Haidar menatap dalam wajah putranya. Tak seperti biasanya, Haikal selalu ceria dan tak sabar untuk bertemu dengan Aisyah. Sepanjang jalan putranya itu akan terus menanyakan tentang ibunya.
“Haikal, kasih tahu ayah apa yang dikatakan tante Zali!” pinta Haidar lembut agar tak menakuti putranya.Wajah Haikal tampak meragu dan sedikit takut. Namun, Haidar menunjukkan wajah yakin. Ia lantas membelai lembut kepala putranya.Benar. Berbicara dengan anak seusia Haikal harus dengan lembut dan hati-hati. Membangun rasa percaya dengan putranya agar Haikal mau berbicara.“Tidak apa-apa, ayah tidak akan marah,” ucap Haidar diikuti senyuman hangat. “Bunda juga nggak akan marah,” sambungnya seolah mengerti tatapan ragu putranya.“Tante Zali bilang, kalau bunda Aisyah itu bukan ibu yang melahirkan aku. Nanti bunda akan merebut ayah dari aku karena bunda Aisyah adalah ibu tiri ... ibu tiri jahat,” ucap Haikal polos dan jujur.Tangan Haidar meremas kemudi mobilnya menyalurkan“Rangkaian pesan teror dari kak Zali,” jawab Aisyah ragu. “Sebenarnya aku merahasiakannya sejak lama, tetapi ibu mengetahuinya dan memintaku untuk bercerita padamu, Haidar.”Kedua bola mata Haidar membulat sempurna. Ia menatap jelas wajah sedih dan tertekannya Aisyah. Kemudian ia langsung berpindah pada ponsel milik wanita di hadapannya.Baru saja beberapa pesan yang dibacanya, tubuhnya sudah terasa terbakar. Kalimat ancaman dan umpatan tak tahu malu dari Zalimar tertulis di sana ditujukan kepada Aisyah. Dada Haidar tampak kembang kempis dan naik turun. Berkali-kali Haidar melafalkan istighfar agar ia tak terbakar amarah. Padahal dalam pesan itu Aisyah sama sekali tak merespon. Bahkan wanita itu memblokir nomornya, tetapi ada nomor baru dan terus menerornya dengan kalimat-kalimat umpatan dan ancaman. Dari tulisan dan bahasanya saja sudah bisa ditebak kalau itu adalah orang yang sama.“Kak Zali sungguh keterlaluan sekali,” ucap Haidar seraya mengusap rambut depannya hingga ke belakang
“Katakan padaku, Aisyah! Di mana salahku?” tanya Haidar dengan tatapan pasrah.Asiyah terdiam. Bibirnya terasa terkunci. Ia bisa melihat jelas kesungguhan serta ketulusan lelaki tampan di hadapannya.“Apa aku tidak pantas mendampingimu, atau Haikal tak layak punya ibu sepertimu?” tanya Haidar lagi, semakin membuat Aisyah terdiam. “Katakan, Aisyah!”Perlahan, wanita cantik dengan hijab hijau tua itu pun menggelengkan kepalanya. Tak ada keraguan pada tatapan serta ucapan Haidar. Lelaki itu jujur.“Maafkan aku, Haidar. Aku hanya takut dan tak ingin terluka lagi,” ungkap Aisyah lalu diikuti senyuman penyesalan.“Aku tahu, Aisyah. Pasti sulit untuk bangkit dan percaya padaku, tapi aku mohon ... percaya padaku! Aku sudah melihat seperti apa rasa sakit yang kamu alami, jadi tidak mungkin aku akan membuat luka baru di hatimu,” ucap Haidar menenangkan.Aisyah langsung melebarkan senyumannya. Hatinya sungguh lega. Ingin rasanya ia menggapai lelaki di hadapannya dan memeluknya sebagai ungkapan b
“Sayang, Ayahnya kan besok pagi kerja, Haikal juga kan harus ke day care ... baju Ayah dan baju Haikal ada di rumah. Lain kali aja yah, nginepnya!” bujuk Haidar lembut.Tak hanya Haidar, Aisyah dan kedua orang tuanya turut memberikan pengertian pada anak kecil menggemaskan itu. Akhirnya Haikal pun menurut. Tak terlalu sulut membujuk Haikal kecil.Setelah berpamitan mereka berdua langsung pamit. Aisyah dan kedua orang tuanya mengantar anak dan ayah itu ke depan rumahnya. Mereka baru memasuki rumah setelah mobil yang dikendarai Haidar menghilang dari pandangan mereka.Sesampainya di dalam rumah, Aisyah pun menceritakan hasil perbincangannya dengan Haidar pada kedua orang tuanya, meminta pendapat dari mereka yang lebih tua serta lebih pengalaman. Awalnya, mereka terkejut saat mengetahui tentang Haidar dan Wahid. Akan tetapi, kedua orang tuanya tentu memahami tindakan dokter tampan itu.“Pastinya akan sulit untuk Haidar mengatakan pada Wahid kalau dia akan menikahi wanita yang tadinya ada
“Haidar, apa kamu begitu menyukai Aisyah hingga berani mengancamku?” tanya Zalimar menahan rasa panik dan terkejutnya.“Ya, aku sangat menyukainya!” jawab Haidar jujur dan menunjukkan ketegasan wajahnya.Zalimar menelan salivanya. Ia lantas menoleh pada Nurul. Wanita itu pun sama terkejutnya seperti dirinya.“Haidar, kamu tidak tahu seperti apa wanita itu! Aisyah tak sebaik yang kamu pikirkan,” seru Zalimar tetap pada pendiriannya.“Memangnya seperti apa Aisyah di mata, Kak Zali?” sela Haidar langsung dan langsung membuat Zalimar langsung terdiam.Bibir wanita di hadapannya mengatup, dengan wajah bingung. Haidar lantas berdesis heran. Ia lantas menyilangkan kedua tangannya di depan dada seraya menatap dalam menahan kesal pada Zalimar.“Sepertinya Kak Zali yang tak tahu siapa Aisyah ... bukan tak tahu, tetapi Kak Zali terlalu iri dengan kebaikan hatinya Aisyah sehingga jika dia kelak akan menyingkirkan kakak. Benar ‘kan?” tebak Haidar menduga.Benar. Zalimar memang iri pada Aisyah yang
Toni terdiam. Ia tak bisa menjawab ucapan Haidar. Mungkin dokter itu tak akan mengerti bagaimana ia dan Nurul dulu merasa tertekan saat masih berkuliah atau memang ucapan Haidar benar pikiran mereka terlalu liar hingga begitu mudahnya melanggar norma dengan alasan cinta.Akan tetapi lelaki itu tengah dirundung emosi. Ia tak suka diatur oleh siapa pun juga. Awalnya Toni menyesal dan merasa bersalah pada ayahnya.Tuntutan Rudi Surendra, ayahnya yang menginginkan dirinya menjadi anak kebanggaan keluarga. Toni yang frustasi karena tuntutan itu dan saat itu bertemu Nurul yang memiliki nasib sama. Rasa ingin memiliki Nurul tiba-tiba bertambah besar setelah ia mengetahui perkembangan anak yang dikandung wanitanya.“Pulanglah dan jangan kembali lagi! Biarkan wanitamu bahagia dengan keluarganya!” pinta Haidar mencoba berbicara lembut dengan Toni. “Kalian sudah berbeda!”“Kenapa kamu melakukan ini? Mencampuri urusanku dengan Nurul? Apa kamu takut jika aku merebut Nurul lalu suaminya yang sekara
“Argh!”Aisyah memekik kecil. Tak sengaja jarum yang sedang ia gunakan untuk menjahit renda pada kain yang sedang dirangkai menusuk ibu jarinya. Walaupun hanya sedikit yang tertusuk, rasanya perih sekali.Wanita itu langsung meletakan kain dan peralatan jahitnya agar darah yang keluar dari lukanya tak menetes. Ia memijat lembut seraya meniup lukanya, berharap rasa sakit dan perihnya berkurang. Kemudian ia melangkah menuju meja kerjanya yang berada di sudut kamarnya, meraih tissue untuk membersihkan darah yang berhasil dikeluarkan dari ibu jarinya.“Kok masih perih, yah!” gumam Aisyah dengan wajah sedikit meringis menahan sakit.Aisyah pun memilih menghisap luka pada ibu jarinya setelah tak keluar darah. Berharap dengan cara tersebut rasa perih dan
Aisyah sedikit tersentak dengan pertanyaan Haikal. Cepat-cepat ia menghapus air matanya dan menunjukkan senyumannya yang kini tak tertutup cadar. Wanita cantik itu membungkuk dan menatap hangat wajah mungilnya Haikal.“Bunda nggak mau nemenin aku, ya?” tanya Haikal dengan nada sedih seraya menundukkan wajahnya. “Bunda pasti sedih karena harus nemenin aku,” duganya.“Kata siapa bunda sedih?” Aisyah balik bertanya sembari mengerutkan dahinya.Tangan Aisyah lantas meraih dagu mungilnya Haikal. Ia kembali memberikan tatapan hangat pada anak kecil yang tengan menurunkan kedua sudut bibirnya ke bawah. Aisyah lantas tertawa kecil, ekspresi Haikal benar-benar tampak menggemaskan.“Dengarkan bunda! Ada dua sebab kenapa orang dewasa itu menangis ... yang dikatakan Haikal benar kalau sedih akan menangis, tapi ada satu alasan lagi kenapa orang dewasa menangis.” Aisyah memberikan penjelasan yang menurutnya mudah dimengerti anak kecil di hadapannya. Tentu saja ia tak ingin membuat anak kecil itu s
Selama menunggu putranya ditangani tenaga medis, Harry, ayahnya Haidar mencari penyebab putranya menjadi korban kecelakaan tersebut. Beberapa fakta mengejutkan dirinya, terutama tentang perjanjian Toni dengan Haidar yang diberikan oleh petugas keamanan.Tentu saja, Harry merasa janggal saat melihat hasil rekaman CCTV di tempat parkir. Terlihat jelas bahwa kejadian tersebut bukanlah kecelakaan melainkan disengaja. Ia pun lantas memeriksa ponsel putranya. Untunglah Haidar tak pernah mengunci ponselnya, hingga Harry bisa leluasa memeriksa isi ponselnya. Beberapa dokumen dan bukti tentang Toni masih tersimpan rapi dalam ponsel Haidar. Termasuk identitas keluarganya Toni, yang menunjukkan bahwa pak Rudi adalah kepala sekolah.Alasan itulah yang membuat Harry berpikir bahwa pak Rudi lebih takut jika sampai Toni dipenjara karena sengaja mencelakai Haidar. Namun, yang membuat lelaki berparas bule itu menurut adalah mencari tahu pasti penyebab utama pemuda itu mencelakai putranya. Ia yakin se
Kehidupan Aisyah benar-benar terasa tenang. Dimas Fahri yang semula mencibir karena iri padanya, mulai menerima dan memahami alasan wanita cantik tersebut. Shahira yang benar-benar memutuskan berhenti dari dunia entertainer memilih membantu Aisyah membuat rancangan berbagai pakaian muslim.Bahkan Shahira memutuskan membeli sebuah ruko untuk membuka butik pakaian muslim dan Aisyah lah yang menjadi perancang busananya. Tentu saja, wanita itu lebih bersemangat. Hingga tak terasa masa iddahnya pun selesai dan rencana pernikahannya dengan Haidar akan terlaksana.Dokter tampan itu sudah merencanakan semuanya berjalan dengan lancar. Hingga di malam sebelum acara pernikahan mereka Zalimar mendatangi Haidar. Untuk pertama kalinya lelaki itu mendekati Zalimar dengan wajah penuh penyesalan yang sungguh-sungguh.Zalimar m
“Apa kita nggak kepagian, Aisyah?” tanya Nilam dengan tatapan bingung.Aisyah dan Nilam sudah berada di lokasi persidangan untuk kasus desainnya yang dicuri. Suasana di dalam gedung itu tampak sepi sekali, bahkan hanya ditemukan beberapa orang saja yang lalu lalang. Namun, Aisyah yakin ia tak terlalu pagi. Jadwal sidangnya memang di pagi hari dan sekitar 15 menit lagi persidangan akan di mulai.“Kayaknya nggak deh, Bu. Mungkin orang-orang memilih menunggu kedatangan kak Shahira yang akan melakukan wawancara sebentar dengan para wartawan sebelum acara sidang dimulai,” jelas Aisyah santun. Kemudian ia menunjuk bangku di samping gedung yang menghadap taman kecil. “Kita tunggu di sana saja, yuk!” ajaknya.Nilam menurut. Keduanya langsung berjalan dan duduk bangku yang masih koso
Usaha Haidar tak sia-sia. Kondisi Nurul kembali stabil. Ia pun lantas segera menyelesaikan operasinya, menutup lukanya dan menjahitnya dengan hati-hati.Haidar bisa saja memberikan tugas tersebut pada dokter lainnya yang berada di sana, karena itu adalah proses terakhir dan tak terlalu berat. Namun, ia memilih menuntaskannya sendiri. Haidar ingin bertanggung jawab penuh atas permintaan Wahid.Alasan lainnya, ia perlu memastikan bahwa pasien di hadapannya baik-baik saja agar bisa menjaga perasaan Wahid sebelum dirinya resmi menjadi suami dari mantan istri lelaki itu. Mungkin bisa diartikannya sebagai ucapan terima kasih sudah melepaskan Aisyah untuknya. Akan tetapi, ia tetap memastikan semua yang dilakukannya sesuai prosedur kesehatan.“Tutup lukanya dengan hati-hati!” perintah Haidar setelah selesai dan
Setelah mendapatkan persetujuan dari Aisyah, Haidar langsung bergegas ke rumah sakit. Sejujurnya, bukan persetujuan tetapi ia ingin memastikan Aisyah tak salah paham sebab Wahid memintanya secara khusus untuk menyelamatkan Nurul. Walaupun wanita itu pasti memahami dirinya yang seorang dokter, tak berhak untuk memilih pasien.Namun, kebesaran hati Aisyah tak bisa ia sepelekan. Wanita yang akan menjadi pasiennya adalah orang yang membuat hidup wanitanya hancur. Jadi, Haidar perlu memastikan perasaan Aisyah tak akan terluka.“Aku percaya padamu, Haidar. Lakukan tugasmu dengan baik!” Kalimat tersebut mampu menguatkan keberanian Haidar. Dokter tampan itu mampu mengesampingkan perasaan dan hatinya untuk fokus pada pekerjaannya. Tak butuh waktu lama, ia langsung menuju IGD dan bertepatan dengan Wahid yang baru saja tiba membawa istrinya.“Apa yang terjadi, Pak wahid?” tanya Haidar sembari menunggu petugas medis memindahkan tubuh Nurul ke ranjang beroda.Belum sempat Wahid menjawab, dokter t
“Bagaimana kamu masuk ke rumahku?” Nurul terkejut dan hampir saja ia terjengkang ke belakang. Toni tiba-tiba muncul di dalam rumahnya saat ia baru saja memasuki rumah setelah mengantar Wahid. Untunglah lelaki itu berhasil menahan tubuh wanita yang tengah hamil besar itu. Usia kandungannya yang sudah melewati tujuh bulan membuatnya kesulitan menjaga keseimbangannya. Namun, wanita itu langsung menepis kasar tangan Toni setelah berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya. Wajah Nurul bahkan berubah panik dan cemas. “Mau apa lagi kamu menemuiku, Toni? Kita sudah tak ada hubungan apapun!” cecar Nurul cemas. Sesekali wanita itu menoleh ke arah pintu. Takut dan cemas, jika Wahid tiba-tiba kembali lalu memergoki dirinya bersama Toni. Ia sudah memutuskan untuk menuruti per
Sebuah mimpi yang begitu mengganggu Aisyah. Wanita bahkan tak bisa berpikir jernih. Takut jika mimpi itu menjadi kenyataan.Akankah kejadian yang sudah pernah ia alami akan kembali terulang? Aisyah benar-benar tak bisa tenang. Ia tak bisa berdiam diri hingga akhirnya memutuskan menemui Haidar di rumah sakit, tepat di jam istirahatnya.Tentu saja dokter tampan itu senang dikunjungi oleh Aisyah. Mereka memilih sebuah kafe di luar rumah sakit yang tak terlalu ramai. Setidaknya Aisyah perlu mengungkapkan rasa cemasnya dalam keadaan tenang.“Sepertinya ada masalah serius? Ada apa, Aisyah?” tanya Haidar yang bisa membaca jelas sorot mata wanitanya.Ya, walaupun hanya tatapannya saja, tanpa melihat wajahnya yang tertutup cadar Haidar bisa melihat tatapan gelisahnya.
“Maafkan aku, Aisyah. Aku tak bisa melanjutkan rencanaku menikahimu … Kita batalkan saja pernikahan ini!”Tubuh Aisyah terasa disambar petir di siang bolong. Kedua bola matanya yang membulat sempurna langsung tersiram air mata, banjir dan deras bak air terjun. Bibirnya bergetar, hingga ia kesulitan untuk membuka mulutnya.Aisyah sungguh tak menyangka, Haidar mengatakan hal tersebut tepat di hadapan kedua orang tuanya yang percaya sepenuhnya pada dirinya. Bukan itu saja yang membuatnya terasa terguncang, gaun putih yang menutupi tubuhnya tanpa memperlihatkan lekuk indah tubuhnya, serta rangkaian bunga melati yang menghiasi hijab lebarnya.Ya, di hari pernikahannya yang seharusnya berikrar sebuah akad, tetapi Haidar mengikrarkan kata maaf. Tak ada sirat penyesalan pada wajah lelaki itu. Hatiny
“Kak Shahira yakin?” tanya Aisyah sedikit tak percaya.Shahira yang dikenal sebagai artis yang selalu modis dan glamor, serta tak malu dengan pakaian seksi meski usianya sudah tak lagi muda. Itulah imej yang melekat pada artis cantik itu. Satu hal lagi, Shahira dikenal sebagai artis yang santun dan ramah, yang membuatnya tetap terkenal dan tak kalah dengan artis pendatang baru.Hari ini, Aisyah dan Haidar mendengar ungkapan hatinya. Artis cantik itu ternyata menyimpan beban yang berat. Shahira tak segera menjawab pertanyaan Aisyah.“Maafkan aku, Kak. Maksudku ... aku senang jika Kak Shahira ingin berubah menjadi lebih tertutup, tetapi harus dari hati agar Kakak bisa menemukan kedamaian dan ketenangan,” jelas Aisyah hati-hati, berharap kata-katanya tak menyinggung artis cantik itu. “Mm ... jika aku boleh kasih saran tentang rumah tangga Kak Shahira, sebaiknya coba jalin hubungan lebih baik lagi dengan suaminya. Menurutku dukungan dari suami adalah yang paling berharga, seberat apapun
Shahira tak segera menjawab. Artis cantik itu menurunkan tumpangan kakinya dan menegapkan wajahnya dengan ekspresi datar. Tentu saja tindakannya membuat sorot mata Aisyah cemas.“Aisyah sama sekali tak berniat untuk melanggar kontrak kerja, Kak. Dia hanya ingin mencoba desain pakaian yang tertutup tetapi tetap anggun,” seru Haidar mencoba menengahi. “Bukankah di kontrak hanya dicantumkan Aisyah membuat desain sesuai keinginan Kak Shahira, tidak dispesifikan bagaimana jenis desainnya,” imbuhnya.“Tidak spesifik? Contohnya?” selidik Shahira dengan tatapan penuh arti pada Haidar.Haidar mengulum bibir bawah dan atasnya ke dalam sembari berpikir. Jawaban apa yang bisa diterima oleh Shahira. “Maksud saya, desain pakaiannya tidak dijelaskan harus seksi dan terbuka,” jawabnya hati-hati, tetapi terdengar tegas.Asiyah sedikit bersyukur Haidar bisa membantu mengeluarkan rasa cemasnya, tetapi kini ia merasa was-was. Khawatir, jika respon Shahira justru memberikan penolakan. Terlihat jelas saat