Sidang pertemuan kali ini sebelum pada keputusan akhir, sedikit berbeda. Wahid terus menunduk dan tak berani menatap pada Aisyah seperti sidang sebelumnya. Bukan itu saja yang membuatnya persidangan kali ini berbeda, kedua orang tuanya Wahid datang, begitu juga dengan kedua orang tuanya Aisyah.Mereka seolah akan tahu jika kedua orang tua yang pernah akrab sebagai besan akan menghadiri proses perceraian anak mereka kini. Jujur saja Ibrahim seolah tak memiliki muka seperti Wahid. Tak berani menatap Aisyah dan kedua orang tuanya. Akbar bahkan menunjukkan tatapan tak ramah, setelah mengetahui kebenaran putrinya dijadikan pembantu oleh keluarga mantan mertuanya.Namun itu juga tujuan mereka untuk datang, saling meluruskan dan meminta maaf. Walaupun berat, Aisyah dan kedua orang tuanya bukanlah manusia yang pendendam. Mereka diajarkan untuk saling memaafkan sebagai cara untuk mengikhlaskan rasa sakit hati.“Kami memaafkan bukan berarti kami bisa melupakan perlakuan buruk kalian pada Aisyah
“Bukannya baru minggu lalu, Bu Nurul kontrol bulanan? Hasilnya baik-baik saka, ada keluhan apa?” tanya Haidar cemas saat mendapatkan panggilan pasien darurat di IGD. Nurul ditemani Wahid dan juga Rahma serta Sarah yang menunggu dengan cemas di ruangan luar IGD. Wanita itu mengerang menahan sakit. Bahkan wajahnya tampak pucat. “Pasien mengalami pendarahan dan Kram pada rahim juga dapat menandakan adanya kontraksi yang tidak normal.” Perawat yang mendampingi Haidar terus mendampinginya seraya menyiapkan mesin USG. “Sudah diperiksa pendarahannya?” tanya Haidar seraya memeriksa urat nadi pada tangan pasiennya, lalu berpindah memeriksa kondisi perut Nurul. “Sudah, Dok. Tak terlalu banyak, tetapi sepertinya cukup serius,” jawab perawat itu. “Saya juga sudah mengambil sampel darahnya untuk diperiksa,” sambungnya dan langsung dijawab anggukan Haidar. Wajah Nurul panik. Ia menatap wajah cemas dokter dan perawat yang menanganinya. Tampaknya kondisinya sangat buruk, bahkan kram perutnya sema
“Aku tidak setuju! Panggil dokter lain yang lebih handal!” perintah Sarah menentang keputusan Wahid.“Saya suaminya Nurul berarti saya yang punya hak,” tagas Wahid pada Sarah.Suasana di ruangan IGD terasa makin tegang. Nurul hanya bisa diam menahan segala rasa yang tak bisa ia gambarkan. Yang jelas rasa takut paling mendominasinya. Sementara Rahma tampak syok melihat keberanian anak lelakinya.Selama ini Wahid dikenal tak banyak menentang. Namun, kali ini Wahid menunjukkan kesungguhannya. Ia lantas meraih lengan anak lelakinya itu, mencoba menjadi penengah.“Wahid, apa yang dikatakan Bu Sarah itu benar. Lebih baik kita panggil satu dokter lagi untuk memperjelas kondisi Nurul. Ini demi kebaikan istrimu juga,” bujuk Rahma dengan nada menenangkan.“Tidak, Umi! Aku lebih percaya perkataan Dokter Haidar,” sahut Wahid meyakinkan.Bukan tanpa alasan Wahid lebih percaya dengan Haidar. Akan tetapi, itu adalah ungkapan hatinya yang ingin berubah. Selama ini ia selalu dikendalikan oleh kedua or
Semuanya tercengang. Tatapan tak percaya tertuju pada Wahid. Ibrahim yang sudah lebih dulu tahu kondisi Wahid, tetap terkejut. Ia tak menyangka Wahid berani mengungkapkan kondisinya di hadapan besannya.“Wa—wahid, apa yang kamu katakan?” tanya Rahma gagap dengan tatapan tak percaya.“Aku mengatakan keadaan yang sebenarnya, Umi,” jawab Wahid seraya menundukkan wajahnya.Tatapan penuh penyesalan tergambar jelas. “Selama ini hanya Aisyah yang tahu kondisiku, tetapi ia menutupinya dan tak pernah mengungkapkan pada siapa pun. Aisyah menutupi aibku rapat-rapat,” ungkap Wahid diikuti tetes air mata bersalah.“Aisyah memilih diam saat semua tuduhan mandul tertuju padanya. Hingga Nurul datang, Aisyah tahu betul kalau aku bukan pelakunya, tetapi dia tetap memberi restu karena memang aku juga bersalah,” sambung Wahid menjelaskan semuanya tanpa ada yang terlewatkan.Benar, tak ada yang Wahid lewatkan dari penjelasannya. Bahkan ia pun mengungkapkan bagaimana Nurul selama ini bertingkah sebagai ist
“Benar yang diucapkan Wahid, Nurul?” Kyai Reza menatap anaknya dengan tatapan menahan kesal.Wajah Nurul seketika pucat. Bibirnya bergetar hebat. Tangannya mencengkram erat ujung selimut yang menutupi tubuhnya.“Jawab!” sentak kyai Reza tak sabar menunggu anak perempuannya bersuara.Air mata Nurul langsung mengalir deras. Tampaknya kyai Reza tak perlu menunggu jawaban putrinya. Berkali-kali ia mengucapkan istighfar seraya mengelus dadanya. Napas kyai Reza terengah-engah. Semakin lama dadanya terasa sesak hingga ia hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya. Untunglah Ibrahim yang berada di sebelahnya sigag menopang tubuh kyai Reza.“Kyai! Kyai baik-baik saja?” tanya Ibrahim panik.Wahid pun tak tinggal diam. Ia ikut menopang tubuh kyai Reza yang termasuk sekal. Keduanya lantas menuntun kyai Reza menuju sofa di sudut ruangan dekat pintu keluar kamar rawatnya Nurul.Sarah tak tinggal diam. Ia langsung meraih teko dan gelas kosong di samping meja nakas sebelah ranjangnya Nurul. Wanita hami
Haidar menatap dalam wajah putranya. Tak seperti biasanya, Haikal selalu ceria dan tak sabar untuk bertemu dengan Aisyah. Sepanjang jalan putranya itu akan terus menanyakan tentang ibunya.“Haikal, kasih tahu ayah apa yang dikatakan tante Zali!” pinta Haidar lembut agar tak menakuti putranya.Wajah Haikal tampak meragu dan sedikit takut. Namun, Haidar menunjukkan wajah yakin. Ia lantas membelai lembut kepala putranya.Benar. Berbicara dengan anak seusia Haikal harus dengan lembut dan hati-hati. Membangun rasa percaya dengan putranya agar Haikal mau berbicara.“Tidak apa-apa, ayah tidak akan marah,” ucap Haidar diikuti senyuman hangat. “Bunda juga nggak akan marah,” sambungnya seolah mengerti tatapan ragu putranya.“Tante Zali bilang, kalau bunda Aisyah itu bukan ibu yang melahirkan aku. Nanti bunda akan merebut ayah dari aku karena bunda Aisyah adalah ibu tiri ... ibu tiri jahat,” ucap Haikal polos dan jujur.Tangan Haidar meremas kemudi mobilnya menyalurkan
“Rangkaian pesan teror dari kak Zali,” jawab Aisyah ragu. “Sebenarnya aku merahasiakannya sejak lama, tetapi ibu mengetahuinya dan memintaku untuk bercerita padamu, Haidar.”Kedua bola mata Haidar membulat sempurna. Ia menatap jelas wajah sedih dan tertekannya Aisyah. Kemudian ia langsung berpindah pada ponsel milik wanita di hadapannya.Baru saja beberapa pesan yang dibacanya, tubuhnya sudah terasa terbakar. Kalimat ancaman dan umpatan tak tahu malu dari Zalimar tertulis di sana ditujukan kepada Aisyah. Dada Haidar tampak kembang kempis dan naik turun. Berkali-kali Haidar melafalkan istighfar agar ia tak terbakar amarah. Padahal dalam pesan itu Aisyah sama sekali tak merespon. Bahkan wanita itu memblokir nomornya, tetapi ada nomor baru dan terus menerornya dengan kalimat-kalimat umpatan dan ancaman. Dari tulisan dan bahasanya saja sudah bisa ditebak kalau itu adalah orang yang sama.“Kak Zali sungguh keterlaluan sekali,” ucap Haidar seraya mengusap rambut depannya hingga ke belakang
“Katakan padaku, Aisyah! Di mana salahku?” tanya Haidar dengan tatapan pasrah.Asiyah terdiam. Bibirnya terasa terkunci. Ia bisa melihat jelas kesungguhan serta ketulusan lelaki tampan di hadapannya.“Apa aku tidak pantas mendampingimu, atau Haikal tak layak punya ibu sepertimu?” tanya Haidar lagi, semakin membuat Aisyah terdiam. “Katakan, Aisyah!”Perlahan, wanita cantik dengan hijab hijau tua itu pun menggelengkan kepalanya. Tak ada keraguan pada tatapan serta ucapan Haidar. Lelaki itu jujur.“Maafkan aku, Haidar. Aku hanya takut dan tak ingin terluka lagi,” ungkap Aisyah lalu diikuti senyuman penyesalan.“Aku tahu, Aisyah. Pasti sulit untuk bangkit dan percaya padaku, tapi aku mohon ... percaya padaku! Aku sudah melihat seperti apa rasa sakit yang kamu alami, jadi tidak mungkin aku akan membuat luka baru di hatimu,” ucap Haidar menenangkan.Aisyah langsung melebarkan senyumannya. Hatinya sungguh lega. Ingin rasanya ia menggapai lelaki di hadapannya dan memeluknya sebagai ungkapan b
Kehidupan Aisyah benar-benar terasa tenang. Dimas Fahri yang semula mencibir karena iri padanya, mulai menerima dan memahami alasan wanita cantik tersebut. Shahira yang benar-benar memutuskan berhenti dari dunia entertainer memilih membantu Aisyah membuat rancangan berbagai pakaian muslim.Bahkan Shahira memutuskan membeli sebuah ruko untuk membuka butik pakaian muslim dan Aisyah lah yang menjadi perancang busananya. Tentu saja, wanita itu lebih bersemangat. Hingga tak terasa masa iddahnya pun selesai dan rencana pernikahannya dengan Haidar akan terlaksana.Dokter tampan itu sudah merencanakan semuanya berjalan dengan lancar. Hingga di malam sebelum acara pernikahan mereka Zalimar mendatangi Haidar. Untuk pertama kalinya lelaki itu mendekati Zalimar dengan wajah penuh penyesalan yang sungguh-sungguh.Zalimar m
“Apa kita nggak kepagian, Aisyah?” tanya Nilam dengan tatapan bingung.Aisyah dan Nilam sudah berada di lokasi persidangan untuk kasus desainnya yang dicuri. Suasana di dalam gedung itu tampak sepi sekali, bahkan hanya ditemukan beberapa orang saja yang lalu lalang. Namun, Aisyah yakin ia tak terlalu pagi. Jadwal sidangnya memang di pagi hari dan sekitar 15 menit lagi persidangan akan di mulai.“Kayaknya nggak deh, Bu. Mungkin orang-orang memilih menunggu kedatangan kak Shahira yang akan melakukan wawancara sebentar dengan para wartawan sebelum acara sidang dimulai,” jelas Aisyah santun. Kemudian ia menunjuk bangku di samping gedung yang menghadap taman kecil. “Kita tunggu di sana saja, yuk!” ajaknya.Nilam menurut. Keduanya langsung berjalan dan duduk bangku yang masih koso
Usaha Haidar tak sia-sia. Kondisi Nurul kembali stabil. Ia pun lantas segera menyelesaikan operasinya, menutup lukanya dan menjahitnya dengan hati-hati.Haidar bisa saja memberikan tugas tersebut pada dokter lainnya yang berada di sana, karena itu adalah proses terakhir dan tak terlalu berat. Namun, ia memilih menuntaskannya sendiri. Haidar ingin bertanggung jawab penuh atas permintaan Wahid.Alasan lainnya, ia perlu memastikan bahwa pasien di hadapannya baik-baik saja agar bisa menjaga perasaan Wahid sebelum dirinya resmi menjadi suami dari mantan istri lelaki itu. Mungkin bisa diartikannya sebagai ucapan terima kasih sudah melepaskan Aisyah untuknya. Akan tetapi, ia tetap memastikan semua yang dilakukannya sesuai prosedur kesehatan.“Tutup lukanya dengan hati-hati!” perintah Haidar setelah selesai dan
Setelah mendapatkan persetujuan dari Aisyah, Haidar langsung bergegas ke rumah sakit. Sejujurnya, bukan persetujuan tetapi ia ingin memastikan Aisyah tak salah paham sebab Wahid memintanya secara khusus untuk menyelamatkan Nurul. Walaupun wanita itu pasti memahami dirinya yang seorang dokter, tak berhak untuk memilih pasien.Namun, kebesaran hati Aisyah tak bisa ia sepelekan. Wanita yang akan menjadi pasiennya adalah orang yang membuat hidup wanitanya hancur. Jadi, Haidar perlu memastikan perasaan Aisyah tak akan terluka.“Aku percaya padamu, Haidar. Lakukan tugasmu dengan baik!” Kalimat tersebut mampu menguatkan keberanian Haidar. Dokter tampan itu mampu mengesampingkan perasaan dan hatinya untuk fokus pada pekerjaannya. Tak butuh waktu lama, ia langsung menuju IGD dan bertepatan dengan Wahid yang baru saja tiba membawa istrinya.“Apa yang terjadi, Pak wahid?” tanya Haidar sembari menunggu petugas medis memindahkan tubuh Nurul ke ranjang beroda.Belum sempat Wahid menjawab, dokter t
“Bagaimana kamu masuk ke rumahku?” Nurul terkejut dan hampir saja ia terjengkang ke belakang. Toni tiba-tiba muncul di dalam rumahnya saat ia baru saja memasuki rumah setelah mengantar Wahid. Untunglah lelaki itu berhasil menahan tubuh wanita yang tengah hamil besar itu. Usia kandungannya yang sudah melewati tujuh bulan membuatnya kesulitan menjaga keseimbangannya. Namun, wanita itu langsung menepis kasar tangan Toni setelah berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya. Wajah Nurul bahkan berubah panik dan cemas. “Mau apa lagi kamu menemuiku, Toni? Kita sudah tak ada hubungan apapun!” cecar Nurul cemas. Sesekali wanita itu menoleh ke arah pintu. Takut dan cemas, jika Wahid tiba-tiba kembali lalu memergoki dirinya bersama Toni. Ia sudah memutuskan untuk menuruti per
Sebuah mimpi yang begitu mengganggu Aisyah. Wanita bahkan tak bisa berpikir jernih. Takut jika mimpi itu menjadi kenyataan.Akankah kejadian yang sudah pernah ia alami akan kembali terulang? Aisyah benar-benar tak bisa tenang. Ia tak bisa berdiam diri hingga akhirnya memutuskan menemui Haidar di rumah sakit, tepat di jam istirahatnya.Tentu saja dokter tampan itu senang dikunjungi oleh Aisyah. Mereka memilih sebuah kafe di luar rumah sakit yang tak terlalu ramai. Setidaknya Aisyah perlu mengungkapkan rasa cemasnya dalam keadaan tenang.“Sepertinya ada masalah serius? Ada apa, Aisyah?” tanya Haidar yang bisa membaca jelas sorot mata wanitanya.Ya, walaupun hanya tatapannya saja, tanpa melihat wajahnya yang tertutup cadar Haidar bisa melihat tatapan gelisahnya.
“Maafkan aku, Aisyah. Aku tak bisa melanjutkan rencanaku menikahimu … Kita batalkan saja pernikahan ini!”Tubuh Aisyah terasa disambar petir di siang bolong. Kedua bola matanya yang membulat sempurna langsung tersiram air mata, banjir dan deras bak air terjun. Bibirnya bergetar, hingga ia kesulitan untuk membuka mulutnya.Aisyah sungguh tak menyangka, Haidar mengatakan hal tersebut tepat di hadapan kedua orang tuanya yang percaya sepenuhnya pada dirinya. Bukan itu saja yang membuatnya terasa terguncang, gaun putih yang menutupi tubuhnya tanpa memperlihatkan lekuk indah tubuhnya, serta rangkaian bunga melati yang menghiasi hijab lebarnya.Ya, di hari pernikahannya yang seharusnya berikrar sebuah akad, tetapi Haidar mengikrarkan kata maaf. Tak ada sirat penyesalan pada wajah lelaki itu. Hatiny
“Kak Shahira yakin?” tanya Aisyah sedikit tak percaya.Shahira yang dikenal sebagai artis yang selalu modis dan glamor, serta tak malu dengan pakaian seksi meski usianya sudah tak lagi muda. Itulah imej yang melekat pada artis cantik itu. Satu hal lagi, Shahira dikenal sebagai artis yang santun dan ramah, yang membuatnya tetap terkenal dan tak kalah dengan artis pendatang baru.Hari ini, Aisyah dan Haidar mendengar ungkapan hatinya. Artis cantik itu ternyata menyimpan beban yang berat. Shahira tak segera menjawab pertanyaan Aisyah.“Maafkan aku, Kak. Maksudku ... aku senang jika Kak Shahira ingin berubah menjadi lebih tertutup, tetapi harus dari hati agar Kakak bisa menemukan kedamaian dan ketenangan,” jelas Aisyah hati-hati, berharap kata-katanya tak menyinggung artis cantik itu. “Mm ... jika aku boleh kasih saran tentang rumah tangga Kak Shahira, sebaiknya coba jalin hubungan lebih baik lagi dengan suaminya. Menurutku dukungan dari suami adalah yang paling berharga, seberat apapun
Shahira tak segera menjawab. Artis cantik itu menurunkan tumpangan kakinya dan menegapkan wajahnya dengan ekspresi datar. Tentu saja tindakannya membuat sorot mata Aisyah cemas.“Aisyah sama sekali tak berniat untuk melanggar kontrak kerja, Kak. Dia hanya ingin mencoba desain pakaian yang tertutup tetapi tetap anggun,” seru Haidar mencoba menengahi. “Bukankah di kontrak hanya dicantumkan Aisyah membuat desain sesuai keinginan Kak Shahira, tidak dispesifikan bagaimana jenis desainnya,” imbuhnya.“Tidak spesifik? Contohnya?” selidik Shahira dengan tatapan penuh arti pada Haidar.Haidar mengulum bibir bawah dan atasnya ke dalam sembari berpikir. Jawaban apa yang bisa diterima oleh Shahira. “Maksud saya, desain pakaiannya tidak dijelaskan harus seksi dan terbuka,” jawabnya hati-hati, tetapi terdengar tegas.Asiyah sedikit bersyukur Haidar bisa membantu mengeluarkan rasa cemasnya, tetapi kini ia merasa was-was. Khawatir, jika respon Shahira justru memberikan penolakan. Terlihat jelas saat