Tiga hari setelahnya, Luqman sudah mulai bekerja, wajahnya terlihat cerah saat motornya memasuki pekarangan rumah Bujang. Seperti biasa, dia akan bersenandung kecil, jika melihat Luqman yang sekarang, siapa yang akan menduga dia pernah hampir gila. Keke mendampingi Delio yang baru pandai berjalan, sesekali dia terjatuh, tapi Delio bangkit lagi, memang, dibanding Delia yang lincah, perkembangan Delio agak sedikit lambat. Sedangkan Delia sudah berlari-lari kecil sambil memetik bunga yang sedang mekar di pot. Keke hanya bisa mengelus dada, semua bunga yang mulai bermekaran sudah gundul karena tangan mungil itu."Hai Bujang kecil," sapa Luqman, dia memarkirkan motornya di depan gudang. Rokok menyelip di bibirnya yang gelap."Sudah sehat, Bang?" Bujang senang dengan keadaan Luqman yang sudah bugar. Seperti tak pernah terjadi apa-apa."Sudah, bukan ragaku yang sakit, pikiranku, ajaib benar kelapa si Endang, entah siapa dukunnya. Kalau ingat aku pernah merangkak mencari dia, malunya minta a
"Bang, tunggu!" seru Keke, dia berhenti sambil memegang perutnya yang besar, sambil menata nafasnya yang sesak. Pria yang berada tak jauh di depan Keke, memandang wanita itu sambil tersenyum.Sudah tiga hari berturut-turut, Bujang menemani Keke jalan pagi, seperti saran dokter, di kandungan yang mulai memasuki usia delapan bulan, Keke harus rutin jalan pagi agar persalinan berjalan mudah dan lancar. Sedangkan Delia dan Delio mereka titipkan pada neneknya."Lelah?" tanya Bujang. Keke mengangguk, sambil mengusap keringat di wajahnya."Iya, berhenti dulu. Sebentar saja.""Mau digendong?" Bujang menampakkan wajah geli. Keke mencibirkan bibirnya."Kalau digendong namanya bukan jalan pagi, tapi gendong pagi." Keke mulai melangkah lagi."Betul juga. Akan tetapi kalau kamu mau, aku bersedia menggendongmu.""Iya, terus ditertawakan orang kampung. Kita bisa jadi bahan gunjingan." Keke menarik nafas berulangkali. "Ayo!" kata Keke sambil memegang lengan Bujang. Rasanya, dengan berjalan berdua, me
"Abang mencium sesuatu?" tanya Keke, dia mengendus udara, kemudian menutup hidungnya, mereka baru saja hendak bersiap-siap untuk sarapan pagi. Hidangan sudah tersaji di meja makan, di saat si kembar tidur inilah mereka bisa menikmati waktu sarapan berdua, kalau si kembar bangun, terpaksa mereka gantian."Tidak." "Coba Abang lebih teliti lagi, bau bangkai." Keke menutup hidungnya, perutnya bergejolak. Bau bangkai yang sangat amis.Bujang bangkit. Memeriksa ruang tamu di berbagai sudut. Keke wanita yang super bersih, dia tak mungkin melewatkan kotoran saat membersihkan rumah. Apalagi membiarkan bangkai binatang tanpa membuangnya."Apa mungkin tikus mati?" tanya Bujang tak yakin, Keke berpikir sejenak."Tak ada tikus di rumah kita, Bang. Kerena kita punya kucing. Ini tak seperti bau tikus." Keke mengambil minyak telon si kembar, kemudian mengusapkan ke hidungnya beberapa kali, demi menyamarkan bau yang semakin menganggu. Ini hari minggu, Luqman libur, dan Bujang pun hanya akan bersanta
"Apa dia sudah pergi?" tanya Keke, saat mendengar suara langkah kaki Bujang menuju kamar, Keke langsung duduk di ranjang dan pura-pura tak melakukan apa-apa."Sudah, " sahut Bujang sambil mengelap tangannya yang basah."Sebenarnya kasihan melihat dia begitu, sungguh tak diduga, padahal dulu Kak Endang begitu dipuja di kampung ini, dia serba pandai, pintar memasak juga, setiap acara pesta pasti dia diundang untuk jadi kepala dapur.""Nafsu dunia bisa membuat orang berubah." Bujang menyahut."Nafsu untuk bisa memiliki Abang," sindir Keke. Bujang tersenyum lebar, memamerkan giginya yang rapi. Tatapan hangat dan tegas itu selalu membuat Keke tak berkutik. Jika dilihat dari dekat, pria penakluk hatinya itu memang sangat menawan. Ah, entah berapa ribu kali Keke melempar pujian dalam hati pada suaminya itu."Ya, mungkin," sahut Bujang tak tertarik."Keke rasa, ada cinta yang belum selesai.""Seperti judul sinetron.""Kalau dulu dia tak meninggalkan Abang, pasti Abang menikah dengannya, kan?"
"Sudah berapa bulan, Ke?" tanya seorang wanita bertubuh gemuk di samping Keke. Keke asik mengipas-ngipas wajahnya, udara begitu panas, padahal kipas angin di berbagai sudut ruangan telah bekerja maksimal."Jalan delapan bulan, Kak.""Perasaan baru kemaren kamu nikah, Ke. Waktu terasa sebentar, tak terasa nanti kamu akan punya tiga anak," sahut ibu satu lagi.Keke tersenyum, tak berniat menanggapi lebih jauh, yang jelas, dia bosan.Saat ini mereka tengah berada di kantor lurah, ada acara pertemuan ibu-ibu PKK dengan beberapa orang pejabat pemerintahan. Katanya, ada dana yang akan disalurkan oleh pemerintah. Memang, sejak punya anak, Keke jarang bergaul dengan masyarakat, di samping kerena rumah Bujang terpencil, dia juga tak sempat untuk melakukan hal lain selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak.Sebenarnya, hari ini pun, dia hanya iseng ikut ibunya yang aktif sebagai ibu-ibu PKK di desa ini. Bujang menyuruhnya ikut saja, agar Keke tidak suntuk. Bujang dan ayahnya
Ucapan Kevin terngiang-ngiang di kepalanya, tentang teman-teman mereka yang sukses sebagai pekerja kantoran, tentang beberapa orang yang melanjutkan kembali study-nya ke jenjang yang lebih tinggi. Rasanya begitu menyenangkan saat membayangkan, karena dua tahun ini dia hanya bergelut dengan pekerjaan rumah tangga.Keke meraba perut besarnya, kemudian melihat Delia dan Delio yang asyik bermain berdua, lalu melirik Bujang yang tengah mengganti bajunya dengan baju khusus saat mengecat. Sudah lama sekali, jari-jarinya tak memegang pena, buku atau laptop. Tangan itu, lebih akrab dengan sapu, kain kotor, alat-alat dapur.Kehidupannya, terlalu jauh dari impiannya selama ini. Dulu dia bercita-cita, ingin bekerja di kantor, atau mengajar SMA, memiliki murid yang bisa diajak berteman itu pasti sangat menyenangkan. Dia sangat senang melihat wanita karir yang tampak modis dengan baju dinasnya, baginya wanita zaman sekarang itu bukannya di rumah mengurus anak. Putus cinta dengan Kevin dulu dan pu
"Tolong handuk, Ke," panggil Bujang dari kamar mandi, Keke meletakkan Delio di dekat saudarinya Delia. Kebiasaan Bujang, sering lupa membawa handuk ke kamar mandi. Delio merengek kecil saat ditinggal."Sebentar, ya, Nak!" bujuk Keke. Dia mengambil handuk bersih di jemuran.Sejenak keisengan Keke muncul, dia mendorong pintu kamar mandi yang tak terkunci. Bujang masih asik mengguyur tubuhnya yang sempurna."Woooww." Keke terkikik. Sedangkan Bujang yang menyadari kehadiran Keke hanya geleng-geleng kepala."Mengintip, Ke? Tanggung, masuk saja!""Kalau sengaja masuk, nggak wow lagi." Keke menyerahkan handuk itu pada Bujang."Kamu, ada-ada saja. Siapkan baju kemejaku, ya, Ke.""Abang mau ke mana?""Ada acara di kantor camat, penyambutan mahasiswa KKN." Bujang mengusap rambutnya dengan handuk, lalu melilitkan benda itu ke pinggulnya.Keke mengekor di belakang. "Ada mahasiswa KKN yang akan datang ke desa kita?""Iya,""Wah, itu kabar yang bagus.""Kenapa bagus?""Setidaknya akan ada program
Tak hanya cantik, Liyan begitu lembut dan sangat perhatian. Gadis itu bahkan bergerak gesit merapikan barang-barang bawaannya. Sesekali dia menggoda si kembar yang asyik berjalan ke sana kemari."Anaknya cantik dan lucu, ya, Kak." kata Liyan mencubit sayang pipi Delia yang gembul, anak itu malah sibuk mengacak buku Liyan yang baru disusunnya di atas rak plastik yang dibawanya. Sedangkan Delio sudah berjalan ke arah keranjang mainannya.Keke hanya tersenyum simpul. Kebahagiaan seorang ibu itu adalah, saat anaknya dipuji sehat dan cantik."Comelnya, ya. Tapi mirip ayahnya. Delio mirip Kak Keke," sahut Nadiya."Kata orang, kalau anak perempuan mirip ayahnya, anak laki-laki mirip ibunya, artinya murah rezeki, ya,kan, Kak?" tanya Liyan lagi. Dia kembali tersenyum. Keke sengaja masuk ke kamar yang mereka tempati, supaya lebih akrab."Aamiin. Oh ya, jangan sungkan-sungkan, ya. Anggap saja rumah sendiri. Jika perlu apa-apa tinggal sampaikan saja sama kakak, atau sama Bang Bujang.""Baik, Kak,
Setelah melakukan berbagaipertimbangan, Amir kemudian menyerahkan dirinya kepada kepolisian dan mengaku semua kesalahannya. Pada hari itu juga, Alam diringkus oleh polisi dan mereka sama-sama masuk ke dalam sel tahanan.Di hari yang sama, pada hari itu juga Anne menghembuskan nafasnya terakhir di rumah sakit, setelah kecelakaan yang menyebabkannya kritis selama 2 hari. Sedangkan Hendrik masih dalam keadaan kritis. Peristiwa kecelakaan itu menjadi santapan para pencari berita, karena Anne adalah seorang yang dipandang di negri ini sebagai pebisnis muda yang sukses dan lahir dari keluarga kaya raya.Tak ada kejahatan yang tidak mendapatkan balasan. Mungkin Bujang tidak memiliki kemampuan untuk membalas karena dia kalah kekuatan dan kekuasaan. sehingga melakukan hukuman yang sangat besar kepadanya pada pagi itu televisi dipenuhi oleh berita tentang kematian wanita konglomerat yang memang namanya sudah dikenal sebagai wanita pebisnis yang sangat beruntung dalam mengelola semua bisnisnya
Keke menangis sesenggukan melihat keadaan Bujang yang sudah selesai melakukan operasi patah tulang. Anne bertingkah sebagai Dewi penyelamat, berhasil membuat semua orang percaya dengan bualannya, yang mengatakan bahwa dia adalah penyelamat Bujang, hanya Keke yang berusaha menahan geram pada wanita itu, tapi dia lebih memilih untuk bungkam saja, karena yang terpenting sekarang adalah kesembuhan Bujang terlebih dulu."Maafkan Keke, karena telah berprasangka buruk kepada Abang. Ternyata apa yang Abang lakukan adalah mencari pekerjaan. Keke minta maaf, Keke sangat berdosa sudah berprasangka yang bukan-bukan pada Abang."Keke menangis penuh sesal, dia merasa seperti istri yang sangat durhaka, dengan musibah yang telah terjadi pada suaminya itu, seharusnya dia bersabar pada suaminya sedang berjuang mencari nafkah.Bujang sudah dipindahkan ke ruangan perawatan, ada beberapa orang di sana termasuk Lukman, Ayah Keke beserta ibunya. Mereka sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada pria itu.
"Makanlah! abang-abang sudah 3 hari tidak makan, air saja takkan bisa membuat kita hidup, pikirkan istri dan anak-anak, sampai kapan Abang akan begini?" kata wanita berumur 40-an itu pada suaminya yang termangu di depan jendela. Pria yang dipanggil Abang itu adalah Amir menggeleng dengan wajah yang lesu. Dia sakit-sakitan dan tak memilki nafsu makan sama sekali, bahkan tiga hari ke belakang, dia sama sekali tak menyentuh nasi.Sejak aksi kejahatan itu, Amir sama sekali tidak bisa makan enak, hatinya diliputi rasa bersalah yang amat besar. Perasaan bersalah itu menggerogotinya siang dan malam dan membuat dia merasa ketakutan. Terbayang wajah Bujang yang sedih melihat semua harta bendanya sudah lenyap dilahap api."Aku tidak mau makan. Simpan saja!" katanya pada istrinya, matanya cekung dan pandangannya kosong. Sang istri yang kebingungan hanya bisa mengelus dada dengan tingkah suaminya itu.Sang istri, yang wajahnya begitu sedih kemudian mengusap air matanya. Suaminya terlihat begitu
Orang yang telah membuat Bujang celaka itu sudah pergi, sedangkan Bujang masih terkapar di tengah jalan dengan kondisi yang mengenaskan, pria itu terlihat sekarat. Pingsan, lalu sadar kembali, entah berapa lama dia kehilangan kesadarannya.Bujang tak meneteskan air mata, matanya menatap ke atas langit yang kelam. Di sana ... dia seolah-olah melihat ayah dan ibunya tengah melihat dirinya yang sangat malang. Bujang merasakan amat kesakitan di seluruh tubuhnya, apalagi bagian kakinya, dia yakin, tulang yang sudah patah. Siapa yang telah tega membuatnya seperti ini, dia bukanlah orang yang jahat, dia hanya pria penyendiri yang tak suka diusik dan tak pernah mengusik. Lalu, dengan kejamnya mereka melakukan ini padanya. Jika umurnya panjang, dia takkan memaafkan mereka. Bujang akan membalas dengan cara setimpal.Bujang terbayang wajah Keke dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Andaikan malam ini dia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, bagaimana nasib mereka semuanya? Siapa yang akan menafkah
Motor Honda melesat dengan kecepatan sedang, dia tidak menyadari, sejak tadi ada 4 orang dengan mobil pikap mengikutinya. 4 pria utusan Anne itu menyamar seolah-olah membawa barang di dalam mobil pick up, sehingga Bujang sama sekali tidak curiga.Di tempat lain, Keke tengah merasa sedih. Nabil terpaksa dirawat malam ini, sedangkan dua anaknya, Delia dan Delio hanya rawat jalan. Si kembar sudah dibawa oleh Ibu dan Ayah keke pulang ke rumah. Bayu sempat menemani Keke di rumah sakit, tapi anak itu besok harus bangun pagi-pagi untuk sekolah, Keke menyuruh Bayu pulang saja.Berulang kali gagal menelepon Bujang dan tidak diangkat. Kali ini tidak tersambung, sepertinya ponselnya mati atau sengaja dimatikan. Hal itu membuat Keke makin kesal.Nabil sudah tidur sejam yang lalu. Rasanya ingin marah, dia merasa Bujang sudah berbeda, Bujang yang sekarang lebih asik dengan dunianya sendiri. Dia sering termangu, bahkan sudah jarang berbicara dengan Keke."Kenapa Abang Bujang seperti ini?" kata Kek
"Terima kasih, Wak."Pria yang dipanggil Uwak itu menggangguk. Bujang pun mulai bekerja hari ini.Pria yang dipanggil Uwak itu melihat Bujang dengan tatapan sedih. Bujang adalah pria yang baik, terkenal sangat dermawan dan tidak pernah pandang bulu dalam menolong orang. Bujang bukan pria yang kesusahan, dia sudah terlahir sebagai anak tunggal yang kaya raya, cuma orang tuanya mengajarkan hidup sederhana. Pria itu malah menjadi anak buahnya sekarang, pria yang dulu yang mengajarkannya cara membuka usaha perabot, sekarang malah menjadi anak buahnya.Bersamaan dengan itu, Keke yang baru pulang mengajar dan belum merasakan istirahat merasa kebingungan. Delia Delio demam, sedangkan Nabil memang sudah demam sejak 2 hari yang lalu. "Ayo, kita bawa ke rumah sakit saja," kata ibunya yang juga khawatir dengan kondisi cucunya itu. "Kita tanya Bang Bujang dulu, Bu," jawab Keke, wanita itu kemudian mengeluarkan handphonenya dan menelepon Bujang beberapa kali, tapi Bujang sama sekali tidak menjaw
"Apa Ayah punya uang yang disimpan? Warung kita sudah lengang, barang mesti ditambah, bahkan tadi saat orang menanyakan sabun, satu pun sabun sudah tak ada," kata Ibu Keke meluapkan rasa gundahnya."Ayah tak punya uang simpanan, apa tak ada emas yang bisa dijual?"Ibu Keke menggeleng. "Dulu dia punya emas yang cukup banyak, dan itu sudah dijual untuk menguliahkan Keke. Ladang mereka pun tak lagi menghasilkan.Pak Iwan adalah suami yang sangat bijak, dia mengusap bahu istrinya dengan tujuan untuk menenangkan."Tidak apa-apa, Bu, semoga untuk kedepannya kita diberikan rezeki yang tidak kita sangka-sangka," katanya dengan begitu tenang. Ibu Keke mengangguk apa yang dikatakan oleh suaminya itu benar. Anak dan menantu mereka baru saja tertimpa musibah. Tak lagi memiliki pekerjaan dan tempat tinggal. Yang perlu mereka lakukan adalah bersabar dan mendoakan mereka.Tanpa Ayah dan Ibu Keke sadari ternyata Kiki sudah berada di balik tirai mendengarkan percakapan mereka. tak sengaja, saat Keke
"Papa masih ingat ketika aku menceritakan sebuah tanah yang sudah tawar dengan harga yang tinggi tapi pria itu tidak mau menjualnya? dan malah bersikukuh akan pertahankan tempat itu padahal posisinya sangat menghambat hotel yang akan aku bangun.""Oh, ya, Papa ingat tentang pria sombong yang kamu katakan tidak peduli dengan uang itu, kan?""Papa betul. Sebenarnya aku sudah berbaik hati mendekatinya dan memberikan beberapa penawaran yang mungkin untuk ukuran tanah itu, tidak mungkin hargai segitu, aku memberikan harga 10 miliar agar dia bisa menjual tanahnya, supaya bangunan Hotel tidak terhambat, karena posisi tanahnya yang menghalangi pandangan dan menjorok ke depan.""Lalu, bagaimana? Apakah pria itu berubah pikiran setelah ditawarkan harga yang begitu mahal?"Anne menggeleng dan tersenyum masam, rasanya membicarakan Bujang adalah pembicaraan yang sangat menyebalkan, mengingat bagaimana jengkelnya pria itu menyambutnya setiap dia datang ke sana."Apakah menurut Papa, aku jahat? Aku
Bujang pulang dengan wajah yang lesu, kemarin dia sudah mendapatkan pembeli, pembeli mengatakan akan membeli mobil itu jika kondisinya sehat. Bujang sudah berharap mobil itu terjual, tetapi ketika dia membawa mobil kesayangannya kepada pria itu, ternyata pria itu menawar dengan harga yang sangat murah, 60 juta. Bujang sangat tak rela menjual mobil semurah itu, padahal harganya bisa sampai 95 juta, mendapatkan pembeli profesional.Keke yang baru sampai di rumah penasaran dengan wajah kuyu Bujang."Ada apa, Bang? Kenapa mobilnya kembali dibawa pulang?"Bujang tidak langsung menyahut, pria itu duduk di atas bangku papan, menyandarkan kepalanya, gurat wajah yang begitu lelah dan begitu putus asa begitu kentara."Harga yang disepakati, tidak sama dengan harga jadi, dia cuma mampu membeli 60 juta padahal kemarin dia mau membeli sekitar 90, mungkin karena dia tahu kita terdesak uang, maka dia bertingkah."Keke menghela napas panjang, dia tahu dunia tidak mudah, seseorang akan mendekat ket