Bab 20

"Tuan Stuart?"

Stuart menerima dokumen itu dan butuh waktu lama sebelum dia berani membukanya. Di dalamnya, ada sebuah akta cerai.

Selama beberapa hari ini, Stuart bahkan tidak berani mengingat kembali dokumen apa yang diminta Kate untuk dia tanda tangani pada pagi hari kepergiannya.

Namun, kini kenyataan yang selama ini dia hindari justru terpampang jelas di depan matanya dan menghancurkannya begitu saja.

Winter melihat akta cerai itu, lalu tertawa terbahak-bahak. "Stuart! Dia nggak mau kamu lagi! Kamu pantas dapat semua ini! Aku ingin melihat kehancuranmu!"

Stuart tak menggubris kata-katanya. Dia hanya terus menatap akta cerai itu dengan tatapan kosong. Melihat tak ada gunanya lagi di sana, Winter pun berbalik pergi.

Wajah yang dulu mempertemukan dirinya dengan Stuart, sekarang membuat orang mengkritiknya.

"Itu Winter, 'kan? Kayaknya baru diusir tuh. Jadi pelakor memang nggak bakal berakhir baik."

"Dengar-dengar anaknya juga nggak selamat. Memang karma."

"Kasihan anaknya sih, punya ibu kayak gitu."

Kalimat terakhir membuat langkah Winter terhenti. Sakitnya sampai menusuk. Tangannya tak sadar bergerak menyentuh perutnya.

Bayinya tak berdosa. Namun, karena berada di dalam rahimnya, malah jadi tidak punya kesempatan untuk hidup.

Winter mengeluarkan ponselnya, membuka ruang obrolan dengan Kate. Padahal semua riwayat pesan sudah dihapus, tetapi dia seakan-akan bisa melihat kembali semua yang pernah dia kirim.

Setahun terakhir ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dalam mimpi itu, dirinya begitu jahat, kejam, dan menyebalkan.

Dia mengetik satu kata.

[ Maaf. ]

Di sisi lain, tak ada balasan. Sekalipun sudah menyadari kesalahannya, dia tahu tak ada kesempatan lagi untuk kembali. Winter jatuh berlutut di tanah dan menangis keras tanpa bisa dikendalikan.

Di kamar bayi, Stuart ingin merobek akta cerai itu, tetapi akhirnya tidak sanggup. Namanya dan Kate tercetak bersebelahan, itulah jarak terdekat mereka sekarang.

Setiap hari, Stuart terus mengunggah status di media sosial. Permintaan maaf yang sama diulangi tanpa henti. Mengakui semua kesalahan di depan semua orang, lalu kembali menyusuri kolom komentar, mencari jejak-jejak kecil yang mungkin berasal dari Kate.

Hidupnya benar-benar hancur. Penyesalannya pun nyata sampai siapa pun bisa melihat itu.

Dia hampir tak pernah keluar dari kamar bayi. Kalaupun pergi, itu hanya untuk mengejar petunjuk-petunjuk dari netizen soal keberadaan Kate. Namun, dia selalu kembali dengan tangan kosong.

Melihat anak satu-satunya menjadi seperti ini, ibu Stuart tentu tidak tahan.

"Stuart! Lihat dirimu sekarang! Memangnya ada manusia kayak gini? Tanpa Kate, apa kamu nggak bisa hidup?"

"Ya, nggak bisa." Suara Stuart serak. "Di kepalaku cuma ada dia. Aku nggak bisa tanpa dia."

Mata ibu Stuart memerah. "Kalau kamu memang mau cari dia, kamu juga harus bangkit. Kalau terus kayak gini, dia pun nggak akan mau balik."

"Stuart, Ibu nggak akan larang kamu cari dia. Ibu bahkan mau bantu. Tapi, kamu harus bangkit, Nak. Kamu masih ingat nggak, Kate suka kamu yang seperti apa?"

Mendengar itu, mata Stuart yang tadinya kosong tiba-tiba memancarkan secercah cahaya. "Ya, dia nggak suka aku yang kumal kayak gini. Dia pernah bilang dia paling suka aku pakai jas."

Stuart langsung mencukur jenggot, mengganti pakaiannya. Ibu Stuart hanya bisa menatap semua itu dengan rasa pilu yang tak bisa diungkapkan.

Setelah skandal perselingkuhan ayah Stuart terbongkar, pria itu tak pernah pulang lagi. Posisi CEO di perusahaan keluarga pun sudah diganti dan keluarga Stuart mulai tersingkir dari lingkaran inti keluarga besar.

Hari-hari ke depan seakan-akan sudah bisa ditebak, suram dan panjang.

Kate pasti bisa ditemukan. Hanya saja, meskipun ditemukan, belum tentu dia bersedia kembali.

Ibu Stuart menekan semua rasa cemasnya dan menghubungi seseorang. "Cari Kate. Gunakan cara apa pun. Begitu ada kabar, kabari aku secepatnya."