“Bridgette.” Baru saja aku ingin memanggilnya dan Axe sudah lebih dulu menyebut namaku. Sebelum itu, tangan Axe bergerak melepas lensa palsu di matanya. Kemudian dia menatapku dalam.
“Aku punya satu rahasia yang ingin kukatakan padamu,” lanjut Axe penuh misteri.
Kalimat tiba – tiba Axe membuat hatiku berdesir. Rahasia apa dan kenapa? Untuk hal yang satu ini aku mengenal Axe dengan baik, tidak biasanya dia dengan suka rela bercerita padaku hal – hal bersifat rahasia. Pria itu tertutup dan sama sekali tidak tersentuh, rasanya tidak masuk akal jika Axe datang menawarkan diri untuk memberitahuku sesuatu.“Apa?”Aku memang tak percaya dengan ucapan Axe sebelumnya, tapi sebisa mungkin aku bersikap santai menanggapi kalimatnya yang masih menjadi tanda tanya di dalam kepala. Jangan sampai Axe mengurungkan niatnya bercerita.“Rahasia apa, Axe?” desakku tak kunjung ditanggapi Axe.Sesaat kulihat keraguan tampak di matanya, sesekali bibir Axe terbuka lalu tertutYuk, vote dan komen.
“Apa yang Paman Danial lakukan saat dia melihatmu menembak Isabel?”“Apa dia melaporkanmu pada polisi?”Aku tidak peduli bagaimana reaksi Axe mendengar dua pertanyaanku, yang aku mau dia menjawab secara jujur. Aku yakin banyak hal memilukan yang harus Axe lalui setelah kejadian berdarah antara dia dan Isabel. Salah satunya pernyataan Dokter Felice tentang makna dari gambar milik Axe, kemungkinan besar duduk perkara kematian Isabel memang berimbas pada pria malang itu.“Jangan diam saja, Axe. Katakan padaku apa yang terjadi padamu setelah itu.”Tanganku bergerak mengelus rahang tegas Axe tanpa henti. Itu kelemahan Axe, dia tidak akan tahan dengan tindakanku dan aku akan terus menyiksanya jika dia tak mau menjawabku.Perlahan aku merangkak duduk di atas pangkuan Axe, posisi kami saat ini saling berhadapan. Axe tidak menolak, bahkan dia dengan senang hati menampung tubuhku di pahanya, dia mengambil untung banyak.“Bridgette,” geram Axe tertahan saat aku menekan bibirn
Namun sayang, saat posisi kami sudah begitu damai. Dari arah kejauhan aku dan Axe mendengar suara letusan yang menggema di langit hutan.Apa yang terjadi?Aku menggeleng tak percaya. Semoga bunyi letusan senjata api ke udara itu berasal dari soerang pemburu hewan liar, bukan dari para musuh Axe yang berhasil menyusul keberadaan kami.Sungguh aku tak kuasa membayangkan kejadian yang akan datang nanti. Katakanlah, aku masih bisa memaklumi suara letusan tersebut, bunyi pertama masih tidak membuatku melepaskan tubuh Axe dari dekapanku. Tapi aku tidak tahan mendengar bunyi letusan kedua, yang secara tidak sadar memaksa kami sama – sama melepaskan diri dan saling menatap satu sama lain.Axe ...Dia memberiku tatapan yang aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya. Napas kami sama – sama berembus kasar, hingga perubahan ekspresi dari Axe berhasil membungkamku. Sorot waspada di matanya tanpa jeda menular padaku, tiba – tiba perasaanku menjadi tidak enak memikirkan kemungk
“Jangan ditembak lagi. Bajingan ini selalu lolos dari maut, peluru saja tidak akan membuatnya merenggang nyawa. Lempar saja dia ke danau, dia tidak bisa berenang. Biarkan dia mati tenggelam.”Bunyi cipratan air semakin mengiris dadaku. Aku tidak kuat membayangkan Axe dilempar begitu keras hingga bunyinya terdengar nyaring begitu. Terlebih, katanya Axe tidak bisa berenang.No!Sebenarnya di mana letak hati nurani Paman Danial? Kenapa dia bisa sebegitu benci pada Axe, apa salah Axe selama ini padanya? demi apa pun Axe adalah korban. Kenapa Paman Danial sangat berhasrat ingin membunuhnya?“Say goodbye to this hell and welcome to the next hell.” Suara kekehan penuh kemenangan Paman Danial benar – benar mengusik pikiranku. Rasanya aku tidak tahan terus bersembunyi di sini, sementara Axe sedang dalam bahaya besar.Aku harus keluar. Ya, aku harus menghentikan kejahatan Paman Danial sebelum pria paruh baya itu bertindak lebih jauh. Dia tidak bisa semena – mena pada orang lain
“Nona, denyut nadi tuan semakin lemah.”No!Itu tidak boleh terjadi.Axe harus hidup! Dia tidak boleh meninggalkanku karena aku tidak akan pernah rela menerima kenyataan itu.Aku menggeleng keras berusaha menyangkal fakta di depan. Dengan cepat kembali kulakukan kegiatan memberi napas buatan pada Axe, setelahnya aku beralih menekan dadanya lagi.Berulang kali.Berkali – kali.Terus seperti itu.Lagi, lagi dan lagi, tidak ada kata menyerah di dalam otakku. Apa saja akan kulakukan sampai mata itu terbuka, menyaksikan betapa aku mencemaskannya—berharap dia kembali seperti sedia kala.“Bangun, Axe!” Tanganku menepuk wajah pucatnya pelan. Harapanku seperti berada di ujung jurang melihat tak ada respon baik dari Axe.“Aku tahu kau keras kepala, tapi tolong buka matamu demi aku.”Kepalan tanganku bergerak memukul kuat dada Axe untuk yang terakhir kali. Aku tidak kuat lagi menahan isak tangis yang sedari tadi kutahan – tahan. Bahkan kini kuletakkan kepalaku
Langkahku terhenti tepat di bibir danau, menatap kosong beberapa mayat bawahan Paman Danial dan air yang menjadi saksi bisu perjuangan tak terhalau. Aku memang meninggalkan Axe sendiri di samping pohon sana, tapi aku tidak gila sampai benar – benar meninggalkan.Atau kata lainnya, aku hanya ingin menenangkan perasaanku sejenak. Bagaimana pun tak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu pria itu membuka mata.Bukan, bukan aku tidak peduli. Aku juga butuh waktu sendiri sekadar melepaskan rasa sesak yang terus menghantam dada. Perasaanku hancur melihat Axe lemah seperti itu, dia sama sekali bukan Axe yang aku kenal.Kalau memang pertanyaanku menambah sakit untuknya, aku berjanji tidak akan memberi beban pada Axe lagi. Ya, seharusnya aku bisa bersabar, tunggu sampai Axe benar – benar pulih dari kondisinya. Tapi lagi – lagi aku tak bisa menjaga rasa penasaranku, yang akhirnya menjadi bumerang bagi diriku sendiri.Sekarang aku harus menyesal memikirkan kecerobohanku yan
“It’s okay. Sekarang katakan berita apa yang kau bawa. Apa Edward baik – baik saja?”“I’m so sorry, Tuan. Edward ... dia terluka parah.” Takut – takut Alessandro menjawab pertanyaan Axe, sampai dia harus menunduk dalam tak berani menatap Axe yang menghunusnya tajam.“Apa maksudmu!” hardik Axe, matanya berkilat penuh amarah mendapat setengah informasi dari Alessandro.“Mereka menyiksanya dan sekarang Edward sedang ditangani dokter di rumah sakit, Tuan.”Jawaban Alessandro berhasil memancing Axe untuk mengumpat. Axe nyaris memukul pria malang tak bersalah itu, kalau saja aku tidak segera menahannya.Axe tak bisa seperti itu. Bukankah Alessandro sudah melakukan yang terbaik? Seharusnya Axe tidak menyalahkannya atas apa yang tidak dia lakukan. Alessandro terlambat menyelamatkan Edward juga karena dia lebih mengutamakan keselamatan tuannya, daripada perintah Axe itu sendiri.“Sudahlah, Axe. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.”“Tapi Edward—“
Aku menggeliat dalam tidur tatkala merasakan kehilangan begitu lekat di tubuhku, mataku terbuka memperhatikan langit – langit kamar VVIP dengan tatapan kosong menguasai.Di sini sepi, hanya aku sendiri ...Seingatku sebelum terlelap tadi, masih ada pelukan hangat yang melingkar sempurna. Tapi sekarang hilangnya rengkuhan itu menciptakan dingin tak tersentuh, aku merasa hampa dan perasaanku tanpa bisa ditahan tergores cemas tak beralasan. Mungkin karena aku tidak mendapati kehadiran Axe di sini.Axe ...Jangan tanya dia di mana, aku tidak tahu. Ketidakhadirannya sudah membuktikan bahwa pria licik itu pergi dengan memanfaatkan kondisi tidurku yang terasa sebentar.Sifat keras kepala Axe naik satu tingkat lebih parah, hingga segala cara dihalalkan demi menuntaskan tujuannya. Aku memang tidak tahu apa yang ingin Axe lakukan di luar sana, tapi firasatku mengatakan dia akan melakukan hal buruk.Ntahlah, aku hanya bisa berharap hal itu tidak benar. Aku t
Tak mau bermuluk – muluk dan berangan terlalu jauh, sesegera mungkin aku menarik tirai hingga sesuatu yang tak pernah kubayangkan terpampang begitu nyata di hadapanku. Sesuatu yang begitu menyakitkan, sesuatu yang membuatku kecewa, sesuatu yang memaksa perasaanku hancur menjadi keping – keping ...Yakni sebilah pisau penuh darah berada di tangan Axe dengan seorang pria tengah berbaring dalam keadaan sadar, juga berdarah – darah, sedang memekik kesakitan dan meminta ampun pada pria yang sedang menatapnya dingin.“Ax—Axe.”Suaraku sampai terputus – putus memanggil sekaligus menyadarkan Axe dari apa yang dia lakukan, tapi Axe tetap fokus pada kegiatannya tanpa menoleh sedikit pun padaku.Pria itu benar – benar bertindak seperti seorang psikopat berdarah dingin, tidak ada ekspresi apa pun ketika dia mengoreskan mata pisau dari tangannya pada pria malang yang saat ini menjadi korban.Goresan dan cucuran darah terus mengalir dari luka terbuka di perut bagian baw
Hai, Kak. Selamat pagi. Mohon maaf setelan catatan penulis ini bukan update chapter Brother Luck(not) ya. Aku mau kasih tahu kalau sekuel sudah bisa dibaca lewat aplikasi Goodnovel. Yuk, mampir dan bantu aku dengan vote dan komen kalian😇 Boleh berikan review kalau suka ya. Kalian masih bisa ketemu Axelle🤭 But, he's not a main character anymore ya. Udah diganti Om T😅 Di sana para karakter penuh dengan misteri. Aku sudah up empat chapter. Kuy, merapat💃💃💃 migrain bareng aku lagi😁 besok aku akan double update juga. Berikan dukungan kalian buat Rose dan T😁 Btw, ada bab yang tidak ada di sini aku jelaskan di sana. Sebelumnya terima kasih banyak, sudah baca dan support karya pertamaku di sini. I love you guys❤❤❤
Several months later... Aku dengan tangan terinfus menatap Axe, di sampinnya terdapat Oracle, sedang berjalan menghampiriku. Dia membawa seorang bayi di dalam dekapan. Kepalanya terus menunduk memperhatikan wajah anak perempuan kami tanpa henti. Senyum sempurna melengkapi kebahagiaan Axe. Usahanya melayaniku saat sedang mengidamkan sesuatu berbuah manis, dia akhirnya dipertemukan secara langsung bersama anaknya.Aku ingat pernah memaksa Axe membuatkanku roti canai, makanan khas Asia, dengan tangannnya sendiri. Axe bisa memasak, tidak tahu dengan makanan sejenis itu, tapi subuh – subuh buta aku tetap mendorongnya bangun untuk menjadi koki dadakan demi keinginan anaknya.Butuh perjuangan membangunkan Axe saat dia sedang lelah – lelahnya setelah menyentuhku tanpa henti. Salahnya sendiri tidak pernah puas. Aku mana tahu kalau anaknya tiba – tiba menginginkan sesuatu.Meski dengan terpaksa, Axe tetap menjalankan kewajibannya. Waktu itu, dengan mata setengah terbuka
Aku menatap cincin yang tersemat kembali di tanganku dengan senyum haru dan bahagia. Janji suci atas nama Axe sudah kuucapkan. Tersisa satu lagi, tapi Axe tak kunjung melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata berbinar bahagia, seperti seorang idiot yang mendadak menjadi seorang jutawan.Dia mau tunggu apa lagi?Sampai aku memulai lebih dulu? Yang benar saja!“Kau membuat semua orang menunggumu terlalu lama,” kataku pelan dan nyaris berbisik.“Yakin?” tanya Axe memastikan. Dia mengangkat sebelah alis menatapku curiga. “Mereka atau kau yang sebenarnya sudah tidak sabar?” lanjutnya lagi dengan senyum menggoda.“Terserah kau saja, Axe.”Aku langsung berpaling menatap wajah – wajah di sana. Orang – orang penting di hidupku berkumpul dalam satu frame. Ada Oracle, mom, dad, ayah dan ibu mertuaku, serta Rose yang begitu cantik dengan balutan dress hitam. Di sampingnya ada Theo yang selalu menguntit ke mana pun Rose pergi. Aku rasa pertanyaan Axe waktu itu sangat
Kau tahu ada apa dengan gugurnya bunga mawar? Karena saat pertama kali mekar, dia terlalu indah. -Theodore Witson. -------------------------------- “Rose, sekali lagi terima kasih. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku tanpa bantunmu.” Kupeluk erat – erat tubuh wanita cantik, yang saat ini membalas kehangatan dariku.“Sama – sama,” bisik Rose sembari mengusap naik turun pundakku pelan.“Harus dengan cara apa aku membayar semua kebaikanmu selama ini?”Aku tak tahan lagi sampai yakin suaraku terdengar getir. Tidak tega rasanya mengambil Oracle dari Rose. Tapi harus bagaimana? Jika aku membiarkan Oracle bersama Rose, anak itu akan kehilangan figur keluarga lengkap. Axe pasti tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia sudah terpisah dari Oracle sejak Oracle sendiri masih dalam kandungan, mana mungkin pria itu mau merelakan Oracle. Dan kalau harus jujur, aku juga menginginkan Oracle. Meski rasa bersalah pada Rose akan jauh lebih be
“Sudah siap?” Aku menoleh ke samping mendengar pertanyaan Axe.Dari bandara Kanada, kami langsung melaju menuju apartement Rose. Saat ini aku dan Axe masih berada di dalam mobil yang terparkir di basement.Dia bertanya apakah aku sudah siap ... jawabanku tidak. Aku tidak sanggup harus menerima penolakan Oracle, saat dia melihatku ada di hadapannya. Seperti kata Axe waktu itu, dia akan mengajakku menjemput Oracle setelah semuanya selesai.Ya, semua telah selesai terhitung sudah tiga minggu berlalu pembalasan dendam Axe.Paman Danial akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat – beratnya selama 35 tahun penjara. Perlindungan dari perdana mentri atas dirinya tidak berlaku, karena bukti – bukti sudah di depan mata. Terlebih Paman Danial semakin diberatkan oleh kehadiran para tawanan yang Axe bebaskan sebagai saksi di pengadilan.Waktu itu, persidangan berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Tidak ada penyangkalan dan uji banding membuat semuanya
“Awas, Axe!”Dor!Aku memeluk Axe seerat mungkin, menjadikan tubuhku sebagai tameng untuknya. Dia pernah membiarkan peluru menggigit tubuhnya karena kesalahanku. Sekarang aku ingin melakukan hal yang sama, mengorbankan diri untuk orang yang kucintai.Bunyi tembakan memberi jeda untukku bernapas. Seharusnya aku sudah merasakan panas yang menjalar oleh peluru itu. Tapi sampai saat ini semua masih terasa aman. Aku tidak mengerti, tubuhku baik – baik saja tanpa alasan.“Lain kali jangan lakukan hal ini. Jangan melindungiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak cepat?”Tubuhku dilepas paksa dan baru kusadari senjata Axe mengeluarkan asap saat dia menurunkan tangannya.Apa yang telah kulewatkan?Cepat – cepat aku berbalik. Sedikit tak percaya mendapati Arthur tergeletak di lantai dengan mata terbuka dan peluru yang menancap tepat di dahinya.“Aku tidak ingin membunuh. Tapi membiarkan dirimu ditembak adalah kesalahan palin
Sebuah belaian terasa kasar, menarik kembali jiwa yang sempat hilang dari tubuh. Aku mengerjap, membuka mata secara perlahan. Tempat yang seharusnya berupa alam bebas tergantikan oleh tembok – tembok bercak putih. Aku seperti berada di sebuah kamar dengan langit – langit dihias lampu kuning.Satu pertanyaan menyentak isi kepala. Siapa yang membawaku ke sini?“Akhirnya kau sadar.”Suara serak itu menarik perhatianku menatap ke samping.Dia...Kenapa aku bisa bersamanya?“Kau semakin cantik dan berisi. Aku sangat suka.”Nada puas terdengar dari suara serak seorang pria yang pernah kutemui beberapa kali. Bahkan waktu itu nyaris menjadi suamiku, Arthur.“Kau kaget melihatku. Kenapa. Takut?”Arthur terkekeh. Tangan yang terulur hendak mengelus kepalaku tertahan di udara saat aku bergerak cepat, beringsut menjauhinya. Apa maunya membawaku ke tempat seperti ini? tanyaku sembari menatap penuh waspada seringai kejam di wajah Arthur.Dia sangat berbed
Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya
Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti