"Wah cantiknya .... "Dipuji seperti itu membuat pipi Syaila kemerahan. Dress selutut berwarna peach yang membalut tubuh sempainya diterpa angin juga rambutnya yang digerai. Wanita itu tersenyum tipis."Bisa aja, yaudah ayo. Nanti siang saya mau urus sekolahan baru Geino," kata Syaila."Geino mau pindah sekolah?" Batara bertanya, cukup terkejut. Setahunya Geino bahkan belum genap satu tahun bersekolah di sekolahannya yang sekarang."Iya, saya gak mau anak saya celaka lagi di sana."Batara hanya mengangguk, kemudian ia membukakan pintu mobil untuk Geino—yang duduk di belakang, dan Syaila yang duduk di sampingnya.Setelah semuanya naik ke dalam mobil, Batara segera melajukan mobilnya. Ia sangat semangat sampai sedari kemarin senyumnya tidak luntur hanya karena membayangkan betapa senangnya ia akan jalan-jalan bersama Syaila."Kamu enggak keberatan kan temenin saya sekarang?" Buka Batara. Laki-laki itu akan lebih banyak bicara bila sedang bersama Syaila."Enggak apa-apa lah. Saya kan jug
Karena Syaila berpesan sebelumnya akan pergi ke sekolahan Geino baru, Batara tanpa pikir panjang langsung ke tempat di mana biasanya ia membeli play station sewaktu ia masih remaja dulu.Tempat yang menjadi langganannya, penjualnya bahkan sudah berganti generasi. "Selamat datang, dan selamat berbelanja di toko kami. Apa yang bisa saya bantu?" sapa anak dari pemilik toko ini. Ya, Batara hafal betul sebab perempuan berseragam ini seumuran dengannya. Dulu sekali Batara sering melihat dia ikut menjaga toko dan sekarang dia menggantikan usaha orang tuanya."PS keluaran baru masih stok?" tanya Batara."Masih, seperti biasa di sebelah kiri," kata perempuan itu tersenyum ramah."Oke saya lihat-lihat dulu, ya?"Batara mengajak Syaila juga Geino untuk melihat-lihat. Sebenarnya Geino hanya Batara jadikan alasannya untuk pergi jalan-jalan bersama Syaila. Tentu saja Batara sangat tahu betul tentang PS. "Kira-kira om ambil yang mana, ya?" tanya Batara pada Geino yang sibuk dengan dunianya sendiri
Pria itu bernama Heri Winata, orang kepercayaan keluarganya. Dia adalah salah satu saksi perkembangan perusahaan yang dikelola ayahnya. Dulu pak Heri merupakan sahabat ayahnya, sebab itu ayah Syaila mempercayakan Heri sebagai penasihat sekaligus orang yang dia percaya.Yang Syaila heran, untuk apa pria berjas yang sudah ia anggap sebagai orang tua keduanya itu datang menemuinya. Ia tidak perlu bertanya kenapa beliau bisa menemuinya di tempat terpencil ini. Heri jelas bukan orang biasanya, hanya untuk menemukan keberadaan Syaila itu urusan yang kecil baginya. Tapi bukan kah Syaila sekarang bukan lagi bagian dari keluarga nya sendiri? Itu berarti antara ia dan Heri juga tidak ada urusan apa-apa lagi, seharusnya. Karena Heri memiliki ikatan kuat dengan keluarga Syaila."Bapak udah dua bulan ini nyari kamu. Sampai akhirnya anak buah bapak ada yang melihat kamu sedang ada di sebuah kedai." Pria yang sering menyebut dirinya bapak itu buka suara.Sebuah kedai dekat halte yang akhirnya menjad
Mungkin Syaila belum mengerti alasan mengapa dulu ayahnya sangat amat menentang perceraiannya dengan Azka. Namun setelah menilik lebih jauh, setelah semalaman ia berpikir tentang permohonan pak Heri kemarin ia baru bisa paham. Sepertinya ayahnya takut jika perusahaan yang menjadi kebanggaan nya itu diambil alih oleh keluarga Azka. Karena keluarga Azka menjadi penanam saham paling besar.Tapi meski begitu, jujur Syaila masih belum menerima. Yang membuatnya menyetujui permintaan pak Heri, ia hanya ingin melihat Azka menderita seperti yang Syaila rasakan selama ini. Atau ia membawa sebuah misi untuk kembali ke kota."Kenapa tiba-tiba mau pindah, Ma? Om Batara bilang mau ke sini nanti. Pulang dia kerja. Apa kita nungguin dia dulu?" tanya Geino. Syaila tidak tahu sudah sedekat apa antara anaknya dan Batara. Namun yang Syaila ketahui, mereka sekarang sudah seperti sepasang ayah dan anak yang serasi."Gak usah, Nak. Kita buru-buru. Nenek sama kakek sekarang lagi sakit. Di bawah sudah ada ora
"Pak stop sebentar," kata Syaila tepat di depan kedai pak Sujadi.Mobil berhenti, kemudian wanita itu turun untuk menemui Sujadi yang nampak sedang membersihkan kedai."Kan kedai buka nanti sore, Nak," kata pria itu sesaat setelah Syaila berdiri di hadapannya. Syaila tersenyum. "Enggak, Pak. Saya ke sini mau pamit. Saya mau pulang lagi ke kota," paparnya.Kening sempit Sujadi mengerut. Antara bingung dan terkejut. "Pindah?" Syaila mengangguk. "Kenapa?""Ada urusan yang sangat mendesak, Pak. Terima kasih sudah pernah kasih kepercayaan untuk saya kerja di sini. Bapak banyak bantu saya selama di sini. Semoga kebaikan bapak Tuhan balas dengan kebaikan yang tidak terduga," ucap Syaila.Sujadi menepuk-nepuk pundak Syaila pelan. Tersenyum hangat sampai matanya menghilang. "Bapak enggak tahu seperapa berat beban kamu saat kamu menawarkan diri untuk berkerja di sini. Kamu perempuan tangguh, bapak yakin itu. Tetap jadi orang kuat, ya? Sehat-sehat.""Bapak juga sehat-sehat. Salamin juga sama Ni
Syaila tidak pernah membayangkan jika ia akan kembali ke kota yang pernah mengecamnya habis-habisan atas konflik yang terjadi antara dirinya dan Azka. Ia bahkan datang untuk menjadi penerus perusahaan keluarganya lagi. Matahari siang itu bekerja lebih panas. Tapi itu biasa di Jakarta, namun karena Syaila beberapa bulan kebelang tinggal di sebuah kota kecil yang cuacanya tidak terlalu ekstrim, Syaila harus kembali beradaptasi."Ayah kamu masih di rumah sakit, kalau mama kamu katanya hari ini bisa pulang. Seminggu lalu Yunita habis operasi usus buntu. Karena ada permasalahan sama pencernaannya." Pria tua yang sedari tadi menjadi pemandu perjalanan hari ini, menjelaskan. Tangannya ia gendong di belakang.Sepi, rumah bernuansa klasik itu benar-benar tidak ada orang satu pun. Atau pelayan yang seharusnya ada untuk menyambut. Tidak, Syaila bukan sedang berada di rumah orang tuanya. Namun ia dibawa ke rumah Heri.Sementara anak yang sebentar lagi akan menginjak 12 tahun itu nampak tidak ped
Semalam Syaila tidur dengan sangat nyenyak. Tidak ada kassur lapuk yang terasa menyakitkan pungungung, tidak ada suara orang yang tengah memukul-mukul kayu di pagi-pagi buta sekali, tidak ada keresahan bila mana Syaila akan kehabisan air karena keterbatasan air bersih. Ia bangun dengan sedikit menggeliatkan pinggangnya yang sedikit pegal, tersenyum simpul kala sebuah teh hangat sudah tersaji di nakas sisi tempat tidur. Ia sudah seperti bangun dari mimpi buruk yang sangat lama.Namun meski begitu, Syaila tidak boleh hanya bersantai seharian. Hari ini ia harus menemui kedua orang tuanya di rumah sakit dan membicarakan perusahaan yang akan beralih lagi padanya.Ia juga harus menyiapkan diri untuk berbagai kemungkinan yang bisa jadi akan menurunkan rasa percaya dirinya. Sebab media pasti akan banyak tanya dan tudingan-tudingan yang pernah ia dapatkan akan kembali diungkit."Bangun, kamu hari ini mau ketemu ayah kamu kan?" Pria tua yang Syaila rasa lebih emosian itu membuka pintu kamar Sy
"Bapak tahu Syaila kemana?" Sujadi yang hendak membuka tirai kedainya karena sebentar lagi akan buka sedikit terhenyak. Mungkin jika pria itu tidak berpegangan pada ujung atas kursi, Sujadi sudah terjatuh saking terkejutnya."Astaga anak ini! Untung jantung bapak masih sehat," guru Sujadi memegangi dadanya yang berdetak lebih cepat."Maaf, Pak. Tapi ini sangat penting. Syaila tadi mampir ke sini?"Sujadi tidak langsung menjawab, ia menggiring anak muda yang sudah lama ia kenal itu untuk duduk. "Iya, Syaila tadi ke sini. Memangnya kenapa? Dia enggak pamit sama kamu?"Batara mematung, ia menatap ujung kuku nya beberapa saat. Kepalanya sibuk berpikir, mengapa Syaila tidak pamit padanya jika memang perempuan itu akan pergi? Bukankah perlakuannya selama ini sudah cukup jelas? Lalu apakah ini jawaban atas ucapan yang pernah ia katakan pada Syaila? Dia memilih pergi, bahkan sebelum Batara memulai? "Bapak tahu Syaila pergi kemana? Dia bakal balik lagi ke sini?" tanya Batara setelahnya."Bapa
"Akhirnya sahabat jomblo gue dari lahir nikah juga hahaha."Nadira melengos sembari berdecak sebal. Ucapan itu sudah puluhan kali Syaila lontarkan bahkan ketika ia bercerita dirinya menerima lamaran Ferdi. Wanita yang kini tengah hamil tua itu tidak berhenti meledek Nadira. "Lu diem deh kalo gak mau anak lo nanti mirip gue," ujar Nadira yang langsung direspon gelak tawa Ferdi. "Jangan dong sayang, biar anak kita aja nanti yang mirip mamanya."Benar, memang hanya Ferdi yang dapat menaklukkan ke bar-bar-an mulut Nadira, hanya dengan ucapan sederhana barusan perempuan itu sudah tersipu malu. "Najis banget mukanya merah. Dahlah gue mau makan dulu. Selamat ya, gue doain Ferdi diberi kesabaran punya istri kaya lo." Syaila memeluk sahabatnya itu meski sedikit kesusahan karena perutnya yang besar. "Makasih ya, Sya. Lu jaga kesehatan juga. Jagain keponakan gue awas aja kalo kenapa-napa gue geplak pala lo." Nadira memberi peringatan. Keduanya kemudian terkekeh, Ferdi dan Batara yang menya
Suara tangis bayi cantik berpipi gembul berhasil membuat panik sang ibu. Bayi berusia lima bulan itu nampaknya kepanasan terus berada di dalam mobil selama perjalanan yang lumayan jauh. Maka, sang ibu dengan sigap mengambil botol susu di dalam kantong stok asi. Mobil berhenti bersamaan dengan tangis bayi perempuan itu yang juga mereda. Terlelap di gendongan sang ibu dengan nyaman. "Kamu mau ikut masuk?" Terlihat pria jangkung yang sedari tadi mengemudikan mobil melongok ke jok belakang, untuk menjawab pertanyaan sang istri, "Kamu duluan aja, aku cari parkir dulu. Di sini panas kasian Kanaya," tuturnya yang diangguki istrinya. Wanita itu kemudian keluar dari mobil, menatap bagunan yang mungkin lebih cocok disebut neraka dunia bagi sebagian orang. Ia menatap putri kecil di dalam gendongannya sebelum ia melangkah masuk ke dalam bangunan itu. Tatapan sendu seperti seorang ibu yang akan meninggalkan putrinya untuk waktu yang sangat lama. Lantas ia masuk tanpa ragu lagi. Seolah, putri k
Setelah siang itu Batara bercerita tentang keinginannya yang aneh-aneh, satu jam setelahnya Batara mengajak Syaila makan pecel lele di pinggir jalan. Namun sialnya sore itu hujan deras dan mereka berdua berakhir basah kuyup saat mencari makanan itu, niatnya mereka ingin menghabiskan waktu bersama. Syaila berakhir sakit dan itu yang membuat Batara sekarang sangat merasa bersalah. "Maaf ya gara-gara kamu nemenin aku cari pecel lele kamu jadi sakit kaya gini." Batara benar-benar merasa bersalah. Sampai tidak mau menatap istrinya. "Aku cuma masuk angin sayang. Minum obat juga bakal sembuh." Syaila mengusak rambut Batara. "Kamu muntah-muntah tadi. Kita ke rumah sakit aja ya sekarang? Aku takut kamu kenapa-napa." "Aku gak apa-apa," sanggah Syaila. Ia akui perutnya sekarang memang terasa dikocok. Ia juga tidak nafsu makan sama sekali. Lidahnya terasa pahit dan makanan apapun yang berusaha ia masukkan ke dalam mulutnya selalu mendapat kan penolakan. Ia berkahir muntahan-muntah. Tubuhnya t
Tiga bulan sudah berlalu Syaila dan Batara mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti kata orang-orang pernikahan tidak ada yang mulus tanpa dibumbui pertengkaran. Syaila sering mengomel seperti istri-istri pada umumnya mana kala Batara lupa menaruh handuk di atas ranjang. Atau perdebatan yang mungkin nampak sepele jika dipikirkan. Tapi beruntung nya Batara adalah orang yang sabar dan lapang mengakui kesalahanannya. Selama tiga bulan hidup dalam atap yang sama Syaila menemukan banyak kejutan dari Batara. Batara yang ternyata begitu manja melebihi anak-anak. Dia bahkan tidak malu menangis jika dirinya tidak sengaja membentak Syaila. Meski begitu, Batara adalah sosok ayah sambung yang baik untuk Geino dan menantu yang berbakti untuk mamanya. Syaila tidak henti-hentinya bersyukur telah dipertemukan dengan pria seperti Batara. "Sayang Geino katanya dikasih tugas buat hewan dari tanah liat. Besok dikumpulnya."Syaila menoleh ke sumber suara, serum wajah yang hendak ia oleskan di wajahnya
"Tumben kamu jam segini udah bisa diajak jalan? Kerjaan kamu udah selesai?""Udah, aku mau quality time sama suami aku yang ganteng ini."Satu bulan sudah berlalu. Mereka hidup bahagia sebagai sepasang suami istri. Siang disibukkan dengan pekerjaan, dan jika sudah di rumah keduanya sebisa mungkin tidak membawa atau mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Itu sudah menjadi kesepakatan mereka. Sore ini Batara mendapat kabar jika istrinya bisa pulang lebih cepat dan mengajaknya untuk jalan-jalan. Hitung-hitung mengenang masa pendekatan mereka dulu. Batara sih setiap hari memang sibuk, tapi ia lebih santai dari Syaila. Pria itu bisa dengan mudah mengatur jadwalnya berbeda dengan Syaila. Keduanya sudah sampai di sebuah mall ternama di ibu kota. Bergandengan tangan, melihat-lihat store pakaian branded, memilah restoran yang keduanya inginkan. "Mau beli baju?" tawar Batara. Syaila menggeleng. "Baju aku masih banyak yang belum dipake." Baik, Syaila memang berbeda dari kebanyakan perempuan
Waktu berjalan lebih cepat jika kita berada di antara orang-orang yang kita sayangi. Begitu pun sebaliknya. Tapi Syaila tidak pernah menyangka akan secepat ini. Entah ada kata apalagi yang bisa ia ucapkan selain bahagia. Ratusan orang yang datang ke acara resepsi pernikahan nampak ikut bahagia. Pun dengan mamanya dan Geino yang tersenyum mana kala ia dan Batara akhirnya sah menjadi sepasang suami istri.Dekorasi megah yang ternyata sudah Batara siapkan begitu memesona ditambah undangan tamu yang tidak ada henti-hentinya."Udah aku bilang jangan banyak-banyak ngundang tamu. Ini tangan aku udah mau putus rasanya," bisik Syaila di tengah sibuknya menyambut para tamu yang datang. "Aku cuma undang temen-temen kantor. Itu kolega keluarga-keluargaku. Mana bisa aku batalin." Batara meringis.Keduanya menghela napas panjang. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain terus tersenyum dan menyambut tamu dengan senyum hangat. Meski rasanya pasangan pengantin baru itu sudah ingin cepat-cepat mere
Ibu kota malam ini terasa lebih tenang. Cahaya lampu yang terpantul sinar rembulan membiaskan cahaya warna-warni memanjakan mata. Entah, sudah berapa lama Syaila tidak datang ke tempat ini. Semasa kuliah semester awal ia sering datang kemari. Hanya menyaksikan gemelapnya ibu kota atau hanya sekedar menikmati segelas kopi panas.Dulu ia manusia paling naif perihal hubungan timbal-balik antar manusia. Percaya bahwa kebaikan akan dibalas kebaikan, pun sebaliknya. Tapi Tuhan sepertinya ingin menunjukan hal lain kepadanya, bahwa jangan berharap selain pada-NYA. Tidak butuh bertemu ribuan orang untuk ia membuktikannya. Orang yang ia amat percaya akhirnya mengkhianati kepercayaannya dengan hal yang bahkan tidak pernah ia duga-duga. Pengorbanan yang selama ini ia lakukan terasa sia-sia hanya karena kekurangan yang mungkin dia harapkan ada pada Syaila.Namun beruntung sejak ia akhirnya memutuskan untuk mengambil cuti kuliah karena hamil hingga ia berpisah dengan Azka ia tidak lagi kemari, jik
Seperti halnya hujan, kita tidak bisa mencegah air yang turun itu untuk tidak membuat kita kedinginan. Kita tidak bisa bernegosiasi agar hujan jangan dulu turun sebelum payung kita siap. Begitu pula yang terjadi dengan Syaila dan Batara. Hampir pukul satu malam keduanya sibuk mengasihani dirinya sendiri. Memandang isi gedung yang seharusnya menjadi saksi bisu kisah cinta mereka bersatu. Kini, dekorasi yang sudah dirangkai sedemikian rupa harus terpaksa dilucuti sebab pasangan lain akan menggunakan gedung ini. Seharusnya pagi tadi adalah acara pernikahan keduanya, dan malam ini seharusnya mereka sudah menjadi pasangan suami istri. Tapi sekali lagi, manusia hanya bisa berencana. "Kamu udah ngantuk belum? Udah malem, kita pulang aja ya?" Tidak bisa dibohongi, jelas Batara juga merasa sedih atas gagalnya pernikahan mereka. Tapi mau dikata apa? Semuanya telah terjadi. Syaila menghela napas panjang. "Rasanya kalau aku bilang ini tidak adil, aku akan dicap sebagai manusia yang gak bersyuku
Persidangan pertama dibuka dengan hakim yang menanyakan alasan mengapa Azka tiba-tiba menggugat hak asuh anak padahal sebelumnya mereka sudah sepakat bahwa hak asuh anak diberikan kepada Syaila. Pengacara Azka menjelaskan alasannya. Seperti yang Azka sebelumnya bilang, perihal Syaila yang memiliki kekasih yang trampemental. Ia juga bilang bahwa ia memiliki buktinya. Sebab itu Azka khawatir jika anaknya yang diasuh Syaila akan mendapatkan dampaknya juga. Tidak hanya pihak Azka yang dimintai penjelasan. Syaila juga diberi kesempatan untuk menyanggah. Sama seperti Azka, Syaila menyerahkan semuanya kepada kuasa hukumnya. Kuasa hukum Syaila menceritakan semuanya. Dan perihal apa yang dikatakan Azka hanya sebuah kesalahpahaman. Juga Syaila yang sudah tidak menjalin hubungan lagi dengan Batara. Sidang berjalan lancar. Azka nampak tidak memiliki argumen lagi setelah kuasa hukum Syaila membeberkan semuanya. Dan tanpa sepengetahuan semua orang yang ada dipersidangan, pria yang memakai topi