Kini Yandi harus berurusan lagi dengan kepala sekolah. Memang bukan sekali atau dua kali ia datang ke ruang kepala sekolah. Bisa di bilang, ia seperti pelanggan yang tak bosan masuk ke ruangan ini.
“Yandi, kamu kenapa selalu buat masalah? Kamu nggak bosan buat masalah terus?” Tanya kepala sekolah.
“Saya nggak buat masalah, pak,” sahut Yandi santai, karena ia merasa dirinya tak bersalah.
“Kamu ini udah salah, terus nggak mau ngaku gitu?” tanya kepala sekolah menaikkan suaranya.
“Pak, saya emang gak buat masalah. Bu Dina aja yang berlebihan.” Bukan Yandi jika tak mebantah perkataan para guru.
Pernyataan Yandi benar-benar menghabiskan tabungan kesabaran kepala sekolah. “Kamu sekarang ke lapangan, hormat bendera sampai jam pulang!” ucap kepala sekolah memberi hukuman.
Siswa itu pun tak merasa keberatan saat diberi hukuman. Malahan ia menerima hukuman itu dengan senang hati. “Oke pak. Kalau gitu saya permisi,” terima Yandi, dan segera melaksanakan hukumannya.
Di tengah teriknya matahari, Yandi sedang menjalani hukumannya. Para siswa yang sedang melihatnya pun sudah merasa bosan. “Waaah... gak bosan ya dia,” ujar seorang siswa menggelengkan kepalanya saat melihat Yandi.
“Mungkin dia suka kali,” ujar Rita membalas ucapan pria itu.
“Gitu-gitu dia teman sekelas lo tuh,” ujar siswa itu sambil menunjuk Rita.
“Bodoh amat. Emang gue peduli? Apa urusannya ama gue?” Balas Rita ketus dan meninggalkan siswa itu.
************
Jam pelajaran kini telah berlalu, hukuman Yandi pun berakhir. Kini Yandi hendak meninggalkan lapangan dan menuju ke kelas untuk mengambil tasnya. Namun, langkah Yandi terhenti saat seseorang memanggil namanya. “Yandi,” panggil seorang guru sambil berjalan mendekatinya yang tak jauh dari tiang bendera.
“Iya pak,” jawab Yandi sambil mengalihkan pandangannya ke sisi kanannya, di mana guru itu berada.
“Kamu baik-baik, aja?” tanya guru itu penuh perhatian.
Pertanyaan itu langsung membuat Yandi merasa mual. “Bapak lihat saya baik-baik saja, kan. Berarti saya gak kenapa-napa.” Yandi menjawab dengan ketus, karena baginya guru itu tidak tulus.
itu pun berjalan mendekati Yandi. “Yandi, kamu harus rubah perilaku kamu. Kamu itu sekolah bukan hanya buat pintar, tapi memperbaiki sikap kamu.” ujar pria bertubuh sedikit gemuk dengan seragam berwarna coklat memberi nasihat.
Begitu mendengar nasihat dari pria itu, raut wajah Yandi terlihat jelas mengatakan ia tak menyukai guru tersebut. “Bapak gak usah sok baik sama aku, nasehatin aku, terus ujung-ujungnya cuma cari muka sama orang tua aku kayak guru-guru lain,” ucap Yandi ketus. Bagi Yandi ucapan yang disampaikan oleh guru tersebut mempunyai maksud terselubung.
“Bapak gak perlu hal kayak gitu,” balas pria dengan tubuh yang sedikit gemuk dengan tegas.
“Aku gak percaya tuh. Apalagi bapak guru baru.” Yandi tetap tak memercai perkataan pria itu, karena baginya semua guru di sekolah itu tak ada bedanya.
“Mungkin sekarang bapak bisa bilang gitu. Tapi kalau bapak udah ketemu orang tua saya, pasti bapak sama kayak guru-guru lain,” ucap Yandi lalu membuang wajahnya.
“Kamu pegang kata-kata bapak. Bapak gak akan berubah, sekalipun tahu siapa orang tua kamu.” Pria itu meminta Yandi memegang ucapannya. Ia yakin bahwa dirinya tak sama seperti guru lainnya yang mudah tergiur dengan tawaran manis.
“Oke. Saya permisi pak,” ucap Yandi dan berlalu menuju kelasnya.
Langkah Yandi lagi-lagi terhenti saat ia hampir mendekati ruang kelasnya, karena seorang siswa memanggilnya. Siswa itu memberitahunya, bahwa kepala sekolah ingin bertemu dengannya dan memintanya untuk segera ke ruang kepala sekolah.
Rasa kesal langsung menumpuk begitu ia mendengar perkataan siswa itu. “Emang ada apaan, sih?” tanya Yandi kesal.
“Mana gue tahu! Gue bukan kepsek (kepala sekolah). Kalau lo mau tahu, ya langsung aja.” balas siswa itu ketus.
Dengan wajah yang begitu penuh kemalasan, Yandi memasuki ruang kepala sekolah. “Ada apa pak?” tanya Yandi dalam keadaan berdiri.
“Kamu duduk dulu,” ujar kepala sekolah meminta Yandi duduk berhadapan dengannya.
Yandi pun duduk berhadapan dengan kepala sekolah di sebuah kursi kayu berwarna coklat muda. “Ada apa, pak?” tanya Yandi tak sabar berlama-lama di sekolah.
“Yandi, besok ada lomba cerdas cermat antar sekolah. Tapi satu pesertanya tadi baru saja masuk rumah sakit,” ujar kepala sekolah memulai pembicaraan.
Yandi yang mengerti ke arah mana pembicaraan kepala sekolah, langsung membuang wajahnya ke samping. “Lombanya itu besok, kamu bisa gantiin, kan? tanya kepala sekolah penuh harap.
“Cerdas cermat apaan, pak?” tanya Yandi tanpa melihat kepala sekolah.
“Cerdas cermat matematika,” jawab kepala sekolah penuh harap.
Pria itu terlihat tenang saat mengajukan permintaan tersebut. Ia berpikir bahwa Yandi pasti langsung akan menerima permintaannya. “Kenapa waktu itu gak pilih saya? Kenapa setiap kali ada lomba atau kegiatan yang udah sampai ujung tanduk, baru bapak minta saya yang gantiin?” balas Yandi dengan wajah masa bodohnya.
“Yandi, kalau kamu ikut keluarga kamu bakal bangga nantinya. Kamu juga bisa dapat teman baru yang lebih baik,” bujuk kepala sekolah.
“Saya gak ikutan pak,” ujar Yandi tegas.
Hancur sudah semua harapan Kepala sekolah.Kini ia harus berpikir lebih keras agar dapat membujuk Yandi. “Yandi, kalau kamu gak ikut, nama sekolah kita bisa hancur.” Ucapan kepala sekolah terdengar begitu lucu baginya. Pasalnya ia tak bertanggung jawab, jika nama sekolah mereka hancur.
“Salah bapak, dong. Siapa suruh milih orang lain. Masa salah saya?” ucap Yandi tak memedulikan perkataan kepala sekolah.
Namun, kepala sekolah tak menyerah. Ia terus berusaha membujuk Yandi dengan berbagai macam cara. “Yandi, semua ini ada manfaatnya buat kamu,” ujar kepala sekolah yang terus membujuknya.
Melihat kepala sekolah yang terus membujuknya, membuatnya berpikir untuk mengambil kesempatan bagus. “Oke aku mau, tapi ada syaratnya pak. Gimana?” ujar Yandi memainkan sebelah alisnya.
“Baik, bapak setuju. Apa syaratnya?” ujar kepala sekolah penuh percaya diri. Ia berpikir bahwa dirinya dapat memenuhi permintaan Yandi.
“Jangan hukum aku, atau panggil aku ke ruangan ini kalau aku buat masalah,” ucap Yandi santai menyampaikan keinginannya.
Raut wajah pria itu seketika berubah. Semua kepercayaan dirinya langsung saja menghilang. Ia merasa sangat berat menerima persyaratan itu. Namun, ia tak ingin nama sekolahnya menjadi taruhan. “Yandi, kamu gak bisa minta yang lain?” Kepala sekolah terus membujuknya untuk memberikan syarat lain.
Sayangnya, Yandi bersikeras pada persyaratan yang telah diberikannya. “Gak bisa pak. Kalau bapak nggak setuju, ya udah. Aku juga malas buang-buang waktu ikut gituan,” jawab Yandi dan segera bangkit dari duduknya.
Mau tak mau kepala sekolah harus mengambil resiko atas permintaannya. “Yandi, duduk dulu. Bapak belum selesai bicara sama kamu,” ucap kepala sekolah menahan langkah Yandi.
“Baik, bapak terima persyaratan dari kamu. Tapi hanya seminggu,” ucap kepala sekolah dengan berat hati.
Dengan cepat Yandi segera menolak lagi. “Gak bisa seminggu, pak,” balas Yandi dalam keadaan berdiri.
“Aku mau semuanya setara sama semua lomba-lomba dadakan yang pernah aku ikutin. Kalau bapak gak setuju, aku juga gak maksa.” Sekalipun ia adalah anak yang selalu bermasalah, tetapi ia juga merupakan siswa andalan para guru saat para siswa pilihan mereka berhalangan. Walaupun selalu menjadi peserta dadakan dalam setiap lomba, namun ia selalu membawa kemenangan bagi sekolah. Inilah yang menjadi alasan kepala sekolah memilihnya.
Ingin rasanya ia membatalkan saja permintaannya pada siswa seperti Yandi. Namun, lomba tinggal di depan mata. “Baik, bapak setuju. Kamu maunya berapa lama?”
Begitu pertanyaan itu diucapkan, Yandi menaiikan sebelah alisnya sambil tersenyum tipis. “Kalau aku hitung-hitung, total lombanya ada sekitar 12. Artinya setahun pak,” ujar Yandi sambil menghitung jari-jari tangannya.
Ucapan Yandi pun langsung dibalas secepat kilat oleh kepala sekolah. “Gak bisa gitu!” ucap kepala sekolah menolak permintaan siswanya.
“Ya sudah, kalau bapak nggak mau.” Yandi membalikkan badannya dan berjalan ke arah pintu. Tak masalah jika permintaannya ditolak, karena ia tak merasa merugi sedikit pun.
“Yandi, kamu bahkan udah gak nyampe setahun di sekolah ini. Terus kamu mintanya setahun, itu gimana?” ucap kepala sekolah berusaha menahan langkah Yandi.
Yandi sama sekali tak memedulikan perkataan kepala sekolah. Ia bersikeras tak ingin mengganti yang diinginkannya. “Pokoknya gitu pak. Bapak pikirin baik-baik,” ujarnya tak peduli dan bergegas pulang.
Happy readers🤗
Sekolah telah berakhir, dan kini Yandi tengah berjalan menuju rumahnya. Jarak rumahnya dan sekolah terbilang cukup jauh, tetapi ia selalu berjalan kaki saat ingin berangkat maupun pulang sekolah. Walaupun jarak rumah dan sekolahnya tak dekat, ia tetap memilih berjalan kaki sekalipun ia terlambat.Setelah menempuh jalan yang melelahkan, Yandi segera berbaring di kasur kesayangannya tanpa mengganti seragamnya. Ia yang lelah karena perjalanan yang cukup jauh pun hampir menuju alam mimpi. Saat hampir menuju alam mimpi, Yandi tersadar karena suatu suara. Ia pun segera menghampiri sumber suara itu yang tepat berada di sebelah kamarnya.“Lo kenapa lagi? Udah tua, gak usah cengeng!” ujar Yandi saat menghampiri adiknya.“Kalian semua jahat!” teriak Yeri sambil menangis.Jawaban Yeri langsung saja membuat darah kakaknya mendidih. Yandi yang sudah terlanjur kesal karena harus terbangun dari tidurnya, kini semakin kesal begitu melihat tingkah adiknya. “Lo kenapa, sih? Gak ada kerjaan apa gimana? K
Hari telah berganti ditandai dengan terbitnya matahari yang ditemani dengan kicauan burung nan indah. Pagi ini adalah hari libur, baik untuk siswa, mahasiswa, maupun pekerja kantoran.Pada hari libur, tak ada kegiatan bersama yang dilakukan oleh keluarga ini, karena semua anggota keluarga ini sibuk dengan urusan mereka. Waktu bersama di hari libur hanyalah saat makan bersama. Selain dari waktu itu, keluarga ini tak akan berkumpul bersama.Waktu kumpul bersama keluarga dimulai saat sarapan bersama. Walaupun mereka adalah keluarga yang sedang berkumpul bersama, namun rasanya seperti orang asing yang sedang berkumpul bersama. Tak ada percakapan atau suara apa pun yang keluar dari mulut mereka, selain bunyi yang keluar dari gelas dan piring mereka.“Haaa...” Asisten rumah tangga keluarga ini menarik panjang nafasnya saat melihat pemandangan itu dari dapur.“Sampai kapan ya mereka semua diam-diaman kayak gini? Benar-benar kayak or
Setelah semua keributan yang terjadi, tak ada satu orang pun yang menghampiri meja makan untuk sarapan, kecuali Yeri. Ya, hanya putra bungsu keluarga ini saja yang datang untuk menyantap sarapan.Di sisi lain rumah itu, semua orang sedang bersiap untuk menjalani rutinitas mereka. Yandi sedang bersiap ke sekolah dan Yani bersiap ke kampus. Sedangkan kedua orang tua mereka sudah berangkat lebih awal untuk bekerja.“Bi, bibi mau temanin Yeri sarapan gak?” tanya Yeri sambil menahan air matanya.Hati Ami langsung luluh, begitu remaja itu menghampirinya yang sedang merapikan dapur. “Iya tuan. Bibi mau temanin, kok,” ujar wanita itu penuh kelembutan.Tak masalah bagi Yeri jika ia makan berdua bersama Ami, karena yang dibutuhkannya saat ini adalah seseorang yang bisa menemani.Yandi dan Yani yang tak sengaja melihat pemandangan itu sama sekali tak merasa terganggu. Pasalnya jika kedua orang tua mereka melihat asisten rumah tang
Pukulan demi pukulan terus saja diberikan kepada satu sama lain, dan keduanya semakin memanas. Para siswa yang sibuk menonton terus saja meneriaki nama mereka, alih-alih menyemangati jagoan mereka.“Kasih dia pelajaran, Rez.” Reza, itulah nama siswa yang sedang berkelahi bersama Yandi. Semua siswa yang ikut menonton terus saja menyemangati siswa bernama Reza itu. Tak ada satu orang pun yang meneriaki nama Yandi atau kelima temannya. Bagi para siswa, Yandi dan kelima temannya pantas mendapat hal itu karena mereka selalu saja membuat keributan. Mereka beranggapan bahwa ini adalah hukuman yang tepat untuk keenam siswa yang suka berbuat onar.Teman-teman Yandi yang tadinya berusaha menahannya, kini malah ikut berkelahi dengan beberapa teman Reza. Mereka adalah siswa-siswa yang selalu mengekor ke mana pun ia pergi.Perkelahian kini menjadi semakin sengit. Wajah Reza sudah mulai membiru, begitu juga teman-temannya. Sedangkan Yandi dan kelima temannya m
Hari ini Yandi pulang bersama sebuah surat cinta dari sekolah, namun tak ada yang memedulikannya. Ia meletakan surat itu begitu saja di atas meja kamar kedua orang tuanya. Tetapi, tak seorang pun dari kedua orang tuanya yang menyentuh surat itu, apalagi melihatnya.Sesaat sebelum makan malam tiba, Yena melihat surat itu. Namun, ia malah membuangnya tanpa membaca. “Gak mungkin ada kabar baik kalau Yandi dapat surat.” Ia menuju meja makan setelah membuang surat itu, di tempat sampah yang berada di samping meja itu.“Bi Ami, tolong siapin makan malamnya sekarang,” ucap Yena sambil memainkan ponselnya.“Baik nyonya,” ucap wanita berambut pendek itu segera menyiapkan malam.Aroma sedap kini mulai bermunculan saat menu makan malam telah tersedia di atas meja. Mulai dari Ayam Woku, Ayam Geprek, Ayam Bakar Madu, dan Ayam Kecap menghiasi meja makan malam itu.“Bi, ini kok menunya ayam semua? Bibi gak salah masak, kan?” tanya Yani heran saat m
Peserta lomba dan guru pendamping beserta siswa yang bertugas sebagai penyemangat tiba di tempat perlombaan tepat jam delapan. Jarak antara sekolah Yandi dan sekolah tempat lomba tersebut dilaksanakan memang tak cukup jauh. Inilah Yang membuat mereka tak perlu waktu yang panjang untuk menuju sekolah tersebut. Selain karena jarak yang dekat, kedatangan mereka yang lebih awal pun dilakukan agar tak terburu-buru nantinya.Lomba cerdas cermat hari ini dimulai tepat pukul sembilan. Para peserta lomba dari berbagai sekolah saat itu sedang mempersiapkan diri mereka sebelum lomba dimulai. Semua peserta saat itu sibuk membaca buku yang dibawa mereka. Mulai dari membaca buku-buku yang berisi rumus hingga buku catatan yang dibawa para peserta lomba.Di sisi lain ruang di mana para peserta sedang sibuk menyiapkan diri mereka, Yandi sama sekali tak membuka bukunya. Ia asyik mendengarkan musik dengan menggunakan earphone (alat pendengar) berwarna hitam miliknya.Para si
Lomba cerdas cermat tahun ini, dimenangkan oleh SMA Citra. Tiga tim dari SMA Citra mendapat peringkat pertama, dan satu tim lainnya mendapat peringkat kedua.Tim yang mendapat peringkat pertama adalah Yandi dan teman-teman se-timnya sebagai peserta cerdas cermat matematika, kemudian dari tim cerdas cermat biologi oleh Reza, Ino dan Diki, serta satu tim dari cerdas cermat fisika. Sedangkan tim cerdas cermat kimia, mendapatkan peringkat kedua.Pengumuman peringkat lomba cerdas cermat dilangsungkan setelah semua perlombaan berakhir. Seluruh siswa dan guru pendamping yang hadir saat itu, diminta untuk berkumpul di aula SMA Jaya Karsa, di mana lomba itu dilaksanakan.Kini ruangan itu telah dipenuhi oleh seluruh siswa dan para guru pendamping dari tiap sekolah. Walaupun hasil dari perlombaan sudah diketahui, namun para siswa tetap antusias saat pengumuman akan dimulai.“Saya mengucapkan terima kasih untuk adik-adik yang telah berpartisipasi da
Kini bus telah mencapai rute terakhir. Hanya Yandi dan seorang siswi bersama sopir yang berada dalam bus itu. “Kamu di sini, kan?” tanya sopir pada Yandi.“Iya pak. Ini emang tujuan terakhir busnya,” jawab Yandi sambil berjalan ke arah pintu.“Kalau gitu tolong bangunin temannya, ya.”Yandi memandang dengan penuh kesal pada gadis itu. Dengan terpaksa, ia pun membangunkan gadis itu. “Woi! Bangun! Ini udah tujuan terakhir.” Gadis itu benar-benar tertidur lelap, hingga ia sama sekali tak mendengar suara Yandi.“Pelan-pelan banguninnya. Jangan kayak gitu ama cewek,” ujar pria bertopi fedora.“Gak bakalan bangun kalau pelan-pelan, pak. Diteriakin aja gak bangun, gimana kalau pelan-pelan? Yang ada tambah tidur dia.”“Udah, udah, udah. Biar bapak yang bangunin.” Begitu sopir bus itu mengambil alih, Yandi segera turun dari bus.“Dek, udah sampai.” itu membangunkan gadis itu sambil memukul pelan pundaknya.
Kehidupan adalah suatu anugerah dari Tuhan. Kehidupan juga merupakan rahasia. Dalam kehidupan ini tentunya banyak hal-hal yang terjadi di luar dugaan, yang terkadang menghasilkan tawa tetapi dapat juga menghasilkan air mata.Setiap detik, setiap menit dan setiap jam dalam kehidupan ini selalu dipenuhi rahasia. Sebagai manusia kita pastinya tak akan tahu apa yang bisa terjadi beberapa waktu ke depan. Terkadang apa yang kita duga memang terjadi, tetapi sering juga terjadi hal yang tak pernah kita duga.Setelah menjalani kehidupan tanpa kedua orang tuanya, kini Yandi bersama dua saudaranya tak pernah kehilangan senyum lagi. Mereka pun selalu menikmati waktu berkumpul di meja makan.Yani, Yandi dan Yeri selalu memiliki waktu untuk satu sama lain, meski mereka pun sibuk dengan pekerjaan atau pun pendidikan mereka. Suasana rumah Yandi yang dulunya terasa suram, kini terasa lebih cerah. Selalu ada tawa dan kebahagiaan. Tak hanya ada tangis melulu, atau tekanan melulu. Ketiga bersaudara itu
Kehidupan memang selalu diisi oleh berbagai hal. Kadang yang mengisi kehidupan adalah hal-hal yang sudah kita duga. Tapi terkadang juga diisi dengan hal-hal yang tak pernah diduga. Hari-hari Ami dan Vian kini dijalani dengan penuh air mata. Keduanya kini resmi memilih untuk tak berjalan bersama lagi. Ami dan Vian telah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Namun mereka masih tetap mengurus Reina sebagai anak bersama-sama. Hanya saja, baik Vian maupun Ami saling membatasi diri. Setelah berhenti menjadi asisten rumah tangga Yandi dan keluarganya, kini Ami mulai membuka usaha kecil-kecil dari uang yang kerja kerasnya selama ini. Yani sendiri memberikan uang dalam jumlah yang cukup fantastis kepada Ami. Gasia itu memberikan Ami uang sebagai gaji terakhirnya dan juga sebagai ganti rugi atas perbuatan Yena. Uang yang diberikan Yani pada wanita itu adalah uang milik kedua orang tuanya. Ami kini telah membeli sebuah gerobak yang akan digunakannya untuk berjualan. Ia membeli gerob
Keputusan Ami untuk membiarkan Reina tetap berhubungan dengan Ayahnya adalah sebuah keputusan besar. Namun ia sadar, bahwa putrinya tak akan pernah bahagia jika ia terus melarangnya. Ia pun sadar bahwa Reina tak akan tinggal diam saja, jika ia terus melarangnya. Sehingga ia merasa apa pun larangan yang ia beri, itu tak akan membuat putrinya berhenti menemui ayahnya.Keputusan Ami untuk tetap membiarkan Vian berhubungan dengan putrinya lagi, membuat Vian merasa senang. Namun, di sisi lain ia pun merasa sedih. Saat memeluk Reina, Vian menyadari bahwa ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia sebenarnya tak hanya ingin membuat Ami menghilangkan larangannya itu. Sebenarnya Vian dan Ami menginginkan hal yang sama. Jauh di dalam lubuk hati mereka, ada suatu keinginan yang tertahan sejak lama dan kini harus dikubur mereka sedalam-dalam.Tak hanya Ami, Vian pun sangat ingin rumah tangga mereka telah hancur dulu, bisa kembali lagi. Namun, itu semua susah tak mungkin lagi. Sejak Vian
“Reina! Keluar lo, gue belum selesai ngomong!” teriak Rein gigih. Meski Reina sudah meninggalkan, namun ia tak menyerah. Reina pun kembali menemuinya. “Ada apaan lagi?” tanya Reina.“Gue mau tahu, ya. Lo harus jauh-jauh dati papi gue!” ujar Rein sembari menunjuk Reina.Reina memutar bola matanya dan menggeleng pelan kepalanya. “Lo paham kata-kata gue tadi?!” tanya Reina geram. “Gue rasa udah jelas, ya. Jadi gak perlu ulangin lagi.”“Gak! Gue gak terima, gue gak mau dan gak sudi lo ngerrbut semua milik gue!” balas Reina.“Gue gak pernah rebut milik lo, ya! Mau Yandi atau pun papi, lo gue kan udah bilang, gue udah bilang kalau gue gak ngerebut mereka,” jelas Reina. “Lagian om Vian bukan cuma papi lo, doang! Jadi lo gak bisa ngelarang gue!” tegas Reina.“Gue gak mau hidup gue hancur karena lo!” teriak Rein.“Gue gak pernah ngehancurin hidup lo, ya! Harusnya gue yang marah-marah ke lo dan lo, karena mami itu udah hancurin hidup gue!” balas Reina. “Asal lo tahu, gara-gara mami lo, gue jad
Hidup Rein sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak kesayangan Vian hancur begitu saja dalam waktu singkat. Hidupnya terasa begitu gelap semenjak mengetahui semua kebenaran tentang kedua orang tuanya.Sejak saat itu, Rein hanya mengurung dirinya di kamar. Ia bahkan tak makan maupun minum sama sekali. Kondisi tubuhnya pun semakin melemah.Suasana rumah itu pun menjadi sangat gelap. Semenjak semuanya terbongkar, tak ada lagi percakapan yang terjadi, selain pertengkaran Nia dan Vian.Nia terus saja meminta Vian untuk tak kembali kepada Ami. Sesekali ia juga memaksa Vian untuk tak menemui Reina. Namun Vian tetap menolak semua permintaan sang istri.Semua pertengkaran itu selalu saja didengar oleh Rein. Pertengkaran itu membuatnya tak ingin menginjakkan kakinya di tempat lain, selain kamarnya. Ia yang selalu berada di dalam kamarnya pun membuat Vian khawatir. Vian selalu mendatangi kamarnya, namun gadis itu selalu mengusir Vian. Hal yang sama pun terjadi pada Nia. Rein sangat marah besa
Suasana yang canggung kini telah pergi dan diganti dengan suasana sedih. Air mata Reina banjir malam itu. Gadis itu hanya bersandar pada Yandi dan terus meneteskan air matanya.Yandi tak tahan melihat Reina terus-terusan meneteskan air matanya. Ia berusaha memikirkan sebuah cara. Namun, ia pun tak bisa menemukan cara yang tepat.Permasalahan dalam keluarga adalah permasalahan yang sering dialaminya. Namun, ia bukanlah orang yang suka mencari jalan keluar. Ia adalah orang yang sering membantah dan melawan. Sehingga sulit baginya untuk membantu Reina menemukan jalan keluar untuk masalahnya.“Eh... sorry, sorry. Gue malah nangis gak jelas lagi,” ucap Reina segera menghapus air matanya. “Gak papa kali. Gak perlu minta. Gue malah senang kalau lo mau cerita,” ucap Yandi lembut.“Eh... tapi kayaknya lo gak bisa di sini lama-lama, deh. Soalnya ini udah mau jam sepuluh,” ucap Yandi merasa tak enak hati. Tanpa sadar mereka menghabiskan cukup banyak waktu dan kini waktu hampir menunjukkan pukul
Kaki Reina terus melangkah menjauhi rumahnya. Semakin lama, semakin jauh ia melangkah. Namun, gadis itu bahkan tak tahu ia harus terus melangkahkan kakinya ke mana. Reina terus berjalan tanpa henti. Tubuh serasa lesu. Tenaganya habis terkuras setelah banyak meneteskan air mata. Pikirannya pun menjadi sangat kacau.Tit.... Tit....“Ha?” Reina terkejut dengan suara klakson mobil yang begitu dekat dengannya. “Reina, lo—lo habis kenapa?” tanya Andi khawatir setelah melihat mata Reina yang sembab. “Gak papa, kok,” jawab Reina dengan suaranya yang serak.“Tuh... tuh... suara lo serak kayak gitu, masih aja bilang gak papa.” Perkataan Reina tak mencerminkan keadaannya yang terlihat jelas tak baik-baik saja. “Lagian lo mau ke mana, sih?” tanya Andi.“Gak tahu,” jawab Reina. Andi pun merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun satu hal yang biasa ia pastikan, bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. “Ya udah. Kalau gitu, mendingan lo naik, deh. Entar gue antarin lo ke mana, aja,” ujar And
“Reina...” teriak Ami, namun putrinya tak menghiraukannyaHari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Ami, karena hari ini ia bisa segara menjemput putrinya. Ia pun bisa kembali berkumpul bersama putrinya tanpa harus berpisah lagi. Hari ini, Ami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Ia memilih berhenti agar ia bisa mengurus putrinya yang sedang sakit. Meski Yani dan Yeri tak setuju, namun mereka tak bisa menahan Ami. Mereka pun harus melepaskan Ami, agar ia bisa merawat putrinya. Selain itu, mereka saat ini mulai mengalami masalah keuangan. Melepaskan Ami di kondisi sekarang adalah salah satu pilihan untuk mengurangi pengeluaran. Semenjak kedua orang tua mereka berada di tahanan, pekerjaan mereka pun tak ada yang mengurusnya. Baik Yani maupun Yandi, keduanya sama-sama tak berminat melanjutkan pekerjaan orang tua mereka. Belum lagi, mereka harus membayar tagihan rumah sakit Yandi.Yani adalah satu-satunya anggota keluarga yang susah bekerja selain kedua orang tuanya. Yand
Semua teka-teki dari beribu pertanyaan di kepala Reina kini telah terpecahkan. Namun, ia tak menyangka jika semuanya sangat menyakitkan. Rasa sakit itu bukan hanya semata-mata karena kebohongan Ami. Semenjak mendengar pertengkaran Vian dan Nia, Reina sudah tahu bahwa selama ini Ami telah membohongi dirinya tentang ayahnya yang susah meninggal.Reina memang merasa kecewa dan sedih. Namun, setelah ia mendengar perdebatan bundanya dan Vian, ia merasa sangat sakit hati dengan sikap bundanya. Reina yang terlanjur sakit hati pun memilih untuk menjauh dari Vian dan Ami. Ia berlari sekuat mungkin menjauhi mereka, tanpa tahu ke mana ia harus terus berlari.Kaki Reina terus melangkah dan melangkah, dan tanpa sadar ia berlari menuju tempat yang tak asing. Ya, tempat itu adalah tempat yang sering dikunjunginya. Tanpa sadar, Reina terus melangkahkan kakinya menuju tempat pemakaman umum. Suatu tempat yang sering ia kunjungi, ketika ia merindukan sosok seorang ayah.“Ayah?” Tubuh Reina terasa lem