Keke menatap Bujang gusar, hal tersial hari ini adalah dia tidak begitu teliti saat membaca catatan di undangan pesta, dia memakai dress putih karena kebetulan saja, kebetulan karena putih adalah warna kesukaannya. Sedangkan Bujang, dia menjadi ganjil dan pusat perhatian banyak orang.Tak sedikit yang berbisik dan tertawa cekikan sambil melirik Bujang, di antara ratusan tamu, Bujang malah lebih menarik dari pada penganten yang sedang bersanding. Dia menjadi bahan olok-olok.Keke merasa sikunya ditarik seseorang, Keke minta pamit pada Bujang yang mulai merasa risih. Namun pria itu masih bisa menguasai diri."Ke, itu suami kamu?""Iya," sahut Keke. Ini entah pertanyaan ke berapa dari orang yang berbeda. Kali ini dari Beti, teman akrab Keke. "Kamu gimana, sih? Nggak teliti, kan udah dibilang tamunya pakai warna putih, suami kamu pakai batik, celana jins, aduh! Semua orang menertawakan dia."Keke rasanya ingin memaki."Udah, nggak usah ngomong lagi." Keke pergi, dia menarik lengan Bujang
"Bujang tertimpa pohon tumbang," kata Luqman pada Keke, saat ini mereka tengah berada di RSUD Siak. Bujang baru selesai ditangani di UGD, syukurnya keadaanya tak terlalu parah, dia mengalami cidera di bagian bahu. Lukanya cukup dalam dan butuh jahitan.Keke mendekat, luka Bujang selesai dijahit. Wanita cantik itu menatap lurus Bujang yang juga menatapnya."Bagaimana itu bisa terjadi," tanya Keke. Di mengamati bahu Bujang yang telah dibalut perban."Aku sedang memancing saat angin kencang terjadi, ada pohon tua yang memang sudah lapuk, aku sudah berusaha menyelamatkan diri, tapi kena juga, ada dahan yang menancap."Keke menghela nafas, dia merasa ngeri sendiri.Keke menyelipkan rambut ke telinganya. Rasanya, canggung mulai bicara setelah bertengkar."Apa kau menungguku, Ke?"Keke mengangguk."Di rumah, sangat sepi kalau malam hari.""Untung aku tidak mati.""Abang ngomong apa?" Keke merasa terganggu. Bujang menengadah ke langit-langit. Mata yang biasanya memancarkan cahaya optimis itu
Kening mereka menempel, sama-sama kesusahan menata nafas berat yang memburu. Keke bahkan masih memejamkan matanya menikmati sensasi baru yang baru didapatkannya. Pengalaman baru yang sangat manis, ini ciuman biasa, tapi Bujang mampu memporak porandakan pertahanannya. Dia menyerah.Tak ada paksaan, mereka belajar secara alami, saling membujuk dan merayu, lalu berhenti untuk menata nafas masing-masing."Aku senang kau tak menolakku, Ke." Suara berat Bujang mengalun merdu di telinga Keke. Menggetarkan hatinya. Tapi Keke tak bisa berbicara apa-apa, lidahnya kelu.Keke membuka matanya, menatap sayu pada wajah yang sudah ditumbuhi cambang itu. Keke tak sanggup berkata-kata. Rasa kopi yang manis bahkan masih berada di dalam mulutnya. "Ayo kita tidur! Kita butuh istirahat." Bujang meraih Bahu Keke, mengajak wanita itu ke atas ranjang. Keke tak punya kuasa atas dirinya, dia menurut."Mulai malam ini, kita tak boleh lagi tidur dengan saling memunggungi."Keke mengangguk. Pipinya masih merona. K
Mata Keke menatap tajam wanita yang bersikap luwes dan begitu akrab dengan semua orang, dia bahkan membawa kue yang banyak, lalu pamer pada semua orang bahwa kue itu dialah yang membuatnya. Sesekali istri Luqman memuji, Keke semakin tidak suka."Aku bawa bolu gulung isi tapai, Bujang biasanya suka, iya, kan, Jang?" tanya Endang tanpa merasa bersalah, Keke mendengus. Sedangkan Bujang bersikap kalem. Endang dari tadi tak menghiraukan Keke. Seolah-olah Keke adalah angin lalu."Sudah pulang suamimu, En?" tanya istri Luqman. Dia mendengar desas desus tak enak tentang rumahtangga Endang."Nggak akan pulang dia, dia sudah nikah lagi," jawab Endang ringan, bahkan dia tanpa canggung pergi ke dapur untuk mengambil pisau dan piring, seakan ini rumahnya. Keke baru tau, wanita itu memiliki keluarga yang tak harmonis, lalu kenapa dia sok mengajari Keke waktu itu."Turut prihatin, En, aku nggak tau," jawab istri Luqman lagi. Memang, dia tak tau kalah suami Endang telah nikah lagi. Tidak sejauh itu d
Rasa dahaga, yang semakin diminum semakin haus. Begitu juga dengan hasrat yang menggelora, Keke bahkan merasa tubuhnya lemas tak berdaya, diikuti oleh detak jantung yang seakan ingin meledak. Baru kali ini, dia mengenal rasa yang tak pernah ditemukannya dengan Kevin, rasa candu dan tak pernah cukup. Tak pernah puas.Dia menengadah menatap Bujang, menemukan gelap yang terpancar karena gelora yang sama. Pria itu, tenang tapi menghanyutkan, dia membawa Keke hanyut walaupun tak terlihat arus yang berperan. Begitu tenang, begitu berbahaya. Dia tak hanya menghanyutkan, tapi juga menenggelamkan dalam waktu yang sama."Ke," panggilnya. Keke baru tau, Bujang yang sangat jantan begitu hati-hati. Dia memperlakukan Keke bagaikan benda mahal dan penuh pemujaan. Keke memeluknya, menupang kepalanya yang terasa pening, dia seperti selesai berlari dan istirahat untuk mengatur nafas, ini bahkan hanya ciuman, tak lebih.Tiba-tiba tanpa sadar dia telah menyenggol bahu Bujang yang terluka."Isssshh," desi
Suasana kampus tampak tenang, karena para mahasiswa sedang masuk kuliah pagi. Ada beberapa orang yang tengah duduk di taman kampus, menunggu jam kedua, atau beberapa orang mahasiswa yang lagi proses penyelesaian, saling berbincang mengenai kendala yang mereka hadapi masing-masing.Keke sempat bertemu dengan beberapa kawan seangkatan yang belum berhasil menyelesaikan S1-nya. Hanya sekedar sapa salam, karena Keke dan mereka hanya kenal sekilas, sedangkan teman akrabnya telah diwisuda semua. Keke sengaja ke kampus untuk melegalisir ijazah. Seperti yang telah dia ungkapkan pada Bujang, dia ingin ikut CPNS beberapa Minggu lagi.Sudah dua jam Keke menunggu, namun namanya belum terpanggil, sementara berkas sudah dimasukkan sejak dua jam yang lalu. Memang, legalisir antri, karena sedang musim CPNS."Wow, lihat siapa di sini."Suara familiar, Keke menoleh. Kevin, dengan wajah sinisnya, wajah yang tak pernah Keke lihat selama ini. Atau bisa jadi memang inilah Kevin yang aslinya. "Mau apa kamu
Setelah turun dari mobil travel, Keke langsung berlari memasuki pekarangan rumah. Luqman sampai terheran-heran, sedangkan Bujang yang tengah berada di gudang kaget saat Keke tiba-tiba saja memeluknya. Aksi itu tak luput dari perhatian Luqman, tapi sebagai orangtua yang lebih dulu merasa indahnya penganten baru, dia hanya tersenyum maklum.Bujang membalas pelukan itu, memberikan Keke waktu untuk bercerita. Entah apa gerangan yang terjadi. Yang jelas, Bujang merasakan istrinya itu semakin manja dan tak lagi malu menunjukkan kemesraan padanya."Kita ke rumah dulu." Bujang menuntun Keke naik ke tangga rumah panggung. Dia tak ingin aksi mesra-mesraan itu jadi tontonan gratis Luqman."Ada apa? Sesuatu terjadi?" Bujang meraih dagu keke. Menatap wajah cantik yang bersemu merah itu.Keke menggeleng. Bolehkah dia mengatakan bahwa dia rindu laki-laki itu? Dia tak sabar untuk pulang ke rumah. Tapi mengungkapkan perasaan lebih dulu terdengar memalukan. Dia rindu walaupun bari berpisah hitungan jam
Pengalaman pertama, bagaikan siksaan manis yang takkan terlupakan. Sama-sama belajar, sama-sama menyesuaikan, sama-sama memberi sebanyak mungkin.Bujang bekerja lebih semangat, senyum cerah terbit di bibirnya, sehingga membuat Luqman geli sendiri. Setelah sekian lama, dia sudah melepaskan keperjakaannya pada istrinya sendiri, istri yang sangat cantik, sangat manis, yang membuat Bujang mabuk kebayang siang dan malam. Keke tak bisa dijabarkan bagaimana indahnya, dia memiliki apa yang seharusnya dimiliki oleh wanita sempurna.Setelah sholat subuh, Keke melanjutkan tidurnya, karena dia merasa kelelahan. Perasaan tak nyaman mengganggunya, karena ini adalah yang pertama juga untuknya. Buhang hanya tersenyum, mempersilahkan Keke tidur kembali setelah dia memberikan segelas susu."Senyum-senyum sendiri dari tadi," kata Luqman. Bujang menatapnya sekilas, kemudian fukos kembali ke pahat di tangannya. Senyumnya masih mengembang."Apa sudah berhasil?" Luqman menaik turunkan alisnya, sedangkan Bu