingga dengan wajah sendu menggeleng."Jingga tidurnya di kamar sebelah.""Oh, tidur sama Ayah?" tebak Aira.Lagi, Jingga menggeleng."Bukan, tidurnya sendiri aja, di sebelah kamar ini." Jingga menunjuk dinding kamar di sampingnya. Kamar Pak Xabiru.Aira mengerjap seolah baru sadar kalau di samping kamar Pak Xabiru, lebih ke pojok memang ada kamar lagi. Mungkin itu kamar yang dimaksud Jingga."Yaah …, padahal Bunda maunya tidur sama Jingga. Kalau Jingga gimana?" Aira ikutan memasang wajah sendu."Iya, maunya sama Bunda juga.""Ya sudah, kalau begitu biar Bunda yang bilang sama Ayah kalau malam ini kita tidur bareng.""Memang boleh, Bun?" Mata Jingga berbinar riang."Kenapa tidak?""Tidak boleh!"Aira tersentak kaget lalu memalingkan badan menghadap ke asal suara. Pak Xabiru sudah berada di depan kamarnya dengan sebelah tangan berkacak pinggang. Seketika Jingga melipir ke belakang badan Aira. Sedikit takut mendengar suara tegas ayahnya."Kalian tidur di kamar masing-masing dan kamu Jingga jangan tidur sama Sus, eh, Bundamu. Kamu punya kamar sendiri, jadi tidur lah di sana. Lagipula ini juga untuk melatih kedisiplinan agar tidur mandiri sejak dini." Xabiru tetap ngotot dengan keputusannya."Nggak papa lah Pak, tidur di kamar Saya. Kami sama-sama sendiri dan Saya tidak terbiasa tidur sendirian. Biasanya selalu berdua atau bareng-bareng. Di rumah Ibu dulu juga gitu. Daripada Saya tidur di kamar Bapak, kan lebih baik tidur sama Jingga." Deg! Netra Xabiru tiba-tiba hampir copot dari tempatnya mendengar jawaban enteng dari istri barunya tersebut."Gimana Pak? Pilih yang mana?" tantang Aira dengan berani. Baru kali ini dia banyak bicara pada mantan anak majikannya tersebut. Biasanya Aira hanya mampu menyapa dan itupun cuma senyum tipis saat tak sengaja lewat berpapasan."K–kamu!" Xabiru tergagap."Ya, sudah. Untuk malam ini saja. Besok Jingga sudah kembali tidur di kamarnya sendiri." Aira dan Jingga kompak mengangguk iya. Keduanya tersenyum riang. Terutama Jingga yang sangat bahagia bisa tidur bersama Ibu sambungnya.*** "Jingga, Ayah selalu tidur sendiri ya?" Kedua Ibu dan anak tersebut sudah rebahan di kasur, bersiap tidur. Sebelum tidur, Aira mengajak bicara anak sambungnya tersebut.Jingga mengangguk membenarkan. "Iya," jawabnya dengan mata terpejam."Jingga pernah tidur sama Ayah?" Aira kembali bertanya karena penasaran. Waktu di rumah Bu Laila, Jingga sudah tidur mandiri dan katanya itu sejak bayi. Sedang Xabiru tidur di kamarnya sendiri.Jingga mengendikkan bahu isyarat tidak tahu."Lupa," jawabnya singkat sambil mengeratkan pelukannya pada Aira. Wanita yang sedang dipeluk gadis kecil berumur lima tahun tersebut tersenyum miris. Ia merasa Jingga sudah lama tidak merasakan tidur bersama orangtuanya, apalagi ibunya. Dia ditinggal pergi ibunya saat berusia lima bulan. Aira tak tahu pasti karena Bu Laila tak menjelaskan detail apa penyebab meninggal ibunya Jingga, dan Aira juga tak berani bertanya lebih dalam. Hanya tentang Jingga saja yang perlu diketahui. Selebihnya bukan ranah Aira. Jadi, wajar kalau Jingga tidak bisa mengingat pernah tidur bareng orangtua atau tidak. Apalagi Jingga sudah terbiasa tinggal bersama Neneknya."Mau tidur bareng Ayah? Bareng Bunda juga?"Pertanyaan Aira membuat mata Jingga yang hampir redup lima watt berubah terang benderang. Ia dengan cepat menganggukkan kepala tanda mau. Lalu kemudian berubah redup kembali setelah meyakini jika itu tidak mungkin terjadi."Nggak mungkin, Bun, Ayah sukanya apa-apa sendiri." Anak kecil tersebut menggumam pesimis. Lalu menutup matanya kembali. Melihat Aira disiapkan kamar terpisah saja sudah dipahami Jingga kalau kedua orangtuanya tersebut tidak akan tidur sekamar."Mungkin kok, tapi bantu Bunda ya." Kedua alis Aira naik-turun sembari menaikan kedua sudut bibirnya ke atas. Jawaban Aira mengisyaratkan sesuatu.Kening Jingga berkerut mencoba memahami maksud bundanya barusan. Namun tak menemukan jawabannya. Ia tidak mengerti."Aaaa!" Terdengar teriakan Aira dan Jingga secara bersamaan dari kamar mereka. Xabiru yang mendengar dari kamar sebelah bergegas menghampiri. "Aira! Jingga! Ada apa? Buka!" panggil Xabiru dengan nada cemas takut terjadi sesuatu di kamar Aira. Apalagi di dalam ada anaknya. "Aaaa!" Masih terdengar teriakan mereka membuat ketukan pintu makin keras dilakukan Xabiru bahkan ia mencoba membuka paksa pintu yang terkunci dari dalam karena belum juga dibukakan. "Aira, buka!""Air–""Pak Biru!""Ayah!" Kedua gender yang sama, berlainan umur tersebut serempak memeluk Xabiru dengan erat. "A–ada apa?" tanya Xabiru tanpa merengkuh badan Aira yang memeluknya erat. Tangan satunya mengambang di udara. Ia merasa gugup tiba-tiba dipeluk wanita yang sudah sah menjadi istrinya tersebut. "Ada kecoa Yah, banyak!" Jingga yang menjawab lebih dulu. "Kecoa? Masa?" Tatapan Xabiru ke Aira memastikan kebenaran ucapan anaknya. Aira mengangguk cepat. "Tidak banyak sih, cuma dua tapi besar-besar," timpal Aira
Mata Aira terfokus ke sebuah pigura besar yang berada di dinding belakang tempat tidur. Potret kebersamaan Xabiru dan ibu kandungnya Jingga terlihat di sana. Sebuah foto pernikahan. Di sana keduanya tampak mesra dan bahagia. Senyum lebar Xabiru menjelaskan semua itu. Tidak seperti sekarang saat bersamanya. Aira mengingat saat mereka melakukan sesi foto prewedding. Xabiru tidak bisa senyum. Meskipun diminta beberapa kali dia seperti kesulitan untuk menarik kedua bibirnya keatas. Hingga fotografer pasrah dan membiarkan saja. Tidak hanya satu foto tersebut. Masih ada beberapa foto keduanya terpampang di dinding dalam kamar Xabiru. Aira mengamati dengan hati berdenyut nyeri. Entah apa yang dirasakannya sekarang ini, cemburu? Etiskah jika dia cemburu pada sosok yang telah tiada? "Bun, kok diam. Ayo masuk!" Jingga menarik lagi tangan Aira memintanya melangkah kembali. "I–iya." Aira terpaksa menuruti ajakan Jingga. Aira memperhatikan Xabiru yang mengambil satu bantal dari kasur dan mel
Kenapa harus Aira, Bu?" Xabiru bertanya saat Bu Laila memintanya untuk segera menikah dan orang yang dipilihkan 'tuk menjadi pasangannya, yaitu Aira, bukan Jasmin. Padahal saat ini ibunya tahu kalau dia sedang menjalin hubungan dengan Jasmin. Anehnya malah menjodohkannya dengan Aira–babysitter anaknya yang bahkan asal usulnya saja tidak jelas. "Kamu sendiri tahu kan Jingga? Dia tidak bisa dekat dengan Jasmin. Malah dekatnya ke Aira."Xabiru tersenyum kecut. "Tentu saja Jingga dekat dengan Aira, dia pengasuhnya sejak kecil. Wajar, Bu. Sedang Jasmin baru lagi mencoba pendekatan dan Ibu sendiri tahu kalau Jingga itu susah dekat sama orang lain selain kita." Xabiru mencoba membela Jasmin, wanita yang sudah dipacarinya sejak setahun silam. "Nah, itu dia poinnya. Dekat sama Jingga. Kalau setahun saja dia susah mendekati Jingga, mau sampai kapan menunggunya? Ibu lihat juga tidak ada peningkatan. Lagi pula wajahnya tidak keibuan. Tidak seperti Aira yang masih sangat muda, tapi jiwa keibu
Aira, dan Xabiru sarapan pagi bersama dengan suasana yang kaku. Tidak ada pembicaraan diantara mereka kecuali Jingga yang sesekali berceloteh tentang kegembiraannya karena telah tidur sekamar dengan ayah dan bundanya. Ia juga mengaku berpindah posisi karena merasa sesak dipeluk ayahnya saat tidur. Mendengar hal tersebut Aira menoleh ke Xabiru, menatapnya lekat seolah menyatakan kalau bukan dia yang sengaja bertukar posisi jadi berada di tengah, tapi anaknya sendiri. Xabiru yang ditatap bersikap datar saja seakan membalas pernyataan Aira kalau dia tidak tertarik dengan fakta yang terjadi. Ia sudah menganggap angin lalu hal tersebut, seolah bukan hal yang penting. "Ini, tanda tanganilah!" pinta Xabiru setelah mereka selesai makan pagi dan hanya menyisakan keduanya di ruang makan. Jingga sudah berlalu pergi ke ruang tengah menonton tivi, tayangan kartun kesukaannya. Aira mendongak ke arah Xabiru sebentar lalu kembali fokus ke lembaran kertas di atas meja makan. Ada tiga lembar yang d
Aira tampak serius menuliskan poin-poin yang ingin ditambahkannya ke dalam surat perjanjian pernikahan yang dibuat oleh Xabiru. Laki-laki yang duduk di seberangnya mengamati dengan lekat. "Tidak jelek. Dia cantik, dia juga baik, tapi … aku sungguh tidak mencintainya. Tidak ada perasaan itu untuknya. Bagaimana mungkin bisa menjalani pernikahan ini kalau tanpa cinta di hatiku? Maaf jika ini menyakitimu. Aku tidak ingin memberikan harapan palsu. Aku ingin kamu bahagia dan aku yakin itu bukan denganku." Xabiru mengungkapkan perasaan hanya dalam hati. Egonya terlalu tinggi untuk langsung mengucapkan hal tersebut pada wanita polos di depannya saat ini. "Maaf, poin satu saya coret. Saya rela disentuh Bapak karena status kita adalah suami-istri. Dosa jadinya kalau istri menolak hasrat suami. Terserah Bapak ingin menyentuh atau tidak, jika ingin, lakukanlah, saya takkan keberatan. Lagipula saya harus memenuhi kewajiban saya sebagai seorang istri." Xabiru tercengang dengan pernyataan Aira
Seminggu sudah Xabiru dan Aira tinggal serumah setelah resmi menikah. Tidak ada perubahan dari hubungan keduanya selama tujuh hari tersebut karena perjanjian pernikahan baru dimulai tepat di hari ke delapan. "Bismillah, semangat Aira! Ayo kita mulai pertempuran ini!" Aira bicara sendiri di depan cermin di dalam kamarnya dengan penuh semangat. "Jangan sampai kalah," lanjutnya lagi menambahkan. Hari ini akan dimulai hubungan suami-istri sesuai isi perjanjian pernikahan yang telah disepakati Aira dan Xabiru. Tak ada pilihan karena itu keinginan suaminya. Banyak rencana yang sudah dipersiapkan oleh Aira dan ia berharap semua berjalan sesuai dengan rencananya. Pagi-pagi Aira bangun seperti biasanya. Beraktivitas subuh menjalankan ibadah, baru keluar kamar membersihkan rumah. Tidak ada asisten rumah tangga yang akan membantunya di rumah ini seperti di rumah ibu mertuanya karena dia sendiri yang menolak hal tersebut. "Kamu bisa membereskan rumah ini sendirian? Apa perlu asisten rumah
[Kamarku jangan diotak-atik. Biarkan saja begitu adanya.]Pesan dari Xabiru mengerutkan kening Aira. Awalnya Aira senang mendapatkan pesan pertamanya di ponsel baru yang telah diberikan Xabiru, dan itu dari suaminya, tapi bibirnya seketika manyun kecewa dengan pernyataan yang tertulis pada pesan tersebut. "Suamiku itu cenayang, ya? Dukun atau anak indigo? Kok dia tahu aku mau ke kamarnya?" Aira bergumam sendiri. Langkahnya yang mengarah ke kamar Xabiru terhenti sejenak. Lalu Aira berbalik arah menuju lantai bawah dengan langkah gontai. Semua sudut ruangan dan kamar di rumah ini sudah dibersihkan Aira, tinggal satu kamar saja yang belum dan itu kamarnya Xabiru. Kamar yang tampak suram karena dinding kamarnya berwarna monokrom hitam-putih. Seperti kamar laki-laki bujang yang belum menikah. Pikir Aira. Teng! Terdengar kembali dering pesan masuk di ponselnya. Aira yang duduk di sofa ruang tengah segera merogoh ponsel di saku celana. [Kenapa tidak dibalas?] Dari 'suamiku', nama yan
"Ibu?" Aira dengan cepat menghampiri wanita paruh baya yang wajahnya masih terlihat cantik di usia senjanya. Senyum merekah dilemparkannya ke arah wanita tua tersebut setelah berhasil menetralkan gemuruh keterkejutan dalam hatinya. Aira meraih tangan mertuanya dan mencium takzim punggung tangan yang mulai berkeriput tersebut. "Ibu kok datang mendadak? Pagi tadi nggak bilang bakal mau ke sini. Ibu sudah makan? Kalau belum biar Aira siapkan. Kebetulan kami baru saja selesai makan malam, Bu." Aira mencoba mengajak bicara Bu Laila. Menyambut dengan ramah dan hormat. "Tidak usah. Ibu sudah kenyang. Syukurlah kalau kalian sudah makan malam. Ibu mau ke kamar saja, capek di jalan menempuh waktu dua jam. Eh, tapi Ai, kamu kalau di rumah dasteran gini?" Tiba-tiba Bu Laila memindai penampilan menantu barunya. "Hah?" Ekspresi terkejut Aira keluar lagi. Belum apa-apa sudah dikomentari ibu mertua cara berpakaiannya. "Iya, Bu? Kenapa?" Refleks, Aira bertanya. Aira sempat memindai sebentar pe
"Mas, kopinya." Aira masuk ke kamar membawakan secangkir kopi untuk Xabiru. "Terima kasih ya, maaf merepotkan." Segera meraih cangkir tersebut dari tangan Aira. "Masih sibuk, Mas?" Aira mengamati suaminya yang masih fokus ke layar laptop. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Hubungan keduanya makin baik pasca kecelakaan yang menimpa Xabiru. Sesuai dengan janji yang disepakati, Xabiru ingin memulai hubungan layaknya suami-istri pada umumnya. Surat perjanjiannya bersama Aira sudah dimusnahkannya. "Iya, banyak yang harus diselesaikan, besok ada meeting." Xabiru menjawab tanpa menoleh ke Aira. Ia terlalu fokus ke layar laptop. "Oh, tapi besok sidang 'kan, Mas? Mas nggak datang?" Aira mencoba mengingatkan. Xabiru menoleh sebentar. "Datang, kok. Masih bisa. Meetingnya sore. Kalau pun sidangnya lama, biar Pak Burhan saja yang urus."Aira manggut-manggut mendengarkan."Menurut Mas, gimana? Apa Mbak Jasmin bakal di penjara atau?" Aira membuka obrolan tentang sidang Jasmin yang a
Semalaman Aira dan Bu Laila di rumah sakit menjaga keadaan Xabiru. Sebenarnya Bu Laila tak tega pada Aira karena menantunya itu dalam keadaan hamil muda. Kesehatannya juga tak baik. Bu Laila sempat meminta Aira untuk pulang saja, tapi Aira menolak. Ia ingin menemani suaminya sampai sadar. Pulang tak kan membuat perasaannya tenang. Justru membuatnya tak bisa tidur dan kepikiran terus. ***"Ra, Aira," lirih Xabiru memanggil istrinya. Ingin mengusap kepala Aira, tapi tak bisa. Tenaganya tak kuat. Ia merasa sangat lemah. Saat matanya mengerjap, orang yang pertama dilihatnya adalah Aira yang duduk tertidur sambil merebahkan kepalanya di ranjang yang ditempatinya. Ia merasa bersalah. "Ra.""Mas! Kamu sudah sadar? Ada yang sakit? Tunggu! Biar Aira panggilkan dokter dulu." Aira terkesiap melihat Xabiru yang telah sadarkan diri. Aira bangkit dari duduknya dan tampak kebingungan. Namun ia akhirnya ingat harus memanggil dokter segera. Xabiru tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala. Meno
Pantas saja perasaan Aira tak enak sejak kepergian suaminya. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal, tapi tak tahu apa itu, ternyata Mas Xabiru. Suaminya itu mengalami kecelakaan. Bergegas Aira menyiapkan diri untuk pergi ke rumah sakit. Ia berganti pakaian dulu, baru setelah itu mengambil beberapa baju buat suaminya. Ia tak tahu seberapa parah keadaan Xabiru, tapi pasti akan membutuhkan beberapa lembar pakaian ganti untuk berada di sana. Ia berharap, suaminya tidak apa-apa. Hanya luka ringan saja. Aira masuk ke dalam kamar putrinya, Jingga. Memeriksa keadaan putrinya itu sebelum ditinggal pergi. Nanti ada Bi Siti yang akan menemani Jingga sementara ia pergi ke rumah sakit. Jingga tertidur pulas. Rasanya enggan kalau membangunkan anaknya itu apalagi memberitahukan keadaan ayahnya. Memang lebih baik, Jingga tak perlu tahu dulu dan tetap berada di rumah. Hampir setengah jam Aira menunggu, baru Mang Diman dan Bi Siti tiba di rumahnya. Bergegas Aira menghampiri dengan setengah ber
"Nikahi aku, Mas. Jadi kedua pun tak masalah asal bisa bersamamu." Jasmin tampak pasrah. Apa pun akan dilakukannya meskipun harus tersakiti. Xabiru menghela napasnya. Terasa berat memenuhi keinginan wanita di sampingnya ini. "Aku tak bisa, Jas. Aku sudah membuat keputusan untuk menjalankan pernikahanku bersama Aira. Apalagi sekarang dia sedang mengandung anakku."Brug! Xabiru tersentak kaget mendapati serangan tak terduga. Jasmin memukulkan bantal sofa ke arahnya. Wanita itu kesal karena Xabiru tak bisa menepati janjinya. Katanya dulu tidak akan tergoda atau meniduri istrinya, tapi sekarang, wanita itu malah hamil juga. "Dasar lelaki! Omongannya tidak bisa dipercaya!""Ya, memang laki-laki itu egois. Seperti yang dulu kulakukan padamu. Aku tahu kamu menyukaiku, Jas. Namun sayangnya aku lebih menyukai kakakmu."Jasmin mendelik tak suka. Kembali bantal di tangannya, dihantamkan ke tubuh Xabiru. "Sudah, Jas. Hentikan!" Xabiru meminta Jasmin berhenti, karena rasanya tak enak dipuku
Xabiru akhirnya pergi. Terpaksa karena ia pikir ini adalah kesempatan terakhirnya bertemu Jasmin. Ia ingin memperbaiki semuanya. Ingin juga mengakhiri dengan benar hubungan mereka yang sempat terjalin meskipun ia telah menikah. Ia ingin membatalkan janjinya untuk menikahi wanita tersebut. meski terdengar egois, tapi itu adalah jalan terbaik. Daripada tetap bersama dengan perasaan yang telah berubah. Bagaimanapun juga Xabiru sadar ia telah mencintai Aira, bukan Jasmin. Bahkan nama wanita tersebut sulit untuk ia masukkan ke dalam hatinya. ***Xabiru sekarang sudah berada di depan pintu unit apartemen Jasmin. Ia menunggu dibukakan pintu oleh wanita tersebut. "Masuk, Mas." Pintu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya tanpa terlihat sosok Jasmin di depan pintu. Hanya suaranya yang terdengar mempersilakan masuk. Xabiru sedikit heran tapi dia tetap masuk ke dalam. Baru berjalan beberapa langkah, Tiba-tiba dia tersentak kaget mendengar pintu apartemen tertutup. Ia berbalik dan melihat Jasmi
Xabiru tertegun membaca pesan yang baru saja dikirim Jasmin. Dia baru tahu kalau Jasmin ingin pergi keluar negeri, tapi dalam rangka apa? Setahu Xabiru, tidak ada kunjungan ke luar negeri dari kantor dan kalaupun urusan pribadi, kenapa terkesan mendadak? "Mas.""Mas Xabiru." "Mas ....""Ya, a--apa?" jawab Xabiru tergagap baru tersadar karena panggilan Aira. Ia sedang memikirkan Jasmin. "Mas kenapa? Dari tadi kupanggil nggak jawab. Mas kayak mikirin sesuatu." Aira heran dan mulai berpikir negatif kalau suaminya tersebut tidak begitu senang dengan kehamilannya ini. Xabiru seperti banyak pikiran. Banyak termenung sedari tadi diperhatikannya. Wanita itu ingat kalau Xabiru berharap pernikahan mereka hanya berumur setahun dan akan segera berpisah secepatnya. apa itu pemicunya? apa suaminya kebingungan untuk mengakhiri semuanya setelah tahu ia hamil? "Tidak. Tidak apa," jawab Xabiru datar. Menambah kepiluan hati Aira. "Kalau begitu, habiskan makanan Mas, biar secepatnya kubereskan." Ai
Yusi menggeleng lemah. "Maaf, Bu, saya tidak tahu.""Hm … apa Ibu perlu sesuatu? Apa Ibu mau minum? Biar saya ambilkan." Dengan takut-takut Yusi menawarkannya. Ia merasa tak enak pada majikannya tersebut karena perintah untuk menahan Jasmin tak mampu dilakukannya. Jangankan untuk menahan, bertanya Jasmin mau kemana saja tak mampu keluar dari mulutnya. Ia sudah gemetaran saat melihat raut wajah tak bersahabat yang ditunjukkan Jasmin padanya saat keluar dari kamarnya. Bu Mita menggeleng. "Saya mau ke kamar saja." Wanita tersebut mengubah posisi rebahan menjadi duduk. Lalu kemudian beranjak bangun ingin menuju ke kamar. Bu Mita merasa perlu istirahat sebentar karena kepalanya sungguh terasa pusing. Entah tensinya naik mendengar kelakuan Jasmin atau kondisi badannya yang memang sejak kemarin sudah tidak sehat. "Baik, Bu."***"Tunggu, Bu! Jangan masuk!" Lola–sekretaris Xabiru melonjak terkejut dari tempat duduknya melihat Jasmin tiba-tiba berjalan menuju ruangan atasannya–Xabiru dengan
"Aaargh!" Jasmin mengamuk kembali. Kamarnya seperti kapal pecah hingga kalau ada yang masuk ke dalamnya, harus hati-hati melangkah karena banyak serpihan kaca pecah berserakan di lantai. Yusi dan Anggi saling tatap kala mendengar suara keributan dari lantai atas rumah Bu Mita. "Non Jasmin kenapa lagi, Mbak Yus? Aku takut ke atas," ujar Anggi seraya menatap ke atas tangga yang menghubungkan lantai atas dan bawah. Dadanya berdegup kencang seiring terdengar suara benda-benda berbunyi tak enak di telinganya. Apalagi saat ini Bu Mita–majikannya lagi di luar, tidak ada di rumah. "Huuussst! Kalau nggak penting, nggak usah ke atas. Kamu nyari mati kalau pergi ke sana terus masuk ke kamarnya Non Jasmin. Itu sama saja seperti masuk ke kandang harimau. Seram," balas Yusi sambil bergidik ngeri membayangkannya. "Mbak enak sudah terbiasa karena sudah lama tinggal di sini. Lah, saya baru hitungan bulan sudah spot jantung saja tiap dengar suara prang-prang kedubrak dari kamar Non Jasmin." Anggi y
"Aira, kamu baik-baik saja?" Bu Laila datang menghampiri menantunya dengan raut khawatir. Wanita paruh baya tersebut memeluk Aira dengan erat. "Nggak papa kok, Bu. Aira baik-baik saja." Senyum terulas di bibir pucat Aira setelah mengurai pelukan mertuanya. Dia senang diperhatikan mertuanya. "Nenek, kata Ayah, Bunda punya dede bayi, loh di perutnya. Jingga katanya bakal jadi kakak, Jingga senang dengarnya." Jingga berceloteh menghampiri Bu Laila sembari memeluknya. "Iya, Jingga bakal jadi kakak. Nanti harus sayang ya sama dedenya, nggak boleh marah atau bertengkar." Bu Laila menasihati seraya mencubit pelan pipi Jingga. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Gadis kecil tersebut mengiakan dengan anggukkan kepala. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia kesenangan. Tak sabar menunggu adiknya lahir. "Tapi Jingga jangan ganggu Bunda ya? Bunda lagi sakit.""Iya, Nek. Kata Ayah, Jingga nggak boleh minta ini minta itu sama Bunda. Harus ambil sendiri. Harus kerjakan sendiri. Jangan nyusahin Bunda,"