"Nanti saya jemput ya pulangnya? Kamu mau nitip apa? Biar nanti kamu bisa sambil makan di mobil."Syaila diam, hanya menatap gulungan awan melalui jendela kantornya. Telepon itu sudah tersambung 20 menit lalu. Dan yang ia lakukan hanya menjawab singkat atas rentetan pertanyaan yang diberikan oleh Batara.Langit sebentar lagi akan menggelap. Saat senja sudah menyelesaikan pekerjaannya. Tapi ia tidak tahu, lebih dulu malam yang menjemput atau hujan yang turun. Karena petir sudah beberapa kali berkilap."Enggak usah. Aku masih ada urusan. Kamu bisa langsung pulang dan istirahat," jawabnya kemudian.Syaila beranjak dari tempat ia berdiri. Duduk kembali di meja kerja. "Oh, yaudah. Kalau ada apa-apa kabari saya, ya?"Wanita itu mengangguk walaupun ia tahu Batara tidak akan melihatnya. Ia hanya ...."Iya. Aku tutup teleponnya, ya?" ucap Syaila."Tunggu."Syaila mendekatkan benda gepeng itu lagi ke dekat telinganya. "Kenapa?""Kamu baik-baik aja kan? Atau saya ada salah sama kamu?" tanya Bat
"Aku udah mau omongin ini dari lama. Saat kamu mulai dekat sama pak Batara. Mungkin kalau waktu bisa diulang, aku gak akan berpikir sejauh itu untuk bersama Maya."Syaila sudah muak. Ia senang jika pria yang pernah ia cintai itu menyesal akan perbuatannya dulu. Tapi ia tidak senang saat Batara juga menjadi topik pembicaraan Azka.wanita itu sudah berdiri untuk meninggalkan Azka. Namun pria itu menahannya agar Syaila sebentar merelakan waktunya. Seperti yang sudah dibicarakan dua hari lalu, kini Syaila dan Azka mendampingi Geino untuk mengambil rapot ke sekolah. Acaranya sudah selesai sejak 20 menit lalu. Dan pada saat Syaila mengajak Geino pulang, anak itu malah izin untuk pergi ke toilet. Kebetulan jemputan Batara belum datang, akhirnya Azka juga ikut menunggu di bangku panjang taman sekolah Geino. Alih-alih segera pulang karena urusannya sudah selesai."Itu urusan anda. Pada saat saya pergi, itu berarti tidak ada kesempatan apapun untuk anda lagi." Syaila bersuara.Paru-paru Azka m
Selama perjalanan di mobil, Batara menceritakan rencananya. Katanya dia tidak tahu harus membuat acara seperti apa. Dia bilang hanya ingin memasak untuk Syaila dan Geino, menikmati makanan dengan intim sembari berbagi cerita, itu yang ada dipikiran pria itu. Lantas Geino menyarankan untuk membuat acara barbeque saja di halaman rumah mamanya..Pria itu bersorak riang. Menyetujui saran Geino. Syaila tidak ikut andil dalam ide tersebut, wanita itu tidak berhenti melamun setelah percakapannya dengan Azka. Sampai sekarang, saat Batara sibuk memilih daging dan sosis bersama Geino.Ia hanya mengikuti dari belakang, sesekali mengiyakan pertanyaan Batara."Kamu tahu daging yang enak yang mana gak, No?" Pria itu menelaah satu persatu deretan daging yang tertata di lemari pendingin."Aku juga gak tahu. Tapi yang tipis itu lebih sering aku liat dan makan. Enak si rasanya." Geino menunjuk salah satu daging."Itu bukannya buat dimasak aja? kalau dipanggang ketitpisan." Batara menimang. "Yaudah kal
"Di bawah ada pak Azka, Bu. Beliau mau bertemu dengan ibu. Bagaimana? Katanya mau bicara hal penting."Syaila mengehela napas mendengar ucapan resepsionisnya melalui telepon. Hatinya sedang tidak dalam kodisi baik setelah kejadian malam. Lagi pula ada urusan apa Azka datang ke kantornya. Apakah pria itu akan menertawakannya?"Saya ke bawah sekarang." Putus Syaila. Pada akhirnya dirinya lah yang mengalah. Ia turun dari ruangannya. Wanita itu juga beberapa kali membalas sapaan karyawannya.Di dekat jendela, ia melihat Azka tengah berdiri. Menghadap ke luar. Ia kemudian menghampiri Azka. "Ada apa?" tanyanya setelah berdiri di belakang Azka.Azka berbalik, memamerkan senyumnya. "Maaf ganggu waktunya bentar. Kemarin aku lupa kasih hadiah buat Geino. Tadinya mau langsung ke sekolahan dia. Cuman kayaknya akhir-akhir ini dia enggak nyaman kalo ngomong sama aku. Pengaruh Batara, mungkin?"Menarik napas panjang, ia mengambil paper bag yang Azka serahkan. "Enggak usah nyalahin orang lain. Kalau
Kita hanya bisa berencana, sementara yang mewujudkannya itu kehendak Tuhan. Kutipan itu sepatutnya Batara renungkan. Kegagalan dalam cinta adalah bagian dari rencana Tuhan untuk hidup pria itu selanjutnya.Patah hati untuk pertama kalinya. Patah sampai rasanya ia kehilangan cara untuk menyatukan kepingan-kepingan yang berhamburan dalam dirinya.Di meja kerja rumahnya, pria itu tengah duduk terdiam. Merenung dalam keheningan. Bawah matanya menghitam, wajahnya lelah, tatapannya sayu dan tidak bertenaga. Ini hari ke dua ia hanya berdiam diri di ruangan gelap itu. Tidak melakukan apapun, termasuk berangkat bekerja.Sekretaris nya mungkin sekarang sedang pontang-panting mengemis kabar dari bosnya. Harus membatalkan jadwal meeting penting dan menjadwalkan ulang. Batara tidak memikirkan itu sedikitpun, jikalaupun sekretaris nya datang untuk mencacinya sekarang, ia tidak akan bereaksi marah seperti hari-hari biasanya. Sungguh, ia tidak ada tenaga sedikit pun.Tangan putihnya mengambil sesuatu
"Maya nya mana?"Ini sudah hampir dua jam Syaila dan Azka menunggu kedatangan perempuan itu. Seperti rencana awal, Syaila ingin mengenalkan teman wo nya kepada Azka dan Maya. Namun lagi-lagi Maya tidak datang tepat waktu. Bahkan tidak datang."Ini aku enggak enak sama temen aku. Kamu bisa telepon Maya lagi?" desak Syaila.Bukan tidak menghubungi, tetapi Maya tidak bisa Azka hubungi. Puluhan pesan sudah ia kirim, puluhan kali juga Azka sudah menghubungi calon istri itu. Tapi tidak ada satu pun pesan yang dibalas juga telepon yang Maya jawab."Maya enggak ada jawaban," ucap Azka cemas. Jemarinya terus mengotak-atik ponsel."Ini sudah satu jam lebih. Saya masih ada urusan, jika jadwal hari ini tidak bisa. Kalian bisa jadwalkan ulang." Salah satu tim wo teman Syaila angkat bicara.Sebuah tatapan pertanyaan Syaila tujukan untuk Azka. Meminta keputusan dari pria itu. "Bagaimana Bapak Azka?" Sekali lagi tim wo itu mendesak."Maaf, sepertinya calon istri dari pak Azka tidak bisa datang. Saya
Kaki jenjangnya melangkah cepat. Jas hitam yang tidak ia kancingkan berkibas-kibas. Wajahnya sudah tidak bersahabat sejak kedatangannya. Brak!"Sial!""Aw! Kalau jalan pake mata!" Perempuan berambut digerai marah. Tubuhnya terjengkang kebelakang."Maya, kebetulan sekali. Sebulan ini saya cari kamu enggak ketemu. Ada yang harus saya bicarakan sama kamu." Dengan wajah datar dan dingin pria itu berkata.Sudah berhasil menegakkan tubuhnya, Maya mengernyit. Ia merasa tidak ada urusan dengan pria di hadapannya ini. "Urusan apa? Saya banyak urusan." Perempuan itu sudah ingin angkat kaki mengabaikan permintaan pria yang ia anggap tidak penting itu."Mau kemana kamu? Ikut dengan saya!" "Pak Batara! Jangan kurang aja ya! Saya ada urusan lebih penting. Lepasin saya!" teriak Maya saat tubuhnya diseret paksa oleh Batara.Kedatangan Maya ke kantor Azka bukan untuk bertemu dengan Batara, melainkan ingin menemui Azka untuk memprotes konsep pernikahan yang Azka ambil tanpa persetujuannya. Lagi pul
Maya gentar. Kekhawatiran besar seorang perebut adalah direbut. Karena akal sehatnya masih berjalan, meski prilakunya mencerminkan orang yang tidak berakal. Dia tahu, seseorang yang pernah mendua lebih tinggi kemungkinan melakakukan perbuatannya lagi. Dan Syaila tahu, sekarang Maya tengah ketakutan miliknya diambil."Mungkin hari ini kamu hanya tahu saya bertemu dengan Azka. Dia bilang cuma mengobrol. Tapi kamu yakin kita tidak melakukan apapun seharian ini?" Syaila tersenyum asimetris. Ujung matanya melihat diam-diam Maya mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Mas Azka gak mungkin ngelakuin itu. Dia udah milih saya. Itu berarti mas Azka milik saya. Mba Syaila harus tahu diri, jangan mau sama calon suami orang. Mba gak mikir apa? Kita sebulan lagi akan menikah!"Ah, rasanya Syaila ingin sekali menjambak rambut perempuan di hadapannya ini lalu menabrakan kepalanya ke dinding. Harus tahu diri katanya?"Memang susah ya bicara sama orang yang enggak punya akal kaya kamu. Saya seperti orang wa
"Akhirnya sahabat jomblo gue dari lahir nikah juga hahaha."Nadira melengos sembari berdecak sebal. Ucapan itu sudah puluhan kali Syaila lontarkan bahkan ketika ia bercerita dirinya menerima lamaran Ferdi. Wanita yang kini tengah hamil tua itu tidak berhenti meledek Nadira. "Lu diem deh kalo gak mau anak lo nanti mirip gue," ujar Nadira yang langsung direspon gelak tawa Ferdi. "Jangan dong sayang, biar anak kita aja nanti yang mirip mamanya."Benar, memang hanya Ferdi yang dapat menaklukkan ke bar-bar-an mulut Nadira, hanya dengan ucapan sederhana barusan perempuan itu sudah tersipu malu. "Najis banget mukanya merah. Dahlah gue mau makan dulu. Selamat ya, gue doain Ferdi diberi kesabaran punya istri kaya lo." Syaila memeluk sahabatnya itu meski sedikit kesusahan karena perutnya yang besar. "Makasih ya, Sya. Lu jaga kesehatan juga. Jagain keponakan gue awas aja kalo kenapa-napa gue geplak pala lo." Nadira memberi peringatan. Keduanya kemudian terkekeh, Ferdi dan Batara yang menya
Suara tangis bayi cantik berpipi gembul berhasil membuat panik sang ibu. Bayi berusia lima bulan itu nampaknya kepanasan terus berada di dalam mobil selama perjalanan yang lumayan jauh. Maka, sang ibu dengan sigap mengambil botol susu di dalam kantong stok asi. Mobil berhenti bersamaan dengan tangis bayi perempuan itu yang juga mereda. Terlelap di gendongan sang ibu dengan nyaman. "Kamu mau ikut masuk?" Terlihat pria jangkung yang sedari tadi mengemudikan mobil melongok ke jok belakang, untuk menjawab pertanyaan sang istri, "Kamu duluan aja, aku cari parkir dulu. Di sini panas kasian Kanaya," tuturnya yang diangguki istrinya. Wanita itu kemudian keluar dari mobil, menatap bagunan yang mungkin lebih cocok disebut neraka dunia bagi sebagian orang. Ia menatap putri kecil di dalam gendongannya sebelum ia melangkah masuk ke dalam bangunan itu. Tatapan sendu seperti seorang ibu yang akan meninggalkan putrinya untuk waktu yang sangat lama. Lantas ia masuk tanpa ragu lagi. Seolah, putri k
Setelah siang itu Batara bercerita tentang keinginannya yang aneh-aneh, satu jam setelahnya Batara mengajak Syaila makan pecel lele di pinggir jalan. Namun sialnya sore itu hujan deras dan mereka berdua berakhir basah kuyup saat mencari makanan itu, niatnya mereka ingin menghabiskan waktu bersama. Syaila berakhir sakit dan itu yang membuat Batara sekarang sangat merasa bersalah. "Maaf ya gara-gara kamu nemenin aku cari pecel lele kamu jadi sakit kaya gini." Batara benar-benar merasa bersalah. Sampai tidak mau menatap istrinya. "Aku cuma masuk angin sayang. Minum obat juga bakal sembuh." Syaila mengusak rambut Batara. "Kamu muntah-muntah tadi. Kita ke rumah sakit aja ya sekarang? Aku takut kamu kenapa-napa." "Aku gak apa-apa," sanggah Syaila. Ia akui perutnya sekarang memang terasa dikocok. Ia juga tidak nafsu makan sama sekali. Lidahnya terasa pahit dan makanan apapun yang berusaha ia masukkan ke dalam mulutnya selalu mendapat kan penolakan. Ia berkahir muntahan-muntah. Tubuhnya t
Tiga bulan sudah berlalu Syaila dan Batara mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti kata orang-orang pernikahan tidak ada yang mulus tanpa dibumbui pertengkaran. Syaila sering mengomel seperti istri-istri pada umumnya mana kala Batara lupa menaruh handuk di atas ranjang. Atau perdebatan yang mungkin nampak sepele jika dipikirkan. Tapi beruntung nya Batara adalah orang yang sabar dan lapang mengakui kesalahanannya. Selama tiga bulan hidup dalam atap yang sama Syaila menemukan banyak kejutan dari Batara. Batara yang ternyata begitu manja melebihi anak-anak. Dia bahkan tidak malu menangis jika dirinya tidak sengaja membentak Syaila. Meski begitu, Batara adalah sosok ayah sambung yang baik untuk Geino dan menantu yang berbakti untuk mamanya. Syaila tidak henti-hentinya bersyukur telah dipertemukan dengan pria seperti Batara. "Sayang Geino katanya dikasih tugas buat hewan dari tanah liat. Besok dikumpulnya."Syaila menoleh ke sumber suara, serum wajah yang hendak ia oleskan di wajahnya
"Tumben kamu jam segini udah bisa diajak jalan? Kerjaan kamu udah selesai?""Udah, aku mau quality time sama suami aku yang ganteng ini."Satu bulan sudah berlalu. Mereka hidup bahagia sebagai sepasang suami istri. Siang disibukkan dengan pekerjaan, dan jika sudah di rumah keduanya sebisa mungkin tidak membawa atau mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Itu sudah menjadi kesepakatan mereka. Sore ini Batara mendapat kabar jika istrinya bisa pulang lebih cepat dan mengajaknya untuk jalan-jalan. Hitung-hitung mengenang masa pendekatan mereka dulu. Batara sih setiap hari memang sibuk, tapi ia lebih santai dari Syaila. Pria itu bisa dengan mudah mengatur jadwalnya berbeda dengan Syaila. Keduanya sudah sampai di sebuah mall ternama di ibu kota. Bergandengan tangan, melihat-lihat store pakaian branded, memilah restoran yang keduanya inginkan. "Mau beli baju?" tawar Batara. Syaila menggeleng. "Baju aku masih banyak yang belum dipake." Baik, Syaila memang berbeda dari kebanyakan perempuan
Waktu berjalan lebih cepat jika kita berada di antara orang-orang yang kita sayangi. Begitu pun sebaliknya. Tapi Syaila tidak pernah menyangka akan secepat ini. Entah ada kata apalagi yang bisa ia ucapkan selain bahagia. Ratusan orang yang datang ke acara resepsi pernikahan nampak ikut bahagia. Pun dengan mamanya dan Geino yang tersenyum mana kala ia dan Batara akhirnya sah menjadi sepasang suami istri.Dekorasi megah yang ternyata sudah Batara siapkan begitu memesona ditambah undangan tamu yang tidak ada henti-hentinya."Udah aku bilang jangan banyak-banyak ngundang tamu. Ini tangan aku udah mau putus rasanya," bisik Syaila di tengah sibuknya menyambut para tamu yang datang. "Aku cuma undang temen-temen kantor. Itu kolega keluarga-keluargaku. Mana bisa aku batalin." Batara meringis.Keduanya menghela napas panjang. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain terus tersenyum dan menyambut tamu dengan senyum hangat. Meski rasanya pasangan pengantin baru itu sudah ingin cepat-cepat mere
Ibu kota malam ini terasa lebih tenang. Cahaya lampu yang terpantul sinar rembulan membiaskan cahaya warna-warni memanjakan mata. Entah, sudah berapa lama Syaila tidak datang ke tempat ini. Semasa kuliah semester awal ia sering datang kemari. Hanya menyaksikan gemelapnya ibu kota atau hanya sekedar menikmati segelas kopi panas.Dulu ia manusia paling naif perihal hubungan timbal-balik antar manusia. Percaya bahwa kebaikan akan dibalas kebaikan, pun sebaliknya. Tapi Tuhan sepertinya ingin menunjukan hal lain kepadanya, bahwa jangan berharap selain pada-NYA. Tidak butuh bertemu ribuan orang untuk ia membuktikannya. Orang yang ia amat percaya akhirnya mengkhianati kepercayaannya dengan hal yang bahkan tidak pernah ia duga-duga. Pengorbanan yang selama ini ia lakukan terasa sia-sia hanya karena kekurangan yang mungkin dia harapkan ada pada Syaila.Namun beruntung sejak ia akhirnya memutuskan untuk mengambil cuti kuliah karena hamil hingga ia berpisah dengan Azka ia tidak lagi kemari, jik
Seperti halnya hujan, kita tidak bisa mencegah air yang turun itu untuk tidak membuat kita kedinginan. Kita tidak bisa bernegosiasi agar hujan jangan dulu turun sebelum payung kita siap. Begitu pula yang terjadi dengan Syaila dan Batara. Hampir pukul satu malam keduanya sibuk mengasihani dirinya sendiri. Memandang isi gedung yang seharusnya menjadi saksi bisu kisah cinta mereka bersatu. Kini, dekorasi yang sudah dirangkai sedemikian rupa harus terpaksa dilucuti sebab pasangan lain akan menggunakan gedung ini. Seharusnya pagi tadi adalah acara pernikahan keduanya, dan malam ini seharusnya mereka sudah menjadi pasangan suami istri. Tapi sekali lagi, manusia hanya bisa berencana. "Kamu udah ngantuk belum? Udah malem, kita pulang aja ya?" Tidak bisa dibohongi, jelas Batara juga merasa sedih atas gagalnya pernikahan mereka. Tapi mau dikata apa? Semuanya telah terjadi. Syaila menghela napas panjang. "Rasanya kalau aku bilang ini tidak adil, aku akan dicap sebagai manusia yang gak bersyuku
Persidangan pertama dibuka dengan hakim yang menanyakan alasan mengapa Azka tiba-tiba menggugat hak asuh anak padahal sebelumnya mereka sudah sepakat bahwa hak asuh anak diberikan kepada Syaila. Pengacara Azka menjelaskan alasannya. Seperti yang Azka sebelumnya bilang, perihal Syaila yang memiliki kekasih yang trampemental. Ia juga bilang bahwa ia memiliki buktinya. Sebab itu Azka khawatir jika anaknya yang diasuh Syaila akan mendapatkan dampaknya juga. Tidak hanya pihak Azka yang dimintai penjelasan. Syaila juga diberi kesempatan untuk menyanggah. Sama seperti Azka, Syaila menyerahkan semuanya kepada kuasa hukumnya. Kuasa hukum Syaila menceritakan semuanya. Dan perihal apa yang dikatakan Azka hanya sebuah kesalahpahaman. Juga Syaila yang sudah tidak menjalin hubungan lagi dengan Batara. Sidang berjalan lancar. Azka nampak tidak memiliki argumen lagi setelah kuasa hukum Syaila membeberkan semuanya. Dan tanpa sepengetahuan semua orang yang ada dipersidangan, pria yang memakai topi