Bab 19

[ Sayang, semua orang yang menyakitimu sudah menerima balasannya. Selama kamu mau pulang, apa pun yang kamu minta akan aku kukabulkan. Boleh ya? ]

Begitu Stuart memposting pesan itu, semua dugaan netizen pun seolah-olah langsung terbukti. Keputusan pencopotan jabatannya dari posisi CEO pun tak bisa dihindari.

Asisten membuka mulut, ingin berbicara, tetapi tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, dia hanya mengambil dokumen strategi humas di atas meja.

Sebelum pergi, dia melirik Stuart sekali lagi dan menghela napas panjang. Penyesalan selalu datang terlambat.

Saat ini, di mata Stuart, selain Kate, tak ada hal lain yang berarti.

Netizen menghujatnya habis-habisan, bahkan ada yang mengutuknya agar seumur hidup tak pernah dicintai lagi, atau mati mengenaskan.

Dengan sikap menyiksa diri sendiri, Stuart membaca satu per satu komentar itu, berharap bisa menemukan sedikit petunjuk yang berkaitan dengan Kate. Namun, dari siang hingga malam, dia tak menemukan apa-apa. Yang ada hanya keputusasaan yang semakin dalam.

Faktanya, Stuart sengaja menyebut tentang anak Winter di hadapan Ken. Dia masih memiliki secercah harapan di dalam hatinya. Kalau satu-satunya keluarga Kate mengalami sesuatu, mungkinkah dia akan kembali?

Namun, ternyata tidak. Kate tetap tidak muncul.

Stuart benar-benar tidak tahu lagi apa yang bisa dia lakukan untuk memperbaiki semuanya. Dia lalu memposting beberapa status lagi.

[ Sayang, nanti kita adopsi anak perempuan. Kamu ajari dia jadi orang baik, aku akan manjain dia. Gimana? ]

[ Kalau kamu nggak mau anak juga nggak apa-apa. Asalkan aku bisa menghabiskan sisa hidupku bersamamu, aku sudah merasa cukup. ]

[ Hari-hari tanpamu terasa seperti siksaan. ]

Kamar bayi yang kecil itu kini berubah menjadi penjara yang mengurung Stuart. Sejak postingan pertamanya, dia terus memposting setiap hari, menggantungkan harapan pada kemungkinan yang tak pernah datang.

"Nona Winter, Nona nggak bisa ...."

Disertai suara ribut, Winter menerobos masuk dan langsung melempar kotak penyimpanan ke dalam.

Ekspresi Stuart sontak berubah drastis. Dia menarik Winter keluar dari kamar dan menyerahkannya ke pembantu.

"Kalau kalian biarin dia masuk lagi, kalian semua nggak usah kerja di sini lagi," bentak Stuart.

Stuart buru-buru kembali ke kamar, memungut alat suntik yang terjatuh dan memasukkannya ke kotak penyimpanan dengan hati-hati.

Winter ditahan erat oleh para pembantu, tetapi dia tetap berteriak penuh amarah ke Stuart, "Stuart! Kamu nggak punya hati, yang mati itu juga anakmu, tapi kamu bahkan nggak mau lihat sedetik pun!"

"Anak kita sudah terbentuk, tinggal sedikit lagi dia bisa buka mata dan melihat dunia ini. Kok kamu bisa sekejam itu? Stuart, kamu benaran nggak pernah suka aku sedikit pun?"

Semakin berbicara, suara Winter semakin serak. Setahun bersama Stuart, dia selalu diperlakukan dengan sangat baik. Seolah-olah selain status sebagai istri, semua yang dia inginkan bisa Stuart berikan.

Dia akhirnya jatuh cinta dan dari sanalah muncul ketamakan. Dia ingin menikah dengan Stuart dan ingin memiliki pria ini sepenuhnya.

Namun, kini dia bahkan tidak dilirik sedikit pun. Stuart hanya sibuk merapikan dan membersihkan barang-barang, seakan-akan semua benda mati peninggalan Kate itu jauh lebih berarti daripada dirinya yang masih hidup.

Ketika Winter sudah kehabisan tenaga untuk menangis, Stuart selesai merapikan semuanya dan keluar dari kamar bayi.

"Stuart ... Stuart, dulu kamu bilang sangat suka sama aku. Kamu sendiri tahu kenapa aku suka sama kamu, 'kan? Memangnya aku kalah jauh dari dia? Stuart, kamu yang hancurin aku, kamu yang buat hidupku hancur!"

Ekspresi Stuart tetap datar. "Kamu dari awal sudah tahu statusmu. Kalau sudah dibayar, jangan harap dapat posisi yang nggak seharusnya. Kamu pikir kamu pantas dibandingkan dengan dia?"

Winter benar-benar putus asa, menangis sampai terengah-engah.

"Tuan Stuart." Salah satu pembantu datang dengan membawa sebuah amplop dokumen. "Ini barusan diantar kurir. Di bagian penerimanya tertulis nama Tuan dan Nyonya."

Stuart menatap amplop itu, hatinya bergetar. Entah kenapa, dia bahkan tak berani meraihnya.