Keke memberi jarak walaupun tak rela, menunjukkan rasa nyaman di pelukan Bujang bukanlah ide yang bagus. Dia menyelipkan rambut di telinganya sambil menghapus air matanya. Dia benci dirinya yang tidak terkendali, dia benci saat dia sibuk memikirkan Bujang tapi pria itu bersikap biasa dan tanpa beban."Keke mau cuci tangan dulu," kata Keke bangkit, dia merasakan gugup, entah kenapa."Ke." Langkah Keke terhenti saat cekalan di lengannya terasa bagaikan listrik yang menggetarkan dirinya. Keke tak punya pilihan selain berbalik."Duduklah! Banyak yang harus kita bicarakan."Keke menurut, dia duduk di kursi rotan yang sudah dibuat Bujang menghadap kepadanya."Aku takkan mengikatmu, Ke. Lakukan apa yang kau suka, aku tau betul, terkurung di sini dengan kondisi terpencil dan kau jauh dari teman-temanmu, pasti itu sulit.""Maksud Abang? Keke boleh mengerjakan apa pun yang Keke suka?""Iya, kau tak harus mengikat dirimu, jika kau lelah dengan pekerjaan rumah tangga, kita bisa mencari orang untu
"Bang, ada tawaran pekerjaan, boleh, kan, Keke coba di sana?" tanya Keke sambil melipat kain. Situasi kembali cair setelah sama-sama canggung saat menemukan benda ajaib milik Keke. Celana dalam. Setiap mengingat itu, Keke sangat malu."Kerja apa?""Kasir minimarket, kerjanya cuma delapan jam. Gajinya lumayan.""Di mana?""Agak jauh, sih, Bang. Hampir dekat kota Pekanbaru."Bujang terdiam, dia mematikan rokoknya. Keke yakin, Bujang takkan mengizinkan, tapi hatinya bersikeras untuk mencoba peruntungan. Dua hari tinggal terpencil, dia benar-benar jenuh. Dia bahkan tak bisa melakukan apa-apa selain pekerjaan rumahtangga."Tidak ada yang dekat, Ke?""Belum ada, Keke juga mau ikut CPNS bulan depan. Ada pembukaan CPNS.""Kalau lulus gimana?""Ya, harus tinggal di sana. Bisa pindah kalau udah lima tahun kalau nggak salah."Bujang menghela nafas, dia turun dari kursinya, lalu duduk bersila di depan Keke. Tangannya ikut bekerja membantu melipat kain di depannya. Untung saja, Keke sudah hati-hat
"Abang marah?" Pertanyaan itu terlontar juga. Bujang memandang Keke sejenak. Menurut Bujang, Keke tak perlu bertanya, bukankah dia adalah wanita dewasa yang arif?"Buat apa aku marah?""Dari beberapa jam yang lalu, Abang menanggapi satu-satu saja setiap kali Keke bicara.""Ke, kau benar, kau punya masa depan yang panjang, punya ijazah yang kau perjuangkan selama empat tahun, terlalu egois rasanya kalau aku melarangmu. Jadi, aku tak punya pilihan selain mendukungmu. Jika kau memang ingin bekerja, atau ingin menjadi Pegawai Negri Sipil, pergilah!""Jadi, kalau nanti Keke lulus?" Keke bertanya gamang. Ini pertanyaan yang berat karena menyangkut masa depannya sendiri, dan masa depan pernikahan mereka."Aku tak bisa ikut denganmu, dan juga tak bisa memaksamu terus di sini, mungkin kita ambil jalan tengahnya saja, berjauhan untuk sementara waktu, mungkin kau bisa pulang sekali seminggu."Keke takjub dengan sifat pengertian Bujang. Di satu sisi dia merasa tak enak. Tapi di sisi lain, dia ing
Keke menatap Bujang gusar, hal tersial hari ini adalah dia tidak begitu teliti saat membaca catatan di undangan pesta, dia memakai dress putih karena kebetulan saja, kebetulan karena putih adalah warna kesukaannya. Sedangkan Bujang, dia menjadi ganjil dan pusat perhatian banyak orang.Tak sedikit yang berbisik dan tertawa cekikan sambil melirik Bujang, di antara ratusan tamu, Bujang malah lebih menarik dari pada penganten yang sedang bersanding. Dia menjadi bahan olok-olok.Keke merasa sikunya ditarik seseorang, Keke minta pamit pada Bujang yang mulai merasa risih. Namun pria itu masih bisa menguasai diri."Ke, itu suami kamu?""Iya," sahut Keke. Ini entah pertanyaan ke berapa dari orang yang berbeda. Kali ini dari Beti, teman akrab Keke. "Kamu gimana, sih? Nggak teliti, kan udah dibilang tamunya pakai warna putih, suami kamu pakai batik, celana jins, aduh! Semua orang menertawakan dia."Keke rasanya ingin memaki."Udah, nggak usah ngomong lagi." Keke pergi, dia menarik lengan Bujang
"Bujang tertimpa pohon tumbang," kata Luqman pada Keke, saat ini mereka tengah berada di RSUD Siak. Bujang baru selesai ditangani di UGD, syukurnya keadaanya tak terlalu parah, dia mengalami cidera di bagian bahu. Lukanya cukup dalam dan butuh jahitan.Keke mendekat, luka Bujang selesai dijahit. Wanita cantik itu menatap lurus Bujang yang juga menatapnya."Bagaimana itu bisa terjadi," tanya Keke. Di mengamati bahu Bujang yang telah dibalut perban."Aku sedang memancing saat angin kencang terjadi, ada pohon tua yang memang sudah lapuk, aku sudah berusaha menyelamatkan diri, tapi kena juga, ada dahan yang menancap."Keke menghela nafas, dia merasa ngeri sendiri.Keke menyelipkan rambut ke telinganya. Rasanya, canggung mulai bicara setelah bertengkar."Apa kau menungguku, Ke?"Keke mengangguk."Di rumah, sangat sepi kalau malam hari.""Untung aku tidak mati.""Abang ngomong apa?" Keke merasa terganggu. Bujang menengadah ke langit-langit. Mata yang biasanya memancarkan cahaya optimis itu
Kening mereka menempel, sama-sama kesusahan menata nafas berat yang memburu. Keke bahkan masih memejamkan matanya menikmati sensasi baru yang baru didapatkannya. Pengalaman baru yang sangat manis, ini ciuman biasa, tapi Bujang mampu memporak porandakan pertahanannya. Dia menyerah.Tak ada paksaan, mereka belajar secara alami, saling membujuk dan merayu, lalu berhenti untuk menata nafas masing-masing."Aku senang kau tak menolakku, Ke." Suara berat Bujang mengalun merdu di telinga Keke. Menggetarkan hatinya. Tapi Keke tak bisa berbicara apa-apa, lidahnya kelu.Keke membuka matanya, menatap sayu pada wajah yang sudah ditumbuhi cambang itu. Keke tak sanggup berkata-kata. Rasa kopi yang manis bahkan masih berada di dalam mulutnya. "Ayo kita tidur! Kita butuh istirahat." Bujang meraih Bahu Keke, mengajak wanita itu ke atas ranjang. Keke tak punya kuasa atas dirinya, dia menurut."Mulai malam ini, kita tak boleh lagi tidur dengan saling memunggungi."Keke mengangguk. Pipinya masih merona. K
Mata Keke menatap tajam wanita yang bersikap luwes dan begitu akrab dengan semua orang, dia bahkan membawa kue yang banyak, lalu pamer pada semua orang bahwa kue itu dialah yang membuatnya. Sesekali istri Luqman memuji, Keke semakin tidak suka."Aku bawa bolu gulung isi tapai, Bujang biasanya suka, iya, kan, Jang?" tanya Endang tanpa merasa bersalah, Keke mendengus. Sedangkan Bujang bersikap kalem. Endang dari tadi tak menghiraukan Keke. Seolah-olah Keke adalah angin lalu."Sudah pulang suamimu, En?" tanya istri Luqman. Dia mendengar desas desus tak enak tentang rumahtangga Endang."Nggak akan pulang dia, dia sudah nikah lagi," jawab Endang ringan, bahkan dia tanpa canggung pergi ke dapur untuk mengambil pisau dan piring, seakan ini rumahnya. Keke baru tau, wanita itu memiliki keluarga yang tak harmonis, lalu kenapa dia sok mengajari Keke waktu itu."Turut prihatin, En, aku nggak tau," jawab istri Luqman lagi. Memang, dia tak tau kalah suami Endang telah nikah lagi. Tidak sejauh itu d
Rasa dahaga, yang semakin diminum semakin haus. Begitu juga dengan hasrat yang menggelora, Keke bahkan merasa tubuhnya lemas tak berdaya, diikuti oleh detak jantung yang seakan ingin meledak. Baru kali ini, dia mengenal rasa yang tak pernah ditemukannya dengan Kevin, rasa candu dan tak pernah cukup. Tak pernah puas.Dia menengadah menatap Bujang, menemukan gelap yang terpancar karena gelora yang sama. Pria itu, tenang tapi menghanyutkan, dia membawa Keke hanyut walaupun tak terlihat arus yang berperan. Begitu tenang, begitu berbahaya. Dia tak hanya menghanyutkan, tapi juga menenggelamkan dalam waktu yang sama."Ke," panggilnya. Keke baru tau, Bujang yang sangat jantan begitu hati-hati. Dia memperlakukan Keke bagaikan benda mahal dan penuh pemujaan. Keke memeluknya, menupang kepalanya yang terasa pening, dia seperti selesai berlari dan istirahat untuk mengatur nafas, ini bahkan hanya ciuman, tak lebih.Tiba-tiba tanpa sadar dia telah menyenggol bahu Bujang yang terluka."Isssshh," desi
Setelah melakukan berbagaipertimbangan, Amir kemudian menyerahkan dirinya kepada kepolisian dan mengaku semua kesalahannya. Pada hari itu juga, Alam diringkus oleh polisi dan mereka sama-sama masuk ke dalam sel tahanan.Di hari yang sama, pada hari itu juga Anne menghembuskan nafasnya terakhir di rumah sakit, setelah kecelakaan yang menyebabkannya kritis selama 2 hari. Sedangkan Hendrik masih dalam keadaan kritis. Peristiwa kecelakaan itu menjadi santapan para pencari berita, karena Anne adalah seorang yang dipandang di negri ini sebagai pebisnis muda yang sukses dan lahir dari keluarga kaya raya.Tak ada kejahatan yang tidak mendapatkan balasan. Mungkin Bujang tidak memiliki kemampuan untuk membalas karena dia kalah kekuatan dan kekuasaan. sehingga melakukan hukuman yang sangat besar kepadanya pada pagi itu televisi dipenuhi oleh berita tentang kematian wanita konglomerat yang memang namanya sudah dikenal sebagai wanita pebisnis yang sangat beruntung dalam mengelola semua bisnisnya
Keke menangis sesenggukan melihat keadaan Bujang yang sudah selesai melakukan operasi patah tulang. Anne bertingkah sebagai Dewi penyelamat, berhasil membuat semua orang percaya dengan bualannya, yang mengatakan bahwa dia adalah penyelamat Bujang, hanya Keke yang berusaha menahan geram pada wanita itu, tapi dia lebih memilih untuk bungkam saja, karena yang terpenting sekarang adalah kesembuhan Bujang terlebih dulu."Maafkan Keke, karena telah berprasangka buruk kepada Abang. Ternyata apa yang Abang lakukan adalah mencari pekerjaan. Keke minta maaf, Keke sangat berdosa sudah berprasangka yang bukan-bukan pada Abang."Keke menangis penuh sesal, dia merasa seperti istri yang sangat durhaka, dengan musibah yang telah terjadi pada suaminya itu, seharusnya dia bersabar pada suaminya sedang berjuang mencari nafkah.Bujang sudah dipindahkan ke ruangan perawatan, ada beberapa orang di sana termasuk Lukman, Ayah Keke beserta ibunya. Mereka sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada pria itu.
"Makanlah! abang-abang sudah 3 hari tidak makan, air saja takkan bisa membuat kita hidup, pikirkan istri dan anak-anak, sampai kapan Abang akan begini?" kata wanita berumur 40-an itu pada suaminya yang termangu di depan jendela. Pria yang dipanggil Abang itu adalah Amir menggeleng dengan wajah yang lesu. Dia sakit-sakitan dan tak memilki nafsu makan sama sekali, bahkan tiga hari ke belakang, dia sama sekali tak menyentuh nasi.Sejak aksi kejahatan itu, Amir sama sekali tidak bisa makan enak, hatinya diliputi rasa bersalah yang amat besar. Perasaan bersalah itu menggerogotinya siang dan malam dan membuat dia merasa ketakutan. Terbayang wajah Bujang yang sedih melihat semua harta bendanya sudah lenyap dilahap api."Aku tidak mau makan. Simpan saja!" katanya pada istrinya, matanya cekung dan pandangannya kosong. Sang istri yang kebingungan hanya bisa mengelus dada dengan tingkah suaminya itu.Sang istri, yang wajahnya begitu sedih kemudian mengusap air matanya. Suaminya terlihat begitu
Orang yang telah membuat Bujang celaka itu sudah pergi, sedangkan Bujang masih terkapar di tengah jalan dengan kondisi yang mengenaskan, pria itu terlihat sekarat. Pingsan, lalu sadar kembali, entah berapa lama dia kehilangan kesadarannya.Bujang tak meneteskan air mata, matanya menatap ke atas langit yang kelam. Di sana ... dia seolah-olah melihat ayah dan ibunya tengah melihat dirinya yang sangat malang. Bujang merasakan amat kesakitan di seluruh tubuhnya, apalagi bagian kakinya, dia yakin, tulang yang sudah patah. Siapa yang telah tega membuatnya seperti ini, dia bukanlah orang yang jahat, dia hanya pria penyendiri yang tak suka diusik dan tak pernah mengusik. Lalu, dengan kejamnya mereka melakukan ini padanya. Jika umurnya panjang, dia takkan memaafkan mereka. Bujang akan membalas dengan cara setimpal.Bujang terbayang wajah Keke dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Andaikan malam ini dia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, bagaimana nasib mereka semuanya? Siapa yang akan menafkah
Motor Honda melesat dengan kecepatan sedang, dia tidak menyadari, sejak tadi ada 4 orang dengan mobil pikap mengikutinya. 4 pria utusan Anne itu menyamar seolah-olah membawa barang di dalam mobil pick up, sehingga Bujang sama sekali tidak curiga.Di tempat lain, Keke tengah merasa sedih. Nabil terpaksa dirawat malam ini, sedangkan dua anaknya, Delia dan Delio hanya rawat jalan. Si kembar sudah dibawa oleh Ibu dan Ayah keke pulang ke rumah. Bayu sempat menemani Keke di rumah sakit, tapi anak itu besok harus bangun pagi-pagi untuk sekolah, Keke menyuruh Bayu pulang saja.Berulang kali gagal menelepon Bujang dan tidak diangkat. Kali ini tidak tersambung, sepertinya ponselnya mati atau sengaja dimatikan. Hal itu membuat Keke makin kesal.Nabil sudah tidur sejam yang lalu. Rasanya ingin marah, dia merasa Bujang sudah berbeda, Bujang yang sekarang lebih asik dengan dunianya sendiri. Dia sering termangu, bahkan sudah jarang berbicara dengan Keke."Kenapa Abang Bujang seperti ini?" kata Kek
"Terima kasih, Wak."Pria yang dipanggil Uwak itu menggangguk. Bujang pun mulai bekerja hari ini.Pria yang dipanggil Uwak itu melihat Bujang dengan tatapan sedih. Bujang adalah pria yang baik, terkenal sangat dermawan dan tidak pernah pandang bulu dalam menolong orang. Bujang bukan pria yang kesusahan, dia sudah terlahir sebagai anak tunggal yang kaya raya, cuma orang tuanya mengajarkan hidup sederhana. Pria itu malah menjadi anak buahnya sekarang, pria yang dulu yang mengajarkannya cara membuka usaha perabot, sekarang malah menjadi anak buahnya.Bersamaan dengan itu, Keke yang baru pulang mengajar dan belum merasakan istirahat merasa kebingungan. Delia Delio demam, sedangkan Nabil memang sudah demam sejak 2 hari yang lalu. "Ayo, kita bawa ke rumah sakit saja," kata ibunya yang juga khawatir dengan kondisi cucunya itu. "Kita tanya Bang Bujang dulu, Bu," jawab Keke, wanita itu kemudian mengeluarkan handphonenya dan menelepon Bujang beberapa kali, tapi Bujang sama sekali tidak menjaw
"Apa Ayah punya uang yang disimpan? Warung kita sudah lengang, barang mesti ditambah, bahkan tadi saat orang menanyakan sabun, satu pun sabun sudah tak ada," kata Ibu Keke meluapkan rasa gundahnya."Ayah tak punya uang simpanan, apa tak ada emas yang bisa dijual?"Ibu Keke menggeleng. "Dulu dia punya emas yang cukup banyak, dan itu sudah dijual untuk menguliahkan Keke. Ladang mereka pun tak lagi menghasilkan.Pak Iwan adalah suami yang sangat bijak, dia mengusap bahu istrinya dengan tujuan untuk menenangkan."Tidak apa-apa, Bu, semoga untuk kedepannya kita diberikan rezeki yang tidak kita sangka-sangka," katanya dengan begitu tenang. Ibu Keke mengangguk apa yang dikatakan oleh suaminya itu benar. Anak dan menantu mereka baru saja tertimpa musibah. Tak lagi memiliki pekerjaan dan tempat tinggal. Yang perlu mereka lakukan adalah bersabar dan mendoakan mereka.Tanpa Ayah dan Ibu Keke sadari ternyata Kiki sudah berada di balik tirai mendengarkan percakapan mereka. tak sengaja, saat Keke
"Papa masih ingat ketika aku menceritakan sebuah tanah yang sudah tawar dengan harga yang tinggi tapi pria itu tidak mau menjualnya? dan malah bersikukuh akan pertahankan tempat itu padahal posisinya sangat menghambat hotel yang akan aku bangun.""Oh, ya, Papa ingat tentang pria sombong yang kamu katakan tidak peduli dengan uang itu, kan?""Papa betul. Sebenarnya aku sudah berbaik hati mendekatinya dan memberikan beberapa penawaran yang mungkin untuk ukuran tanah itu, tidak mungkin hargai segitu, aku memberikan harga 10 miliar agar dia bisa menjual tanahnya, supaya bangunan Hotel tidak terhambat, karena posisi tanahnya yang menghalangi pandangan dan menjorok ke depan.""Lalu, bagaimana? Apakah pria itu berubah pikiran setelah ditawarkan harga yang begitu mahal?"Anne menggeleng dan tersenyum masam, rasanya membicarakan Bujang adalah pembicaraan yang sangat menyebalkan, mengingat bagaimana jengkelnya pria itu menyambutnya setiap dia datang ke sana."Apakah menurut Papa, aku jahat? Aku
Bujang pulang dengan wajah yang lesu, kemarin dia sudah mendapatkan pembeli, pembeli mengatakan akan membeli mobil itu jika kondisinya sehat. Bujang sudah berharap mobil itu terjual, tetapi ketika dia membawa mobil kesayangannya kepada pria itu, ternyata pria itu menawar dengan harga yang sangat murah, 60 juta. Bujang sangat tak rela menjual mobil semurah itu, padahal harganya bisa sampai 95 juta, mendapatkan pembeli profesional.Keke yang baru sampai di rumah penasaran dengan wajah kuyu Bujang."Ada apa, Bang? Kenapa mobilnya kembali dibawa pulang?"Bujang tidak langsung menyahut, pria itu duduk di atas bangku papan, menyandarkan kepalanya, gurat wajah yang begitu lelah dan begitu putus asa begitu kentara."Harga yang disepakati, tidak sama dengan harga jadi, dia cuma mampu membeli 60 juta padahal kemarin dia mau membeli sekitar 90, mungkin karena dia tahu kita terdesak uang, maka dia bertingkah."Keke menghela napas panjang, dia tahu dunia tidak mudah, seseorang akan mendekat ket