Maya membuka totebag yang diberikan oleh Rangga, di dalamnya terdapat baju gamis cantik warna soft yang tampak mewah. Seulas senyum terbit di wajah ayu Maya, dia menyukainya.Selain baju, ternyata ada yang lainnya, sebuah amplop berukuran besar. Maya mengernyitkan dahinya melihat amplop itu. Perlahan diambil dan dibukanya. Ternyata isinya adalah akta cerai yang sudah dikeluarkan oleh pengadilan agama.Matanya berbinar, rasa lega mengalir dalam hati dan pikirannya, akhirnya statusnya sekarang sudah sah menjadi janda. Setetes air mata kembali jatuh dari mata beningnya. Bukan karena sedih, tapi karena rasa haru yang menyeruak begitu saja.Jika banyak yang merasa hancur setelah perpisahan, tidak begitu dengan Maya. Dia justru merasa seperti burung yang baru lepas dari kandangnya. Terbang bebas tanpa ada beban."Mbak Maya kenapa nangis?" tanya Bi Ijah yang melihat Maya menghapus air matanya."Akhirnya surat ceraiku keluar juga, Bi. Aku merasa beban yang ada di pundakku seakan telah hilang
"Astaga ...." Diana lemas seketika, bahkan untuk berdiri pun dia tak mampu, kini dia terduduk di kursi ruang tunggu dengan wajah pucat pasi."Mas, siapa wanita itu, kita samperin dia terus kita minta uang hasil penjualan tanahnya. Kita anak-anak Ayah yang lebih berhak bukan dia!" Dikna emosi "Perempuan itu telah kabur ke luar negeri begitu tahu kalau Ayah akan ditangkap," sahut Haris."Kita sudah tak punya apa-apa lagi sekarang," sambung Haris dengan wajah kecewa.Dikna dan Diana terduduk lemas dengan wajah menyedihkan, mereka merasa telah hancur, rasa malu dan kecewa berbaur menjadi satu.****Sementara Galih dan Dewi yang sudah tahu kabar buruk itu malah berdebat di rumah."Mas, jadi setelah ini kita sudah tak punya apa-apa lagi?" tanya Dewi meyakinkan."Iya, semua harta dan isinya akan disita oleh negara," sahut Galih dengan wajah kusut."Ya ampun ... lalu kita akan tinggal di mana, Mas? Setiap hari kita akan makan apa, kalau kamu saja gak kerja begini?" tanya Dewi cemas dengan pi
Rangga merasa jengkel dengan Diana yang suka merendahkan Maya, pria itu ingin memberikan sedikit pelajaran untuk perempuan itu.Diana memelototkan matanya kepada Rangga, dia merasa terhina dengan ucapan Rangga."Dasar, duda sombong!! Semoga harimu kelabu terus!" ketus Diana lalu perempuan itu pun pergi meninggalkan rumah Rangga.****Melihat wajah Rangga yang sumringah akhir-akhir ini, membuat Bu Lina bertanya-tanya. Berbeda saat baru pindah ke rumah ini, Rangga tampak dingin dan tak banyak bicara.Insting seorang ibu memang tak dapat dibohongi, dia merasa putranya kini sedang bahagia atau sedang jatuh cinta."Rangga, kamu dari mana?" tanya Bu Lina yang duduk di samping Lia.Rangga lalu duduk di sofa yang berhadapan dengan ibunya. "Dari rumah kita yang ada di kampung sebelah.""Oh, kamu mengunjungi rumah, kenapa gak bilang. Kan Ibu bisa ikut sekalian silaturrahim sama Bu Ijah," sahut Bu Lina."Iya, Bu. Ada yang mau aku bicarakan. Tapi sebelumnya aku minta maaf sama Ibu karena baru bic
Diana diam dan memikirkan ucapan adiknya. " Baiklah, Ibu bisa ikut kami, tapi nanti giliran sama yang lainnya juga. Aku gak mau repot sendiri."Arya menggeleng-gelengkan kepala merasa heran dengan kelakuan istrinya terhadap ibu kandungnya sendiri.Setelah Galih dan istrinya pergi meninggalkan rumah itu, Diana pun berkemas dan hendak pergi juga. Arya membantu istrinya berkemas dengan menyiapkan barang-barang yang akan dibawa.Bu Ullah menatap sedih ke seluruh ruangan, wanita itu tak berhenti menangis sejak tadi. Perasaannya perih, dia tak menyangka dalam sekejap semua berubah. Roda memang telah berputar untuk keluarga Raharjo, mereka yang tak pernah kekurangan dan selalu bergelimang harta kini mendapatkan musibah tak terduga dan harus kehilangan semua harta bendanya."Ibu jangan bisanya menangis aja! Ibu pikir aku pun tak merasa sakit dengan hancurnya keluarga kita? Ditambah Ibu yang sekarang malah menjadi beban bagi kami," seru Diana kesal.Arya menghampiri istrinya yang membentak Ibu
Tiba-tiba terdengar teriakan di depan rumah. Maya sangat mengenal siapa yang kini berteriak memanggil namanya."Maya! ... Maya di mana kamu?" seru Bu Romlah di luar rumah.Rangga dan Maya saling berpandangan, setelah itu mereka berdua berjalan beriringan keluar untuk menemui Bu Romlah."Oh, di sini kamu rupanya! Malah enak-enakan berduaan, gak malu sama tetangga! seru Bu Romlah dengan nada tinggi.Maya lantas menarik tangan ibunya untuk masuk dan berbicara di dalam. Dia merasa tak enak jika tetangga mendengar ucapan ibunya yang suka ceplas-ceplos."Mau apa Ibu ke sini?" tanya Maya yamg masih belum bisa menguasai dirinya."Eh, anak kurang ajar! Orangtua datamg bukanmya disambut baik atau dibikinin minum malah diinterogasi kek gitu," omel Bu Romlah.Maya lantas masuk ke dalam mengambilkan minuman untuk ibunya."Silakan diminum, Bu. Lalu Ibu bisa pergi setelah ini," ucap Maya masih merasa sakit hati, apalagi Bu Romlah masih bersikap seenaknya seperti biasanya.Rangga memberi kode pada M
"Ini, bawa uang ini untuk Ibu!" Maya menggenggamkan sejumlah uang berwarna merah ke tangan ibunya."Ka-kamu?" sahut Bu Romlah terbata."Kenapa? Apa masih kurang uangnya, Bu? Bagaimana jika Ibu menjualku saja agar Ibu menghasilkan uang lebih banyak lagi," sahut Maya emosi.Bu Romlah hendak melayangkan tamparannya kepada Maya, tapi dengan sigap Rangga mencekal tangan perempuan itu."Cukup, Bu! Lebih baik Ibu pergi saja karena semakin lama Ibu di sini, Ibu hanya akan menambah luka di hati anak Ibu," ucap Rangga dengan wajah memohon.Bu Romlah melengos, dengan wajah merah padam, perempuan itu pun berbalik tanpa ada sepatah kata pun dia ucapkan lagi setelah memasukkan uangnya ke dalam saku dasternya.Setelah kepergian ibunya, Maya bernafas dengan lega, sendi di tubuhnya seakan lemas seketika. Bukan dia tak sayang dengan keluarganya, tapi luka yang terlalu sering ia dapatkan membuatnya merasa tak nyaman berada dekat dengan mereka. Kemudian perempuan itu duduk di kursi dengan tangisan pecah.
Malam itu Rangga kembali diinterogasi sang ibu soal Maya. Bu Lina takut jika Rangga tidak serius dan bermain-main saja dengan Maya. Wanita yang telah melahirkan Rangga itu takut jika putranya menyakiti hati wanita lain karena ulahnya."Rangga, Ibu ingin bicara sama kamu," ucap Bu Lina."Iya, Bu. Ada apa, sepertinya ada yang penting banget?" tanya Rangga masih santai."Jawab pertanyaan Ibu dengan jujur, Nak. Apa kamu serius dengan Maya?" tanya Bu Lina seraya menelisik wajah putranya, mencari jawaban dari rona wajahnya."Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya. Aku serius dengan Maya. Ibu tahu kan jika selama ini aku tak pernah bermain-main soal hati dan perasaan, jika aku mencintai seseorang maka aku akan mengejarnya hingga ke mana pun dia pergi," jawab Rangga mulai serius."Iya, Ibu tahu dan itu yang kamu lakukan, baik sama Risa ataupun Kinan. Tapi Ibu takut jika dengan Maya, kamu cuma sekedar obsesi saja," sahut Bu Lina."Awalnya memang begitu, Bu. Tapi semakin dalam aku mengenal M
Setibanya di rumah Rangga, Bu Lina dan Lia sudah siap menyambut kedatangan mereka berdua. Maya menyalami mereka berdua dengan tersenyum grogi."Bagaimana kabarnya, Maya?" tanya Bu Lina setelah mempersilakan Maya untuk duduk."Alhamdulillah, baik sekali, Bu," sahut Maya dengan senyum di wajahnya,""Mbak Maya terlihat makin cantik ya, riasannya natural tapi elegan. Mau dong, Mbak aku diajarin," ucap Lia kagum."Eh, itu a-aku ...." Maya salah tingkah saat hendak menjawab."Iya, kapan-kapan pasti diajarin sama Maya, kok. Iya kan, May?" sahut Rangga seraya memainkan kedua alisnya."Iya, kapan-kapan ya," sahut Maya setelah itu dia menghembuskan nafasnya berat.Bu Lina lantas mengajak mereka semua untuk menikmati hidangan yang sudah tersedia di meja makan. Setelah acara makan selesai, mereka pun menghabiskan waktu dengan banyak mengobrol."Maya, maaf ya mungkin selama ini Rangga sudah banyak mengganggumu," ucap Bu Lina."Enggak, Bu. Justru Mas Rangga sudah banyak membantu saya." sahut Maya.
Acara di ballroom hotel berlangsung dengan meriah. Banyak kerabat, tetangga, relasi dan rekan bisnis Rangga yang datang memenuhi undangan itu.Maya sempat merasa minder berada diantara mereka semua. Dia baru menyadari jika sang suami adalah orang yang diperhitungkan dalam bisnis interiornya. Rata-rata mereka yang datang dari kalangan atas, terlihat dari penampilan mereka yang berbeda.Rangga tak membiarkan istrinya merasa sendiri, dia tak pernah melepas tangan Maya, bahkan dia selalu melibatkan Maya di saat berbaur bersama teman-temannya.Saat tengah asyik mengobrol, Maya melihat seseorang yang dikenalnya. Beberapa kali dia meyakinkan pandangannya bahwa apa yang dilihatnya itu benar adalah Kinan.Kinan dan Radit memang sengaja datang ke pesta pernikahan itu. Mereka ingin memberikan kado spesial untuk Maya dan Rangga."Maya, selamat ya. Akhirnya kalian bisa bersama." Kinan memberikan selamat seraya memeluk Maya."Terima kasih, Mbak sudah menyempatkan datang ke sini jauh-jauh," sahut Ma
"Yaa ... aku terlambat!" sahut Hesti dengan rona wajah kecewa dan pasrah."Busyet ... ini bocah baru bangun langsung liat acara nikahan! Mandi sono, gih! Masih ileran gitu," Bi Ijah negur Hesti yang masih memakai baju tidur s*ksi."Syirik aja jadi orang, terserah dong aku mau ngapain," jawab Hesti ketus, perempuan itu lalu kembali ke kamarnya."Astaghfirullah ...." Bi Ijah beristighfar sambil mengelus dada setelah kepergian Hesti.Setelah acara akad nikah selesai, Penghulu menutupnya dengan acara doa bersama dan setelahnya mereka semua pun merayakannya dengan menikmati hidangan yang sudah disediakan.Sementara Maya dan Rangga mendapat banyak ucapan selamat dari orang-orang di sekitarnya. Mereka juga sudah mengabadikan momen spesial itu dengan berfoto ria bersama. Beberapa saat lamanya mereka berinteraksi dengan semua tamu yang hadir, hingga Rangga berniat untuk mengajak Maya istirahat sebentar di kamar karena nanti malam acara akan dilanjutkan di ballroom sebuah hotel bintang 5."Saya
"Lah, gimana sih Mbak. Semua harus minta ijin dan nurut sama kamu. Iya, aku dan Aldo memutuskan untuk tinggal di sini, rumah ini besar, fasilitasnya lengkap, jadi aku juga pingin tinggal nyaman di sini," tutur Hesti ringan."Jangan ngaco kamu, Hes! Ini rumah Mas Rangga, kamu gak bisa seenaknya tinggal di sini tanpa ijin darinya," sahut Maya geram.Hesti melotot, sementara Aldo malah asyik bermain ponsel di ranjang, tak peduli dengan kemarahan Maya."Mas Rangga pasti ngijinin aku tinggal di sini! Jangan khawatir besok aku akan bilang sendiri sama orangnya," sahut Hesti menatap Maya tajam.Hesti lalu mendorong tubuh Maya untuk mundur sedikit, lalu dia menarik tangan kakaknya untuk menjauh dari kamarnya, tak ingin Aldo mendengar ucapannya."Apaan sih, Hes?!" tandas Maya seraya melepaskan cekalan tangan Hesti."Mbak, asal kamu tahu aja ya. Kamu itu cuma beruntung karena kamu lah orang pertama yang bertemu dengan Mas Rangga, seandainya dia ketemu aku duluan, yakin deh dia bakalan jatuh cin
Sebelum maghrib Bu Lina, Andika, dan Lia sudah datang ke tempat Maya. Mereka ikut pengajian yang diselenggarakan di rumah itu, mengingat itu juga adalah rumah Bu Lina dan para tetangga sudah mengenalnya. Mereka datang diantarkan oleh orang suruhan Rangga, setelah itu orang itu pun pergi dan akan datang lagi nanti saat acara selesai.Setelah maghrib, Bu Indah dan Arya juga datang atas permintaan Maya. Kedatangan Arya ke situ untuk membantu Maya menyiapkan segala keperluan dari pihak keluarga perempuan karena Maya tak mempunyai saudara laki-laki.Saat bertemu dengan Lia, Arya terlihat begitu bersemangat. Dia mulai sering mencuri pandang dan kadangkala mereka kedapatan mengobrol berdua.Hal itu tentu saja tak lepas dari pengamatan Bu Indah dan Bu Lina, selaku ibu dari Lia.Rangga tak ikut serta karena Bu Lina tak mengijinkannya datang sebelum akad nikah besok pagi. Maya keluar dengan balutan gamis putih yang lembut dan elegan, pemberian dari Rangga. Dengan riassan modern dan natural, di
Sore itu, rumah sudah dibersihkan oleh Bi Ijah dan Bu Romlah juga dibantu oleh para tetangga. Pengajian akan digelar nanti setelah maghrib."Mbak, tinggal menunggu kiriman kuenya. Harusnya sudah dikirim dari tadi, sih tapi ini sampai jam segini kok belum datang ya," tutur Bi Ijah khawatir."Tenang, Bi. Masih ada waktu sekitar 2,5 jam. Sebentar lagi pasti akan datang," sahut Maya optimis."Itu, tuh kalau kebanyakan dosa, acaranya gak bakalan lancar!" seru Hesti tanpa merasa bersalah."Tutup mulutmu, Hes!" tandas Bu Romlah geram dan Hesti pun melengos.Tak lama sebuah mobil warna putih berhenti di depan rumah. Seorang wanita turun dari mobil itu, sedangkan pria yang bersamanya membuka jok belakang untuk mengambil kue pesanan Maya.Melihat wanita itu, Maya tercekat. Dia sangat mengenal siapa yang kini sedang dilihatnya. Tak salah lagi itu Diana tapi dengan penampilan yang tak seperti biasanya.Diana terlihat lusuh, wajahnya pun bebas dari make up seperti yang biasa dia pakai. Wajah perem
"Hes, kalau kamu lapar, makan nasi yang Ibu bungkus dari rumah tadi. Lagipula kamu tadi juga udah makan, kok sekarang minta makan lagi," celoteh Bu Romlah."Beda, Bu. Aku ngidam pingin makan makanan yang dimasak sama Mbak Maya sendiri," sahut Hesti seenaknya.Maya yang sudah paham akan sifat adiknya, akhirnya bersuara. Dia tak mau terus menerus dimanfaatkan oleh Hesti karena semakin dia menerima dan mengalah maka adiknya itu akan semakin menjadi, sifatnya hampir sama dengan Pak Amir, bapaknya."Kalau kamu lapar, ambil sendiri makanan yang ada di meja makan. Jangan suka main perintah seenak kamu, di sini jangan bertingkah seperti di rumahmu sendiri," ucap Maya penuh penekanan."Mbak kok kamu gitu, sih. Aku ini lagi hamil, loh! Jangan ketus sama orang hamil, bisa kualat kamu nanti!" sahut Hesti, tak terima."Jaga sikapmu, Hesti! Kalau sikapmu masih saja seenaknya, mending kamu pulang saja!" Bu Romlah merasa geram."Ibu ini kenapa, sih jadi belain Mbak Maya terus? Apa karena Mbak Maya ba
Maya segera mengalihkan perhatian wanita itu. Dia meminta Bu Indah untuk memanggil keduanya, sedangkan Maya menyiapkan minuman untuk mereka semua.Saat makan bersama, sesekali mereka mengobrol untuk memanfaatkan waktu yang ada."Lia, jadi setiap harinya kamu sibuk apa?" tanya Bu Lia memancing."Saya sekolah desain mode dan tekstil, Bu. Mas Rangga ingin saya terjun ke dunia fashion karena itu passion saya, jadi dalam waktu dekat, Insya Allah saya akan membuka usaha konveksi kecil-kecilan," jelas Lia apa adanya."Wah, hebat banget masih muda tapi sudah punya jiwa wirausahawan," sahut Bu Indah kagum.Arya pun nampak kagum dengan cara gadis itu menjelaskan, tak ada kesombongan, gadis itu malah terkesan merendah di hadapan setiap orang.Sesekali Arya terlihat memperhatikan Lia saat di meja makan. Maya dan Bu Indah yang tahu akan hal itu pun saling melempar senyum. Setelah acara makan bersama selesai, Bu Indah memanggil Maya sebentar untuk menunggunya. Bu Indah masuk ke kamar dan mengambil
Ternyata asisten yang dimaksud Siska adalah Dikna, mantan adik ipar Maya yang juga merupakan putri bungsu keluarga Raharjo.Dikna bekerja di salon itu semenjak ayahnya ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Selama ini dia selalu mendapat sokongan dana dari sang ayah jadi tidak pernah merasa kekurangan, tapi semenjak ayahnya di penjara otomatis keuangannya pun berantakan karena hanya mengandalkan gaji suaminya yang tak seberapa.Dikna lantas menghambur memeluk Maya dengan tangisan pecah."Mbak Maya, maafkan aku, Mbak." ucap Dikna tergugu.Maya tercekat, dia masih belum bisa menguasai keadaan. Maya juga tak menyangka jika adik ipar yang selalu sinis kepadanya selama ini tiba-tiba memeluknya."Dikna, ada apa ini?" tanya Maya bingungDikna melepaskan pelukannya, dia menghapus air mata yang membasahi pipinya."Mbak, maafkan aku jika selama ini aku selalu bersikap gak baik sama kamu," ucap Dikna dengan mata mengembun.Maya menghela nafas panjang, dia sudah berusaha melupakan apa yang p
"Lalu untuk apa kamu ke sini? Apa kamu masih butuh dengan ibumu ini? Ibu yang selama ini selalu membuatmu menderita, Ibu yang tak dapat melindungi anaknya? Buat apa kamu ke sini, May? Harusnya kamu menikah saja, tak perlu kamu memberitahu Ibu jahatmu ini!" seru Bu Romlah dengan air mata yang mulai tumpah."Ibu?" Maya tak menyangka reaksi ibunya akan seperti itu.Bu Romlah menangis tersedu, hatinya sangat sakit melihat Maya ada di depannya. Bayangan masa lalu di mana dia selalu menyia-nyiakan putri kecilnya kembali melintas. Saat dia sering mendaratkan pukulan di tubuh ringkih Maya kecil. Saat dia abai mendengar rengekan Maya kecil karena kelaparan dan masih banyak bayangan penderitaan lain yang dialami Maya karena dirinya bermunculan.Maya mendekati ibunya, rasa tak tega melihat wanita yang telah melahirkannya itu menangis membuatnya hatinya ikut teiriris."Ibu kenapa?" tanya Maya seraya menyentuh tangan ibunya."Ibu terlalu buruk, Maya. Ibu tak pantas mendapatkan putri sebaik kamu.