Apa moment terburuk yang pernah kau hadapi? Menyaksikan saudaramu tewas tertembak tepat di depan matamu? Diusir dari rumah dan diasingkan ke sebuah sekolah asrama? Atau, apa kau pernah menyaksikan sebuah ledakan hebat yang menjatuhkan banyak korban dan itu semua adalah karena kesalahanmu? Tidak, itu baru sebagian kecil. Masih banyak hal buruk yang Grassiela lewati selama hidupnya. Terlebih lagi, setelah dia dinikahi oleh seorang bos mafia yang tak kenal ampun. Semua itu jelas mengerikan. Sikap angkuh kedua orangtuanya juga suaminya membuat Grassiela tertekan dan frustasi. Jika begitu, lantas kapan moment terbaik yang pernah ia rasakan dalam hidupnya? Kini, sebuah senyuman merekah di wajah jelita itu. Matahari mulai merangkak naik hingga pagi menjadi terang. Mereka tiba di kawasan perkotaan Krasnodar. Suasana yang ramai dengan deretan bangunan klasik dan modern bercampur dalam musim semi yang memancarkan kehangatan. Keduanya turun dari mobil, berjalan sambil saling berpegangan tan
Malam menjalar perlahan di balik tirai kamar itu, memberikan kehangatan yang berbeda setelah dinginnya udara di tebing tadi. Lampu di kamar menyala redup, menciptakan suasana intim. Grassiela berdiri di tengah ruangan, sibuk merapikan pakaian-pakaian baru yang ia beli di butik.Namun, matanya kemudian tertuju pada sebuah tas kecil di sudut ranjang. Tas itu berisi pilihan lingerie yang ia pilih dengan ragu-ragu tadi siang. Sesaat, pikiran nakalnya menerawang memikirkan James. Bibir Grassiela melengkung dalam senyum kecil yang hanya ia sadari saat memikirkan pria itu.Dia memutar-mutar jemari pada salah satu tali lingerie di dalam tas. Mengeluarkan dua potong lingerie, berwarna merah tua dengan renda halus dan satu lagi berwarna hitam dengan potongan berani yang memperlihatkan lekuk tubuh dengan indah. Grassiela membawa keduanya ke depan cermin besar di sudut kamar. Bayangannya menatap balik dengan rasa percaya diri yang baru ia temukan belakangan ini.
Ruang duduk utama kastil Cestershire yang megah dengan dinding batu kuno dan perabotan antik, dipenuhi keheningan yang mencekam. Veronica duduk di kursi merahnya dengan postur tegas, meskipun guratan keriput di wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Di depannya, Helena berdiri dengan tangan gemetar, meski sorot matanya menunjukkan keteguhan. “Apa yang kau katakan barusan?” suara Veronica terdengar rendah namun dingin, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Helena menelan ludah, mencoba mengendalikan dirinya. “Pria yang menikahi Grassiela… dia adalah seorang pemilik kartel narkoba. Aku tidak bisa membiarkan putriku terus hidup dalam bayang-bayang marabahaya.” Veronica terdiam, matanya menatap tajam ke arah jendela besar yang memandang ke halaman luas kastil. Pikirannya berputar. “Dan bagaimana kau baru mengetahuinya?” “Penyelidikan pribadi,” jawab Helena dengan nada tegas. “Grassiela sudah pernah men
Ruang rapat itu diterangi cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela berbingkai kayu ek, memantulkan kilau pada meja panjang yang mengisi ruangan. Jam menunjukkan pukul dua siang. James duduk di ujung meja dengan tubuh tegap, mengenakan setelan jas abu-abu tua yang sempurna. Di depannya tergeletak dokumen dan grafik yang menunjukkan data perdagangan dan rute penyelundupan. Alexsei, Benicio, Fausto, dan Sergei masing-masing mendengarkan dengan serius. James memulai pembicaraan, suaranya rendah namun sarat dengan ketegasan. “Kita sudah berhasil mendominasi jalur di Eropa utara. Tapi untuk memperbesar keuntungan, kita harus melangkah ke titik yang lebih strategis. Pasar di sana sangat menguntungkan, terutama di negara-negara seperti Jerman, Prancis, dan Inggris. Kita butuh rencana yang tak hanya licik, tapi juga sulit dilacak." James menunjuk layar presentasi di belakangnya, yang menunjukkan peta jalur perdagangan narkoba. “Gunakan Balkan sebagai pintu masuk utama. Barang ak
Dua minggu yang lalu. Keramaian pesta malam itu terasa megah namun penuh dengan ketegangan bagi Grassiela dan James. Musik klasik mengalun lembut, gelas-gelas anggur beradu dalam percakapan santai para tamu. Grassiela, dalam balutan gaun hitam elegan yang mencerminkan keanggunannya, menyusup tanpa menarik perhatian, mengiringi Valentina keluar dari ruang utama. Dia menyentuh lengan Valentina dengan lembut, menenangkan wanita itu dari kecemasannya. "Percayalah padaku, kita akan keluar dari sini dengan selamat," bisiknya sambil tetap melangkah dengan percaya diri. Mereka menyusuri lorong panjang yang redup, menjauh dari keramaian pesta. Grassiela mengarahkan Valentina ke sebuah ruangan terpencil, dimana terdapat jalan rahasia yang akan membawa mereka keluar dari vila tanpa terlihat.Ketika mereka hampir mencapai ruangan itu, langkah keduanya terhenti. Seorang pria muncul dari belokan, mengenakan jas biru tua yang rapi. Dia berhenti sejenak, matanya terbelalak seolah tak percaya pad
Apakah sebuah pernikahan yang didasari oleh kepentingan akan berjalan sebagaimana hubungan pernikahan pada umumnya? Apakah cinta akan tumbuh di antara dua insan dengan ikatan semacam ini?Mungkin ya, mungkin juga tidak. Grassiela tidak bisa memastikannya. Helena dan Alfonso, kedua orangtuanya juga menjalani pernikahan tanpa cinta. Entah perjanjian macam apa yang mendasari perjodohan itu, namun pada akhirnya pernikahan mereka tetap berjalan sampai puluhan tahun hingga menghadirkan seorang anak yang tumbuh tanpa cinta. Ya, begitulah kira-kira. Dan Grassiela akan memastikan bahwa pernikahannya tidak akan sama seperti pernikahan kedua orangtuanya.Ketika sampai di depan pintu kamar James, dia berhenti sejenak. Memandang gagang pintu itu, seolah menimbang-nimbang keputusannya. Lalu akhirnya dia memutuskan membuka pintu dan melangkah masuk. Kamar itu gelap, hanya diterangi sedikit cahaya dari lampu taman yang menyusup melalui tirai. Udara di dal
Kabut tipis masih menyelimuti taman luas di belakang mansion. Matahari pagi mulai mengintip di antara pepohonan, memberikan kehangatan samar yang terasa ironis di tengah suasana mencekam. Di tengah taman, tiga pria berlutut di atas tanah lembap. Wajah mereka pucat, napas tersengal, dan tangan gemetar. Di atas kepala mereka masing-masing bertengger sebuah apel merah yang tampak kontras dengan ekspresi ketakutan di wajah mereka. James berdiri beberapa meter jauhnya, memegang senapan laras panjang dengan sikap santai namun mematikan. Matanya tajam, penuh konsentrasi, sementara senyum tipis menghiasi wajahnya. Di sampingnya, Alexsei, Benicio, dan Fausto duduk di kursi taman sambil menyeruput kopi dan menikmati croissant, seolah tontonan pagi itu adalah hiburan biasa. “Siapa yang mau taruhan? Apakah aku bisa mengenai apel itu atau tidak?” tanya James dengan nada bercanda.Fausto tertawa kecil. “Aku bertaruh kau bahkan tidak akan meleset satu kali pun
Malam telah larut ketika James pulang dari pekerjaannya. Mansion yang sunyi, hanya ada suara detak jam di dinding terdengar ke setiap sudut. Dengan langkah panjang, pria itu menuju kamarnya, berharap menemukan sang istri menunggunya di sana. Namun, saat pintu kamar dibuka, ruangan itu kosong. Tidak ada Grassiela di sana. Mata James menajam. Rahangnya mengeras. Seharusnya istrinya sudah tidur di kamar ini, di ranjang ini, bukan di tempat lain. Dengan bergegas, dia berjalan keluar dan menuju ke kamar Grassiela. Tanpa mengetuk, James membuka pintu dan benar saja, dia mendapati istrinya tertidur pulas di atas ranjang. Napas James sedikit berat. Dia melangkah mendekat, menaiki tempat tidur dengan masih memakai sepatu pantofelnya, lalu berdiri tegak di hadapan Grassiela yang masih terlelap. Matanya menyapu wajah wanita itu—damai, tidak sadar akan keberadaannya. Seolah merasakan sesuatu, Grassiela menggeliat pelan. Matanya berkedip beberapa kali sebelum terbuka sepenuhnya. Pandanganny
Seorang wanita mengemudikan mobilnya dengan tenang, melewati jalan-jalan kota, menuju mansion besar di Newcastle yang telah lama menjadi rumahnya. Setelah beberapa waktu, mobilnya akhirnya berhenti di depan pintu besar mansion. Martha, pelayan yang telah lama bekerja di mansion itu, segera menghampirinya.“Nyonya, ada tamu yang datang,” kata Martha dengan suara pelan, wajahnya menunjukkan sedikit keheranan.“Siapa?”Martha menjawab ragu-ragu, “Nyonya Helena.”Laurine terdiam sejenak. Tanpa berkata lebih lanjut, dia melangkah keluar dari mobil dan menuju taman. Di sana, dia melihat anak laki-lakinya yang masih berusia dua tahun, bermain dengan seorang wanita paruh baya.Laurine mendekat, matanya terfokus pada wanita itu.Helena, tampak senang bermain dengan anak dari keponakannya di taman yang luas. Tangan-tangannya yang lembut membelai rambut anak kecil itu, membuatnya tertawa riang. Sebuah pemandangan yang begitu damai, mes
Langit di luar jendela kamar Grassiela tampak berawan. Tirai tipis bergoyang perlahan tertiup angin. Di dalam kamar yang hangat dan tertata rapi, seorang dokter kandungan wanita, berusia sekitar lima puluhan, tengah menurunkan stetoskopnya dari telinga.Grassiela duduk di atas ranjang dengan bantal menopang punggungnya, mengenakan gaun tidur satin berwarna merah muda. Di sisi lain ruangan, Helena berdiri tampak cemas dan penasaran. Sementara Alexa, berdiri tenang di dekat pintu, memperhatikan dengan saksama.Dokter itu menatap Grassiela dengan senyum tipis. "Kehamilannya sehat, usia janin kira-kira sebelas minggu. Detak jantungnya kuat. Tapi, Anda harus benar-benar menjaga diri, Nona Grassiela. Tidak boleh ada stres berlebih." Grassiela menatap perutnya yang belum begitu tampak membuncit. Tangannya perlahan menyentuhnya. Ada keheningan yang menggantung di udara.Helena berdiri tak jauh dari ranjang, matanya mengamati setiap ger
Di tengah ruang makan yang luas dan temaram, James duduk sendirian di ujung meja panjang dari kayu. Kepulan asap cerutu melayang lambat di udara, mengambang bersama kenangan yang tak juga pudar.Tangannya yang kekar menggenggam cerutu setengah terbakar, sementara matanya menatap kosong ke piring kosong di hadapannya. Tidak ada pembicaraan bisnis, tidak ada suara sendok beradu dengan piring, tidak ada suara Benicio yang suka berdebat mengenai kebijakan bisnis dengan Sergei, tidak ada Alexsei yang mengumpat karena mereka terlalu berisik, dan tidak ada Grassiela yang kesal karena meja makan berubah menjadi tempat rapat dadakan. Kini ruangan itu sunyi. Hampa.James menarik napas dalam, namun dadanya tetap terasa sesak. Ia memejamkan mata. Terlintas bayangan Grassiela yang tersenyum menggodanya, kadang-kadang juga mengomel saat dia sedang marah pada dunia. James biasa melihatnya duduk di kursi itu. Di sampingnya.Tapi sekarang…Ja
Rintik hujan membasahi kaca jendela mobil hitam yang melaju kencang di jalanan sepi, membelah gelap malam seperti peluru melesat tanpa arah. Di kursi belakang, Benicio duduk gelisah. Kedua tangannya terkepal erat di pangkuan, dan sesekali ia menengok jam tangannya, seakan jarum detik adalah algojo yang memburunya. "Percepat lagi," katanya pada sopir muda di depan. Suaranya dalam dan berat, tapi penuh kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Lalu pedal gas yang ditekan terdengar jelas setelah itu. Benicio memejamkan matanya. Wajah Grassiela melintas— wajah yang pucat, lemah, dengan napas berat, menggenggam pergelangan tangannya saat ia mengucap: "Sebagai seseorang yang akan dijatuhi hukuman mati, aku berhak meminta sesuatu, bukan?" "Aku ingin kau merahasiakan kondisiku. James tak akan mengetahuinya. Dia tidak akan pernah mendapatkannya." Saat itu, Benicio ingin menolak. Ingin mengatakan bahwa James berhak tahu. Dan fakta itu akan menjadi kunci untuk menyelamatkan nyawanya dari huk
Hukuman mati. Grassiela berdiri membeku, tubuhnya terasa seakan kehilangan daya saat kata-kata James menghantamnya seperti belati tajam. Matanya membesar dalam keterkejutan yang begitu nyata. "Tak ada lagi pengampunan," suara James terdengar parau, nyaris bergetar, tapi tegas. Sepasang mata kelabunya menatap Grassiela penuh kepedihan. "Kau telah menghancurkan semuanya. Kau membunuh kepercayaanku, membunuh rasa hormatku padamu, membunuh… cintaku." Dunia Grassiela seketika runtuh. Jantungnya berdebar begitu kencang, bukan karena amarah atau ketakutan, tetapi karena kesakitan yang mengoyak hatinya. Semuanya selesai. Bukan karena putusan hukuman mati yang dijatuhkan padanya dengan tidak adil. Melainkan karena Grassiela sudah benar-benar kehilangan cinta James. Kehilangan satu-satunya alasan untuk dia bertahan. James mendekatinya, ekspresinya gelap dan penuh keputusan. "Kau satu-satunya wanita yang membuatku tergila-gila," bisiknya. "Tapi kini aku sadar, terbuai dalam cinta hany
Langit sudah menjadi gelap ketika Grassiela turun dari mobil, tumit sepatunya menghantam aspal basah di halaman mansion. Udara malam yang dingin menusuk kulitnya, tapi itu bukan apa-apa dibandingkan dinginnya hatinya saat ini. Di kanan dan kirinya, para pelayan dan pengawal berjejer rapi, menundukkan kepala penuh hormat saat dia melangkah melewati mereka. Grassiela berdiri diam di depan mansion megah itu, kepulangan yang seharusnya menjadi hal biasa justru terasa seperti hukuman. Matanya menelusuri tiap detail bangunan yang pernah ia pikir akan menjadi tempat tinggalnya, tempat di mana ia bisa menyentuh hati James dengan caranya sendiri. Namun, kenyataan telah membuktikan betapa keliru pikirannya. Mansion ini bukan istana tempat ia menjadi permaisuri, melainkan sebuah kurungan yang perlahan-lahan menghancurkan jiwanya. Angin dingin menyapu wajahnya, seolah mengingatkannya pada semua luka yang pernah terukir di tempat ini. Para pelayan yang berbaris rapi di pintu masuk masih membungk
Di dalam ruang rawat yang masih berbau khas antiseptik, Runova sibuk membereskan barang-barang Grassiela ke dalam koper. Tangannya cekatan melipat pakaian, sementara matanya sesekali melirik ke arah Grassiela dan Alexsei yang tengah berbicara di dekat jendela. Grassiela berdiri dengan wajahnya yang masih pucat, namun tatapannya serius. Alexsei, dengan sikap tenangnya yang khas, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan menatapnya dalam. "Jika kau pulang sekarang dan menghadapi James, maka kau akan mendapatkan keputusan saat itu juga," kata Alexsei, suaranya datar namun tegas. Grassiela tidak langsung menjawab. Matanya menatap ke luar jendela, memandangi langit sore yang mulai berubah jingga. Napasnya terhela pelan sebelum ia berbalik menghadap Alexsei. "Aku siap dengan keputusan apa pun," ucapnya penuh keyakinan. "Aku tidak mau mengulur waktu dengan ketidak pastian. Semua harus diselesaikan secepatnya." Alexsei menatapnya beberapa detik, seolah ingin memastikan
Grassiela duduk diam di atas kasur ruang rawat VVIP, membiarkan dirinya tenggelam dalam kesunyian. Selimut putih membungkus tubuhnya yang terasa lemah, sementara tatapannya kosong menatap jendela besar di seberang ruangan. Matahari sudah mulai tenggelam, menyisakan warna jingga redup di langit. Di sampingnya, Runova dengan sabar mencoba membujuknya untuk makan. “Nyonya, anda harus makan sesuatu. Saya tahu anda tidak nafsu makan, tapi tubuh anda terlalu lemah. Setidaknya beberapa suap saja.” Grassiela tetap diam, pikirannya melayang entah ke mana. Mual, pusing, dan kelelahan terus menggerogoti tubuhnya, tapi bukan itu yang membuatnya merasa benar-benar hancur. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa James… mengabaikannya.Ia menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk bertanya, “Bagaimana keadaan James?” Runova tampak sedikit terkejut karena akhirnya Grassiela berbicara. “Kondisinya berangsur pulih. Sudah jauh lebih baik sekarang."Grassiela terdiam, mencoba mencerna kaba
Tangisan bayi pertama itu menggema di ruangan yang dipenuhi oleh dokter dan perawat. Seiring dengan suara tangisnya, sorak sorai dan tepuk tangan bergema di luar ruangan, di antara kerumunan keluarga, rekan bisnis, serta orang-orang kepercayaan Fyodor Draxler. Seorang putra telah lahir. Seorang pewaris. Seorang calon Bos mereka. Masa depan kerajaan bisnis Draxler kini memiliki penerus. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Fyodor justru berdiri membisu di samping ranjang istrinya. Tatapannya kosong, tangannya gemetar saat menggenggam tangan wanita yang kini terbaring tak lagi bernapas. Bibirnya bergetar, mencoba mengucapkan sesuatu, tapi yang keluar hanyalah bisikan berat yang dipenuhi kepedihan. Wanita yang paling dicintainya, yang ia janjikan akan hidup bahagia bersamanya, kini telah pergi. “Selamat, Tuan Draxler. Putra Anda sehat dan kuat.” Fyodor tak menjawab. Ia hanya menunduk, menggenggam tangan istrinya lebih erat, seolah berharap kehangatan