“Berapa yang kamu butuhkan, Camelia?” Larry tahu, ketika ia melontarkan pertanyaan itu, ia akan mendapati air muka Camelia berubah karena pertanyaannya bermakna harapan bagi gadis di hadapannya. Meskipun bibirnya tidak melengkungkan senyum, tapi binar di kedua mata Camelia cukup untuk memberi tahu Larry.Camelia ragu untuk mengatakan jumlah yang dibutuhkannya. Pasalnya, itu bukanlah jumlah yang sedikit. Camelia ragu Larry akan menyanggupi.“Seratus juta,” jawab Camelia lirih. Ternyata lumayan besar, batin Larry dalam hati. Laki-laki itu bersiap akan menyanggupi, tapi ia menginginkan negosiasi.“Apa yang akan kamu berikan jika aku menyanggupi, hm?” Larry menatap Camelia serius. Meskipun sebenarnya ia tidak tega. Terlebih begitu melihat Camelia menunduk karena kebingungan harus menjawab apa.Cukup lama Larry menunggu dan Camelia ternyata hanya memberinya gelengan lemah sebagai jawaban.“Aku akan mengikuti semua permintaanmu.” Jawabn Camelia tentu saja menerbitkan seringai di wajah tampa
“Selamat pagi, Camelia.” Sapaan lembut Larry membuat Camelia menggeliat. Ternyata sudah pagi. Padahal Camelia masih ingin tidur sedikit lebih lama. Pasalnya, permainan panas yang dilakukannya bersama Larry baru usai dini hari tadi.Camelia lalu mengubah posisi tidurnya menjadi telentang, tidak lagi meringkuk seperti janin dalam kandungan. Perlahan, gadis itu membuka mata. Sosok Larry menjadi objek pertama yang ditangkap sepasang inderanya yang belum membuka sempurna. Tunggu, kenapa Larry sudah rapi? Camelia mendadak diserang panik. Ia merasa tidak enak karena bangun lebih lambat dibandingkan tuan rumah.“Pukul berapa sekarang?” Camelia tanpa sadar menyibak selimut yang menutupi tubuhnya.“Belum pukul tujuh, Camelia. Hey, apa kamu bermaksud menggodaku lagi?” sambil menjawab Camelia, Larry membelalakkan matanya ketika mendapati tubuh polos Camelia terpampang di depannya. Camelia mengikuti arah pandangan Larry lalu memekik kecil.“Maafkan aku,” pintanya sambil meraup kembali selimut di
"Aku pergi!" Larry sontak berdiri sambil melepas dengusan keras sebagai ekspresi luapan emosi. Sekretaris ayahnya berusaha menahan, tapi gagal. Sebelum Larry meninggalkan ruang pertemuan, ia bicara dengan suara cukup lantang pada sekretaris ayahnya."Katakan pada papa bahwa aku tidak mau mengurus bisnisnya di sini!"Larry keluar dengan perasaan kesal. Dilonggarkannya dasi yang melingkari lehernya. Sambil mengayun langkah lebar-lebar, Larry memeriksa ponselnya. Ia membuka riwayat panggilan dan hendak menghubungi Ben. Namun hal itu urung Larry lakukan. Ia teringat Camelia. "Camelia," panggil Larry begitu ia mendengar suara Camelia. "Kamu di mana?" Larry terlihat tidak sabar menunggu jawaban Camelia. Begitu mendengar bahwa Camelia masih berada di apartemennya, Larry berlari menuju mobilnya terparkir.*"Camelia," panggil Larry sambil membuka pintu apartemen. Ekspresi bahagianya ketika menyebut nama Camelia langsung menguap begitu mendapati sosok Ben tengah duduk di sofa miliknya. Semen
“Sialan, Ben,” maki Larry sambil menatap pintu yang telah sepenuhnya tertutup. Suasana hatinya memburuk dan itu membuatnya harus bersusah payah agar bisa kembali bersenang-senang dengan Camelia. Sementara Camelia terlihat sangat tidak nyaman. Bagaimana tidak, makian Larry membuat gairahnya hampir sepenuhnya lenyap. "Sebaiknya kita berhenti, Larry," nada ragu Camelia membuat Larry langsung menatap Camelia. Apa yang dikatakan gadis itu tadi? Berhenti? Ben memang sialan.“Aku… aku merasa… kurang nyaman,” jelas Camelia sambil menunduk. Ia tidak kuasa membalas tatapan Larry. Larry menggigit rahangnya, melampiaskan kekesalan akibat penjelasan Camelia. “Kita bisa mengulanginya lagi, dari awal,” bujuk Larry sambil membelai pipi Camelia. Bukankah sudah kepalang tanggung. Camelia sudah polos seutuhnya dan Larry yakin bisa membawa gairah Camelia kembali.“Tapi,” Camelia ingin membantah, tapi Larry sudah lebih dulu menempelkan telunjuknya ke bibir Camelia."Atau kamu sudah tidak menginginkanny
Ben memarkir mobilnya di lantai yang sama dengan unit apartemennya. Tidak biasanya Ben melakukan ini karena ia lebih suka memarkir kendaraan di lantai terbawah. Agar lebih mudah. Cuma itu alasan Ben. Tidak ada yang lain. Namun kali ini berbeda. Semua itu semata-mata karena Ben ingin segera menuntaskan hasratnya. Hasrat yang tetiba bergejolak setelah melihat tubuh polos Camelia.Semua hal Ben lakukan dengan terburu-buru. Mulai keluar mobil sampai menyalakan alarm. Menuju unit apartemen pun Ben lakukan dengan langkah setengah berlari. Ada perasaan sedikit lega ketika akhirnya Ben sampai di depan pintu unit apartemennya. Lagi-lagi, dengan tergesa, Ben membuka dan menutup pintu. Akibatnya, pintu terbanting dengan suara cukup keras ketika menutup. Napas Ben masih memburu. Seharusnya Ben perlu sedikit lebih sabar dengan melangkah ke arah dapur untuk mengambil air minum. Namun, itu semua Ben lewatkan. Ia lebih memilih langsung mendaratkan tubuhnya pada sofa empuk di ruang tamu.Pasti Ca
Camelia mengerjap tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tidak, ia tidak salah dengar tadi. Itu suara Ben. Lebih tepatnya, suara Ben yang sedang mendesahkan namanya. Camelia bersyukur karena tidak melisankan nama Ben tadi. Bisa-bisa Larry akan bertanya macam-macam.Sebuah kalimat dengan tanda tanya besar memenuhi kepala Camelia. Apa yang sedang Ben lakukan? Laki-laki itu mendesah seolah baru saja terpuaskan hasratnya.Ben pastinya sedang bermain sendiri, tebak Camelia. Camelia membayangkan Ben tengah mengocok batang miliknya hingga cairan semennya muncrat dan meluber. Membayangkan itu membuat wajah Camelia merona. Dalam gerakan bibir tanpa suara, Camelia menyebut nama Ben beberapa kali sambil menggeleng. Benak Camelia kemudian dipenuhi dengan pertanyaan lainnya, yakni kenapa Ben mendesahkan namanya? Jangan-jangan…."Ada apa?" Suara Larry yang tetiba terdengar, sukses membuat Camelia terlonjak karena terkejut."Tidak ada apa-apa." Jawab Camelia gugup. Tentu saja jawaban C
Camelia meminta berpisah dari Larry begitu mereka sampai di lobi gedung fakultas. Larry jelas keberatan. Ia justru curiga kalau Camelia sedang menyembunyikan sesuatu darinya.“Baiklah, kamu boleh ikut ke perpustakaan, tapi jangan salahkan aku jika kamu akan cepat bosan,” kata Camelia. Larry mengedikkan bahu. Baginya, ia hanya ingin berdekatan dengan Camelia. Larry merasa kesulitan jika jauh dari Camelia. Sebenarnya ia tahu bahwa ini hanyalah perasaannya saja, tapi Larry memang tidak mau berpisah dengan Camelia.Langkah kaki Camelia dan Larry terlihat beriringan meninggalkan gedung fakultas. Perpustakaan memang berada di gedung yang berbeda dengan fakultas. Letak perpustakaan yang tidak terlalu jauh membuat mereka berdua tidak butuh waktu lama untuk sampai di depan akses masuknya. “Hai, Larry,” sapa Rosaline. Camelia dan Larry langsung menoleh ke arah Rosaline yang berada di belakang mereka.“Hai, Rosaline,” sapa Camelia sambil melambaikan tangan. Rosaline menatap Camelia sekilas lalu
Camelia tercenung mendengar jawaban Larry. Larry memang terkesan diplomatis dalam menjawab, tapi Camelia yakin itu bermakna sangat besar bagi Rosaline."Aku bisa belajar untuk menyukaimu juga, Rose."Seperti itulah jawaban yang diberikan Larry pada Rosaline. Jawaban serupa angin surga yang menyejukkan jiwa. Serupa mata air yang mampu menuntaskan dahaga sejak zaman masih purba. Satu lagi, jawaban yang sarat akan janji, janji manis yang pastinya dapat ditagih bila terlupa untuk ditunaikan.Camelia mengerjap, seolah dengan itu semua yang baru saja didengarnya akan menguap. Menguap karena ternyata itu bukan kenyataan. Hanya ilusi yang menipu pendengaran.Ketika pandangan Camelia kembali pada Larry, ia melihat laki-laki itu tersenyum hangat pada Rosaline."Camelia, kamu mendengar semuanya?" Tanya Rosaline dengan wajah semringah. Camelia mengangguk karena bingung harus mengatakan apa. Rasanya, memberi selamat saat ini terlalu cepat. Kalau tidak mengatakan apapun, Camelia takut Rosaline mara
“Itu bukan keberuntungan, huh,” cibir Ben. Camelia tertawa. Ia bukannya tidak tahu bahwa Ben sedang marah, tapi tidak ada gunanya juga marah, bukan. Semua sudah terjadi dan menyesal sudah sangat terlambat.“Aku memang sengaja memilih kata beruntung untuk menghibur diriku, Ben. Meskipun apa yang kamu pikirkan benar bahwa tidak ada keberuntungan seperti yang kualami.” Respons Camelia justru semakin membuat Ben sedih. Mereka berdua kemudian memilih untuk menikmati pesanan mereka, es kopi dan roti isi. Ben sesekali melirik Camelia. Gadis itu memakan roti isinya dengan lahap. Camelia menghabiskan roti isinya sebelum Ben. Ben menduga Camelia belum makan sedari pagi.“Kamu lapar?” tanya Ben sambil menyedot es kopi miliknya. Camelia mengangguk tanpa ragu. Gadis itu kemudian tersipu malu karena terlalu cepat menghabiskan roti isi.“Kamu tidak sarapan di hotel tadi?” tanya Ben lagi. Camelia menggeleng. Sebenarnya ia kelaparan, tapi selera makannya langsung hilang setelah insiden Larry memberiny
Ben melihat Camelia berlari menuju tangga. Sambil berusaha menjaga jarak, Ben membuntuti Camelia. Ternyata gadis itu menuju ruang kelas yang akan mereka tempati pada jam kuliah berikutnya. Ben menahan langkahnya, berusaha membuat dirinya tidak ketahuan. Begitu pintu ruang kelas tertutup. Ben segera mendekat. Di depan pintu, Ben memasang telinga, berusaha mendengarkan sekecil apapun suara yang berasal dari dalam ruang kelas.Ben mendengar suara isakan Camelia. Gadis itu menangis. Ben ingin segera menghambur masuk lalu menenangkan Camelia. Ia tidak tahu, kali ini apa lagi yang menimpa Camelia. Ben tadi hanya sempat melihat Camelia keluar dari kantin sambil berlari. Sebelum membuntuti Camelia, Ben melongok ke dalam kantin. Ada Larry dan Rosaline di sana. Mungkin mereka berdua yang menyebabkan Camelia menangis.Pintu dibuka Ben dengan penuh kehati-hatian. Ia tidak ingin mengejutkan Camelia. Ben tidak mendapati sosok Camelia setelah memindai seluruh ruangan. Kursi-kursi itu sepenuhnya koso
Camelia nelangsa. Ternyata Larry memperlakukannya sebagai wanita yang bisa dibeli. Apa yang tadi laki-laki itu katakan? Membeli rasa malu? Andai Larry mengklarifikasinya lebih dulu pada Camelia, maka Camelia dengan senang hati akan menjelaskannya.Terlepas dari rasa malu yang dikeluhkan Camelia, sebenarnya Camelia menginginkan perlakuan Larry yang berbeda padanya. Camelia pernah mendengar bahwa Larry tidak pernah menyentuh gadis-gadis yang ia kencani di apartemennya. Lalu sekarang? Ternyata Camelia sama saja dengan para gadis itu, sama-sama bukan yang teristimewa.Air mata Camelia menitik, tapi bibir gadis itu menyunggingkan senyuman. Sebuah senyuman miris. Camelia menertawakan dirinya sendiri. Ternyata perasaannya yang dalam pada Larry tidak pernah terbaca oleh laki-laki itu."Kuharap itu cukup," imbuh Larry. Camelia cepat mengusap pipinya. Gadis itu mencoba menguatkan dirinya juga hatinya. Camelia mengamati Larry yang mengambil sepatunya. Larry duduk di single chair kemudian memasan
Camelia menoleh ke samping kirinya, ke arah Larry yang masih memperdengarkan dengkuran halus, pertanda laki-laki itu masih terlelap. Senyum di wajah Camelia pun terbit. Dalam hati, gadis itu tidak percaya bahwa ternyata Larry bisa kelelahan juga. Tadinya, sempat terlintas dalam benak Camelia kalau Larry mungkin saja mengonsumsi obat-obatan sebelum mereka berhubungan intim tadi, tapi dengan cepat pula dugaan itu ditepis Camelia.Tentu saja itu tidak mungkin karena Larry bukanlah tipikal laki-laki yang menyukai hal-hal instan. Menurut Larry—seperti yang diingat Camelia–mengonsumsi apa pun untuk mendapat manfaat secara instan dapat merusak tubuh. Waktu itu Camelia hanya menanggapi ucapan Larry dengan senyuman, merasa bahwa itu bukanlah hal yang besar, tapi setelah apa yang mereka lakukan tadi, Camelia jadi memuji prinsip hidup yang dipegang Larry.Larry memang kuat dan perkasa, Camelia tahu itu. Dua hal itu juga yang membuat para gadis menyukai Larry. Bahkan, tidak jarang Camelia mende
Puas.Hanya satu kata itu yang kini tengah bersarang di otak serta hati Larry. Semua ini karena apa yang baru saja Larry lakukan bersama Camelia. Larry tahu bahwa ini bukanlah kali pertama ia berhubungan intim dengan Camelia. Namun sensasi “bermain” dengan posisi Camelia di atasnya sungguh menakjubkan. Camelia yang terlihat lepas serta menikmati permainan yang dikendalikannya secara penuh, membuat Larry terhanyut dalam semangat serta gairah membara gadis itu. Kamu memang tidak pernah gagal dalam memuaskanku, Camelia. Lagi-lagi, pujian Larry hanya tertahan di dalam hati laki-laki itu.Woman on top. Larry berusaha menjejalkan salah satu gaya bercinta itu dalam folder ingatannya. Itu adalah posisi yang disukai Camelia, menurut pengakuannya. Posisi yang juga menjadi angan-angan paling liar gadis itu.Larry menyaksikan Camelia yang masih terus bergerak di atasnya. Gadis itu terlihat masih berusaha mendaki puncak kenikmatannya. Dalam posisi seperti ini, Larry hanya bisa memandangi Camelia
Setelah kembali berhasil meledakkan dirinya di gua hangat milik Camelia, Larry masih terlihat belum puas. Ia pun meminta Camelia untuk bangun dan mengubah posisi.“Camelia, aku ingin melihat sisi liarmu,” ujar Larry seraya merebahkan diri di atas ranjang yang agak berantakan. Camelia mengernyit. Ia tidak mengerti dengan maksud perkataan Larry.“Pernahkah kamu memiliki fantasi liar?” Larry mengerti kebingungan Camelia sehingga ia mencoba menggali informasi lain tentang Camelia. Larry mengamati Camelia yang duduk di sampingnya sambil melipat kedua tangannya di belakang kepala.“Pernah,” jawab Camelia yang terlihat menjeda kalimatnya. Gadis itu terlihat malu serta ragu untuk melanjutkan pengakuannya.“Semenjak kita sering berhubungan, aku kemudian terpikir tentang sesuatu yang liar. Sesuatu yang mungkin suatu hari nanti berpeluang untuk kulakukan,” imbuh Camelia dengan wajah tersipu. Larry tersenyum, antara puas dan senang setelah mendengar penuturan Camelia.“Hm, jika demikian, katakan
Masih segar dalam ingatan Camelia ketika Larry tanpa ampun menghujani payudaranya dengan gigitan.“Aw….” Pekikan Camelia kembali memecah keheningan. Entah ini sudah keberapa kalinya Camelia memekik. Payudaranya sedikit sakit, tapi di saat bersamaan, gairahnya juga merangkak naik.Camelia bisa melihat jejak kemerahan akibat isapan kuat Larry. Mungkin inilah bentuk hukuman yang Larry katakan, pikir Camelia.“Larry, sakit.” Untuk kesekian kalinya, kembali Camelia merintih. Larry mendongakkan wajah, menatap Camelia yang meringis kesakitan. Larry juga menangkap titik air di sudut mata Camelia. Camelia menangis, tapi kali ini Larry tidak peduli. Larry justru mengatakan hal yang membuat Camelia nelangsa.“Fokuslah pada sensasi nikmatnya, Camelia. Jangan fokus pada rasa sakitnya!” Tegas Larry sambil melempar tatapan dingin.Oh, sial! Lagi-lagi Larry tahu apa yang dirasakan Camelia. Camelia sedikit memajukan bibir. Mencoba menarik perhatian Larry dengan memasang wajah cemberut.“Aku tidak akan
Camelia bangun dengan enggan setelah Larry menyuruhnya dengan kode berupa gerakan dagu.“Berdirilah di dekat dinding itu, Camelia!” suara Larry benar-benar menunjukkan bahwa ia tidak bisa dibantah. Lagi-lagi Camelia menurut. Dengan langkah gontai, Camelia mendekati dinding yang ditunjuk Larry tadi.Camelia tidak tahu apa yang akan Larry lakukan selanjutnya. Camelia terus menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir cemas. Ah, sebenarnya bukan cemas, tapi rasa takut yang perlahan tumbuh setelah apa yang Larry lakukan padanya.Kepala Camelia juga pening. Pasalnya, hasrat yang telah sampai ubun-ubun, tidak tersalurkan sebagaimana mestinya karena Larry tetiba mencabut miliknya, mengakhiri permainan yang hampir mencapai puncak. Akibat rasa pening yang terus mendera, Camelia sangat ingin merebahkan diri. Kepalanya yang terasa berdenyut sejak tadi, membuat Camelia memijit pelan pelipisnya.“Aku tidak akan terpancing dengan aksi pura-pura sakitmu, Camelia.” Ujar Larry diikuti senyuman sinis. Ca
“Larry, boleh aku bertanya satu hal?” Tanya Camelia setelah Larry menurunkannya ke atas ranjang. Ketika Camelia hendak duduk, Larry melarangnya. Ia menahan Camelia agar tetap berbaring dengan cara mengungkung gadis itu di bawahnya.“Katakan.”Camelia memalingkan wajah. Ia juga terlihat menggigit bibir bawahnya. Untuk sesaat, Camelia ragu, jadi bertanya atau tidak.“Apa kamu mencintai Rosaline?” Akhirnya pertanyaan yang mengganggu Camelia itu pun berhasil terlontar. Larry tersenyum lebar. Membuat Camelia mengernyit karena bingung, tidak mengerti dengan arti senyuman Larry.“Tidak. Aku tidak mencintai Rosaline,” jawab Larry. Wajah Camelia langsung berubah mendung. Ia merasa kasihan pada Rosaline.“Kenapa kamu tidak jujur pada Rosaline? Bukankah itu seperti kamu sedang mempermainkannya, mempermainkan perasaannya?” Camelia tidak terima sahabatnya dipermainkan. Ah, Camelia meralat pikirannya, mungkin kini ia dan Rosaline sudah tidak bersahabat lagi.Larry mengatakan bahwa ia akan jujur pad