Camelia menoleh ke samping kirinya, ke arah Larry yang masih memperdengarkan dengkuran halus, pertanda laki-laki itu masih terlelap. Senyum di wajah Camelia pun terbit. Dalam hati, gadis itu tidak percaya bahwa ternyata Larry bisa kelelahan juga. Tadinya, sempat terlintas dalam benak Camelia kalau Larry mungkin saja mengonsumsi obat-obatan sebelum mereka berhubungan intim tadi, tapi dengan cepat pula dugaan itu ditepis Camelia.Tentu saja itu tidak mungkin karena Larry bukanlah tipikal laki-laki yang menyukai hal-hal instan. Menurut Larry—seperti yang diingat Camelia–mengonsumsi apa pun untuk mendapat manfaat secara instan dapat merusak tubuh. Waktu itu Camelia hanya menanggapi ucapan Larry dengan senyuman, merasa bahwa itu bukanlah hal yang besar, tapi setelah apa yang mereka lakukan tadi, Camelia jadi memuji prinsip hidup yang dipegang Larry.Larry memang kuat dan perkasa, Camelia tahu itu. Dua hal itu juga yang membuat para gadis menyukai Larry. Bahkan, tidak jarang Camelia mende
Camelia nelangsa. Ternyata Larry memperlakukannya sebagai wanita yang bisa dibeli. Apa yang tadi laki-laki itu katakan? Membeli rasa malu? Andai Larry mengklarifikasinya lebih dulu pada Camelia, maka Camelia dengan senang hati akan menjelaskannya.Terlepas dari rasa malu yang dikeluhkan Camelia, sebenarnya Camelia menginginkan perlakuan Larry yang berbeda padanya. Camelia pernah mendengar bahwa Larry tidak pernah menyentuh gadis-gadis yang ia kencani di apartemennya. Lalu sekarang? Ternyata Camelia sama saja dengan para gadis itu, sama-sama bukan yang teristimewa.Air mata Camelia menitik, tapi bibir gadis itu menyunggingkan senyuman. Sebuah senyuman miris. Camelia menertawakan dirinya sendiri. Ternyata perasaannya yang dalam pada Larry tidak pernah terbaca oleh laki-laki itu."Kuharap itu cukup," imbuh Larry. Camelia cepat mengusap pipinya. Gadis itu mencoba menguatkan dirinya juga hatinya. Camelia mengamati Larry yang mengambil sepatunya. Larry duduk di single chair kemudian memasan
Ben melihat Camelia berlari menuju tangga. Sambil berusaha menjaga jarak, Ben membuntuti Camelia. Ternyata gadis itu menuju ruang kelas yang akan mereka tempati pada jam kuliah berikutnya. Ben menahan langkahnya, berusaha membuat dirinya tidak ketahuan. Begitu pintu ruang kelas tertutup. Ben segera mendekat. Di depan pintu, Ben memasang telinga, berusaha mendengarkan sekecil apapun suara yang berasal dari dalam ruang kelas.Ben mendengar suara isakan Camelia. Gadis itu menangis. Ben ingin segera menghambur masuk lalu menenangkan Camelia. Ia tidak tahu, kali ini apa lagi yang menimpa Camelia. Ben tadi hanya sempat melihat Camelia keluar dari kantin sambil berlari. Sebelum membuntuti Camelia, Ben melongok ke dalam kantin. Ada Larry dan Rosaline di sana. Mungkin mereka berdua yang menyebabkan Camelia menangis.Pintu dibuka Ben dengan penuh kehati-hatian. Ia tidak ingin mengejutkan Camelia. Ben tidak mendapati sosok Camelia setelah memindai seluruh ruangan. Kursi-kursi itu sepenuhnya koso
“Itu bukan keberuntungan, huh,” cibir Ben. Camelia tertawa. Ia bukannya tidak tahu bahwa Ben sedang marah, tapi tidak ada gunanya juga marah, bukan. Semua sudah terjadi dan menyesal sudah sangat terlambat.“Aku memang sengaja memilih kata beruntung untuk menghibur diriku, Ben. Meskipun apa yang kamu pikirkan benar bahwa tidak ada keberuntungan seperti yang kualami.” Respons Camelia justru semakin membuat Ben sedih. Mereka berdua kemudian memilih untuk menikmati pesanan mereka, es kopi dan roti isi. Ben sesekali melirik Camelia. Gadis itu memakan roti isinya dengan lahap. Camelia menghabiskan roti isinya sebelum Ben. Ben menduga Camelia belum makan sedari pagi.“Kamu lapar?” tanya Ben sambil menyedot es kopi miliknya. Camelia mengangguk tanpa ragu. Gadis itu kemudian tersipu malu karena terlalu cepat menghabiskan roti isi.“Kamu tidak sarapan di hotel tadi?” tanya Ben lagi. Camelia menggeleng. Sebenarnya ia kelaparan, tapi selera makannya langsung hilang setelah insiden Larry memberiny
[Dicari Buddy untuk mahasiswa asing berbagai negara. Tersedia honor bagi buddy terpilih.] Camelia sontak membaca pengumuman itu dengan cermat. Tepat ketika telunjuknya sampai pada kata benefits, sontak sepasang netra indahnya berbinar. Selain sertifikat dan rekomendasi untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke luar negeri, dia akan mendapat 200 dolar atau setara 3 juta rupiah untuk lima belas hari kerja! 'Aku harus bisa terpilih menjadi buddy,' tekad gadis itu dalam hati. Honor itu bisa dipakainya untuk biaya hidup selama dua bulan di Ibu kota. Meski dengan beasiswa dan uang saku dari pemerintah, tetapi Camelia selama ini bekerja karena memberikannya pada sang ibu di kampung. “Lia, kamu mau mendaftar?” Pertanyaan Rosaline, teman satu jurusannya, langsung dijawab Camelia dengan anggukan antusias. “Kamu mendaftar juga kan, Rose?” Camelia balik bertanya. Rosaline menjawab dengan anggukan yang cepat pula. Keduanya memang punya kebiasaan sama, yakni mengikuti kegiatan ya
“Jangan berpikir yang aneh-aneh! Jangan pernah juga berpikir untuk merusaknya!” Teguran Ben tentu saja membuyarkan lamunan Larry. Ia pun protes dengan tuduhan Ben. Namun Ben bersikukuh mengingatkan Larry agar tidak mengganggu Camelia.Sahabatnya itu sangat mengenal Larry dan tidak main-main. Hanya saja sepeninggal Ben, Larry mengambil ponsel pintarnya dari saku celana. Ia segera berselancar di peramban yang khas bawaan ponsel pintarnya. Larry mengetikkan camelia rusticana dan keningnya langsung berkerut tatkala mendapati hasil yang diberikan oleh mesin pencari dari peramban. Japanese camelia atau bunga camelia dari Jepang. Tidak puas dengan informasi yang diperolehnya, Larry menambahkan nama kampus di belakang nama camelia. Voila! Foto Camelia seperti pada berkas yang dibawa Ben langsung muncul. Untuk beberapa detik lamanya, Larry memandangi wajah dalam foto yang memenuhi seluruh permukaan layar ponselnya. Hatinya kembali melafalkan nama Camelia Rusticana. Wajah serius namun p
“Kegiatan ini menjemukan,” ujar Larry ketika ia bisa bersama Ben. Ben melirik sahabatnya sekilas lalu terkekeh. “Ini baru hari pertama. Kau belum mengenal lingkungan saja.” Ben sengaja mengejek Larry. Tentu saja Larry kesal mendengar jawaban Ben. Dia pun memaki Ben sambil beranjak dari duduknya. Hanya saja, melihat sekumpulan buddy wanita, Larry punya ide.Dia akan menggoda mereka satu-satu.Siapa tahu akan ada yang menghiburnya 30 hari ke depan.Di sisi lain, sembari mengamati Larry, Ben mencari sosok Camelia di kelompok itu.Sayangnya, tidak ada. Justru seorang mahasiswa laki-laki berseragam kaos buddy melintas di depan Ben. Dia pun langsung memanggilnya dan bertanya tentang Camelia.“Camelia dan Rosaline ada kelas,” jawab mahasiswa itu kemudian pergi. Ben tidak lupa mengucapkan terima kasih bersamaan dengan kemunculan Larry di depannya. Kali ini, dia kembali dengan wajah semringah. Dan tentu saja Ben curiga melihat ekspresi Larry. “Aku akan mengadakan pesta di vila.” Larry
Tanpa terasa, mobil yang dikemudikan Ben akhirnya sampai juga ke tempat tujuan. Ben membawa mobilnya masuk ke halaman vila yang pagarnya terbuka lebar. Pria itu kembali melirik Camelia dari kaca sentral sembari membuka sabuk pengaman. Kali ini Ben mendapati ekspresi sedikit gugup karena tegang di wajah Camelia. "Santai saja. Toh mereka semua orang yang sama dengan yang kamu jumpai setiap hari di kampus." Ben mencoba menenangkan Camelia. Gadis itu lantas menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan. Ia melakukannya beberapa kali sampai ada sensasi menenangkan yang hadir dalam dirinya. Sesudahnya, Camelia tersenyum tipis lalu mengucap terima kasih pada Ben. Rosaline dan Camelia pun melangkah bersisian memasuki vila. Sementara Ben yang ada di belakang mereka, terlihat memperlambat langkah. Rosaline menoleh pada Ben. Dengan kode gerakan kepala, Rosaline dan Ben sailing berkomunikasi. Camelia mengangkat sepasang alisnya, merasa takjub dengan apa yang dilihatnya. Ben dan Rosaline
“Itu bukan keberuntungan, huh,” cibir Ben. Camelia tertawa. Ia bukannya tidak tahu bahwa Ben sedang marah, tapi tidak ada gunanya juga marah, bukan. Semua sudah terjadi dan menyesal sudah sangat terlambat.“Aku memang sengaja memilih kata beruntung untuk menghibur diriku, Ben. Meskipun apa yang kamu pikirkan benar bahwa tidak ada keberuntungan seperti yang kualami.” Respons Camelia justru semakin membuat Ben sedih. Mereka berdua kemudian memilih untuk menikmati pesanan mereka, es kopi dan roti isi. Ben sesekali melirik Camelia. Gadis itu memakan roti isinya dengan lahap. Camelia menghabiskan roti isinya sebelum Ben. Ben menduga Camelia belum makan sedari pagi.“Kamu lapar?” tanya Ben sambil menyedot es kopi miliknya. Camelia mengangguk tanpa ragu. Gadis itu kemudian tersipu malu karena terlalu cepat menghabiskan roti isi.“Kamu tidak sarapan di hotel tadi?” tanya Ben lagi. Camelia menggeleng. Sebenarnya ia kelaparan, tapi selera makannya langsung hilang setelah insiden Larry memberiny
Ben melihat Camelia berlari menuju tangga. Sambil berusaha menjaga jarak, Ben membuntuti Camelia. Ternyata gadis itu menuju ruang kelas yang akan mereka tempati pada jam kuliah berikutnya. Ben menahan langkahnya, berusaha membuat dirinya tidak ketahuan. Begitu pintu ruang kelas tertutup. Ben segera mendekat. Di depan pintu, Ben memasang telinga, berusaha mendengarkan sekecil apapun suara yang berasal dari dalam ruang kelas.Ben mendengar suara isakan Camelia. Gadis itu menangis. Ben ingin segera menghambur masuk lalu menenangkan Camelia. Ia tidak tahu, kali ini apa lagi yang menimpa Camelia. Ben tadi hanya sempat melihat Camelia keluar dari kantin sambil berlari. Sebelum membuntuti Camelia, Ben melongok ke dalam kantin. Ada Larry dan Rosaline di sana. Mungkin mereka berdua yang menyebabkan Camelia menangis.Pintu dibuka Ben dengan penuh kehati-hatian. Ia tidak ingin mengejutkan Camelia. Ben tidak mendapati sosok Camelia setelah memindai seluruh ruangan. Kursi-kursi itu sepenuhnya koso
Camelia nelangsa. Ternyata Larry memperlakukannya sebagai wanita yang bisa dibeli. Apa yang tadi laki-laki itu katakan? Membeli rasa malu? Andai Larry mengklarifikasinya lebih dulu pada Camelia, maka Camelia dengan senang hati akan menjelaskannya.Terlepas dari rasa malu yang dikeluhkan Camelia, sebenarnya Camelia menginginkan perlakuan Larry yang berbeda padanya. Camelia pernah mendengar bahwa Larry tidak pernah menyentuh gadis-gadis yang ia kencani di apartemennya. Lalu sekarang? Ternyata Camelia sama saja dengan para gadis itu, sama-sama bukan yang teristimewa.Air mata Camelia menitik, tapi bibir gadis itu menyunggingkan senyuman. Sebuah senyuman miris. Camelia menertawakan dirinya sendiri. Ternyata perasaannya yang dalam pada Larry tidak pernah terbaca oleh laki-laki itu."Kuharap itu cukup," imbuh Larry. Camelia cepat mengusap pipinya. Gadis itu mencoba menguatkan dirinya juga hatinya. Camelia mengamati Larry yang mengambil sepatunya. Larry duduk di single chair kemudian memasan
Camelia menoleh ke samping kirinya, ke arah Larry yang masih memperdengarkan dengkuran halus, pertanda laki-laki itu masih terlelap. Senyum di wajah Camelia pun terbit. Dalam hati, gadis itu tidak percaya bahwa ternyata Larry bisa kelelahan juga. Tadinya, sempat terlintas dalam benak Camelia kalau Larry mungkin saja mengonsumsi obat-obatan sebelum mereka berhubungan intim tadi, tapi dengan cepat pula dugaan itu ditepis Camelia.Tentu saja itu tidak mungkin karena Larry bukanlah tipikal laki-laki yang menyukai hal-hal instan. Menurut Larry—seperti yang diingat Camelia–mengonsumsi apa pun untuk mendapat manfaat secara instan dapat merusak tubuh. Waktu itu Camelia hanya menanggapi ucapan Larry dengan senyuman, merasa bahwa itu bukanlah hal yang besar, tapi setelah apa yang mereka lakukan tadi, Camelia jadi memuji prinsip hidup yang dipegang Larry.Larry memang kuat dan perkasa, Camelia tahu itu. Dua hal itu juga yang membuat para gadis menyukai Larry. Bahkan, tidak jarang Camelia mende
Puas.Hanya satu kata itu yang kini tengah bersarang di otak serta hati Larry. Semua ini karena apa yang baru saja Larry lakukan bersama Camelia. Larry tahu bahwa ini bukanlah kali pertama ia berhubungan intim dengan Camelia. Namun sensasi “bermain” dengan posisi Camelia di atasnya sungguh menakjubkan. Camelia yang terlihat lepas serta menikmati permainan yang dikendalikannya secara penuh, membuat Larry terhanyut dalam semangat serta gairah membara gadis itu. Kamu memang tidak pernah gagal dalam memuaskanku, Camelia. Lagi-lagi, pujian Larry hanya tertahan di dalam hati laki-laki itu.Woman on top. Larry berusaha menjejalkan salah satu gaya bercinta itu dalam folder ingatannya. Itu adalah posisi yang disukai Camelia, menurut pengakuannya. Posisi yang juga menjadi angan-angan paling liar gadis itu.Larry menyaksikan Camelia yang masih terus bergerak di atasnya. Gadis itu terlihat masih berusaha mendaki puncak kenikmatannya. Dalam posisi seperti ini, Larry hanya bisa memandangi Camelia
Setelah kembali berhasil meledakkan dirinya di gua hangat milik Camelia, Larry masih terlihat belum puas. Ia pun meminta Camelia untuk bangun dan mengubah posisi.“Camelia, aku ingin melihat sisi liarmu,” ujar Larry seraya merebahkan diri di atas ranjang yang agak berantakan. Camelia mengernyit. Ia tidak mengerti dengan maksud perkataan Larry.“Pernahkah kamu memiliki fantasi liar?” Larry mengerti kebingungan Camelia sehingga ia mencoba menggali informasi lain tentang Camelia. Larry mengamati Camelia yang duduk di sampingnya sambil melipat kedua tangannya di belakang kepala.“Pernah,” jawab Camelia yang terlihat menjeda kalimatnya. Gadis itu terlihat malu serta ragu untuk melanjutkan pengakuannya.“Semenjak kita sering berhubungan, aku kemudian terpikir tentang sesuatu yang liar. Sesuatu yang mungkin suatu hari nanti berpeluang untuk kulakukan,” imbuh Camelia dengan wajah tersipu. Larry tersenyum, antara puas dan senang setelah mendengar penuturan Camelia.“Hm, jika demikian, katakan
Masih segar dalam ingatan Camelia ketika Larry tanpa ampun menghujani payudaranya dengan gigitan.“Aw….” Pekikan Camelia kembali memecah keheningan. Entah ini sudah keberapa kalinya Camelia memekik. Payudaranya sedikit sakit, tapi di saat bersamaan, gairahnya juga merangkak naik.Camelia bisa melihat jejak kemerahan akibat isapan kuat Larry. Mungkin inilah bentuk hukuman yang Larry katakan, pikir Camelia.“Larry, sakit.” Untuk kesekian kalinya, kembali Camelia merintih. Larry mendongakkan wajah, menatap Camelia yang meringis kesakitan. Larry juga menangkap titik air di sudut mata Camelia. Camelia menangis, tapi kali ini Larry tidak peduli. Larry justru mengatakan hal yang membuat Camelia nelangsa.“Fokuslah pada sensasi nikmatnya, Camelia. Jangan fokus pada rasa sakitnya!” Tegas Larry sambil melempar tatapan dingin.Oh, sial! Lagi-lagi Larry tahu apa yang dirasakan Camelia. Camelia sedikit memajukan bibir. Mencoba menarik perhatian Larry dengan memasang wajah cemberut.“Aku tidak akan
Camelia bangun dengan enggan setelah Larry menyuruhnya dengan kode berupa gerakan dagu.“Berdirilah di dekat dinding itu, Camelia!” suara Larry benar-benar menunjukkan bahwa ia tidak bisa dibantah. Lagi-lagi Camelia menurut. Dengan langkah gontai, Camelia mendekati dinding yang ditunjuk Larry tadi.Camelia tidak tahu apa yang akan Larry lakukan selanjutnya. Camelia terus menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir cemas. Ah, sebenarnya bukan cemas, tapi rasa takut yang perlahan tumbuh setelah apa yang Larry lakukan padanya.Kepala Camelia juga pening. Pasalnya, hasrat yang telah sampai ubun-ubun, tidak tersalurkan sebagaimana mestinya karena Larry tetiba mencabut miliknya, mengakhiri permainan yang hampir mencapai puncak. Akibat rasa pening yang terus mendera, Camelia sangat ingin merebahkan diri. Kepalanya yang terasa berdenyut sejak tadi, membuat Camelia memijit pelan pelipisnya.“Aku tidak akan terpancing dengan aksi pura-pura sakitmu, Camelia.” Ujar Larry diikuti senyuman sinis. Ca
“Larry, boleh aku bertanya satu hal?” Tanya Camelia setelah Larry menurunkannya ke atas ranjang. Ketika Camelia hendak duduk, Larry melarangnya. Ia menahan Camelia agar tetap berbaring dengan cara mengungkung gadis itu di bawahnya.“Katakan.”Camelia memalingkan wajah. Ia juga terlihat menggigit bibir bawahnya. Untuk sesaat, Camelia ragu, jadi bertanya atau tidak.“Apa kamu mencintai Rosaline?” Akhirnya pertanyaan yang mengganggu Camelia itu pun berhasil terlontar. Larry tersenyum lebar. Membuat Camelia mengernyit karena bingung, tidak mengerti dengan arti senyuman Larry.“Tidak. Aku tidak mencintai Rosaline,” jawab Larry. Wajah Camelia langsung berubah mendung. Ia merasa kasihan pada Rosaline.“Kenapa kamu tidak jujur pada Rosaline? Bukankah itu seperti kamu sedang mempermainkannya, mempermainkan perasaannya?” Camelia tidak terima sahabatnya dipermainkan. Ah, Camelia meralat pikirannya, mungkin kini ia dan Rosaline sudah tidak bersahabat lagi.Larry mengatakan bahwa ia akan jujur pad