Hallo.. Apa harapan kalian di tahun 2024? Salah satu harapanku, semoga bisa lebih aktiv menulis.. aamiin.. Semoga menjadi pribadi yg lebih baik lagi, ya..
Grassiela merasakan bulu kuduknya meremang ketika langkah berat memecah keheningan di kamar gelapnya. Bayangan tubuh James muncul di kegelapan, wajahnya mencerminkan amarah serta kekecewaan. Udara di antara mereka terasa berat, diisi dengan ketegangan dan aroma pengkhianatan yang menguar."K-kau baik-baik saja?" suara Grassiela terdengar bergetar bersama rona kecemasan yang mengepung wajah cantiknya.James dapat melihat bahwa wanita itu berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Namun, seandainya dia dapat melihat lebih dalam ke sepasang mata biru di hadapannya, ada kekhawatiran di sana. Ada perhatian tulus yang tak akan pernah dia percayai lagi.James tetap diam, tatapannya menusuk-dalam, seolah merinci setiap detik ketidakpercayaan yang terukir di wajah Grassiela. "Aku selalu berusaha melindungimu," desis James di sela rahangnya yang mengetat. "Dan ini balasan yang kudapat? Kau mencoba membunuhku?" Perlahan, dia bergerak mendekat, membawa atmosfer tegang yang menggantung di udara.Jan
Di kota Newcastle, terangnya sinar matahari menembus masuk melelui jendela-jendela besar sebuah aula dimana pelelangan berlangsung dengan ramai. Meja-meja panjang yang dipenuhi dengan barang-barang berharga berjejer rapi di sepanjang ruangan yang elegan.Peserta pelelangan duduk di kursi-kursi yang nyaman, mengenakan pakaian formal mereka sambil menyesap minuman dingin. Cahaya matahari menyinari perhiasan dan artefak yang ditempatkan dengan hati-hati di atas podium kayu. Di sekitar ruangan, para kritikus seni dan kolektor terkemuka berbisik-bisik, menyampaikan komentar eksklusif mereka tentang nilai seni dari barang-barang yang dilelang. Palu kecil dipegang oleh juru lelang yang berdiri di atas panggung. Suaranya yang tenang dan lugas memandu peserta melalui proses tawar-menawar. Peserta pelelangan dengan penuh perhatian mengangkat papan lelang mereka, memberikan tawaran penuh persaingan serta gengsi.Dalam keteraturan yang hanya terpecahkan oleh suara tawaran dan komentar para penont
Suasana pagi yang cerah menciptakan kehangatan di halaman kantor Ford Inspiration Foundation. Grassiela dan Bianca duduk di bangku taman, berbincang dengan ketertarikan mengenai perjalanan yayasan yang telah lama diwariskan oleh Antonia Stamfod dan perkembangannya dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai seorang yang pernah bekerja di sebuah lembaga amal, Grassiela menyukai pembicaraan ini. Selain ketertarikannya pada kemanusiaan, dia juga jadi lebih memahami mengenai apa yang terjadi dengan keluarganya sendiri. Kita tahu, banyak hal yang dia lewatkan selama tinggal di Kanada. "Asosiasi ini berfokus pada perlindungan perempuan. Kami ingin menciptakan dunia di mana setiap perempuan merasa aman, dihargai dan memiliki kesempatan yang setara," jelas Bianca menceritakan asosiasi baru dari Ford Inspiration Foundation yang sebelumnya hanya berfokus pada rumah sakit anak."Asosiasi kami memperjuangkan hak-hak perempuan, mulai dari pendidikan hingga kesehatan. Merancang program pelatihan untuk
Gadis itu terbaring rapuh di atas tempat tidur. Kedua matanya yang kosong memancarkan kesedihan yang mendalam. Tubuhnya penuh luka, dan pakaian yang sebelumnya indah, kini hancur berantakan. Di ambang putus asa, dia mencoba menenangkan diri dengan tangisan pelan.Pintu terbuka, dan seorang pria yang telah berpakaian rapi memasuki ruangan dengan sikap angkuhnya. Sambil menyorotkan tatapan tajam pada gadis itu, ia duduk di tepi tempat tidur. "Berhenti menangis!" perintah James dengan nada dingin, lalu mencengkeram rahang gadis itu dengan paksa untuk menatapnya.Gadis belia itu gemetar, kedua netra birunya yang penuh dengan ketakutan melelehkan air mata. Dia tak sanggup untuk berbicara. Maka hanya suara isak tangis yang terdengar.James mengerutkan kening dengan kekecewaan. "Kau tahu konsekuensinya, bukan? Seharusnya semalam kau menari untukku," desisnya, mengecilkan mata dengan ketidakpuasan.Lantas James melepaskan cengkramannya pada gadis itu dengan kasar lalu berdiri untuk membukakan
Brak!Alfonso menggebrak meja kerjanya dengan keras, membuyarkan ketenangan yang biasa mengisi ruangan tersebut. Pria paruh baya itu merasa darahnya mendidih ketika mendengar kabar yang mengejutkan dari orang kepercayaannya. Grassiela, putri tunggalnya, telah dipulangkan ke Cestershire tanpa sepengetahuannya. Alfonso merasa terhina, terluka oleh tindakan menantunya yang seolah-olah membuang Grassiela begitu saja setelah merebut kepemilikan kelab malam dengan cara yang tidak terhormat. Rasa tak terima itu terasa begitu dalam, seakan seseorang telah mencuri kehormatannya di depan mata.Sementara itu, Helena, sang istri, menatap suaminya dengan kekecewaan yang sama.“James Draxler!” desis Alfonso dengan amarah yang meluap. “Bagaimana dia berani melakukan ini?”Helena merasa lemas hingga terduduk di sofa dengan tatapan kosong penuh ketidakpercayaan. Ingatannya kembali pada panggilan telepon dari Grassiela terakhir yang terdengar seperti
Dengan langkah tegas, seorang wanita berjalan di koridor yang dijaga ketat oleh dua pengawal setianya. Mereka berhenti di depan sebuah pintu, di mana seorang wanita berpakaian formal mempersilakan dengan wajah kaku tanpa ekspresi."Nyonya sudah menunggu anda di dalam."Alexa mengangguk, lalu pintu dibukakan, menampilkan sebuah ruangan kerja yang elegan. Di dalam, seorang wanita tengah duduk di kursi kerja, menatap sambil tersenyum tipis di bibir berpoles merahnya. Alexa melangkah masuk seiring pintu yang ditutup, meninggalkan dirinya berdua dengan wanita di depannya."Aku sudah menyerahkannya," ujar Alexa sembari berjalan lalu duduk di sofa berwarna marun yang terdapat di tengah ruangan.Laurine beranjak dari kursinya untuk mendekat, kemudian duduk di sofa yang berhadapan dengan Alexa. "Bagus. Mereka dapat membuat janji agar bisa bertemu terlebih dahulu.""Terima kasih, Lou. Aku percaya pada kuasa hukum yang kau rekomendasikan untuk Grassiela."Laurine hanya tersenyum tipis sampai Alex
Di tengah sorotan lampu yang gemerlap dan aroma uang kertas yang menguar, Afro Maccini berjalan memasuki lobi megah kasino. Langkahnya terburu-buru, matanya menyapu ruangan dengan cepat, mencari sosok yang telah lama tak bertemu. Suara mesin slot yang berdering dan gemerisik tawa dari para penjudi membuatnya semakin gelisah.Dengan pakaian yang sedikit berantakan, tangannya mengkepal erat. Dia bergerak dengan cepat melewati bar yang dipenuhi dengan orang-orang yang sedang menikmati minuman mahal mereka. Afro bisa merasakan denyutan jantungnya semakin cepat, karena waktu menjadi musuhnya.Saat dia melintasi ruang utama menuju area permainan VIP, dia melihat pria yang merupakan saudaranya. Seorang pria dengan setelan jas rapi yang dia cari sedang duduk di meja poker, diapit oleh dua orang wanita yang menyemangatinya. Afro mempercepat langkahnya bersama hatinya yang berdegup kencang. Dia tahu bahwa pertemuan ini akan menentukan segalanya."Drake!" seru Afro dengan napas tersengal-sengal.
Grassiela duduk di depan meja riasnya dengan tatapan kosong. Tangannya gemetar saat ia menyeka bedak di pipinya dengan kuas yang halus. Sorot matanya yang hilang menunjukkan betapa hampa hatinya seperti angin dingin yang menusuk ke dalam jiwa yang terluka. Make up yang dia poleskan hanyalah topeng tipis untuk menyembunyikan kepedihan di hati.Dia mengingat pertengkaran pahit yang terjadi dengan ibunya, kata-kata pedas yang terucap membuatnya terluka lebih dalam lagi. Betapa ironisnya, di saat seperti ini, Grassiela bahkan tidak tahu pesta macam apa yang sedang diadakan oleh kedua orang tuanya. Seutas senyum terlukis. Meski hatinya berkecamuk dalam kepedihan, kehadirannya di pesta itu akan memberinya kesempatan yang baik.Grassiela memilih sebuah gaun malam berwarna hitam yang anggun dari lemari pakaiannya. Dia membiarkan gaun itu jatuh meluncur dengan gemulai di atas tubuhnya, menciptakan siluet yang mempesona. Dengan menata kembali hatinya yang telah retak, Grassiela bertekad untuk me
Tatapan penuh ketakutan dan amarah yang diterima Grassiela dari Iliya serta Ivan, menciptakan perasaan bersalah yang mengiris hatinya. Grassiela mengingat saat kobaran api melahap sebuah pindok kayu di hadapannya dan ia tak mampu melakukan apa pun atas keputusan James yang kejam.Tapi kali ini, tidak. Grassiela mengeratkan rahangnya, seolah menguatkan dirinya. Ia tahu apa artinya hidup di bawah bayangan James dan kekuasaannya. Namun, ia tak ingin lagi membiarkan orang lain menderita karenanya. Sekali ini, ia akan bertindak.Saat James datang, suasana semakin menegang. Semua orang membeku di tempatnya berdiri dengan kewaspadaan. Sementara Grassiela, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang muncul saat suaminya tiba dengan langkah tegap dan tatapan dingin. Kali ini, ia memutuskan untuk menghadapi James dengan cara yang berbeda. Sebuah senyum mendadak terbit di wajah jelita itu. Grassiela berjalan menyambut James dengan gembira, seolah-olah itu adalah ke
James berdiri di tepi ranjang, menatap Grassiela yang tertidur dengan damai. Untuk sesaat, wajahnya yang selalu tegas melunak. Di balik kekerasan dan egoisnya pria itu, perasaan lembut yang ia coba hindari begitu lama mulai menyeruak, merayapi relung hatinya. Ingatan tentang percakapan mereka sebelumnya muncul dalam ingatan. Dengan penuh ketulusan, Grassiela meminta cinta sebagai balasan atas permintaan James untuk seorang pewaris. Cinta… satu kata yang selama ini selalu terasa asing dan berbahaya baginya. Bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya, yang telah begitu dalam terjebak dalam dunia kegelapan dan kekerasan, bisa memberikan sesuatu yang sesuci itu? Omong kosong. Seketika ucapan Violeta melintas dalam benaknya. "Kau tak memiliki hati. Kau tak mengenal cinta. Dan hal itu tidak akan pernah berubah." James menggertakkan rahangnya, berusaha mengusir ingatan itu, meski kata-kata Violeta menghantuinya. Tanpa melepaskan tatapannya dari Grassiela yang terlelap, perasaan yang t
Malam itu, suasana rumah terasa sunyi setelah mereka kembali dari pemakaman. Valentina berdiri di balkon kamar, gaun hitam panjangnya berkibar pelan terkena angin malam. Wajahnya tampak murung, bayangan kesedihan dan kecemasan menghiasi tatapannya yang kosong, memandangi langit malam tanpa benar-benar melihat apa pun. Di dalam dirinya, ribuan pikiran berkeliaran, menghantui setiap detik yang berlalu. Pemakaman Borsellino, suaminya baru saja selesai meninggalkan perasaan yang campur aduk. Valentina memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya angin yang merembes hingga ke tulang. Dia tidak bisa menghentikan kegelisahan yang terus merayap dalam hatinya—kegelisahan tentang bagaimana orang-orang akan memandang hubungannya dengan Paolo setelah ini. Pria yang selama ini menemaninya, sekarang menjadi pusat dari segala rumor dan spekulasi. Dunia mafia penuh intrik, dan hubungan mereka pasti akan dipandang dari segala sisi yang penuh kecurigaan. Paolo muncul dari dalam kamar, mendekati Valent
Di dalam ruangan dengan perapian yang menyala lembut, sinar api memantulkan bayang-bayang di dinding kayu yang tebal. Malam telah larut, dan udara dingin perlahan merasuk. Sebuah papan catur kayu tua dipasang di atas meja kecil di depan kursi empuk tempat Grassiela dan Fyodor, ayah mertuanya, duduk berhadapan. Pria tua itu menatap papan dengan intens, alisnya mengerut dalam, menggumamkan pikirannya sambil mempertimbangkan langkah berikutnya. "Hm, kau bermain dengan sangat baik," katanya sambil memindahkan bentengnya ke tengah papan. Grassiela tersenyum tipis, pandangannya tak lepas dari bidak-bidak di depan mereka. “Terima kasih, Papa," jawabnya halus. Keheningan kembali menyelimuti. Grassiela menyentuh salah satu bidak kuda miliknya dan memutarnya sedikit sebelum akhirnya menggerakkan kuda tersebut ke arah yang tak terduga. Dia tersenyum puas, menyadari langkah itu membuat Fyodor semakin terdesak. "Langkah yang brilian," puji Fyodor sambil mengangguk. "Kau tahu, permainan catur in
Pagi itu, udara pegunungan terasa sejuk dan segar. Sinar matahari yang lembut menerobos masuk melalui jendela besar di ruang tamu rumah persembunyian. Grassiela berdiri di tepi jendela, mengenakan gaun tidurnya, dengan secangkir kopi hangat di tangan. Pandangannya terfokus pada jalan setapak yang berkelok menuju rumah, saat debu mulai terangkat oleh deretan mobil yang mendekat. Lima mobil hitam melaju pelan, mesin-mesinnya terdengar samar dari kejauhan. Ketika jarak semakin dekat, Grassiela dapat melihat sosok James yang berdiri di halaman, memandang lurus ke arah mobil-mobil itu. Ia berdiri tegak, kedua tangannya terlipat di dada, tenang namun tegas, seolah sudah tahu siapa yang datang. Mata Grassiela menyipit, mencoba menebak apa yang akan terjadi. Namun sikap tenang James memberitahunya bahwa itu bukanlah sebuah ancaman. Mobil pertama berhenti, diikuti oleh yang lainnya. Pintu terbuka, lalu Alexsei keluar dengan cepat disusul oleh Fausto yang mengikutinya. Pria bertubuh besar itu
Cestershire, Inggris. Helena duduk di kursi goyang berlapis kain beludru merah tua, menggenggam cangkir teh camomile antik dengan erat. Sesekali dia menyeruput teh hangat itu bersama Eveline, saudari iparnya. "Seharusnya dia sudah bertunangan atau menikah sekarang, bukannya berkeliaran entah ke mana," gumam Eveline menahan kekhawatirannya. Helena menurunkan cangkirnya, menatap Eveline dengan serius. "Maksudmu Arabella? Aku rasa dia seorang gadis yang mandiri, dan tahu apa yang harus dia lakukan." Eveline menggeleng pelan, tanda bahwa dia tidak setuju pendapat itu. "Dia ceroboh, egois dan sulit diatur. Seseorang bisa saja memanfaatkannya." Dia lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara dengan suara pelan. "Dia selalu membuatku khawatir. Kini sudah dua minggu Arabella pergi entah kemana." Helena terdiam mendengar sejenak. Seketika, pikirannya melayang ke sosok putrinya, Grassiela. Apakah dia pernah merasa khawatir seperti apa yang Eveline rasakan? Sejauh mana dirinya menc
Langit di atas hutan Castelbuono berwarna biru cerah, cahaya matahari yang lembut menerobos dedaunan, menciptakan permainan bayangan di atas tanah. Angin sepoi-sepoi membawa aroma pinus dan dedaunan yang segar. Grassiela berjalan dengan langkah ringan, rambut berwarna karamelnya diikat ekor kuda dan berkibar lembut di bawah pepohonan bersama apron merah muda yang menghiasi dress putih polosnya. James mengikuti dari belakang, matanya tak pernah lepas dari sosok menarik itu. Di setiap langkahnya, dia tampak waspada, meski diam-diam ada kehangatan dalam tatapannya. "Kau tidak perlu mengikutiku," kata Grassiela tiba-tiba, tanpa berbalik bersama langkahnya yang tetap ringan dan bebas. "Tidak perlu khawatir. Aku bisa menemukan jalan pulang sendiri nanti." James mendengus pelan, meski senyumnya hampir tak terlihat. "Aku hanya memastikan kau tidak tersesat atau membuat masalah." "Masalah?" Seketika Grassiela berhenti untuk menoleh menatap suaminya tajam. "Di sini, satu-satunya masalah ada
Pagi itu, James terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang tidak biasa. Sinar matahari menembus celah-celah tirai jendela, menerangi ruang tamu yang dia gunakan untuk beristirahat. Aroma lezat dari dapur mulai menggoda indera penciumannya, memanggilnya untuk bangun dan menyambut hari. Dengan enggan, ia menghempaskan selimut yang entah datangnya dari mana lalu bangkit dari sofa. Pria itu berjalan menuju dapur, masih mengenakan kemeja putih tanpa dasi serta celana hitam yang sedikit kusut, sebuah tanda dari malam panjang yang baru saja berlalu. Dapur itu sederhana, tidak seperti dapur mewah yang biasa ia temui di rumah-rumah besar. Namun entah bagaimana, kesederhanaan ini terasa membawa kedamaian baginya. Saat ia memasuki dapur, matanya tertuju pada meja makan. Sarapan telah disiapkan dengan rapi, lengkap dengan roti, telur, dan secangkir kopi yang masih mengepul. Namun, sesuatu yang lain menarik perhatiannya—pintu dapur yang sedikit terbuka, membiarkan angin pagi masuk ke dalam r
Mobil melaju dengan kecepatan konstan, menembus kegelapan malam yang semakin dalam. Jalanan yang mereka lewati semakin sepi, hanya suara mesin yang memecah kesunyian. Grassiela memandang ke luar jendela, pikirannya terombang-ambing antara rasa bersalah dan kebingungan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. James, yang duduk di sampingnya, tetap diam. Wajahnya tetap menunjukkan ketegangan dan fokus yang sama. Grassiela merasa semakin sulit untuk menembus dinding emosional yang dibangun James saat ini. Dia ingin sekali tahu ke mana mereka akan pergi, tetapi ada sesuatu dalam sikap James yang membuatnya merasa bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, James akhirnya berbicara, meskipun suaranya tetap dingin dan terkendali. "Kita akan menuju tempat persembunyian sementara. Di sana kita bisa menunggu kabar dari Paolo dan yang lainnya." Grassiela mengangguk, merasa sedikit lega karena akhirnya mendapat jawaban. Malam i