“Apa yang Paman Danial lakukan saat dia melihatmu menembak Isabel?”
“Apa dia melaporkanmu pada polisi?”Aku tidak peduli bagaimana reaksi Axe mendengar dua pertanyaanku, yang aku mau dia menjawab secara jujur. Aku yakin banyak hal memilukan yang harus Axe lalui setelah kejadian berdarah antara dia dan Isabel. Salah satunya pernyataan Dokter Felice tentang makna dari gambar milik Axe, kemungkinan besar duduk perkara kematian Isabel memang berimbas pada pria malang itu.“Jangan diam saja, Axe. Katakan padaku apa yang terjadi padamu setelah itu.”Tanganku bergerak mengelus rahang tegas Axe tanpa henti. Itu kelemahan Axe, dia tidak akan tahan dengan tindakanku dan aku akan terus menyiksanya jika dia tak mau menjawabku.Perlahan aku merangkak duduk di atas pangkuan Axe, posisi kami saat ini saling berhadapan. Axe tidak menolak, bahkan dia dengan senang hati menampung tubuhku di pahanya, dia mengambil untung banyak.“Bridgette,” geram Axe tertahan saat aku menekan bibirnYuk, vote dan komen.
Namun sayang, saat posisi kami sudah begitu damai. Dari arah kejauhan aku dan Axe mendengar suara letusan yang menggema di langit hutan.Apa yang terjadi?Aku menggeleng tak percaya. Semoga bunyi letusan senjata api ke udara itu berasal dari soerang pemburu hewan liar, bukan dari para musuh Axe yang berhasil menyusul keberadaan kami.Sungguh aku tak kuasa membayangkan kejadian yang akan datang nanti. Katakanlah, aku masih bisa memaklumi suara letusan tersebut, bunyi pertama masih tidak membuatku melepaskan tubuh Axe dari dekapanku. Tapi aku tidak tahan mendengar bunyi letusan kedua, yang secara tidak sadar memaksa kami sama – sama melepaskan diri dan saling menatap satu sama lain.Axe ...Dia memberiku tatapan yang aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya. Napas kami sama – sama berembus kasar, hingga perubahan ekspresi dari Axe berhasil membungkamku. Sorot waspada di matanya tanpa jeda menular padaku, tiba – tiba perasaanku menjadi tidak enak memikirkan kemungk
“Jangan ditembak lagi. Bajingan ini selalu lolos dari maut, peluru saja tidak akan membuatnya merenggang nyawa. Lempar saja dia ke danau, dia tidak bisa berenang. Biarkan dia mati tenggelam.”Bunyi cipratan air semakin mengiris dadaku. Aku tidak kuat membayangkan Axe dilempar begitu keras hingga bunyinya terdengar nyaring begitu. Terlebih, katanya Axe tidak bisa berenang.No!Sebenarnya di mana letak hati nurani Paman Danial? Kenapa dia bisa sebegitu benci pada Axe, apa salah Axe selama ini padanya? demi apa pun Axe adalah korban. Kenapa Paman Danial sangat berhasrat ingin membunuhnya?“Say goodbye to this hell and welcome to the next hell.” Suara kekehan penuh kemenangan Paman Danial benar – benar mengusik pikiranku. Rasanya aku tidak tahan terus bersembunyi di sini, sementara Axe sedang dalam bahaya besar.Aku harus keluar. Ya, aku harus menghentikan kejahatan Paman Danial sebelum pria paruh baya itu bertindak lebih jauh. Dia tidak bisa semena – mena pada orang lain
“Nona, denyut nadi tuan semakin lemah.”No!Itu tidak boleh terjadi.Axe harus hidup! Dia tidak boleh meninggalkanku karena aku tidak akan pernah rela menerima kenyataan itu.Aku menggeleng keras berusaha menyangkal fakta di depan. Dengan cepat kembali kulakukan kegiatan memberi napas buatan pada Axe, setelahnya aku beralih menekan dadanya lagi.Berulang kali.Berkali – kali.Terus seperti itu.Lagi, lagi dan lagi, tidak ada kata menyerah di dalam otakku. Apa saja akan kulakukan sampai mata itu terbuka, menyaksikan betapa aku mencemaskannya—berharap dia kembali seperti sedia kala.“Bangun, Axe!” Tanganku menepuk wajah pucatnya pelan. Harapanku seperti berada di ujung jurang melihat tak ada respon baik dari Axe.“Aku tahu kau keras kepala, tapi tolong buka matamu demi aku.”Kepalan tanganku bergerak memukul kuat dada Axe untuk yang terakhir kali. Aku tidak kuat lagi menahan isak tangis yang sedari tadi kutahan – tahan. Bahkan kini kuletakkan kepalaku
Langkahku terhenti tepat di bibir danau, menatap kosong beberapa mayat bawahan Paman Danial dan air yang menjadi saksi bisu perjuangan tak terhalau. Aku memang meninggalkan Axe sendiri di samping pohon sana, tapi aku tidak gila sampai benar – benar meninggalkan.Atau kata lainnya, aku hanya ingin menenangkan perasaanku sejenak. Bagaimana pun tak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu pria itu membuka mata.Bukan, bukan aku tidak peduli. Aku juga butuh waktu sendiri sekadar melepaskan rasa sesak yang terus menghantam dada. Perasaanku hancur melihat Axe lemah seperti itu, dia sama sekali bukan Axe yang aku kenal.Kalau memang pertanyaanku menambah sakit untuknya, aku berjanji tidak akan memberi beban pada Axe lagi. Ya, seharusnya aku bisa bersabar, tunggu sampai Axe benar – benar pulih dari kondisinya. Tapi lagi – lagi aku tak bisa menjaga rasa penasaranku, yang akhirnya menjadi bumerang bagi diriku sendiri.Sekarang aku harus menyesal memikirkan kecerobohanku yan
“It’s okay. Sekarang katakan berita apa yang kau bawa. Apa Edward baik – baik saja?”“I’m so sorry, Tuan. Edward ... dia terluka parah.” Takut – takut Alessandro menjawab pertanyaan Axe, sampai dia harus menunduk dalam tak berani menatap Axe yang menghunusnya tajam.“Apa maksudmu!” hardik Axe, matanya berkilat penuh amarah mendapat setengah informasi dari Alessandro.“Mereka menyiksanya dan sekarang Edward sedang ditangani dokter di rumah sakit, Tuan.”Jawaban Alessandro berhasil memancing Axe untuk mengumpat. Axe nyaris memukul pria malang tak bersalah itu, kalau saja aku tidak segera menahannya.Axe tak bisa seperti itu. Bukankah Alessandro sudah melakukan yang terbaik? Seharusnya Axe tidak menyalahkannya atas apa yang tidak dia lakukan. Alessandro terlambat menyelamatkan Edward juga karena dia lebih mengutamakan keselamatan tuannya, daripada perintah Axe itu sendiri.“Sudahlah, Axe. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.”“Tapi Edward—“
Aku menggeliat dalam tidur tatkala merasakan kehilangan begitu lekat di tubuhku, mataku terbuka memperhatikan langit – langit kamar VVIP dengan tatapan kosong menguasai.Di sini sepi, hanya aku sendiri ...Seingatku sebelum terlelap tadi, masih ada pelukan hangat yang melingkar sempurna. Tapi sekarang hilangnya rengkuhan itu menciptakan dingin tak tersentuh, aku merasa hampa dan perasaanku tanpa bisa ditahan tergores cemas tak beralasan. Mungkin karena aku tidak mendapati kehadiran Axe di sini.Axe ...Jangan tanya dia di mana, aku tidak tahu. Ketidakhadirannya sudah membuktikan bahwa pria licik itu pergi dengan memanfaatkan kondisi tidurku yang terasa sebentar.Sifat keras kepala Axe naik satu tingkat lebih parah, hingga segala cara dihalalkan demi menuntaskan tujuannya. Aku memang tidak tahu apa yang ingin Axe lakukan di luar sana, tapi firasatku mengatakan dia akan melakukan hal buruk.Ntahlah, aku hanya bisa berharap hal itu tidak benar. Aku t
Tak mau bermuluk – muluk dan berangan terlalu jauh, sesegera mungkin aku menarik tirai hingga sesuatu yang tak pernah kubayangkan terpampang begitu nyata di hadapanku. Sesuatu yang begitu menyakitkan, sesuatu yang membuatku kecewa, sesuatu yang memaksa perasaanku hancur menjadi keping – keping ...Yakni sebilah pisau penuh darah berada di tangan Axe dengan seorang pria tengah berbaring dalam keadaan sadar, juga berdarah – darah, sedang memekik kesakitan dan meminta ampun pada pria yang sedang menatapnya dingin.“Ax—Axe.”Suaraku sampai terputus – putus memanggil sekaligus menyadarkan Axe dari apa yang dia lakukan, tapi Axe tetap fokus pada kegiatannya tanpa menoleh sedikit pun padaku.Pria itu benar – benar bertindak seperti seorang psikopat berdarah dingin, tidak ada ekspresi apa pun ketika dia mengoreskan mata pisau dari tangannya pada pria malang yang saat ini menjadi korban.Goresan dan cucuran darah terus mengalir dari luka terbuka di perut bagian baw
Aku duduk termangu di atas blankar tanpa melakukan apa pun sejak satu jam kepergian Axe. Sepi, hening, dan kosong kurasakan saat memikirkan permasalahan hidupku yang tanpa sadar sudah membawaku sejauh ini—pengalaman yang begitu dramatis serta tak ternilai harganya.Jujur, tak pernah kubayangkan hari pernikahanku akan menjadi hari terburuk di dalam hidup, hingga harus melewati pelbagai macam rintangan menyedihkan. Terutama saat aku nyaris kehilangan nyawa, sekaligus nyaris kehilangann Axe. Sungguh, semua benar – benar terasa mengancam dada. Untuk kembali mengingatnya saja hatiku terasa dicabik menjadi butir – butir kecil.Dan Axe ...Jangan tanyakan pria itu padaku, aku tak mau rasa rinduku semakin menjadi – jadi. Ya, semakin aku terus memikirkan permasalahanku bersamanya, rasa ingin bertemu tiba – tiba mencuak ke permukaan. Harusnya aku sadar bahwa tadi aku yang memintanya pergi, sekarang tidak bisa kusalahkan dirinya karena tidak berada di sampingku.Sudahla